• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori

1. Komitmen

a. Pengertian

Komitmen adalah ikatan atau kontrak berupa janji yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable) dan harus dilaksanakan apabila persyaratan yang disepakati bersama dipenuhi (Sudarsono dan Prabowo, 2004: 70). Jadi komitmen bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat mengikat dan tidak bisa diurungkan begitu saja.

Seseorang yang mempunyai komitmen adalah seseorang yang dapat diandalkan tanggung jawabnya, sifat dapat dipercaya, kesetiaan, dan kepatuhannya (Byron, 2010: 29). Komitmen biasanya dikaitkan

dengan ukuran waktu, sejauh mana seseorang bisa mematuhi komitmennya.

Menurut Tangkilisan (2003: 17) inti dari prinsip komitmen (commitment) adalah bahwa pihak pengelola/manajemen dituntut memiliki komitmen penuh untuk selalu meningkatkan nilai perusahaan, dan senantiasa mengoptimalisasi nilai pemegang saham, serta menurunkan tingkat risiko perusahaan. Komitmen ini penting sekali mengingat pengaruhnya terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Dari pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen adalah suatu janji untuk tetap mempertahankan suatu hubungan apapun hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Di dalam mempertahankan suatu hubungan tersebut tentunya pihak yang berkomitmen tersebut akan berusaha bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas hubungan.

b. Penentu Besarnya Komitmen

Hal yang menentukan besarnya komitmen seseorang pada suatu hubungan menurut Barnes (2003: 150) yaitu:

1) Tingkat Kepuasan

Dua komponen utama dari kepuasan:

a) Sejauh mana sebuah hubungan memberikan hasil yang bernilai dengan memenuhi kebutuhan penting. Hasil yang sesuai dengan kebutuhan atau diharapkan itu minimal harus tercapai.

b) Tingkat perbandingan alternatif yang didasarkan pada harapan kualitatif tentang hasil ideal yang diharapkan dari sebuah hubungan, seperti juga membandingkan hasil yang didapat seseorang dengan input dan hasil yang didapat oleh partnernya. Disini seseorang menilai suatu komitmen dari perbandingan nyata antara dua pilihan. Apabila salah satu pilihannya tersebut dipandang menghasilkan hasil yang ideal, pilihan itulah yang dirasa mempunyai komitmen.

2) Tingkat Investasi

Besarnya investasi yang dikeluarkan dari suatu pihak akan mempengaruhi tingkat komitmen pihak tersebut. Hal ini mengenai pengharapan akan hubungan yang baik di dalam komitmen itu sendiri. Jadi, kalau sudah tidak ada komitmen, sama saja dengan menghilangkan investasi.

2. Sistem Bagi Hasil

a. Pengertian

Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan dengan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan:“distribusi

beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan

atau bulanan (Muhamad, 2002: 9). Bagi hasil merupakan suatu penjatahan atas hasil usaha yang dilakukan bersama.

Menurut Sihono (2001: 9) sistem bagi hasil adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing. Jika usaha mengalami keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi rata. Sebaliknya jika usaha tersebut mengalami kerugian, kerugian itupun dibagi bersama, saling menanggung.

Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana (Suwiknyo, 2010: 16). Pembagian hasil ini ditentukan berdasarkan bagian masing-masing pihak atas investasinya. Pihak yang berinvestasi dengan jumlah besar akan mendapatkan bagi hasil yang besar pula dibandingkan pihak lain dengan investasi sedikit.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem bagi hasil adalah pembagian pendapatan atau keuntungan antara dua pihak yang saling bersepakat di awal perjanjian dalam melakukan suatu usaha. Kesepakatan tersebut berupa kesepakatan saat terjadi keuntungan maupun saat mengalami kerugian. Bahwa saat untung atau rugi akan tetap dibagi bersama.

b. Ketentuan Hukum Transaksi Bagi Hasil

Menurut Muhamad (2001: 27) konsep bagi hasil dikembangkan dalam Islam ke dalam bentuk-bentuk kerjasama berusaha dalam suatu proyek tertentu yang dikembangkan berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Dasar hukum prinsip bagi hasil adalah Alquran dan Hadis. Alquran menyatakan:

Jikalau saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (QS. An-Nisa’: 12)

