BAB I PENDAHULUAN
1.6 Kerangka Teoritis
Dari sejumlah penelitian yang telah dipaparkan di atas, penelitian tentang infotainment ini memakai teori simulasi yang dirumuskan oleh Jean Baudrillard. Teori ini dipakai karena diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk retorik yang digunakan dalam infotainment dan membantu untuk menganalisa mengapa bentuk-bentuk retorik itu yang dimanfaatkan sebagai model-model bahasanya. Di samping itu juga, melalui teori itu dapat diperoleh pemahaman yang lengkap dan mendalam mengenai paradigma budaya yang terbentuk akibat dari pemakaian bentuk-bentuk retorik tersebut.
Teori simulasi sebagaimana digagas Baudrillard berangkat dari analogi bahwa teritori mendahului peta. Artinya, peta dianggap sebagai representasi atau rujukan utama dari teritori itu sendiri. Namun dalam simulasi yang terjadi adalah sebaliknya, peta mendahului teritori. Hal inilah yang menyebabkan realitas sosial, politik, bahkan budaya, yang membentuk teritori dipandang bukan lagi sebagai cermin atau konsep yang memetakan kenyataan yang ada, melainkan telah digantikan oleh, mengutip Baudrillard, “model-model atas realitas yang tanpa acuan atau realitas, sebuah hiperreal.”32 Melalui model-model ini, keberadaan dan penampakan dari realitas tidak lagi berkaitan dengan apa yang disimulasikan. Sebab yang disimulasikan bukanlah realitas itu sendiri, akan tetapi tiruan dari realitas yang ditiru dalam bentuk model-model tertentu. Namun, model-model tiruan itu justru menjadi real dalam ruang yang dibuat seolah-olah nyata, tapi sesungguhnya semu. Jadi, antara yang nyata dan yang semu tidak dapat dibedakan lagi dengan jelas mengingat tipisnya batas-batas di antara keduanya. Itulah
32
J. Baudrillard (1988d), “Simulacra and Simulation” in M. Poster (ed. & intro.). Jean Baudrillard. Selected Writting, (Stanford: Stanford University Press), 166.
mengapa dalam simulasi sesuatu yang tampak real, atau sebaliknya imaginer, dapat tampil secara bersamaan sebagai realitas yang lebih real daripada realitas itu sendiri.
Dalam konteks ini, simulasi yang berasal dari kata Latin, simulare yang artinya membuat tiruan, bukan semata-mata perkara apa atau siapa yang ditiru, melainkan bahwa ada perbedaan yang tajam antara yang ditiru dengan penampakan aslinya.33 Artinya, simulasi (berpura-pura memiliki) yang berbeda dengan disimulasi (berpura-pura tidak memiliki) mampu menghasilkan sebentuk
simulacrum yang merupakan sebuah tiruan tanpa keaslian (a copy without
original). Namun dalam simulacrum jenis representasi yang dihasilkan melalui simulasi bukan hanya untuk kepentingan berdalih atau berpura-pura belaka, melainkan menciptakan semacam simptom-simptom yang mengabaikan atau menopengi, bahkan mengancam perbedaan antara yang “asli” dengan yang “palsu”, “yang real” dengan “yang imaginer”. Dengan kata lain, simulacrum
(bentuk jamak: simulacra) tidak sekadar dipahami sebagai image atau penampakan yang palsu atau menyamarkan kebenaran, tetapi justru menyembunyikan absennya kebenaran. Maka simulacrum menjadi kebenaran itu sendiri.
Penting untuk diketahui bahwa simulacrum yang merupakan hasil dari simulasi adalah (re)produksi penanda-penanda yang memberi efek real atau rujukan sebagai bayangan atau “alibi”. Namun “yang real” bagi Baudrillard hanyalah simulacrum atas “yang simbolik” dan bentuknya telah direduksi dan dipotong oleh berbagai tanda. Maka, dalam tatanan simulacra ada 4 klasifikasi
33
yang disusun secara spekulatif oleh Baudrillard.34 Tatanan pertama yang didominasi dari era Renaissance sampai dengan Revolusi Industri didasarkan pada hukum nilai alami dengan karakteristik imitasi (counterfeit). Tatanan kedua yang didominasi selama era industri didasarkan pada hukum nilai pasar dengan karakteristik ilusi (production). Tatanan ketiga yang didominasi masyarakat konsumsi di bawah perintah “hukum nilai struktural” dengan karakteristik simulasi (simulation). Ketiga tatanan itu menjadi alat-alat kontrol sosial sekaligus struktur kekuasaan yang menghasilkan berbagai relasi sosial berdasar disjungsi biner. Karena itu, pada tatanan pertama siklus pertukaran simbolik diputus atau dipotong menjadi gagasan tentang “yang real”. Sementara pada tatanan kedua dan ketiga, gagasan keaslian dihapus melalui serangkaian produksi industri yang tak terbatas dan berbagai makna serta objek tidak sekadar diproduksi, tetapi dibentuk pula oleh kemampuan reproduksinya.
