SIMULASI (GOSIP) INFOTAINMENT
DALAM RETORIKA
IMAGE
(KEAIBAN) SELEBRITIS
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh:
Anicetus Windarto
106322014
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
MOTTO
KATA PENGANTAR
Penelitian yang merupakan tesis pada program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini adalah salah satu dari kajian budaya
media yang berupaya bukan sekadar mengamati dan mewaspadai dampak ironis
dari komodifikasi media komunikasi massal, khususnya televisi, tetapi juga
mencermati paradigma budaya seperti apa yang telah membentuk masyarakat dan
ingatannya dalam konteks modernisasi dan/atau globalisasi hidup sehari-hari.
Dengan lebih memperhatikan pada produk atau barang budaya dari televisi dalam
bentuk infotainment, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap dan
memaparkan bagaimana tayangan yang berpretensi untuk memberi informasi dan
hiburan kepada masyarakat itu hanya mampu melonggarkan ikatan-ikatan moral
atau immoral misalnya, tanpa menyediakan celah atau ruang untuk membentuk
wacana yang bukan sekadar apelatif, tetapi juga argumentatif, bahkan jika perlu
kontradiktif. Dalam konteks ini, wacana yang dibentuk melalui praktik atau teknik
retorika yang jelas memungkinkan pembicaraan dan penulisan terhadap realitas
yang sebelumnya tidak jelas dapat menjadi tidak membingungkan lagi. Karena
itu, penelitian yang bertujuan untuk mengenali dan memahami ketidakjelasan atau
kebingungan yang diakibatkan oleh teknologi informasi dan komunikasi modern
ini bertendensi untuk menganalisa hal dan masalah berikut ini.
Pertama, retorika seperti apa yang dimainkan dalam infotainment untuk
retorika itu disimulasikan dalam model-model realitas yang tidak dapat dibedakan
lagi batas-batas antara yang real dan virtual? Ketiga, paradigma macam apa yang
terbentuk dari simulasi yang hiperreal seperti itu? Ketiga hal dan masalah itu
menjadi titik tolak untuk mengkaji infotainment yang telah membentuk suatu
paradigma budaya dalam media komunikasi massal yang bukan sekadar
menghasilkan komodifikasi dalam bentuk tontonan yang mengibur dan
menguntungkan, melainkan juga simulasi realitas hidup sehari-hari yang tidak lagi
memiliki rujukan apa pun, kecuali “realitas” yang telah disimulasi itu sendiri, dan
berdampak ironis pada hilangnya fungsi hukum simbolik yang berperan penting
dalam pembentukan “etika” dan/atau “moralitas” masyarakat secara “sehat”.
Dalam penulisan tesis, termasuk selama studi di Program Magister Ilmu
Religi & Budaya, Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta, penulis telah
mendapat dukungan secara penuh dari Lembaga Studi Realino (LSR),
Yogyakarta. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Budi Susanto,
S.J. sebagai Direktur LSR yang telah memberi kesempatan studi lanjut yang juga
merupakan sebuah peluang emas bagi penulis untuk berkarya demi membangun
hidup keber(se)samaan. Juga untuk Sophia Wahyu Widiati, yang telah membantu
kelancaran selama studi dalam hal penyaluran bantuan finansial berupa
“beasiswa” dari LSR bagi penulis.
Dengan St. Sunardi, dan sesama mahasiswa IRB, terlebih angkatan 2010:
Benny, Mardison, Mando, Alwi, Lysis, Gintani, Zuhdi, Nana, Nelly, Pongkot,
Amsa, penulis telah mendapatkan beragam pengalaman dan pengetahuan tentang
kebudayaan dan kemanusiaan yang terbuka dan mendalam. Juga dari sejumlah
S.J., Hary Susanto, S.J., B. Hari Juliawan, S.J., A. Supraktiknya, Ishadi SK,
Katrin Bandel, Y. Devy Ardhiani, penulis menghaturkan terimakasih dan hormat
secara tulus. Tak lupa, penulis juga menghaturkan hormat pada A. Sudiarja, S.J.
yang telah memberi kepercayaan pada penulis untuk menempuh studi lanjut.
Tesis yang juga merupakan bagian dari proses pendewasaan akademik ini,
secara khusus penulis persembahkan pada Rosa, Paras dan Gelar yang telah
memberi perhatian selama penulisannya. Juga untuk ibunda tercinta yang telah
mendampingi dan memberi kepercayaan pada penulis untuk menjalani hidup
secara mandiri dan bertanggungjawab. Maka, semua hasil yang tertulis dalam
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mewaspadai bentuk-bentuk retorik
keaiban selebritis yang dikonstrukkan sebagai penanda utama dalam infotainment;
(2) memahami dan memaknai dengan jeli politik media berbasis teknologi
komunikasi dari realitas virtual (virtual reality) dan/atau virtualitas real (real
virtuality) yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk retorik keaiban selebritis dalam
infotainment dan; (3) mengungkap dan menyebar-luaskan paham dan aksi dari
paradigma budaya hasil kaji-ulang yang lebih manusiawi dan adil dari realitas
dan/atau virtualitas infotainment yang menginspirasikan gagasan tentang keaiban
selebritis.
Penelitian ini menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan mengingat
posisi televisi di Indonesia sejak tahun 1998 semakin memainkan peran yang
sedemikian menentukan bukan hanya dalam konteks perkembangan media massa,
tetapi juga berkait dengan komodifikasi bidang ekonomi, politik dan budaya
masyarakat pada umumnya seperti dalam Pilpres atau Pemilu DPR. Melalui
penelitian ini, diharapkan dapat dijelaskan mengapa dan bagaimana infotainment
menjadi sebagai salah satu komoditi unggulan dari industri televisi yang mudah
mengabaikan atau menopengi demokratisasi demi kebaikan bersama (bonum
commune).
Sumbangan utama dari penelitian ini adalah menawarkan cara pandang yang
berupaya untuk memahami dan menafsir serta mewaspadai tayangan infotainment
dengan pendekatan simulasinya Baudrillard. Artinya, penelitian ini berusaha
memperlihatkan realitas seperti apakah yang telah diciptakan melalui tayangan
infotainment dengan retorik keaiban selebritisnya dan bagaimana dampak ironis
ABSTRACT
This study is intended to: (1) become aware of celebrities rhetorical (im)morality
forms which are constructed as a (floating) signifier in infotainment; (2) understand and
interpreting the political media minutely based on communication technology of virtual
reality and/or real virtuality that is produced by celebrities rhetorical (im)morality forms
in infotainment; (3) recontruction and disseminate the understanding and action of
cultural paradigms based on the results of re-examine of reality and / or infotainment
virtuality which inspired the idea of the (im) morality celebrities.
This study is important and urgent to be carried out due to the position of
television in Indonesia that since 1998 it is increasingly play such a decisive role
hopefully for democratization. It is not only in the context of the development of mass
media, but also it is related to the economic, political and cultural society in general,
expecially in General Election. Through this study, it is expected to explain why and
how infotainment becomes one of the leading commodities in television industry which
mask or pervert the democratization for the sake of a common good (bonum commune).
The main contribution of this study is to offer a perspective that attempt to
understand, interpret and become aware of infotainment show by Baudrillard simulation
approach. This study attempts to describe the reality as what had been created through
the infotainment show by its celebrity’s rhetorical (im)morality and how ironic impact
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v
MOTTO... vi
KATA PENGANTAR...………...………...……. vii
ABSTRAK... x
ABSTRACT... xi
DAFTAR ISI... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 6
1.3 Tujuan penelitian... 7
1.4 Pentingnya Penelitian... 7
1.5 Tinjauan Pustaka... 11
1.6 Kerangka Teoritis... 18
1.7 Metode Penelitian... 27
1.8 Pengolahan Data... 28
BAB II INFOTAINMENT: KEAIBAN SELEBRITIS
DALAM SIMULASI GOSIP
2.1 “Peta” dan “Wilayah” Infotainment di Indonesia... 35
2.2 Keaiban Selebritis: Tabloidisasi yang Menghibur... 40
2.3 Simulasi Gosip sebagai Retorika Infotainment... 44
BAB III SIMULASI GOSIP INFOTAINMENT : MODEL-MODEL “REAL(ITAS)” KEAIBAN SELEBRITIS 3.1 Poligami Aa Gym: Model “Real(itas)” Ujian... 53
3.2 Resepsi Pernikahan Anang-Ashanty: Model “Real(itas)” Kemewahan... 61
3.3 Akhir Hayat Sudomo: “Real(itas)” Tanpa Model... 67
BAB IV RETORIKA KEAIBAN SELEBRITIS: HIPERREALITAS IMAGE DALAM INFOTAINMENT 4.1 Retorika Aib Poligami dalam Image “Ujian”... 74
4.2 Retorika Pesta tanpa Aib dalam Image Kemewahan... 90
4.3 Retorika Perkabungan tanpa Aib dalam Image “Nama Baik”... 97
4.4 Catatan Refleksif: Meretorik Ulang Keaiban Selebritis... 100
BAB V PENUTUP... 105
DAFTAR PUSTAKA... 111
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Pak, gosip!” Teriakan lantang yang keluar dari mulut anak-anak penulis ini bagai
dering peringatan kritis ketika melakukan penelitian tentang tayangan
infotainment pada bulan Maret-April 2012 lalu. Meski penelitian ini merupakan
bentuk “kegalauan” penulis terhadap dampak infotainment di televisi dalam
keluarga, namun penulis sendiri seolah merasa tak berdaya tatkala menyaksikan
anak-anak penulis tetap berada di sekitar televisi. Itulah mengapa penulis begitu
berhasrat melakukan penelitian terhadap budaya televisi, terutama yang berkaitan
dengan pembentukan konstruk dari wacana keaiban selebritis dalam infotainment.