Surat lain menyatakan:

Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh. (QS. Ash-Shad: 24)

Sementara Hadis Nabi saw., menyatakan:

Dalam hadis kudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw telah bersabda “Allah telah berkata saya menyertai dua pihak yang sedang berkongsi selama salah satu dari keduanya tidak menghianati yang lain, seandainya berhianat maka saya keluar dari penyertaan tersebut (HR. Abu Daud, Baihaqi dan Al-Hakam) Hadis lain menyatakan:

Rahmat Allah tercurahkan atas dua pihak yang sedang berkongsi selama mereka tidak melakukan pengkhianatan, manakala berkhianat maka bisnisnya tercela dan keberkatanpun akan sirna dari padanya.

Menurut dasar hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip bagi hasil ini sangat boleh dilakukan, dengan adanya rahmat Allah terhadap pihak yang berkongsi sedangkan jika sudah ada pengkhianatan maka tidak berkah usaha mereka itu.

c. Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil di Bank Syariah

Menurut Antonio (dalam Muhamad, 2002: 106) kontrak mudharabah adalah suatu kontrak yang dilakukan oleh minimal dua pihak. Tujuan utama kontrak ini adalah memperoleh hasil investasi. Besar kecilnya investasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor pengaruh tersebut ada yang berdampak langsung dan ada yang tidak langsung.

1) Faktor Langsung

Di antara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio).

a) Investment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80, hal ini berarti 20 persen dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.

b) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Misalnya dari nasabah pengguna tabungan,

pengguna deposito, dan sebagainya. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode:

i) Rata-rata saldo minimum bulanan. ii)Rata-rata total saldo harian.

Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.

c) Nisbah (profit sharing ratio)

i) Salah satu ciri al mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian.

ii) Nisbah antara bank satu dengan bank lainnya dapat berbeda. Hal ini berdasarkan kebijakan bank masing-maisng.

iii) Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank, misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.

iv) Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya. Hal ini terkait untuk mememuhi likuiditas bank. 2) Faktor Tidak Langsung

Faktor tidak langsung yang mempengaruhi bagi hasil adalah: a) Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah.

i) Bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan

biaya. Pendapatan yang “dibagi-hasilkan” merupakan

pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.

ii)Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing. Dalam hal ini nasabah hanya bertindak sebagai pengelola dana.

b) Kebijakan akunting (prinsip dan metode akuntansi)

Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya. Pendapatan yang naik ataupun turun dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama beroperasi mempengaruhi bagi hasil.

3. Good Corporate Governance

a. Pengertian

Good Corporate Governance adalah sistem dan struktur untuk mengelola perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai pemegang saham (stakeholder’s value) serta mengalokasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) seperti kreditor, supplier, asosiasi usaha, konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas (Tangkilisan, 2003: 11). Kehadiran GCG berfungsi agar semua pihak yang terkait dengan bank merasa puas dan percaya terhadap bank tersebut.

Menurut Junusi (2012: 18) GCG merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. GCG yang dimaksud disini adalah agar meningkatnya kinerja dari dalam perusahaan itu sendiri yang tentunya akan meningkatkan hubungan perusahaan dengan nasabah.

Corporate governance adalah sebuah sistem dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan menetapkan hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan (Wardayati, 2011: 7). Tujuannya adalah agar tidak terjadi kecurangan, seperti contohnya adalah korupsi. Jika perusahaan bersifat transparan, maka tidak akan terjadi kecurangan.

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance adalah tata kelola sebuah perusahaan untuk menciptakan hubungan yang baik antara perusahaan dengan pihak yang berkepentingan. Penciptaan hubungan yang baik juga berawal dari meningkatkan kinerja dalam perusahaan tersebut.

b. Prinsip-prinsip GCG

Menurut Tangkilisan (2003: 100), prinsip-prinsip good corporate governance adalah keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountabilitty), dan tanggung jawab (responsibility). 1) Prinsip keadilan (fairness)

Bahwa perusahaan dalam mengambil keputusan selalu memperhatikan kepentingan pemegang saham. Perusahaan juga memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas maupun stakeholders yang lainnya dari transaksi yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.