Pada tataran ini, makna atau nilai yang dihasilkan lebih ditentukan oleh keterkaitannya dengan suatu model yang realitasnya telah dipengaruhi oleh
simulacrum. Di sinilah implosi makna melalui hiperrealitas terjadi sekaligus
menghilangkan “kedaulatan atas perbedaan” dengan terciptanya suatu ilusi yang disebut “realitas”.35 Dengan kata lain, realitas tidak selamanya menjadi real lantaran representasinya sudah tidak sesuai lagi dengan realitasnya. Hal ini merupakan akibat dari tercerabutnya tanda dari makna simboliknya yang membuat ilusi menjadi simulasi yang memikat dengan penampakan yang begitu menggoda. Godaan dalam bentuk simulasi inilah yang memungkinkan seduksi
34
K. Toffoleti (2011), Baudrillard Reframed. Interpreting Key Thinker for the Arts, (London-New York: I.B. Tauris).
35
G. Genosko (1994), Baudrillard and Signs. Signification Ablaze, (London & New York: Routledge).
terjadi dalam batas-batas yang melampaui representasi antara “yang asli” dan “yang palsu”, bahkan “yang benar” dan “yang salah” sekalipun. Maka melalui seduksi realitas yang ditiru dalam simulasi menjadi tidak dapat dibedakan lagi dengan realitas yang sesungguhnya karena realitas itu sudah benar-benar menjadi real seperti aslinya, bahkan tak jarang melebihinya.36 Realitas semacam ini dimungkinkan berkat reproduksi mekanis yang dilakukan melalui tranformasi seni dengan media visual. Dengan repoduksi yang melibatkan barang-barang kultural, terutama seni, seperti lukisan, foto, rekaman suara, bahkan film, simulasi itu sudah bukan semata-mata untuk membuat sesuatu menjadi terlihat dan dikenali, tetapi justru untuk membuat realitas menjadi semakin real dengan segenap image
yang dibangun melalui 4 tahap berturut-turut berikut ini.37 Pertama, ketika image
menjadi refleksi dari suatu realitas. Kedua, ketika image menopengi dan menyelewengkan realitas. Ketiga, ketika image menopengi absennya realitas. Keempat, ketika image tidak lagi berkaitan dengan realitas.
Berbagai image yang ditampilkan melalui keempat tahap itu memperlihatkan bagaimana realitas dibentuk dalam simulasi yang menciptakan
simulacra melalui kekuatan nilai tanda yang merupakan bagian dari sistem
simbolik. Nilai tanda yang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan atau bernilai guna dan berfungsi sebagai nilai tukar telah membuat realitas menjadi tampak berlebih-lebihan. Artinya, yang disebut real tidak lagi semata-mata dapat dimaknai dengan hukum nilai yang ada, tetapi sudah dipengaruhi oleh peniadaan atau penghapusan nilai sebagaimana terjadi dalam simulasi. Dalam hal ini, nilai
36
J. Baudrillard (1988c), “On Seduction” in M. Poster, Jean Baudrillard. Selected Writtings, (Stanford: Stanford University).
37
Baudrillard (1988d), op.cit., 170. Lihat juga, R. Appignanesi & Chris Garrat (1996),
tanda lebih ditentukan oleh kode-kode yang dihasilkan melalui simulacra dan “yang real” tidak mungkin dicapai kecuali dalam hiperrealitas. Dengan kata lain, penanda yang berfungsi untuk menandai suatu makna tertentu menjadi kosong atau tidak bermakna lagi karena telah digantikan oleh makna lain yang tersembunyi dalam penampakan yang lebih menggoda. Di sinilah seduksi bermain dalam hiperrealitas sebagai penanda kosong yang membuat realitas tidak dapat dikenali dan diketahui lagi lantaran telah menjadi simulacrum yang sesungguhnya. Dalam kondisi itu, ilusi sudah tidak ada relasi lagi dengan realitas sebab “yang imaginer” telah dikuasai oleh tanda-tanda yang tanpa realitas atau rujukan. Itulah mengapa image yang terbentuk dalam simulacrum menjadi sulit untuk dipakai menandai perbedaan antara representasi dan realitas sehingga makna yang dihasilkan selalu absen, bahkan dengan mudah ditopengi atau diselewengkan.