Penting untuk dicatat bahwa saat ini ada tak kurang dari 116 tayangan
infotainment dalam seminggu.1 Hampir setiap stasiun televisi nasional menayangkan acara itu mulai pagi hari (pukul 05.30), siang hari (pukul 11.00)
hingga menjelang petang (pukul 17.00). Dari sepuluh stasiun televisi nasional,
tujuh di antaranya, yaitu RCTI, ANTV, Global TV, Indosiar, SCTV, Trans &
Trans TV, menyajikan dalam sehari rata-rata 15 sampai 20 tayangan infotainment.
RCTI misalnya, menayangkan Go Spot, Intens, Silet, Cek n Ricek. ANTV
menayangkan Seleb@seleb, Global TV menyuguhkan Hot Spot, Obsesi, Fokus
1
Selebriti. Indosiar menyiarkan Kiss, SCTV mengudara dengan Was Was, Halo
Selebriti, Hot Shot. Trans 7 menampilkan Selebrita Pagi dan Siang serta Trans
TV dengan Insert Pagi, Insert Siang, dan Insert Investigasi-nya.2
Gencarnya tayangan infotainment ini seakan-akan semakin tak terbendung
manakala berita-berita yang disuguhkan berkait dengan keaiban selebritis tertentu.
Menurut J.L. Borges, keaiban bagaikan “permainan sembrono dari seorang
pemuda pemalu yang tak berani mengarang cerita sehingga asyik-asyik sendiri
dengan memalsukan dan menyelewengkan kisah-kisah karya orang lain.”3 Sementara dari asal katanya, bahasa Arab, aib artinya cacat dan kekurangan.
Bentuk jamaknya adalah ‘uyub. Maka, sesuatu yang memiliki aib disebut dengan
ma`ib.4
Dengan demikian, masuk akal jika keaiban selebiritis yang sesungguhnya
memuat peristiwa hidup yang biasa-biasa saja secara tiba-tiba dapat menjadi
begitu menghebohkan ketika ditayangkan dalam infotainment. Kehebohan
ditunjukkan misalnya, lewat berita selingkuh, kawin-cerai, utang-piutang, bahkan
warisan atau hak asuh anak, yang diinfotainmentkan secara berulang-ulang.
Dengan kata lain, berita-berita yang bisa dialami oleh siapa saja dan terjadi di
mana saja melalui infotainment dikonstruk sebagai larangan yang direpresi
sebagai sesuatu yang dalam kebudayaan (masyarakat) Jawa dipandang sebagai
“ora ilok” (dan “kualat”-nya), tetapi dapat ditulis-ulang baik dalam bentuk oral
maupun visual. Merujuk pendapat H. M.J. Maier, penulisan atau penarasian
2
Lihat, Lampiran Tabel 1 Daftar Tayangan Infotainment di Stasiun Televisi Indonesia.
3
J.L. Borges (2006), Sejarah Aib, (Yogyakarta: LkiS), x.
4
macam ini menuntut kesekarangan dan/atau kesegeraan.5 Artinya, tanpa peduli pada masa lalu, bahkan masa depan, dari sebuah peristiwa, suatu kisah dapat
dibangun untuk dibaca sebagai pengalaman dan/atau teks yang tanpa batas akhir
sekaligus tanpa stabilitas dalam ingatan dan berpendapat.6 Dalam infotainment, konstruk ini menjadikan keaiban selebritis sebagai sesuatu yang dominan dan
memungkinkan siapapun dapat mengisahkan pengalaman diri manakala
berhadapan dengan berbagai peristiwa dan begitu menggoda untuk diungkap.
Pengungkapan inilah yang menimbulkan simulasi kenikmatan yang mampu
melampaui apa yang dinilai sebagai larangan khas Jawa atau “ora ilok”.
Tak heran, keaiban selebritis dalam infotainment laksana gosip atau rumor,
bahkan tak jarang menjadi ajang interogasi dan intrik, yang melimpah dan
merupakan bagian terbesar dari komunikasi dalam masyarakat. Sebagaimana telah
diamati oleh Benedict Anderson, hal itu merupakan tipe dari komunikasi yang
dikenal sebagai “ucapan langsung” (direct speech).7 Lantaran bersifat cair dan sementara, konstruk yang terbentuk tipe dari komunikasi ini memungkinkan untuk
diwacanakan sebagai komoditi. Artinya, tipe komunikasi yang lebih sering
berbentuk ngoko dan jarang bermakna “moralistik”, apalagi “optimistik”, itu
menjadi cenderung di-krama-kan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.8 Salah satunya melalui infotainment kepentingan media televisi untuk meningkatkan
nilai rating dan share menjadi alasan yang paling sah dalam
5
H. M.J. Maier (2005), “In Search of Memories – How Malay Tales Try to Shape History” dalam M. S. Zurbuchen, Beginning to Remember. The Past in The Indonesian Present, (Singapore: Singapore University Press), 109.
6
Ibid., 113. Lihat juga, J. T. Siegel (2001), “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno” dalam
Basis, No. 03-04, Tahun ke-50, Maret-April, 19.
7
Selain direct speech, ada juga symbolic speech (ucapan simbolik) yang berbentuk kartun, komik, iklan, film, bahkan monumen dan upacara publik. B. R. O’G Anderson (2000), Kuasa-Kata. Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Mata Bangsa), 327-333.
8
mengkomodifikasikan keaiban selebritis, baik secara skandalistik maupun
biasa-biasa saja. Komodifikasi inilah yang membuat keaiban selebritis mudah untuk
berkelit dari dan/atau diabaikan oleh mata sebagian besar penonton Indonesia.
Masuk akal jika, meski telah difatwa “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) yang masih percaya dengan
paham logosentris9, tontonan ini tetap berlangsung.10 Bahkan, kendati Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah memposisikan-ulang infotainment sebagai
tontonan “non-faktual”, keaiban selebritis tetap menjadi wacana yang tak bisa
lepas dari praktik-praktik komodifikasi di media.
Wacana keaiban selebritis yang dikomodifikasikan dalam infotainment
dapat diamati misalnya, dari kasus poligami Aa Gym (Yan Gymnastiar bin
Engkus Abdullah). Kasus yang menghebohkan ini sempat merusak citra ustadz
populer itu, terutama di mata kaum perempuan, karena telah mengakibatkan
cerainya Aa Gym dengan Teh Ninih (Ninih Muthmainnah) istri pertamanya pada
21 Juni 2011.11 Namun, kehebohan perceraian yang menempatkan posisi Teh Rini (Alfarini Eridani) sebagai istri pertama justru dikagetkan dengan rujuknya Aa
Gym dengan Teh Ninih yang memposisikannya sebagai istri kedua. Di sinilah
gosip yang beraroma keaiban selebritis diretorikakan dalam infotainment antara
Teh Ninih, Aa Gym dan Teh Rini.
9
“Fatwa MUI: "Infotainment" Haram!”,
http://oase.kompas.com/read/2010/07/28/01151141/“Fatwa MUI: Infotainment Haram” dan TB Ardi Januar (2009), “PBNU : Infotainment Haram”,
http://news.okezone.com/read/2009/12/25/337/288252/pbnu-infotainment-haram.
10
“Tantowi Yahya: Infotainment Tak Dilarang”, http://log.viva.co.id/news/read/164716-tantowi--80--keluhan-ke-kpi-soal-infotainment.
11
“Ini-Penyebab-Aa-Gym-Akhirnya-Bercerai”,
Penggosipan ini membuat wacana keaiban selebritis menjadi semakin
menggiurkan untuk dipertontonkan12 karena ada sesuatu yang ditutup-tutupi, tetapi menantang untuk dilihat. Hasrat itu memberi simulasi kenikmatan yang
membuat subjek mengalami proses “kemenubuhan” dengan segenap
pengindraannya. Dengan kata lain, tubuh menjadi “medium simulasi realitas
dramatis” yang bukan sekadar menghasilkan hasrat untuk mengintip, melainkan
juga hasrat untuk membangun ilusi yang menggiring pada, sebagaimana
dinyatakan Jean Baudrillard, sebuah hiperrealitas.13 Di sini batas antara yang real dengan yang virtual terlampau tipis untuk dibedakan. Akibatnya, hanya yang
simbolik yang dominan dan berperan dalam membentuk simulacra14 yang disesaki dengan berbagai kode dan mode seperti tampak dalam media televisi.