2) Prinsip transparansi (transparency)

Transparansi adalah meningkatkan keterbukaan kepada seluruh stakeholders tentang kinerja perusahaan secara teratur dan tepat waktu. Dalam mengambil keputusan, direksi dan jajaran perusahaan selalu berusaha untuk menerapkan transparansi ini kepada pihak yang berkepentingan.

3) Prinsip akuntabilitas (accountabilitty)

Prinsip akuntabilitas adalah adanya sistem pengendalian yang efektif yang berdasar atas distribusi dan keseimbangan kekuasaan antara anggota direksi, pemegang saham, komisaris, dan pengawas. Komisaris, direksi dan jajarannya wajib menjalankan usaha sesuai aturan yang berlaku.

4) Prinsip tanggung jawab (responsibility)

Prinsip tanggung jawab adalah perusahaan selain bertanggung jawab kepada komisaris, direksi dan jajarannya, perusahaan tersebut juga harus bertanggung jawab terhadap karyawan dan masyarakat. Perusahaan juga harus mematuhi hukum yang berlaku dan tanggap terhadap lingkungan sekitar perusahaan.

c. Manfaat GCG

Menurut Tangkilisan (2010: 272) penerapan GCG dalam sebuah korporasi sangat bermanfaat bagi korporasi, terutama untuk:

1) Meminimalisir kemungkinan terjadi benturan kepentingan semua pihak.

Disini semua pihak dilindungi kepentingannya. Jadi dengan adanya GCG kemungkinan terbenturnya kepentingan antar pihak itu kecil.

2) Mengarahkan dan mengontrol semua pihak dalam melaksanakan strategi-strategi perusahaan.

Masing-masing pihak diawasi terutama dari kinerja karyawan. Sekali ada penyelewengan dari dalam perusahaan tentu akan berakibat buruk terhadap kelangsungan perusahaan

3) Memperbaiki komunikasi dan informasi antar pihak.

Dengan adanya penerapan GCG maka komunikasi dan informasi antar pihak akan mengalir dengan baik. Terutama dalam hal ini adalah dalam penyampaian laporan keuangan. Saat disampaikan laporan keuangan tersebut, mengalirlah informasi dari pihak perusahaan dengan pihak yang membutuhkan laporan keuangan tersebut.

4) Meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Dengan adanya GCG tentu akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Hal ini tercapai dari peningkatan kinerja dari dalam perusahaan itu sendiri.

5) Meningkatkan kepercayaan investor.

Dengan prinsip-prinsip GCG maka akan meningkatkan kepercayaan investor. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat dari tanggung jawab bank untuk menginvestasikan dana dari investor berupa pengembalian yang disesuaikan dengan perjanjian di awal. 6) Menghasilkan kepuasan bagi semua pihak.

Saat informasi dari bank dapat diakses dengan mudah oleh stakeholders, keterbukaan dalam laporan keuangan, tanggung jawab perusahaan terhadap semua pihak yang berkepentingan itu

semua terlaksana maka bukan tidak mungkin stakeholders akan merasa puas. Kepuasan ini akan menimbulkan stakekeholders setia pada bank tersebut.

7) Dengan sendirinya menjaga kesinambungan korporasi atau perusahaan itu sendiri.

Dengan adanya GCG maka kesinambungan perusahaan tersebut akan terjaga. Perusahaan akan dinilai baik oleh masyarakat sekitar dan membuat nasabah dan semua pihak yang berkepentingan tidak akan berpaling ke bank lain.

4. Kepercayaan

a. Pengertian

Kepercayaan adalah pernyataan dalam batin atau lisan yang menggambarkan pengetahuan dan penilaian seseorang mengenai suatu gagasan atau hal (Schiffman dan Kanuk, 2008: 528). Pengetahuan dan penilaian terhadap suatu produk jika produk tersebut diketahui baik maka disitulah seseorang akan merasakan kepercayaan. Untuk mengaetahui nilai dari suatu produk, konsumen membutuhkan pengalaman tentang penggunaan produk tersebut.

Menurut pendapat Prasetijo dan Ihalaw (2005: 106) kepercayaan merupakan pengetahuan (cognition) dan persepsi yang diperoleh melalui kombinasi dari pengalaman langsung dengan objek sikap (attitude object) dan informasi terkait yang didapat dari berbagai sumber. Tidak hanya dengan pengalaman saja tetapi melalui informasi

yang diapat dari mana saja. Informasi tersebut menjadi pertimbangan dan membuat konsumen yakin atau percaya terhadap sesuatu produk.

