• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teoritik

Pembiayaan secara luas berarti financing yang berarti pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupu dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah (Muhammad, 2002:260).

Berdasarkan UU no 7 tahun 1992 yang dimaksud pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu ditambah dengan sejumlah

bunga, imbalan atau pembagian hasil. Sedangkan menurut PP No.9 tahun 1995, tentang pelaksaan simpan pinjam oleh koperasi, pengertian pinjaman adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam meminjam anatara koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan disertai pembayaran sejumlah imbalan (Muhamad Ridwan, 2004:163).

2. Prinsip-prinsip Pembiayaan menurut Kasmir : hal 250 Prinsip analisis pembiayaan didasrkan pada rumus 5C, yaitu: a. Character

Yaitu sifat atau karakter nasabah pengambil pinjaman. b. Capacity

Yaitu kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan mengembalikan pinjaman yang diambil.

c. Capital

Yaitu besarnya modal yang diperlukan oleh peminjam. d. Colateral

Yaitu jaminan yang telah dimiliki yang diberikan peminjam kepada bank.

e. Condition

3. Tujuan analisis pembiayaan

Analisis pembiayaan memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum analisis pembiayaan adalah pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa, bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan tujuan khusus analisis pembiayaan menurut Muhammad (2002:261) adalah:

a. Untuk menilai kelayakan usaha calon peminjam

b. Untuk menekan resiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan c. Untuk menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak 4. Macam-macam Pembiayaan

a. Berdasarkan prinsip bagi hasil 1. Musyarakah

Musyarakah adalah kerjasama kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

2. Mudharabah

Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainya menjadi pengelola. Sedangkan keuntungannya dibagi yang dituangkan dalam kontrak, dan

apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus menanggung atas kerugian tersebut.

b. Berdasarkan prinsip sewa

Dalam syari’ah sewa disebut dengan ijarah yang artinya akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemiikan atas barang itu sendiri. Dalam konteks perbankan syari’ah ijarah adalah

lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya. c. Berdasarkan prinsip jual beli

Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.

Dilihat dari cara pengembaliannya sistem pembiayaan jual beli dapat dibagi menjadi dua yakni jual beli dibayar tangguh dan jual beli dibayar cicil.

1. Jual dibayar tangguh

a. Bai’ al murabahah

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. Dalam murabahah penjual menyebutkan harga pembelian baranga kepada pembeli, kemudian penjual mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu. Dalam perjanjian murabahah bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok, dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah keuntungan atau di

mark up.

b. Bai’ as salam

Definisi salam adalah akad pesanan barang yang disebutkan sifat-sifatnya, yang dalam majelis itu pemesan barang menyerahkan uang seharga barang pesanan yang barang pesanan tersebut menjadi tanggungan penerima pesanan.

c. Bai’ al istishna

Produk istishna meerupakan kontrak jual beli barang denan pesanan. Pembeli memesan barang kepada produsen baang, namun prodsen berusaha melalui orang lain untuk

membuat atau membeli barang tersebut sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.

d. Ijarah muntahiya bit tamlik

Merupakan akad perpaduan antara sewa dengan jual beli. Yakni sewa menyewa yang diakhiri dengan pembelian karena terjadi pemindahan hak.

2. Jual beli bayar cicilan

Dengan sistem ini anggota atau nasabah akan mengembaikan pembiayaan tersebut yakni harga pokok dan keuntungan dengan mengangsur sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan (Heri Sudarso, 2003:47).

3. Akad Ijarah Muntahiya bit tamlik (IMB)

Ijarah muntahiya bit tamlik (IMB) adalah perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa. Sifat kepemilikan inilah yang membedakan dengan ijarah biasa (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:118).

Ijarah muntahiya bit tamlik dalam penerapanya di dunia perbankan Indonenia lebih dikenal dengan sewa guna usaha atau leasing. Itu dapat dilihat dari kegiatan utama pada perusahaan sewa guna usaha yang bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-barang modal yang diinginkan oleh nasabah.