Tak heran, pengalaman mengintip dan berilusi menjadi bentuk lain dari
penetrasi dunia luar ke dalam diri yang berlangsung secara dominan melalui indra
penglihatan. Indra inilah yang dianggap sebagai indra yang paling sosial karena
membantu untuk mengungkapkan diri kepada yang lain. Tetapi, indra ini jugalah
yang seringkali menutup kemungkinan indra-indra yang lain untuk tampil. Inilah
tirani visualitas yang menciptakan arena “dominasi yang luar biasa dari melihat
atas mendengarkan”15. Masih ditambah lagi, arena ini dibentuk dengan rasa estetik yang populer. Artinya, realitas yang dihadirkan tidak semata-mata bersifat
dramatik dan/atau akrobatik, tetapi juga fatalistik. Masuk akal jika ketika
menonton tayangan infotainment, orang selalu ingin mencari dan menanti sesuatu
12
N. Postman (1995), Menghibur Diri Sampai Mati (Mewaspadai Media Televisi), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan).
13
J. Baudrillard (1998d), “Simulacra and Simulation” dalam M. Poster (ed. & intro.), Jean Baudrillard. Selected Writting (Stanford: Stanford University Press).
14
Ibid., 164.
15
yang lain. Seakan-akan ada ketakutan akan kekosongan yang tak pernah
tergantikan meski yang disaksikan dalam infotainment adalah sesuatu yang
diulang-ulang, bahkan sudah tuntas.
Dalam konteks ini, keaiban selebritis selalu menggoda untuk diarenakan
dalam fenomena “ngegosip”. Arena yang sudah lama ada dalam masyarakat ini
dihadirkan kembali melalui infotainment untuk membicarakan berbagai
pengalaman yang sama dan diretorikkan secara simulatif. Dalam penelitian ini,
konstruk dari keaiban selebritis yang dibangun melalui simulasi dan membuatnya
tampil lebih menarik dalam infotainment merupakan tema pokok yang diamati
sebagai bagian khas dari budaya televisi.
1.2 Rumusan Masalah.
Dengan latar belakang seperti itu, beberapa permasalahan yang ingin dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bentuk-bentuk retorik macam apa yang dikonstrukkan secara dominan
sebagai penanda utama dalam infotainment keaiban selebritis?
2. Bagaimana bentuk-bentuk retorik itu ditampilkan secara audio-visual
dalam infotainment keaiban selebritis mengingat tipisnya batas-batas
antara realitas tiruan (virtual reality) dengan tiruan realnya (real
virtuality)?
3. Paradigma budaya seperti apa yang terbentuk dari realitas tiruan
dan/atau tiruan real dalam infotainment keaiban selebritis yang melulu
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mewaspadai bentuk-bentuk retorik yang dikonstrukkan secara dominan
dalam infotainment keaiban selebritis.
2. Memahami dan memaknai dengan jeli politik media berbasis teknologi
komunikasi dari realitas virtual (virtual reality) dan/atau virtualitas real
(real virtuality) yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk retorik keaiban
selebritis dalam infotainment.
3. Mengungkap dan menyebar-luaskan paham dan aksi dari paradigma
budaya hasil kaji-ulang dari realitas dan/atau virtualitas infotainment
keaiban selebritis.
1.4 Pentingnya Penelitian
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat posisi televisi di
Indonesia sejak tahun 1998 semakin memainkan peran yang sedemikian
menentukan bukan hanya dalam konteks perkembangan media massa, tetapi juga
berkait dengan bidang ekonomi, politik dan budaya masyarakat pada umumnya.
Hal ini dapat dilihat dari pengaruh faktor kepemilikan media misalnya, yang
selalu tercatat sebagai pemasok belanja iklan terbesar dalam industri media.
Masuk akal jika konglomerat media seperti PT Media Nusantara Citra (MNC)
yang mengoperasikan tiga stasiun televisi nasional, yakni: RCTI, Global TV dan
MNC TV dan sejumlah televisi lokal, yaitu: Deli TV, Lampung TV, Minang TV,
UTV (Batam), Indonesia Music TV (Bandung), PRO TV (Semarang), BMS TV
(Denpasar), SUN TV (Makassar), MGTV (Magelang), SKY TV (Palembang),
TAZ TV (Tasikmalaya), menjadi pemimpin utama dalam bisnis media dengan
mencetak pendapatannya di tahun 2012 sebesar 6, 09 milyar.16 Dari sejumlah stasiun televisi yang ada,17 konglomerasi media yang dimiliki Hary Tanoesoedibyo telah menjadi pusat perhatian lantaran langkah-langkah politiknya
yang cukup mengejutkan dan serba tak terduga. Sebagaimana telah dikabarkan
secara luas, pemilik MNC TV itu telah mengundurkan diri dari Partai Nasional
Demokrat (Nasdem) milik Surya Paloh yang menguasai Media Group dengan
Metro TV-nya dan dengan diam-diam menyelinap ke Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura) milik mantan Jenderal Wiranto.18 Dengan langkah-langkah ini, menjadi jelas bahwa media memiliki kekuatan sebagai perpanjangan tangan manusia (the
extension of man) sebagaimana dinubuatkan Marshall McLuhan19, termasuk bagi sejumlah partai politik yang sedang mendandani diri untuk tampil pada pesta
demokrasi atau Pemilu (Pemilihan Umum) di tahun 2014.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dijelaskan mengapa dan bagaimana
infotainment menjadi salah satu komoditi unggulan atau bentuk komodifikasi
utama dari industri televisi. Gencarnya kabar tentang penawaran saham
perusahaan media milik Bakrie Group, yaitu PT Viva Media Asia yang menaungi
stasiun televisi ANTV dan TV One serta portal berita vivanews.com, dengan harga
USD 1,5 miliar, baik kepada Chairul Tanjung maupun Hary Tanoesoedibjo
16
Raras Cahyafitri (2013), “Strong audience footing boosts MNC’s income ads”,
http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/22/strong-audience-footing-boosts-mnc-s-income-ads.html.
17
Lihat, Lampiran Tabel 2 Kelompok Kepemilikan Media di Indonesia.
18
“Hary Tanoe quits Nasdem”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/21/hary-tanoe-quits-nasdem.html dan ”Businessman Hary Tanoesoedibjo join Hanura”,
http://www.thejakartapost.com/news/2013/02/17/businessman-hary-tanoesoedibjo-join-hanura.html.
19
membuktikan bahwa industri ini masih dianggap amat kompetitif.20 Meski hanya menayangkan berita-berita yang remeh-temeh seperti perselingkuhan,
kawin-cerai, atau sekadar rutinitas hidup sehari-hari dari para selebritis, namun sulit
untuk dibantah bahwa realitas yang dihadirkan lewat tayangan itu tak kalah
sensasionalnya dibanding acara-acara televisi yang lain. Dengan kata lain,
infotainment sepertinya mampu mengkonstruk realitas yang seakan-akan lebih
real dari realitas yang sebenarnya. Hal ini merupakan hasil dari konstruk atau
pembentukan realitas yang mampu menyamarkan, atau bahkan menghilangkan,
tanda-tanda yang dijadikan rujukan dari realitas yang sesungguhnya. Penyamaran
dan/atau penghilangan inilah yang memungkinkan infotainment tampil sebagai
realitas yang hiper tanpa ada hypen (-) yang menghubungkan atau
membedakannya sekalipun.21 Dengan konstruk itu, infotainment kerapkali dipandang sebagai sebuah common sense yang mengandaikan apa yang
ditayangkan adalah realitas yang secara empiris sudah ada dalam kehidupan
sehari-hari lantaran secara bawaan ada dalam pikiran atau gagasan. Itulah
mengapa tidak sedikit pihak-pihak yang merasa dirugikan, atau bahkan “diteror”
sedemikian rupa oleh tayangan infotainment sehingga mereka merasa seperti
berada dalam situasi yang tak berdaya dan terasing. Dalam situasi seperti ini,
infotainment agaknya hanya mampu menolong melonggarkan ikatan-ikatan antara
yang real dengan yang virtual. Pendek kata, infotainment sekadar menayangkan
20
“Chairul Tanjung Akui Akan Beli TVOne-ANTV dan Vivanews”,
http://jogja.tribunnews.com/2013/03/29/chairul-tanjung-akui-akan-beli-tvone-antv-dan-vivanews/; A. Fitriadi (2013), “Hary Tanoesoedibjo Segera Miliki TV One?”
http://politik.kompasiana.com/2013/02/20/mnc-akan-beli-tv-one--535440.html; D. Rachmat Kusuma (2013), “TVone Cs Mau Dijual? Anindya Bakrie: Semua Masih Spekulasi”,
http://finance.detik.com/read/2013/06/05/125846/2265452/6/tvone-cs-mau-dijual-anindya-bakrie-semua-masih-spekulasi.
21
kisah-kisah dari dunia selebritis yang sublim atau tak berbentuk, apalagi terukur,
dalam retorika keaiban selebritis.
