• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori

Peranan bank sebagai lembaga keuangan tidak lepas dari masalah kredit. Bahkan kegiatan bank sebagai lembaga keuangan, pemberian kredit merupakan kegiatan utamanya. Perkreditan digunakan dalam bank konvensional sedangkan pembiayaan digunakan dalam bank syariah. Besarnya pembiayaan yang disalurkan akan menentukan keuntungan pada bank.

Menurut UU. No. 10 Tahun 1998, pengertian kredit adalah suatu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kepsekatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga."

Menurut Muljono (2007) dalam bukunya berjudul “Manajemen perkreditan bagi Bank komersiil” mendefinisikan bahwa kredit adalah

“kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan

suatu pinjamandengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati”.

Dalam membentuk kebijaksanaan pengkreditan yang baik akan memerlukan kerja sama yang erat dari semua pihak manajemen sesuai dengan porsnya masng-masing dalam mengelola informasi ekstern/intern untuk menjadikan suatu kebijaksanaan (Muljono, 2001). Adapun untuk menetapkan kebijaksanaan perkreditan tersebut harus diperlihatkan 3 asas pokok yaitu:

a. Asas likuiditas, yaitu suatu asas yang mengharuskan untuk tetap dapat menjaga tingkat likuiditasnya, karena suatu bank yang tidak likuid akibatnya akan sangat parah yaitu hilangya kepercayaan dari para nasabahnya atau dari masyarakat luas. Suatu bank dikatakan likuid apabila memenuhi beberapa kriteria antara lain:

1) Bank tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya.

2) Bank tersebut memiliki assets lainnya yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarannya. 3) Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash

assets baru melalui berbagai bentuk utang.

b. Asas solvabilitas, usaha pokok perbankan yaitu menerima simpanan dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit.

c. Asas rentabilitas, sebagaimana halnya pada setiap kegiatan usaha akan selalu mengharapkan untuk memperoleh laba baik untuk memeprtahankan eksistensinya maupun untuk keperluan mengembangkan dirinya.

Adapun faktor-faktor yang memepengaruhi kebijakan perkreditan yaitu:

1) Keadaan perekonomian (inflasi, kurs, suku bunga, jumlah uang beredar, export dll) dan perkembangan politik.

2) Peraturan-peraturan penguasa moneter yang ada.

3) Kemampuan bank yang bersangkutan dalam mengumpulkan dana dengan biaya yang relatif murah.

4) Volume permintaan kredit dari masyarakat bisnis. 5) Tingkat (besarnya) laba yang diharapkan.

6) Kemampuan manajemen bank itu sendiri.

7) Para saingan dari bank-bank/lembaga keuangan lainnya yang memasarkan jasa perkreditan.

2. Return On Asset (ROA)

Menurut Sawir (2005: 18), Return On Assets (ROA) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen perusahaan dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Alasan dari pencapaian laba perbankan tersebut dapat berupa kecukupan dalam memenuhi kewajiban terhadap pemegang

saham, penilaian atas kinerja pimpinan dan meningkatkan daya tarik investor untuk menanamkan modalnya.

Laba yang tinggi membuat bank mendapat kepercayaan dari masyarakat yang memungkinkan bank untuk menghimpun modal yang lebih banyak sehingga bank melakukan ekspansi pembiayaan.

Tingkat laba atau profitability yang diperoleh oleh bank ini biasanya diproksikan dengan Return On Asset (ROA). Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, maka standar ROA yang baik adalah sebesar 1,5% meskipun ini bukan suatu keharusan.

Rumus ini telah digunakan oleh Toto Prihadi (2008: 68) sebagai berikut:

3. Capital Adequacy Ratio (CAR)

Kekayaan suatu bank terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap yang merupakan penjamin solvabilitas bank, sedangkan dana (modal) bank dipergunakan untuk modal kerja dan penjamin likuiditas bank bersangkutan. Dana bank adalah sejumlah uang yang dimiliki dan dikuasai suatu bank dalam kegiatan operasionalnya (Sinungan,1997: 50).

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva

tertimbang menurut risiko yang dinyatakan dalam Capital Adequacy Ratio (CAR).

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank, seperti dana-dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain-lain (Dendawijaya, 2009: 121). Semakin tinggi CAR maka semakin besar pula sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan usaha dan mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran kredit.

Rumus ini telah digunakan oleh Kuncoro dan Suhardjono (2011: 248) yaitu:

4. Non Performing Financing (NPF)

Indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah nilai non performing loan (NPL), yang dalam terminologi bank syariah disebut non - perfoming financing (NPF). Menurut Rimadhani (2012: 9), Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF

adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet. Salah satu risiko usaha bank menurut Peraturan Bank Indonesia adalah risiko kredit, yang didefinisikan risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan

counterparty memenuhi kewajiban.

Menurut Antonio (2001: 4), semakin tinggi tingkat pembiayaan bermasalah maka akan menyebabkan tingkat permintaan pembiayaan oleh masyarakat turun.

Dalammemberikan pembiayaan, bank harus melakukan analisis terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah pembiayaan diberikan, bank wajib melakukan pemantauan terhadap penggunaan pembiayaan serta kemampuan dan kepatuhan debitur dalam memenuhi kewajiban. Jadi semakin kecil NPF maka pembiayaan murabahah semakin baik.