Untuk mengungkap mekanisme pembentukan image itu, teori retorika amat bermanfaat guna menjelaskan dengan bahasa macam apa realitas yang telah disimulasikan disusun dalam tatanan simulacra yang mampu menciptakan suatu hiperrealitas. Dalam konteks ini, teori retorik yang signifikan dan sekaligus relevan untuk membantu pengungkapan image yang dipakai sebagai bahasa dalam tayangan infotainment yang menjadi fokus penelitian ini adalah yang berkaitan dengan metafor dan metonimi sebagai sebuah tropus. Keduanya merupakan aspek penting yang tak terpisahkan dan berperan amat besar dalam mekanisme pembentukan image di media modern, termasuk televisi.
Tropus yang dalam retorika modern dikenal sebagai bahasa figuratif daripada sekadar bahasa literal38, diklasifikasikan dalam empat tropus utama (master tropes), yakni metafor, metonimi, synecdoche, dan ironi. Pengelompokan ini dilakukan oleh Petrus Ramus pada tahun 1549 dalam kajiannya terhadap retorika klasik dari Aristoteles, Quintilian, and Cicero melalui Arguments in Rhetoric Against Quintilian (Rhetoricae distinctiones in Quintilianum)39 dan dikembangkan oleh Giambattista Vico yang pada abad ke tujuh belas menuliskannya dalam The New Science.40 Kajian ini menandai bahwa “rhetoric not just as a method of persuading individuals, but as something deeper that assists individuals in “evaluating inter-relationships between discoveries”.”41 Maka, retorika modern yang menjadi sarana untuk memahami kehidupan sehari-hari melalui beragam tanda atau simbol yang diciptakan oleh media misalnya, lebih dipandang sebagai “elocution or style and delivery or pronunciation” daripada sekadar sebuah seni persuasif yang digunakan dalam retorika klasik.
Roman Jakobson menempatkan metafor dan metonimi sebagai dua jenis
tropus utama atau axis yang meski beroposisi secara biner, namun satu sama lain saling terkait dan menjadi mode dasar dari komunikasi makna yang menghasilkan imajinasi atau konotasi yang melampaui makna yang sesungguhnya. Menurut Jakobson, ““any linguistic sign involves two modes of arrangement”—
“combination” and “selection”.” Kedua mode itu diinspirasikan dari teori
Ferdinand de Saussure tentang “relasi-relasi sintagmatik dan asosiatif” yang
38
T. Hawkes (1972), Metaphor. (London: Methuen), 1.
39
P. Ramus (1986), Arguments in Rhetoric against Quintilian: Translation and Text of Peter Ramus's Rhetoricae distinctiones in Quintilianum (1549), transl. by Carole Newlands; introduction by J. J. Murphy, (DeKalb: IL).
40
G. Vico (1948), The New Science. 3rd Ed. Of 1744. Trans.Thomas Goddard Bergin and Max Harold Fisch. (Ithaca: Cornell UP).
41
C. Franklin (2009), “Peter Ramus: Signification in Rhetoric and Attack to Cicero”, IPDA
didefinisikan dalam “in praesentia” dan “in absentia”.42 Dari teori ini, Jakobson mengembangkan teori baru mengenai dua mode relasi dalam dua axis yang dikenal dengan axis paradigmatik dan axis sintagmatik. Axis yang pertama bersifat sinkronik, in absentia, spasial, dan merupakan sebuah pemilihan, kesamaan, metafor. Sedangkan axis yang kedua bersifat diakronik, in praesentia, temporal, dan merupakan sebuah penggabungan, keberlanjutan, metonimi. Dari sinilah konsep tentang metafor dan metonomi dibangun sebagai bagian dari pembentukan wacana yang berlangsung pada tataran semantik dan merupakan kajian terhadap
aphasia, yakni “a variety of problems with verbal expression, usually caused by brain damage”43 yang menjadi salah satu masalah penting dalam berbahasa atau berkomunikasi.
Metafor yang menghasilkan kesamaan (similarity) dari pemilihan (selection) atau penggantian (substitution) kata atau nama tertentu merupakan “one signified acting as a signifier referring to a different signified”.44 Dengan kata lain, metafor memberi makna baru terhadap kata atau nama yang menandai, bahkan melampaui, makna sebelumnya yang sudah ada. Itulah mengapa dalam metafor seolah-olah ada tanda atau simbol baru yang berfungsi mengalihkan makna yang sesungguhnya dari kata atau nama yang dimetaforikkan baik secara verbal maupun visual. Tanda atau simbol itulah yang secara paradigmatik menyediakan sejenis penanda (signifier) yang mampu memaknai kata atau nama yang ada dengan rujukan atau realitas yang berbeda. Maka metafor lebih diindikasikan
42
F. de Saussure (1966), Course in General Linguistics. Trans. Wade Baskin. (New York: McGraw-Hill), 123.
43
R. Jakobson (1971), “Two Aspects of Language and Two Types of Aphasic Disturbances” in R.Jakobson and M. Halle, Fundamentals of Language, (The Hague: Mouton).