Sumbangan utama dari penelitian ini adalah menawarkan cara pandang yang
berupaya untuk memahami dan menafsir serta mewaspadai infotainment keaiban
selebritis. Artinya, infotainment yang selama ini ditayangkan dalam retorika
keaiban selebritis telah menyebarkan gagasan tentang hiper-realitas yang
mengaburkan batas antara yang real dengan yang virtual sekaligus
menampilkannya secara natural. Apalagi dengan dukungan teknik retorika sebagai
gaya bicara dan tulis yang jelas, infotainment justru mampu menampilkan segala
sesuatunya menjadi tidak jelas atau membingungkan. Di sini tayangan yang
dikonstruk dengan memanfaatkan teknologi kamera22, termasuk teropong, pesawat, kereta api, yang berperspektif “jelas dan aman (distinct and safe), di
balik kaca,”23 ternyata mampu melonggarkan ikatan-ikatan antara derau (sound) dan suara (voice), antara kata (word) dan perbuatan (deed)24. Itulah mengapa penelitian ini bermaksud untuk mengkaji ulang konstruk dari infotainment yang
memungkinkan keaiban selebritis diretorikkan sebagai sebuah realitas yang virtual
22
Keunggulan dari kamera adalah mampu menangkap dan menggambarkan emosi, keadaan, tempat serta waktu secara lebih jelas melalui teknik-teknik yang menjadi penanda dan memberi petanda terhadap segala sesuatu. Close-up misalnya, yang ditandai dengan wajah dari orang tertentu menjadi tanda dari sebuah keintiman. Sementara, medium-shot yang hanya menampilkan bagian setengah badan menunjukkan hubungan yang bersifat personal. Long-shot sebagai setting dan karakter dari sebuah objek memperlihatkan konteks dan jarak yang diobjekkan. Full-shot dengan seluruh badan objek menampilkan hubungan sosial yang ada. Selain itu, sudut pandang kamera juga turut menentukan penampakan dari gambar dan suara yang ditampilkan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pan-down (kamera mengarah ke bawah) menandakan kekuasaan atau kewenangan. Pan-up (kamera mengarah ke bawah) menunjukkan kelemahan atau pengecilan. Dolly-in (kamera bergerak ke dalam) memperlihatkan observasi atau fokus tertentu. Fade-in (gambar tampak di layar) dan Fade-out
(gambar menghilang di layar) mencerminkan permulaan dan penutupan. Cut (perpindahan gambar) menandai kesinambungan atau ketertarikan. Wipe (gambar terhapus dari layar) merupakan sebuah kesimpulan. Lihat, A. Asa Berger (2005), Media Analysis Technique, (California: Sage Publications).
23
Mrázek, (2006), op.cit., 164.
24
dan menempatkannya sebagai sebuah virtualitas yang real. Melalui kaji ulang ini,
diharapkan dapat dideteksi paradigma budaya seperti apa yang terbangun melalui
infotainment dengan retorik keaiban selebritisnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian pionir tentang budaya televisi telah dihasilkan oleh
John Fiske25 dan John Hartley26. Keduanya merupakan peletak dasar dari kajian budaya televisi yang telah memberi kerangka pemikiran secara otentik dan
sistematis bagaimana dan mengapa budaya televisi begitu kuat membayangi hidup
sehari-hari masyarakat. Baik Fiske maupun Hartley, mampu menjelaskan bahwa
budaya televisi adalah teks yang dominan dalam masyarakat dan
memprasyaratkan kesenangan yang sebelumnya luput dari perhatian banyak
orang. Budaya itu sangat masuk akal untuk direproduksi dari masa ke masa meski
hanya menghasilkan gaya hidup yang amat banal. Bahkan budaya yang
menikmatkan juga sekaligus memuakkan ini menjadi tak terbantahkan meski tak
tertanggungkan sebagai ritual dalam hidup sehari-hari.
Melalui penelitian-penelitian itu, dapat dipahami dan disadari lebih dalam
mengapa televisi masih bertahan sebagai barang kultural yang layak untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Meski kenyataannya, tak sedikit kajian dan temuan
yang menempatkan televisi sebagai “musuh” bagi masyarakat, namun konstruk
atau produksi barang kulturalnya masih tetap dinikmati dengan berbagai cara dan
rasa. Di sinilah sumbangan dari penelitian-penelitian ini bahwa budaya televisi
bukan semata-mata teknik untuk menciptakan kesenangan, melainkan juga seni
25
J. Fiske (1987), Television Culture: Popular Pleasures and Politics, (London: Methuen & Co. Ltd).
26
untuk mengkonstruk realitas melampaui kesenangan yang selama ini dikonsumsi
baik secara menyenangkan maupun tidak menyenangkan.
Keunikan dari penelitian Fiske adalah pada kajiannya yang memperlakukan
televisi sebagai sebuah “teks”. Artinya, Fiske mengkaji perbedaan lapisan-lapisan
makna dan isi dari barang kultural bernama televisi itu. Melalui kajiannya, Fiske
ingin menunjukkan bahwa para penonton tidak hanya sekadar mengkonsumsi
berbagai produk yang ditawarkan di televisi, tetapi justru membaca dan
menafsirnya sebagai teks. Maka, dengan kajiannya yang menggunakan
pendekatan semiotik Fiske menolak gagasan umum bahwa “penonton” adalah
massa yang tidak kritis karena mereka memiliki latar belakang sosial dan identitas
yang khas.
Sedangkan Hartley berupaya merekonseptualisasi televisi sebagai media
transmodern dan menciptakannya sebagai media pengajaran kultural yang lintas
geografis dan komunikasi budaya. Melalui kajiannya yang bersifat historis,
Hartley memfokuskan penelitiannya pada acara-acara televisi yang disiarkan
dalam bentuk dokumenter dengan menganalisis dampak kulturalnya. Terinspirasi
dari Richard Hoggart yang melakukan kajian berjudul The Uses of Literacy,
Hartley mengkaji-ulang peranan televisi dalam mempromosikan pengajaran
kultural melalui media transmodern yang direpresentasikan melalui
“democratainment” dan “do-it-yourself citizenship”.
Sementara, penelitian yang berkait secara tematik dengan infotainment
pernah dilakukan Vissia Ita Yulianto27. Dalam penelitian ini yang berjudul “Mengonsumsi Gosip: Redomestikasi Perempuan Indonesia”, dipaparkan
27
bagaimana praktik konsumsi gosip dalam infotainment di televisi telah
membentuk ulang wacana domestikasi perempuan di Indonesia. Dengan
memberikan gambaran awal tentang infotainment di Indonesia, praktik konsumsi
gosip dilihat sebagai bentuk domestikasi baru terhadap politik kebudayaan yang
berorientasi pada perempuan. Dengan kata lain, gosip yang terlanjur dijadikan
identitas bagi kaum perempuan Indonesia mampu dimanfaatkan oleh media
massal, seperti televisi, untuk menjadikannya sebagai komoditi.
Penelitian yang amat komprehensif dan mendalam ini mampu menjelaskan
mengapa praktik konsumsi gosip melalui infotainment di televisi begitu dominan
dalam hidup sehari-hari masyarakat, khususnya kaum perempuan, di Indonesia.
Bagaimana pula dominasi itu ditanggapi oleh kaum perempuan yang mau tidak
mau terdomestifikasi sebagai objek kultural yang dibangun melalui infotainment.
Namun sayangnya, penelitian itu belum sampai pada tataran kekuatan objek
kultural yang telah mendomestikasi ulang wacana keperempuanan sebagai subjek
yang mengkonsumsi gosip. Artinya, penelitian itu justru memfetiskan wacana
keperempuanan karena hanya berhenti pada masalah praktik konsumsinya, bukan
pada soal kekuatan yang membuat orang mengkonsumsi barang tertentu, termasuk
infotainment. Persoalan ini menjadi penting mengingat barang yang dikonsumsi
itu tidaklah netral, atau tidak berdiri di sana sebelum ada konsumsi. Tetapi, barang
itu sudah ada dalam ingatan setiap orang, bahkan membayangi seluruh
kegiatannya. Dengan demikian, barang itu pada dasarnya memiliki kekuatan
seduksi atau menggoda yang mampu menembus ke dalam benak siapapun juga,
Maka, untuk dapat memahami dan menafsir seberapa luas dan dalam barang
itu membentuk kemanusiaan masing-masing, diperlukan pengukuran yang lebih
bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Dengan kata lain, melalui rasa (taste)
daripada akal (rational), kekuatan barang itu mampu merasuki kekosongan dalam
hidup sehari-hari yang selalu tak pernah mampu merepresentasikan realitas yang
ada. Itulah mengapa rasa yang dibangun melalui infotainment di televisi selalu
bersifat menggoda dan sekaligus mengedukasi, mereedukasi, mengajari dan
melatih setiap orang untuk mempraktikkan gosip. Inilah implikasi metodologis
yang lolos dalam penelitian ini, sehingga gagal untuk menerjemahkan komunitas
rasa yang membentuk ulang domestikasi terhadap kaum perempuan di Indonesia.