Sewa guna usaha syariah (IMB) diatur dalam Peraturan Ketua Badan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. 03/BL/2007 tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Peraturan Ketua Badan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. 04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan dalam perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Surat Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal 29 November 2007 tentang pernyataan DSN-MUI atas peraturan badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan.

Aturan Allah SWT menegaskan yang mengatur ijarah muntahiya bit tamlik :

¨@ymr&ur ª! $# yì ø‹t7ø9$# tP§



ymur (#4qt/Ìh



9$#

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275)

Dalam ayat ini kata Al Bai’ bersifat umum. Artinya semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash yang menjelaskan keharamannya.

Asas-asas dalam Hukum Perdata Islam yang digunakan di dalam sewa guna usaha syariah, yaitu:

a. Asas kebolehan

c. Asas pembawa manfaat dan menolak mudharat d. Asas kebajikan atau kebaiikan

e. Asas adil dan seimbang

f. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain g. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa h. Asas mengtur dan memberi petunjuk

i. Asas kebebasan berusaha

j. Asas beritikad baik dan dilindungi

k. Asas mendahulukan kewajiban daripada hak. 4. Perbedaan Leasing Syariah dengan Leasing Konvensional

a. Jenis-jenis sewa guna

1) Jenis-jenis sewa guna konvensional

Ada dua jenis dalam sewa guna usaha konvensional yaitu: a) Finance Lease (sewa guna usaha dengan hak opsi)

Adapun finansial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing).

Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut menjadi milik

penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian Cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam

finansial lease terdapat dua proses akad sekaligus, sewa sekaligus beli.

Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa beli. Leasing dalam tulisan ini dikhususkan pada pembahasan finansial leasing atau sewa beli.

b) Operating Lease (sewa guna usaha tanpa hak opsi)

Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewakan, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis ini berpaduan dengan konsep ijarah di dalam syariah Islam yang secara hukum Islam diperbolehkan dan tidak ada masalah (Kasmir, 2002:261).

2) Jenis-jenis sewa guna usaha syariah dilakukan berdasarkan:

a) Ijarah (tanpa hak opsi)

b) Ijarah Muntahiya bit tamlik (dengan hak opsi)

Pada dasarnya jenis sewa guna usaha yang diterapkan dalam sewa guna usaha syariah sama jenisnya dengan

yang diterapkan di sewa guna usaha konvensional namun penyebutannya yang berbeda (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:118).

b. Cara membagi keuntungan

Cara membagi keuntungan dalam sewa guna usaha konvensional sudah secara langsung ditentukan oleh peraturan yang berlaku yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing) pada paasal 14.

Sedangkan cara membagi keuntungan dalam sewa guna usaha syariah yaitu dapat ditentukan pada saat pembuatan perjanjian oleh kedua belah pihak yang masing masing pihak sudah menyepakatinya. Pola pembiayaan pada sistem syari’ah menggunakan sistem jual beli (murabahah) atau bagi hasil. Ijarah tanpa disertai dengan adanya opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewakan setelah selesai masa sewa (tidak dapat hak opsi diakhir masa leasing) sedangkan ijarah muntahia bit tamlik disertai adanya opsi pemindahan hak milik atas baranng yang disewa kepada penyewa setelah selesai mas sewa (mendapatkan hak opsi di akhir masa leasing).

5. Hak dan keajiban muajjir (pemberi sewa) dan musta’jir ( penyewa) Dalam ijarah muntahiya bit tamlik, hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) adalah:

a. Memperoleh bayaran sewa dari penyewa

b. Menarik objek ijarah muntahia bit tamlik apabila penyewa (musta’jir) tidak mampumembayar sewa sebagaimana diperjanjian.

c. Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek ijarah muntahia bit tamlik kepada penyewa lain yang mampu apabila penyewa (musta’jir) sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek ijarah muntahia bit tamlik atau memperpenjang masa sewa atau memberi calon penggantinya. Kewajiban perusahaan perusahaan pemberi sewa (muajjir) adalah: a. Menyediakan obyek ijarah muntahia bit tamlik yang disewakan. b. Menanggung biaya pemeliharaan obyek ijarah muntahiya bit

tamlik kecuali diperjanian lain.

c. Menjamin obyek ijarah muntahia bit tamlik tidak teredapat cacat dan dapat berfungsi secara baik.