Menurut Rivai (2013:211), kriteria pembiayaan adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Kriteria Pembiayaan No Kualitas Pembiayaan Kriteria

1 Lancar a. Pembayaran angsuran pokok dan/atau bagi hasil tepat waktu b. Memiliki rekening yang aktif c. Bagian dari pembiayaan yang

dijamin dengan agunan tunai (cash colateral)

2 Perhatian Khusus a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil yang belum melampaui 90 hari

c. Mutasi rekening relatif aktif d. Jarang terjadi pelanggaran

terhadap kontrak yang diperjanjikan

e. Didukung oleh pinjaman baru 3 Kurang Lancar a. Terdapat tunggakan angsuran

pokok dan/atau bagi hasil b. Sering terjadi cerukan

c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah

d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari

e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur. f. Dokumentasi pinjaman yang

lemah

g. Pencadangan 15% dari kredit kurang-agunan

4 Diragukan a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil

b. Terdapat cerukan yang bersifat permanen

c. Terdapat wanprestasi lebih dari 180 hari

d. Terdapat kapitalisasi bunga

e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan maupun pengikatan jaminan f. Percadangan 50% dari kredit

diragukan-agunan

5 Macet a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru

c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar

d. Pencadangan 100% dari kredit macet-agunan

Penanganan pembiayaan bermasalah hanya dalam rangka bagaimana mengupayakan agar pembiayaan macet tersebut dapat kembali terutama dengan eksekusi jaminan yang ada. Pembiayaan yang sudah ada tanda kearah NPF, memerlukan perhatian agar tidak menjadi lebih buruk atau mendatangkan kerugian yang lebih besar.

Rumus ini telah digunakan oleh Rimadhani (2012: 9) sebagai berikut :

Kualitas pembiayaan bank akan dikatakan buruk apabila rasio NPF ini bernilai semakin tinggi. Karena dengan tingginya NPF, maka modal bank akan semakin terkikis dan menyebabkan bank harus menyediakan pencadangan yang lebih besar. Oleh karena itu pemantauan dari pihak bank sangat diperlukan setelah pembiayaan disalurkan dengan tujuan untuk meminimalisasikan resiko pembiayaan yang terjadi. Ketentuan dari Bank Indonesia bahwa bank harus menjaga rasio NPF-nya berada dibawah angka 5%.

5. Dana Pihak Ketiga (DPK)

Kemampuan bank memperoleh sumber dana yang diinginkan sangat mempengaruhi kelanjutan usaha bank. Dalam mencari sumber dana bank harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti kemudahan untuk memperolehnya, jangka waktu sumber dana serta biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh dana tersebut.

Menurut Kasmir (2006:64), dana pihak ketiga adalah dana yang dihimpun oleh bank yang berasal dari masyarakat, yang terdiri dari simpanan giro, simpanan tabungan dan simpanan deposito. Dana-dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata merupakan sumber Dana-dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank yang bisa mencapai 80% - 90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank (Dendawijaya, 2009:49).

Dana pihak ketiga tersebut selanjutnya digunakan untuk kegiatan operasional bank termasuk dalam hal penyaluran kredit. Dana yang diperoleh dari masyarakat luas. Sumber dana ini merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasi bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank jika mampu membiayai operasinya dari sumber dana ini (Kasmir, 2008: 47).

Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah

(Pasal 1) disebutkan bahwa, ”Simpanan adalah dana yang

dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS

berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk

lainnya yang dipersamakan dengan itu”.

Menurut Dahlan (2001:116),sumber utama dana bank (sumber tradisional bank) berasal dari:

a. Giro

Giro adalah simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.

b. Deposito Berjangka (Time Deposit)

Deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank. Sumber dana ini memiliki ciri-ciri pokok yaitu: jangka waktu penarikannya tetap. Pada umumnya jangka waktu jatuh tempo 1 bulan. 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan.

c. Tabungan (Saving Deposit)

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan dengan itu. Disamping itu sumber dana bank juga berasal dari modal sendiri dan sumber lainnya yang tidak termasuk di atas, diantaranya: Deposit on Call, Sertifikat Deposito, Call Money, KLBI.

Rumus ini telah digunakan oleh Kasmir (2006: 64) sebagai berikut:

6. Pembiayaan Murabahah

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

perbankan (pasal 1) disebutkan bahwa, “pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu

tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah mempunyai lima bentuk utama, diantaranya adalah; pembiayaan mudharabah (bagi hasil), pembiayaan musyarakah, pembiayaan murabahah, pembiayaan salam dan pembiayaan ijarah. Pembiayaan yang paling banyak diminati oleh masyarakat adalah pembiayaan murabahah (Muhamad, 2002:92).

Menurut Ascarya (2007:164), pembiayaan murabahah adalah penjualan barang oleh seseorang kepada pihak lain dengan pengaturan bahwa penjual berkewajiban untuk mengungkapkan kepada pembeli harga pokok dari barang dan margin keuntungan yang dimasukkan kedalam harga jual barang tersebut, pembayaran dapat dilakukan secara tunai maupun tangguh.

Perhitungan pembiayaan murabahah menurut PSAK 102 (2007) telah diatur penyajian pembiayaan murabahah dalam laporan keuangan sebagai berikut; piutang murabahah disajikan sebesar nilai

bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. Kemudian margin murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang piutang murabahah.

Dokumen terkait