Penelitian lain dengan tema serupa juga pernah dilakukan oleh H. Pudjo
Santosa dengan judul “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di
Televisi”.28 Dalam penelitian ini Santosa menunjukkan bahwa para penonton infotainment tak bisa lepas dari praktik-praktik komodifikasi yang dikerjakan
melalui simulasi dan tabloidisasi di televisi. Itulah mengapa apa yang ditayangkan
dalam infotainment seakan-akan selalu siap untuk ditonton oleh siapa saja yang
membutuhkan sumber informasi agar tetap dapat bergosip. Dengan informasi
itulah, mereka yang selama ini menjadi penonton infotainment dianggap dapat
memperoleh kejelasan atas segala sesuatu yang tidak jelas melalui televisi.
Padahal dalam kenyataannya justru menunjukkan hal yang sebaliknya dan
lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap hal itu seolah-olah
membiarkan, bahkan terkesan cuci tangan.
28
H. Pudjo Santosa (2005), “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi”, Disertasi
Selain itu, Subkhi Ridho juga pernah meneliti infotainment sebagai
imajinasi yang disukai, dibenci dan dikritik oleh kalangan aktivis perempuan di
Yogyakarta dengan judul “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang
Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan
Perempuan Yogyakarta.”29 Permasalahannya, Ridho yang “mencangkok” metode penelitian dari Ien Ang tentang para penonton opera sabun di Belanda seperti
kehilangan kepercayaan diri untuk menunjukkan bahwa hasil penelitiannya adalah
otentik. Selain karena berbeda topik kajiannya, Ridho tampak terlalu yakin bahwa
aktivis perempuan yang berideologi populis mustahil untuk mengkonsumsi
budaya televisi yang remeh-temeh dan tak jarang menyesatkan. Di sinilah tesisnya
yang secara tematik relatif menarik justru seperti “dikoloni” oleh kajian Ang yang
telah mampu memaparkan bahwa budaya massa yang dibentuk oleh televisi telah
mendominasi kehidupan setiap orang yang menontonnya tanpa memandang jenis
kelamin, pendidikan, atau kelas sosial tertentu. Alih-alih ingin membuktikan
“kebenaran” dari kajian Ang, tesis ini justru terperangkap dalam femininasi yang
oleh Ang disebut sebagai ideologi populis yang dituduh membungkam kekritisan.
Andai tesis ini mampu melangkah lebih jauh melampaui tiga kategorisasi
penonton yang dihasilkan Ang, mungkin akan ditemukan “kebenaran” lain yang
bukan sekadar membenarkan kedigdayaan budaya massa, tetapi menempatkannya
sebagai “wilayah” yang menjadi prasyarat bagi dominannya budaya televisi.
Budaya itulah yang memungkinkan infotainment dijadikan komoditas tontonan
yang bukan semata-mata mampu memberi kepuasan, tetapi juga mendramatisir
29
S. Ridho (2010), “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta”,
keaiban selebritis yang dijadikan tragedi sedemikian rupa sehingga dapat
membangkitkan rasa ingin tahu meski hanya sekilas.
Sedangkan Mulharnetti Syas meneliti infotainment dengan judul “Relasi
Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi Budaya Televisi
pada Program Infotainment”.30 Melalui penelitiannya itu, Syas menemukan bahwa tayangan infotainment dianggap terlalu berlebihan. Hal itu ditunjukkan dalam
proses produksi infotainment yang tidak sepenuhnya mengikuti etika jurnalistik
dan kerap dimotori keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Masuk akal
jika dari 49 program yang ditayangkan oleh 11 stasiun televisi, kecuali TVRI,
infotainment hanya menayangkan hal-hal yang mempergunjingkan urusan rumah
tangga yang sarat perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan orangtua serta anak
yang selalu mendapatkan rating yang tinggi. Maka bukan kebetulan jika relasi
kekuasaan yang terbentuk melalui infotainment lebih dipengaruhi oleh etika
kapitalis daripada prinsip kebenaran, klarifikasi, independen, dan proporsional
dalam pemberitaan.
C.B. Bambang Kukuh Christono Adi pernah pula mengkaji soal budaya
televisi yang dikemas dalam acara hiburan yang menghadirkan Inul sebagai
subject matter yang kontroversial berjudul “Siaran Televisi sebagai Produksi
Budaya: Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang Ditayangkan oleh
Stasiun Trans TV”.31 Disebut kontroversial karena kemunculannya di pentas musik Indonesia telah memberi suasana yang menimbulkan dukungan dan
30
M. Syas (2010), “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment”, Disertasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Jakarta.
31
penolakan. Pihak yang mendukung terhadap penyanyi dangdut itu berpandangan
bahwa penampilan Inul biasa-biasa saja dan sama sekali tidak bertentangan
dengan masalah etika dan moral. Sementara pihak yang menolak menilai Inul
hanya menjual tubuhnya daripada suaranya dan karena itu tidak layak tampil
sebagai penyanyi dangdut yang musiknya terlanjur dimitoskan beraroma
keagamaan. Maka dengan acara itu, figur Inul yang kontroversial ingin
direproduksi sebagai sosok yang tidak hanya mengekploitasi wacana
kebertubuhan lewat goyang “ngebor”-nya, melainkan justru demi membangun
wacana lain yang dapat mempopulerkan musiknya.
Dalam penelitiannya, Adi mampu menunjukkan bagaimana acara “Rindu
Inul” dibentuk dan dijadikan komoditi hiburan lewat televisi. Artinya, acara itu
bukan semata-mata merupakan bentuk keprihatinan terhadap seni yang
dipinggirkan, tetapi justru adalah sebuah konstruksi dan produksi atas seni yang
dikomoditikan sebagai hiburan popular. Di sini penelitian Adi mampu
menggemakan apa yang dikontruksi dan diproduksi sebagai komoditi hiburan itu
dengan paparan data yang lengkap dan memikat. Namun data yang demikian itu
gagal untuk dieksekusi karena tidak mampu memperlihatkan nilai guna dari
popularisasi seni yang berakibat pada komodifikasi yang menciptakan parodi.
Inilah yang menyebabkan kajian terhadap produksi budaya yang dihasilkan
melalui siaran televisi pada acara “Rindu Inul” ini tersesat dalam wacana ekonomi
yang hanya berhenti pada soal barang komoditinya, belum sampai pada barang
1.6 Kerangka Teoritis
Dari sejumlah penelitian yang telah dipaparkan di atas, penelitian tentang
infotainment ini memakai teori simulasi yang dirumuskan oleh Jean Baudrillard.
Teori ini dipakai karena diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai
bentuk-bentuk retorik yang digunakan dalam infotainment dan membantu untuk
menganalisa mengapa bentuk-bentuk retorik itu yang dimanfaatkan sebagai
model-model bahasanya. Di samping itu juga, melalui teori itu dapat diperoleh
pemahaman yang lengkap dan mendalam mengenai paradigma budaya yang
terbentuk akibat dari pemakaian bentuk-bentuk retorik tersebut.
Teori simulasi sebagaimana digagas Baudrillard berangkat dari analogi
bahwa teritori mendahului peta. Artinya, peta dianggap sebagai representasi atau
rujukan utama dari teritori itu sendiri. Namun dalam simulasi yang terjadi adalah
sebaliknya, peta mendahului teritori. Hal inilah yang menyebabkan realitas sosial,
politik, bahkan budaya, yang membentuk teritori dipandang bukan lagi sebagai
cermin atau konsep yang memetakan kenyataan yang ada, melainkan telah
digantikan oleh, mengutip Baudrillard, “model-model atas realitas yang tanpa
acuan atau realitas, sebuah hiperreal.”32 Melalui model-model ini, keberadaan dan penampakan dari realitas tidak lagi berkaitan dengan apa yang disimulasikan.
Sebab yang disimulasikan bukanlah realitas itu sendiri, akan tetapi tiruan dari
realitas yang ditiru dalam bentuk model-model tertentu. Namun, model-model
tiruan itu justru menjadi real dalam ruang yang dibuat seolah-olah nyata, tapi
sesungguhnya semu. Jadi, antara yang nyata dan yang semu tidak dapat dibedakan
lagi dengan jelas mengingat tipisnya batas-batas di antara keduanya. Itulah
32
mengapa dalam simulasi sesuatu yang tampak real, atau sebaliknya imaginer,
dapat tampil secara bersamaan sebagai realitas yang lebih real daripada realitas itu
sendiri.
Dalam konteks ini, simulasi yang berasal dari kata Latin, simulare yang
artinya membuat tiruan, bukan semata-mata perkara apa atau siapa yang ditiru,
melainkan bahwa ada perbedaan yang tajam antara yang ditiru dengan
penampakan aslinya.33 Artinya, simulasi (berpura-pura memiliki) yang berbeda dengan disimulasi (berpura-pura tidak memiliki) mampu menghasilkan sebentuk
simulacrum yang merupakan sebuah tiruan tanpa keaslian (a copy without
original). Namun dalam simulacrum jenis representasi yang dihasilkan melalui
simulasi bukan hanya untuk kepentingan berdalih atau berpura-pura belaka,
melainkan menciptakan semacam simptom-simptom yang mengabaikan atau
menopengi, bahkan mengancam perbedaan antara yang “asli” dengan yang
“palsu”, “yang real” dengan “yang imaginer”. Dengan kata lain, simulacrum
(bentuk jamak: simulacra) tidak sekadar dipahami sebagai image atau
penampakan yang palsu atau menyamarkan kebenaran, tetapi justru
menyembunyikan absennya kebenaran. Maka simulacrum menjadi kebenaran itu
sendiri.