Sedangkan hak penyewa (musta’ir) dalam ijarah muntahia bit tamlik adalah:

a. Menggunakan obyek ijarah muntahiya bit tamlik sesuai dengan persyaratan-persyaratn yang diperjanjikan.

b. Menerima obyek ijarah muntahia bit tamlik dalam keadaan baik dan siap dioperasikan.

c. Pada akhir mas sewa, memindahkan kepemilikan obyek ijarah muntahiya bit tamlik atau memperpanjang masa sewa, atau

mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilkan atas ijarah muntahiya bit tamlik

atau memperpanjang masa sewa.

d. Membayar sewa sesuai yang diperjanjikan. Kewajiban penyewa (musta’jir):

a. Membayar sewa sesuai yang diperjanjikan

b. Menjaga dan menggunakan objek ijarah muntahiya bit tamlik

sesuai yang diperjanjikan.

c. Tidak menyewakan kembali obyek ijarah muntahiya bit tamlik

kepada pihak lain.

d. Melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap objek

ijarah muntahiya bit tamlik.

6. Obyek dalam sewa guna usaha syari’ah

Obyek ijarah muntahiya bit tamlik adalah berupa barang modal yang memenuhi keuntungan sebagai berikut:

a. Obyek ijarah muntahiya bit tamlik merpakan milik perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir).

b. Manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang.

c. Manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir) d. Manfaatnya tidak dilarang oleh syari’at islam.

f. Spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatanya.

7. Ketentuan mengenai sewa guna usaha

Kegiatan sewa guna usaha / leasing secara resmi diperbolehkan beroprasi di Indonesia setelah keluar keputusan bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomer Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomer 32/M/SK/2/74 dan Nomor 30/Kpb/1/74 Tanggal 7 Februari 1974 tentang perizinan usaha leasing di Indonesia.

Wewenang untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh Menteri Keuangan berdasar Surat Keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.

Perkembangan selanjutnya adalah dengan keluarnya Kebijasaan Deregulasi 20 Desember 1988 (Pakdes 20 1988) yang mengatur tentang usaha leasing di Indonesia dan dengan keluarnya kebijaksanaan ini, maka ketentuan mengenai usaha leasing sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Kemmudian dalam Keppres Nomor 61 Tahun 1988 dan keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988 diperkenalkan adanya istilah pembiayaan yaitu kegiatan

pembiayaan dalam bentuk dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat luas.

Lembaga pembiayaan menurut ketentuan ini dimungkinkan untuk melakukan salah satu dari kegiatan pembiayaan seperti: a. Sewa guna usaha (leasing)

b. Modal ventura (venture capital) c. Anjak piutang (factoring)

d. Pembiayaan piutang (consumer finance) e. Kartu kredit (credit card)

Pemberian izin untuk melakukan usaha-usaha pembiayaan seperti diatas, terlebih dulu harus memperoleh izin dari Menteri Keuanagan.

8. Pihak-pihak yang terlibat

Ada beberapa pihak yang terlibat dalam pemberian fasilitas leaing dan masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajibanya. Masing-masing pihak yang dalam melakukan kegiatanya selalu bekerjasama dan sling berkaitan satu sama lain melalui kesepakatan yang dibuat bersama.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut:

a. Lessor

Merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal.

b. Lessee

Adalah nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang diinginkan.

c. Supplier

Yaitu pedagang yang menydiakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara lessors dengan lessee dan dalam hal ini

supplier juga dapat bertindak sebagai lessor. d. Asuransi

Merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang leasing.

9. Kegiatan leasing

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara satua perusahaan

leasing dengan perusahaan leasing lainya dapat berbeda. Di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tanggal 21 November 1991, kegiatan leasing dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:

a. Melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee

(finance lease)

b. Melakukan sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi bagi lessee

Ciri-ciri kedua kegiatan leasing seperti yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:

a. Kriteria untuk finance lease apabila suatu perusahaan leasing

memnuhi persyaratan:

1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha dan selama masa sewa guna usaha pertama kali,ditambah dengan nilai sisa barang yang dilease harus dapat menutupi harga perolehan barang modal yang diselesaikan dan keuntungan bagi pihak lessor.