44
D. Chandler (1995), Semiotics for Beginners. online version, (Wales: Aberystwyth University).
sebagai tanda yang bersifat ikonik dan cenderung mengambil bentuk-bentuk yang simbolik seperti sebuah puisi.
Sementara metonimi yang menghasilkan keterhubungan (contiguity) dari penggabungan (combination) atau penggusuran (displacement) kata atau nama tertentu menciptakan suatu konteks yang mengimplikasikan sebuah penggantian (substitution) sebab untuk akibat (cause for effect)45. Dalam konteks itu, metonimi menciptakan suatu relasi indexical yang merangkai keseluruhan makna dengan sebuah kata atau nama tertentu. Maka metonimi yang tidak memerlukan sesuatu yang bersifat imaginatif karena lebih berdasar pada pengalaman hidup sehari-hari menjadi lebih konkret dan fungsional untuk dipakai memaknai sesuatu secara keseluruhan meski hanya melalui kata atau nama tertentu saja. Itulah mengapa metonimi kerap dijadikan latar dari sebuah prosa yang mampu menghadirkan suatu peristiwa secara langsung dan natural.
Namun, sebagaimana dinyatakan Jakobson, meski metafor dan metonimi merupakan unsur penting dalam pembentukan wacana dalam tataran semantik46, keduanya, yang memiliki hubungan dengan dua tropus lainnya, yaitu synecdoche
dan ironi, juga berperan penting dalam konteks semiotik dan psikoanalitik. Dalam arti ini, baik metafor maupun metonimi telah digunakan sebagai sarana retorika modern untuk mengkaji bukan sekadar struktur teks dan maknanya, tetapi juga apa yang disebut Saussure sebagai “the role of signs as part of social life”47 atau yang oleh Jacques Lacan diklaim dengan “the unconscious is structured like a
45 Ibid., 130. 46 Jakobson (1971), op.cit., 110. 47 Chandler (1995), op.cit., 95.
language”.48 Kenyataan inilah yang menempatkan retorika modern dengan empat tropus utamanya, termasuk synecdoche dan ironi, sebagai salah satu teori penting dalam kajian sosial kemasyarakatan modern, terutama berkait dengan pembentukan tanda-tanda dan subjek kemanusiaannya. Maka, synecdoche yang kerap disebut sebagai bentuk khusus dari metonimi berfungsi untuk menggantikan kata atau nama dalam konteks eksternal “sebagian kecil untuk semua” atau “genus untuk spesies”, dan sebaliknya. Dalam media fotografi atau film, synecdoche
tampil dalam bentuk close up yang menjadi semacam “slice-of-life” dari apa yang ditampilkan.49 Maka synecdoche seperti menyediakan sebuah celah untuk diisi (“fill in the gaps”) yang secara langsung mengarahkan suatu penampilan, iklan rokok atau display barang misalnya, pada sesuatu yang ditargetkan tanpa perlu mengungkapkan secara keseluruhan. Sedangkan ironi yang disebut sebagai “the most radical of four main trope”50 mencerminkan sebuah pertentangan di mana penanda (signifier) yang menandai sesuatu secara ironik justru dikenali dari penanda lain yang menandakannya secara berbeda, bahkan bertolak belakang, meski tidak eksplisit. Jadi, dalam ironi seperti ada dissimilarity atau disjunction
yang seolah-olah tidak mengetahui sesuatu, tetapi dinyatakan dengan maksud yang sebaliknya. Kendati demikian, ironi tidak dapat disamakan dengan kebohongan.51 Sebab dalam ironi tidak ada intensi untuk menyatakan “kebenaran”, melainkan hanya untuk menunjukkan sesuatu yang bermakna
48
S. Rahimi (2009), “The Unconscious: Metaphor and Metonymy”, http://somatosphere.net/2009/04/unconscious-metaphor-and-metonymy.html.
49
Ibid., 103.
50
D. Chandler (2007), Semiotics. The Basics, Second Edition, (London & New York: Routledge), 134.
51
refleksif, objektif, atau bahkan skeptis. Maka tak jarang ironi hadir dalam bentuk humor atau sesuatu yang layak untuk ditertawakan.