Penting untuk diketahui bahwa simulacrum yang merupakan hasil dari
simulasi adalah (re)produksi penanda-penanda yang memberi efek real atau
rujukan sebagai bayangan atau “alibi”. Namun “yang real” bagi Baudrillard
hanyalah simulacrum atas “yang simbolik” dan bentuknya telah direduksi dan
dipotong oleh berbagai tanda. Maka, dalam tatanan simulacra ada 4 klasifikasi
33
yang disusun secara spekulatif oleh Baudrillard.34 Tatanan pertama yang didominasi dari era Renaissance sampai dengan Revolusi Industri didasarkan pada
hukum nilai alami dengan karakteristik imitasi (counterfeit). Tatanan kedua yang
didominasi selama era industri didasarkan pada hukum nilai pasar dengan
karakteristik ilusi (production). Tatanan ketiga yang didominasi masyarakat
konsumsi di bawah perintah “hukum nilai struktural” dengan karakteristik
simulasi (simulation). Ketiga tatanan itu menjadi alat-alat kontrol sosial sekaligus
struktur kekuasaan yang menghasilkan berbagai relasi sosial berdasar disjungsi
biner. Karena itu, pada tatanan pertama siklus pertukaran simbolik diputus atau
dipotong menjadi gagasan tentang “yang real”. Sementara pada tatanan kedua dan
ketiga, gagasan keaslian dihapus melalui serangkaian produksi industri yang tak
terbatas dan berbagai makna serta objek tidak sekadar diproduksi, tetapi dibentuk
pula oleh kemampuan reproduksinya.
Pada tataran ini, makna atau nilai yang dihasilkan lebih ditentukan oleh
keterkaitannya dengan suatu model yang realitasnya telah dipengaruhi oleh
simulacrum. Di sinilah implosi makna melalui hiperrealitas terjadi sekaligus
menghilangkan “kedaulatan atas perbedaan” dengan terciptanya suatu ilusi yang
disebut “realitas”.35 Dengan kata lain, realitas tidak selamanya menjadi real lantaran representasinya sudah tidak sesuai lagi dengan realitasnya. Hal ini
merupakan akibat dari tercerabutnya tanda dari makna simboliknya yang
membuat ilusi menjadi simulasi yang memikat dengan penampakan yang begitu
menggoda. Godaan dalam bentuk simulasi inilah yang memungkinkan seduksi
34
K. Toffoleti (2011), Baudrillard Reframed. Interpreting Key Thinker for the Arts, (London-New York: I.B. Tauris).
35
terjadi dalam batas-batas yang melampaui representasi antara “yang asli” dan
“yang palsu”, bahkan “yang benar” dan “yang salah” sekalipun. Maka melalui
seduksi realitas yang ditiru dalam simulasi menjadi tidak dapat dibedakan lagi
dengan realitas yang sesungguhnya karena realitas itu sudah benar-benar menjadi
real seperti aslinya, bahkan tak jarang melebihinya.36 Realitas semacam ini dimungkinkan berkat reproduksi mekanis yang dilakukan melalui tranformasi seni
dengan media visual. Dengan repoduksi yang melibatkan barang-barang kultural,
terutama seni, seperti lukisan, foto, rekaman suara, bahkan film, simulasi itu
sudah bukan semata-mata untuk membuat sesuatu menjadi terlihat dan dikenali,
tetapi justru untuk membuat realitas menjadi semakin real dengan segenap image
yang dibangun melalui 4 tahap berturut-turut berikut ini.37 Pertama, ketika image
menjadi refleksi dari suatu realitas. Kedua, ketika image menopengi dan
menyelewengkan realitas. Ketiga, ketika image menopengi absennya realitas.
Keempat, ketika image tidak lagi berkaitan dengan realitas.
Berbagai image yang ditampilkan melalui keempat tahap itu
memperlihatkan bagaimana realitas dibentuk dalam simulasi yang menciptakan
simulacra melalui kekuatan nilai tanda yang merupakan bagian dari sistem
simbolik. Nilai tanda yang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan atau
bernilai guna dan berfungsi sebagai nilai tukar telah membuat realitas menjadi
tampak berlebih-lebihan. Artinya, yang disebut real tidak lagi semata-mata dapat
dimaknai dengan hukum nilai yang ada, tetapi sudah dipengaruhi oleh peniadaan
atau penghapusan nilai sebagaimana terjadi dalam simulasi. Dalam hal ini, nilai
36
J. Baudrillard (1988c), “On Seduction” in M. Poster, Jean Baudrillard. Selected Writtings, (Stanford: Stanford University).
37
Baudrillard (1988d), op.cit., 170. Lihat juga, R. Appignanesi & Chris Garrat (1996),
tanda lebih ditentukan oleh kode-kode yang dihasilkan melalui simulacra dan
“yang real” tidak mungkin dicapai kecuali dalam hiperrealitas. Dengan kata lain,
penanda yang berfungsi untuk menandai suatu makna tertentu menjadi kosong
atau tidak bermakna lagi karena telah digantikan oleh makna lain yang
tersembunyi dalam penampakan yang lebih menggoda. Di sinilah seduksi bermain
dalam hiperrealitas sebagai penanda kosong yang membuat realitas tidak dapat
dikenali dan diketahui lagi lantaran telah menjadi simulacrum yang
sesungguhnya. Dalam kondisi itu, ilusi sudah tidak ada relasi lagi dengan realitas
sebab “yang imaginer” telah dikuasai oleh tanda-tanda yang tanpa realitas atau
rujukan. Itulah mengapa image yang terbentuk dalam simulacrum menjadi sulit
untuk dipakai menandai perbedaan antara representasi dan realitas sehingga
makna yang dihasilkan selalu absen, bahkan dengan mudah ditopengi atau
diselewengkan.
Untuk mengungkap mekanisme pembentukan image itu, teori retorika amat
bermanfaat guna menjelaskan dengan bahasa macam apa realitas yang telah
disimulasikan disusun dalam tatanan simulacra yang mampu menciptakan suatu
hiperrealitas. Dalam konteks ini, teori retorik yang signifikan dan sekaligus
relevan untuk membantu pengungkapan image yang dipakai sebagai bahasa dalam
tayangan infotainment yang menjadi fokus penelitian ini adalah yang berkaitan
dengan metafor dan metonimi sebagai sebuah tropus. Keduanya merupakan aspek
penting yang tak terpisahkan dan berperan amat besar dalam mekanisme
Tropus yang dalam retorika modern dikenal sebagai bahasa figuratif
daripada sekadar bahasa literal38, diklasifikasikan dalam empat tropus utama (master tropes), yakni metafor, metonimi, synecdoche, dan ironi. Pengelompokan
ini dilakukan oleh Petrus Ramus pada tahun 1549 dalam kajiannya terhadap
retorika klasik dari Aristoteles, Quintilian, and Cicero melalui Arguments in
Rhetoric Against Quintilian (Rhetoricae distinctiones in Quintilianum)39 dan dikembangkan oleh Giambattista Vico yang pada abad ke tujuh belas
menuliskannya dalam The New Science.40 Kajian ini menandai bahwa “rhetoric not just as a method of persuading individuals, but as something deeper that
assists individuals in “evaluating inter-relationships between discoveries”.”41 Maka, retorika modern yang menjadi sarana untuk memahami kehidupan
sehari-hari melalui beragam tanda atau simbol yang diciptakan oleh media misalnya,
lebih dipandang sebagai “elocution or style and delivery or pronunciation”
daripada sekadar sebuah seni persuasif yang digunakan dalam retorika klasik.
Roman Jakobson menempatkan metafor dan metonimi sebagai dua jenis
tropus utama atau axis yang meski beroposisi secara biner, namun satu sama lain
saling terkait dan menjadi mode dasar dari komunikasi makna yang menghasilkan
imajinasi atau konotasi yang melampaui makna yang sesungguhnya. Menurut
Jakobson, ““any linguistic sign involves two modes of arrangement”—
“combination” and “selection”.” Kedua mode itu diinspirasikan dari teori
Ferdinand de Saussure tentang “relasi-relasi sintagmatik dan asosiatif” yang
38
T. Hawkes (1972), Metaphor. (London: Methuen), 1.
39
P. Ramus (1986), Arguments in Rhetoric against Quintilian: Translation and Text of Peter Ramus's Rhetoricae distinctiones in Quintilianum (1549), transl. by Carole Newlands; introduction by J. J. Murphy, (DeKalb: IL).
40
G. Vico (1948), The New Science. 3rd Ed. Of 1744. Trans.Thomas Goddard Bergin and Max Harold Fisch. (Ithaca: Cornell UP).