2. Dalam perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai hak opsi bagi lessee.

b. Sedangkan kriteria untuk operating lease adalah memenuhi persyaratan seagai berikut:

1. Jumlah pembayaran selama masa leasing pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang dileaskan ditambah keuntungan bagi pihak lessor.

2. Didalam perjanjian leasing tidak memuat mengenai hak opsi bagi lessee.

Kemudian dalam praktiknya transaksi finance leasing dibagi lagi kedalam bentuk-bentuk sebagi berikut:

a. Direct finance lease

Transaksi ini dikenal juga dengan nama true lease. Dimana dalam transaksi ini pihak lessor membeli barang modal atas permintaan lessee dan sekaligus menyewagunakan barang

tersebut kepada lessee. Lessee dapat menentukan spesifikasi barang yang diinginkan termasuk penentuan harga dan supliernya. Oleh karena itu prosees pembelian yang ilakukan

lessor hanyalah unutuk memenuhi kebutuhan pihak lessee.

b. Sales dan lease back

Proses ini dilakukan dimana pihak lesseemenjual barang modalnya kepada lessor untuk dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut, antara lessee dengan lessor.

Metode ini biasannya digunakan untuk menabah modal kerja pihak lessee.

Sedangkan untuk oporating lease dimana pihak lessor sengaja membeli barang modal untuk kemudian dileaskan kepada pihak lessee. Biaya yang dikenakan kepada lessee adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh lessor berikut bunganya.

10. Jenis-jenis perusahaan leasing

Jenis-jenis perusahaan leasing dalam menjalankan kegiatanya dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu:

a. Independen leasing

Merupakan perusahaan leasing yang berdiri sendiri dan dapat sekaligus sebagai supplier atau membeli barang-barang modal dari supplier lain untuk dileaskan.

b. Captive lessor

Dalam perusahaan leasing, jenis ini produsen atau supplier

mendirikan parusahaan leasing dan yang mereka leaskan adalah barang-barang milik mereka sendiri. Tujuaan utamanya adalah untuk dapat meningkatkan penjualan, sehingga mengurangi penumukan barang di gudang atau toko.

c. Lease broker

Perusahaan jenis ini kinerjanya hanyalah mempertemukan keinginan lessee untuk memperoleh barang modal kepada pihak lessor untuk dileaskan. Jadi dalam hal ini lease broker

hanya sebagai perantara antara pihak lessor dengan pihak

lessee. 11. Perjanjian leasing

Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut ‘leasea grement”, dimana di dalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat antara kedua belah pihak (lessor dan

lessee).

Isi kontrak yang dibuat secara umum memuat: a. Nama dan alamat lessee

b. Jenis barang modal yang diinginkan

c. Jumlah atau nilai barang yang yang dileasingkan d. Syarat-syarat pembayaran

e. Syarat-syarat kepemilikan atau syarat lainya f. Biaya-biaya yang dikenakan

g. Sanksi-sanksi apabila lessee ingkar janji 12. Sanksi-sanksi

Seperti jenis pinjaman lainya, bahwa tidak semua pinjaman berjalan mulus atau berjalan sesuai prosedur yang ada, sekalipun sudah melalui prosedur yang benar. Hal ini disebabkan oleh banyak fakor. Begitu pula dengan perusahaan leasing jelas tidak semua barang modal yang dibiayai akan terlunasi sesuai rencana. Oleh karena itu perlu ada tindakan lebih lanjut bagi lessee yang lalai berupa ssanksi-sanksi yang telah disepakati.

Sanksi-sanksi yang diberikan pihak lessee apabila lessee

ingkar janji atau tidak memenuhi kewajiban kepada pihak lessor

sesuai perjanjian yang telah disepakati adalah sebagai berikut: a. Berupa teguran lisan supaya segera melunasi

b. Jika teguran lisan tidak diperhatikan, maka akan diberikan teguran tertulis

c. Dikenakan denda sesuai perjanjian

BAB III

Dokumen terkait