Kepercayaan ialah suatu keadaan atau hubungan berdasarkan trusteeship, dimana suatu pihak pertama (trustor), menyerahkan kepada suatu pihak kedua (trustee), yang dipercayai untuk memegang suatu harta (property), baik berupa uang, efek (security), tanah, dan sebagainya beserta wewenang untuk mengurusnya demi suatu pihak ketiga (yang berhak menerima) menurut Yosodiningrat (2004: 322). Dalam hal ini sebagai contoh adalah saat nasabah menitipkan dananya untuk diolah bank, yang kemudian akan diterima suatu pengembalian berupa bagi hasil.

Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan merupakan pernyataan batin atas pengalaman langsung dalam menggunakan suatu produk. Selain dari pengalaman langsung, informasi yang didapat dari berbagai referensi juga membuat konsumen akan percaya.

b. Elemen Penting Kepercayaan

Beberapa elemen penting dari kepercayaan menurut Barnes (2003: 149) adalah:

1) Kepercayaan merupakan perkembangan dari pengalaman dan tindakan di masa lalu.

Dari pengalaman seseorang menggunakan produk, akan membuat konsumen tersebut menilai apakah produk yang

digunakan tersebut hasilnya sesuai yang dia inginkan atau tidak. Jiak memang ternyata sesuai dengan apa yang diinginkan, maka konsumen tersebut sudah dapat dikatakan percaya.

2) Watak yang diharapkan dari partner, seperti dapat dipercaya dan dapat diandalkan.

Hal yang terkandung dalam kepercayaan adalah berupa pengharapan dari partner mengenai suatu usaha yang dijalankan bersama. Tentunya sebagai nasabah kita sangat berharap bank dapat dipercaya dan diandalkan.

3) Kepercayaan melibatkan kesediaan untuk menempatkan diri dalam risiko.

Selain berharap terhadap partner bisnis kita, kepercayaan juga memaksa kita untuk terlibat dalam suatu keadaan jika kita mengalami risiko. Tidak hanya siap saja saat menerima pendapatan berupa keuntungan, tetapi juga siap untuk terlibat dalam risiko. 4) Kepercayaan melibatkan perasaan aman dan yakin pada diri

partner.

Saat kita sudah percaya pada partner, maka partner akan merasa aman dan yakin. Karena apa? Karena dalam jiwa partner sudah ada rasa tanggung jawab untuk menjaga amanah atau kepercayaan dari kita. Didorong juga oleh pengharapan kita terhadap hasil usaha yang dijalankan dengan partner.

c. Jenis-jenis Kepercayaan

Menurut Siswanto dan Sucipto (2008: 201) ada tiga jenis kepercayaan yang tercipta dalam hubungan organisasi meliputi: kepercayaan yang berbasiskan ketakutan, kepercayaan yang berbasiskan pengetahuan, dan kepercayaan yang berbasiskan identifikasi.

1) Kepercayaan yang berdasarkan ketakutan.

Kepercayaan jenis ini terjadi pada karyawan baru dengan pimpinan. Karyawan yang baru saja mendapat kepercayaan untuk bekerja pada suatu perusahaan akan merasa takut jika apa yang ia kerjakan akan bisa berakibat buruk yang mengurangi kepercayaan pimpinan terhadap karyawan baru tersebut.

2) Kepercayaan yang berdasarkan pengetahuan.

Kepercayaan ini merupakan kelanjutan dari kepercayaan yang berdasarkan ketakutan. Disini karyawan baru sudah mulai menyesuaikan diri dengan keadaan perusahaan. Dia mulai mempelajari sikap pimpinan, dari pengetahuan tentang sikap pimpinan inilah dia berhati-hati menjaga kepercayaan.

3) Kepercayaan yang berdasarkan identifikasi.

Kepercayaan ini berasal dari hubungan saling memahami keinginan dan hasrat masing-masing. Kepercayaan ini dapat tercapai melalui hubungan yang sudah tercipta cukup lama.

Dokumen terkait