41
C. Franklin (2009), “Peter Ramus: Signification in Rhetoric and Attack to Cicero”, IPDA
didefinisikan dalam “in praesentia” dan “in absentia”.42 Dari teori ini, Jakobson mengembangkan teori baru mengenai dua mode relasi dalam dua axis yang
dikenal dengan axis paradigmatik dan axis sintagmatik. Axis yang pertama bersifat
sinkronik, in absentia, spasial, dan merupakan sebuah pemilihan, kesamaan,
metafor. Sedangkan axis yang kedua bersifat diakronik, in praesentia, temporal,
dan merupakan sebuah penggabungan, keberlanjutan, metonimi. Dari sinilah
konsep tentang metafor dan metonomi dibangun sebagai bagian dari pembentukan
wacana yang berlangsung pada tataran semantik dan merupakan kajian terhadap
aphasia, yakni “a variety of problems with verbal expression, usually caused by
brain damage”43 yang menjadi salah satu masalah penting dalam berbahasa atau berkomunikasi.
Metafor yang menghasilkan kesamaan (similarity) dari pemilihan (selection)
atau penggantian (substitution) kata atau nama tertentu merupakan “one signified
acting as a signifier referring to a different signified”.44 Dengan kata lain, metafor memberi makna baru terhadap kata atau nama yang menandai, bahkan
melampaui, makna sebelumnya yang sudah ada. Itulah mengapa dalam metafor
seolah-olah ada tanda atau simbol baru yang berfungsi mengalihkan makna yang
sesungguhnya dari kata atau nama yang dimetaforikkan baik secara verbal
maupun visual. Tanda atau simbol itulah yang secara paradigmatik menyediakan
sejenis penanda (signifier) yang mampu memaknai kata atau nama yang ada
dengan rujukan atau realitas yang berbeda. Maka metafor lebih diindikasikan
42
F. de Saussure (1966), Course in General Linguistics. Trans. Wade Baskin. (New York: McGraw-Hill), 123.
43
R. Jakobson (1971), “Two Aspects of Language and Two Types of Aphasic Disturbances” in R.Jakobson and M. Halle, Fundamentals of Language, (The Hague: Mouton).
44
sebagai tanda yang bersifat ikonik dan cenderung mengambil bentuk-bentuk yang
simbolik seperti sebuah puisi.
Sementara metonimi yang menghasilkan keterhubungan (contiguity) dari
penggabungan (combination) atau penggusuran (displacement) kata atau nama
tertentu menciptakan suatu konteks yang mengimplikasikan sebuah penggantian
(substitution) sebab untuk akibat (cause for effect)45. Dalam konteks itu, metonimi menciptakan suatu relasi indexical yang merangkai keseluruhan makna dengan
sebuah kata atau nama tertentu. Maka metonimi yang tidak memerlukan sesuatu
yang bersifat imaginatif karena lebih berdasar pada pengalaman hidup sehari-hari
menjadi lebih konkret dan fungsional untuk dipakai memaknai sesuatu secara
keseluruhan meski hanya melalui kata atau nama tertentu saja. Itulah mengapa
metonimi kerap dijadikan latar dari sebuah prosa yang mampu menghadirkan
suatu peristiwa secara langsung dan natural.
Namun, sebagaimana dinyatakan Jakobson, meski metafor dan metonimi
merupakan unsur penting dalam pembentukan wacana dalam tataran semantik46, keduanya, yang memiliki hubungan dengan dua tropus lainnya, yaitu synecdoche
dan ironi, juga berperan penting dalam konteks semiotik dan psikoanalitik. Dalam
arti ini, baik metafor maupun metonimi telah digunakan sebagai sarana retorika
modern untuk mengkaji bukan sekadar struktur teks dan maknanya, tetapi juga
apa yang disebut Saussure sebagai “the role of signs as part of social life”47 atau yang oleh Jacques Lacan diklaim dengan “the unconscious is structured like a
45
Ibid., 130.
46
Jakobson (1971), op.cit., 110.
47
language”.48 Kenyataan inilah yang menempatkan retorika modern dengan empat tropus utamanya, termasuk synecdoche dan ironi, sebagai salah satu teori penting
dalam kajian sosial kemasyarakatan modern, terutama berkait dengan
pembentukan tanda-tanda dan subjek kemanusiaannya. Maka, synecdoche yang
kerap disebut sebagai bentuk khusus dari metonimi berfungsi untuk menggantikan
kata atau nama dalam konteks eksternal “sebagian kecil untuk semua” atau “genus
untuk spesies”, dan sebaliknya. Dalam media fotografi atau film, synecdoche
tampil dalam bentuk close up yang menjadi semacam “slice-of-life” dari apa yang
ditampilkan.49 Maka synecdoche seperti menyediakan sebuah celah untuk diisi (“fill in the gaps”) yang secara langsung mengarahkan suatu penampilan, iklan
rokok atau display barang misalnya, pada sesuatu yang ditargetkan tanpa perlu
mengungkapkan secara keseluruhan. Sedangkan ironi yang disebut sebagai “the
most radical of four main trope”50 mencerminkan sebuah pertentangan di mana penanda (signifier) yang menandai sesuatu secara ironik justru dikenali dari
penanda lain yang menandakannya secara berbeda, bahkan bertolak belakang,
meski tidak eksplisit. Jadi, dalam ironi seperti ada dissimilarity atau disjunction
yang seolah-olah tidak mengetahui sesuatu, tetapi dinyatakan dengan maksud
yang sebaliknya. Kendati demikian, ironi tidak dapat disamakan dengan
kebohongan.51 Sebab dalam ironi tidak ada intensi untuk menyatakan “kebenaran”, melainkan hanya untuk menunjukkan sesuatu yang bermakna
48
S. Rahimi (2009), “The Unconscious: Metaphor and Metonymy”, http://somatosphere.net/2009/04/unconscious-metaphor-and-metonymy.html.
49
Ibid., 103.
50
D. Chandler (2007), Semiotics. The Basics, Second Edition, (London & New York: Routledge), 134.
51
refleksif, objektif, atau bahkan skeptis. Maka tak jarang ironi hadir dalam bentuk
humor atau sesuatu yang layak untuk ditertawakan.
1.7 Metode Penelitian
Dengan kerangka seperti di atas, penelitian ini dilakukan secara kualitatif
terhadap isi dari tayangan infotainment yang terkonstruksi dalam wacana keaiban
selebritis. Karena menyangkut soal isi, penelitian ini mengambil data-data dari
infotainment di televisi dengan cara merekamnya secara langsung. Proses
perekaman ini dilakukan selama bulan Maret hingga Mei tahun 2012. Dari
berbagai infotainment yang direkam, penelitian ini akan memfokuskan pada
kasus-kasus yang diwacanakan sebagai keaiban selebritis. Namun kasus-kasus
yang dikaji dalam penelitian ini hanya berpusat pada tiga jenis saja. Pertama,
kasus yang merupakan skandal biasa seperti kawin-cerai, selingkuh, rebutan harta
waris, tapi ketika diberitakan dalam infotainment, kasus itu menjadi gosip yang
menghebohkan dalam masyarakat. Kedua, kasus yang juga adalah skandal biasa,
namun tidak menjadi gosip yang menghebohkan lantaran skandal itu seakan-akan
telah diselesaikan, bahkan hilang begitu saja, ketika sesuatu yang dianggap
mampu merasionalisasikannya sebagai sebuah common sense. Ketiga, kasus yang
tidak sempat diberitakan dalam infotainment, meskipun mengandung daya khaos
yang luar biasa, sehingga kasus itu tak pernah digosipkan dalam masyarakat
kendati benar-benar ada.
Tiga jenis kasus itu menjadi data-data primer dalam penelitian ini. Artinya,
melalui tiga jenis kasus itu, penelitian ini bermaksud untuk mengukur kekuatan
subjek di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Data-data sekunder berupa
berita-berita infotainment di media baik cetak maupun on-line dipakai sebagai
pendukung dalam penelitian. Dengan kata lain, data-data itu digunakan untuk
melengkapi pengolahan data dalam penelitian ini, sehingga dapat memperkuat
kajian analitis terhadap komodifikasi infotainment melalui wacana keaiban
selebritis.
1.8 Pengolahan Data
Dari data-data yang dikumpulkan, penelitian ini menggunakan pendekatan
simulacra dan simulasi terhadap barang komoditi dalam bentuk infotainment.
Melalui pendekatan ini, infotainment akan dikaji ulang dengan mencermati
hiperealitas macam apa yang telah dihasilkan dari barang komoditi yang telah
menseduksi kebutuhan orang akan infotainment. Dari pencermatan itu,
popularisasi dan/atau vulgarisasi terhadap infotainment akan dapat dikonstruk
sebagai barang komoditi yang tumbuh, bahkan menginspirasikan, sebuah
paradigma budaya modern yang ampuh.
Sementara, paradigma budaya yang berpusat pada infotainment justru
cenderung menyebarluaskan gagasan tentang seni yang bukan semata-mata
menghibur, tetapi juga seolah-olah menghadirkan realitas “siap pakai”. Artinya,
dalam realitas seperti itu infotainment dijadikan sebagai “harga mati” yang
memungkinkan masyarakat memposisikannya sebagai common sense. Meski
berimplikasi secara vulgar, bahkan banal, terhadap pembentukan subjek untuk
memenuhi kebutuhan akan seni, namun infotainment tetap dianggap sebagai
Padahal implikasi itu dapat menjadi masalah kemanusiaan yang serius
manakala barang kultural yang ditawarkan adalah seni pop dalam bentuk
infotainment yang mewacanakan keaiban selebritis. Pasalnya, wacana yang pada
mulanya bermakna biasa-biasa saja ini, dalam infotainment justru dibuat begitu
menghebohkan, sehingga mempengaruhi pembentukan kemanusiaan yang
menjadi kekuatan simbolik dalam masyarakat. Artinya, masyarakat yang
membutuhkan media untuk mengabstraksikan realitas guna membangun ilusi
yang mampu memanusiakan hidup sehari-hari menjadi mudah tergoda oleh bujuk
rayu seni pop sebagai barang kultural. Godaan atau seduksi itulah yang
menantang untuk dikaji ulang dalam penelitian ini dengan mengamati
pembentukan konstruk wacana keaiban selebritis dalam infotainment.
Maka dalam penelitian ini, data-data tentang sejumlah kasus yang
ditayangkan dalam infotainment akan dibagi menjadi tiga jenis dan dikaji secara
analitis melalui –langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, data-data dipilih dan dipilah berdasarkan pembagian jenis-jenis
infotainment yang diwacanakan sebagai keaiban selebritis. Pemilihan dan
pemilahan dilakukan dengan mengamati infotainment yang ditayangkan selama
proses perekaman dan dari sana akan ditentukan mana infotainment yang mampu
merepresentasikan ketiga jenis infotainment di atas.
Kedua, dari ketiga jenis infotainment itu, masing-masing akan dikaji melalui
empat tahap proses pembentukan simulacrum yang terdiri dari menampilkan
image sebagai cermin dari realitas keaiban selebritis yang ditayangkan dalam
infotainment, mengungkap image yang disembunyikan dan dipandang sebagai
yang absen dari realitas yang ditandakan sebagai keaiban selebritis, dan
menunjukkan tipisnya batas antara yang real dan virtual dari image dalam
infotainment keaiban selebritis yang menampakkan simulacrum itu sendiri.
Ketiga, simulacrum yang dihasilkan dari kajian di atas akan dimanfaatkan
untuk menjelaskan hiperealitas seperti apa yang telah menciptakan tanda-tanda
dalam infotainment yang memungkinkan keaiban selebritis dijadikan sebagai
seduksi.
Dengan metode dan pengolah data itu, penelitian ini berupaya memahami
paradigma budaya seperti apa yang diciptakan dari penanda keaiban selebritis
dalam infotainment. Dengan kata lain, konsep budaya macam apa yang tengah
diduduki atau diokupasi oleh penanda keaiban selebritis dalam infotainment ingin
diungkap secara lebih dalam untuk mengetahui apa yang membuat infotainment
laku dijual sebagai barang-barang kultural. Karena hanya dengan demikian, akan
dapat dipahami mengapa dan bagaimana kekuatan penanda keaiban selebritis
yang sesungguhnya kosong justru mampu menjadi pembentuk subjek yang
inderawi, empiris dan sensibel.
1.9 Skema Penulisan
Penulisan dari hasil penelitian ini akan diskemakan dalam lima bagian.
Bagian pertama adalah bab satu yang merupakan pendahuluan dari hasil
penelitian ini. Bagian ini memaparkan tentang mengapa dan bagaimana konstruk
wacana keaiban selebritis dalam infotainment begitu berpengaruh amat luas dan
dalam pembentukan kemanusiaan. Pengaruh yang bukan saja dirasakan oleh
sekaligus gugatan, atas pembentukan budaya melalui barang-barang yang sudah
sedemikian mengakar dan menyebar dalam kehidupan masyarakat selama ini.
Melalui pembentukan budaya itulah, masyarakat menjadi sedemikian mudah
tergoda oleh bujuk rayuan barang-barang yang diproduksi semata-mata hanya
untuk kepentingan konsumsi. Lebih parahnya, tanpa alasan tradisi dan ideologi
yang jelas, konsumsi itu ditempatkan sebagai penanda utama bahwa “saya adalah
apa yang saya konsumsi”. Di sinilah letak kepentingan penelitian ini yang
berpretensi memperlihatkan sesuatu yang fatalistik dari konstruk wacana keaiban
selebritis dalam infotainment terhadap pembangunan lingkungan kemanusiaan
yang sudah semakin nihilistik, bahkan cenderung dramatik dan/atau akrobatik.
Bagian selanjutnya adalah bab dua yang memaparkan data-data historis
tentang infotainment di Indonesia. Bagian ini menunjukkan bagaimana awal mula
infotainment dibentuk dan dihadirkan dengan konstruk wacana keaiban selebritis
di Indonesia. Data-data sekunder dipakai untuk mengabstraksikan seberapa luas
dan dalam realitas yang telah dibentuk oleh infotainment sejak ditayangkan pada
era 1990-an ketika Indonesia sedang mengalami krisis politik dan ekonomi global
dan diikuti dengan beragam aksi Reformasi secara menyeluruh.
Berikutnya adalah bab tiga yang menampilkan data-data primer dalam
penelitian ini yang mendeskripsikan jenis-jenis infotainment keaiban selebritis.
Dengan deskripsi ini, jenis-jenis infotainment yang didominasi oleh
bentuk-bentuk retorik simulasi dapat diketahui dengan lebih jelas. Simulasi yang telah
menciptakan simulacra/simulacrum dalam infotainment keaiban selebritis itu
menjadi pemaparan mendalam dari hiperrealitas yang memungkinkan seduksi
Diikuti dengan bab empat yang merupakan kajian analitik terhadap
data-data yang telah dipaparkan pada dua bab sebelumnya. Dalam kajian ini,
infotainment keaiban selebritis yang adalah sebuah simulacra dapat menjadi
tontonan yang menawan dan menggiurkan meski tak jarang dinilai murahan,
absurd, bahkan menyesatkan. Kedua rasa yang bersifat biner ini dapat hadir secara
bersamaan dalam rangkaian tanda digital secara sintagmatik dalam infotainment,
namun ada yang absen atau kosong dari penandaan itu. Kekosongan penanda yang
tersembunyi ini merupakan bagian pokok yang penting dalam kajian ini lantaran
akan menentukan seperti apakah paradigma budaya yang dihasilkan dalam
hiperrealitas infotainment keaiban selebritis.
Bagian terakhir adalah bab penutup yang merupakan kesimpulan dari hasil
penelitian yang dilakukan untuk memahami dan menjelaskan konstruk wacana
keaiban selebiritis dalam infotainment. Dalam kesimpulan ini, penanda kosong
yang dihadirkan melalui infotainment keaiban selebritis merupakan temuan kunci
yang dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana hiperrealitas dapat menjadi
model realitas atau dunia baru yang di satu sisi berpenampilan begitu sempurna,
tapi di lain sisi justru menyembunyikan sifat fatalis dan nihilisnya.
Bagian yang tak kalah penting dari hasil penelitian ini adalah daftar
kepustakaan. Bagian ini memuat bacaan-bacaan literatur yang dipakai untuk
melakukan kajian media ini. Bacaan-bacaan itu terdiri buku, jurnal dan majalah,
surat kabar, rekaman video, sumber-sumber dari situs-situs di internet serta
bacaan-bacaan “pop” yang khas tentang infotainment.
Bagian yang turut mendukung hasil penelitian ini adalah lampiran. Bagian
membantu dalam kajian media ini agar dapat menjadi sumber alternatif untuk
BAB II
INFOTAINMENT:
KEAIBAN SELEBRITIS DALAM SIMULASI GOSIP
Menarik bahwa infotainment telah menjadi wacana penting dalam konteks
perkembangan media global, terutama di Indonesia. Meski belum terlalu lama
hadir, infotainment justru dinikmati sebagai barang komoditi yang layak
dikonsumsi. Itulah mengapa seolah-olah tak ada yang mampu
menghalang-halangi, apalagi melarangnya, lantaran infotainment dianggap sebagai tontonan
yang sesuai dengan selera masyarakat di Indonesia.
Secara genealogi, infotainment merupakan bagian dari pembentukan awal
televisi swasta di Indonesia yang mendapat angin keterbukaan dari era Reformasi
1998. Di era global itu, selain kebebasan politik dihalalkan, kebebasan informasi
pun mendapat tempat yang lebih leluasa dan lebih berpihak pada swastanisasi atau
privatisasi ruang-ruang publik. Dengan kata lain, kehadiran sejumlah televisi
swasta seperti RCTI atau SCTV menjadi media baru untuk memproduksi dan
mendistribusikan informasi secara lebih menghibur. Media-media inilah yang
dihadirkan sebagai “mainan baru”1 (a newtoy) bagi masyarakat.
Masuk akal jika RCTI yang menayangkan Cek & Ricek sebagai program
infotainment pada tahun 2002 hadir dengan slogan “Jangan percaya gossip
1