• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

a) Pengertian Persepsi

Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa

hal melalui panca inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2011). Gibson (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah

proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang

individu. Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan

stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan

atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara

yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap,

sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang

lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986).

Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang

mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut

pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986). Persepsi

adalah kesadaran tentang proses organik. (Makna ini berfokus

kepada persepsi sebagai sebuah kejadian yang disadari, sebagai

dipicu oleh sejumlah stimulus eksternal atau internal) ( Kamus

Psikologi, 2010).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap kejadian

yang disadari, yang dipicu oleh stimulus eksternal dan internal,

yang berasal dari panca inderanya dan kemudian dapat

mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap seseorang.

b) Proses Pembentukan Persepsi

Menurut Ratnaningsih (Amabile, 1992), proses

terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek atau stimulus

yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (obyek

tersebut menjadi perhatian panca indera), kemudian stimulus

tadi dibawa ke otak. Selanjutnya dari otak terjadi adanya

“kesan” atau jawaban (respon). Adanya stimulus berupa respon atau kesan dibalikkan ke indera kembali berupa “tanggapan”

atau persepsi hasil kerja indera yaitu pengalaman hasil

pengolahan otak.

Proses pembentukan persepsi dalam penelitian ini

dimulai dari penonton yang mendapat rangsangan dari

menonton Jathilan yang diterima oleh indera penglihatan dan

pendengaran. Atau menggunakan indera penciuman jika

menonton pertunjukan Jathilan tersebut stimulus dibawa ke

otak yang kemudian menyebabkan terjadinya “kesan” atau

jawaban. Kesan ini kemudian dibalikkan kembali ke indera

berupa tanggapan atau persepsi terhadap pertunjukan Jathilan.

c) Macam Persepsi

Ada dua macam persepsi, yaitu eksternal dan internal.

Persepsi eksternal adalah persepsi yang terbentuk karena

adanya rangsangan/stimulus dari luar individu. Sedangkan

persepsi internal adalah persepsi yang terjadi karena adanya

rangsangan/stimulus yang berasal dari individu itu sendiri.

Contoh persepsi eksternal: saat seseorang menonton

pertunjukan Jathilan, stimulus yang diterima adalah

pertunjukan Jathilan. Sedangkan contoh persepsi internal

adalah saat seseorang mempunyai sifat pemarah, saat dirinya

mendengar suara guru yang agak tinggi kemudian ia

mempersepsikan guru tersebut sedang marah, persepsi ini

terjadi karena adanya stimulus internal yang mempengaruhi

individu tersebut.

Dalam penelitian ini, macam persepsi yang digunakan

adalah persepsi eksternal karena stimulus yang diterima

d) Aspek Persepsi

Persepsi mengandung tiga komponen yang membentuk

struktur persepsi yaitu:

1). Komponen Kognitif (pemikiran/perseptual)

Menurut Walgito (2003) komponen kognitif

yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,

pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan

dengan bagaimana orang mempersepsikan terhadap

objek.

2). Komponen Afektif (Perasaan)

Komponen afektif menyangkut masalah

emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek

persepsi. Secara umum, komponen afektif disamakan

dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Reaksi

emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau

apa yang kita percaya sebagai benar dan berlaku bagi

objek yang dimaksud. Rasa senang merupakan hal yang

positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal

yang negatif (Azwar, 2005).

3). Komponen Konatif (Predisposisi Perilaku)

Komponen predisposisi perilaku/konatif dalam

struktur persepsi menunjukkan bagaimana perilaku atau

seseorang berkaitan dengan objek persepsi yang

dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa

kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi

perilaku. Pengertian kecenderungan perilaku

menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk

perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung

saja, akan tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku

yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan

oleh seseorang (Azwar, 2005).

2. Penonton

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tonton (v);

menonton (v) mempunyai arti melihat (pertunjukan, gambar hidup,

dsb). Sedangkan penonton adalah orang yang menonton

pertunjukan; orang yang hanya melihat (tidak campur, bekerja,

dsb.). Menonton berbeda dengan melihat. Melihat sendiri

mempunyai arti menggunakan mata untuk memandang;

(memperhatikan). Melihat juga mempunyai makna sebagai melihat

sesuatu dengan sambil lalu dan santai ( Kamus Besar Bahasa

Indonesia). Dari kedua pengertian sebelumnya tentang menonton

dan melihat, dapat disimpulkan bahwa menonton mempunyai arti

yang lebih khusus, menonton memerlukan durasi dalam

lalu, akan tetapi ketika menonton kita tinggal lebih lama untuk

menonton suatu pertunjukan, gambar hidup, dan sebagainya.

Penonton adalah orang yang hadir dalam suatu pertunjukan dan

intens menonton, menyimak alur, fokus, dan mempunyai konteks.

3. Persepsi Penonton

Pengertian persepsi adalah proses pemberian arti terhadap

kejadian yang disadari, yang dipicu oleh stimulus eksternal dan

internal, yang berasal dari panca inderanya dan kemudian dapat

mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap seseorang.

Sedangkan pengertian penonton adalah orang yang hadir dalam

suatu pertunjukan dan intens menonton, menyimak alur, fokus, dan

mempunyai konteks.

Dengan demikian pengertian persepsi penonton adalah

orang yang hadir dalam suatu pertunjukan yang kemudian

memberikan arti terhadap sesuatu yang intens ditonton olehnya,

menyimak alur, fokus, dan mempunyai konteks, dan kemudian

dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang.

4. Remaja

Alasan pengambilan subjek usia remaja adalah remaja

dianggap sudah mempunyai kemampuan berpikir, mengambil

menonton Jathilan bukan karena adanya paksaan dari orang tua

ataupun orang lain, melainkan merupakan keinginannya sendiri.

Kekuatan pikiran remaja yang sedang berkembang

membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru.

Pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealis; lebih mampu

menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang

orang lain pikirkan tentang diri mereka; serta cenderung

menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Santrock, 2002).

Remaja tidak lagi pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar

pemikiran. Sebaliknya, mereka dapat membangkitkan

situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau

dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak. Selain abstrak,

pemikiran remaja juga idealis. Remaja mulai berpikir tentang

ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri & orang lain dan membandingkan

diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Pada

saat yang sama, mereka juga berpikir lebih logis. Remaja mulai

berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rencana untuk

memecahkan masalah-masalah dan menguji

pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis (Santrock, 2002).

Masa remaja ialah masa dimana pengambilan keputusan

meningkat (Santrock, 2002). Dibandingkan dengan anak-anak,

remaja yang lebih muda cenderung menghasilkan pilihan-pilihan,

keputusan-keputusan, dan mempertimbangkan kredibilitas

sumber-sumber (Santrock, 2002).

Dengan demikian remaja dipilih sebagai subjek penelitian

ini karena remaja sudah memiliki otonomi, tidak seperti anak-anak

yang pengambilan keputusannya masih banyak dipengaruhi orang

tua. Selain itu peneliti melihat remaja yang gemar menonton

kesenian tradisional seperti ini sudah jarang ditemui, kebanyakan

remaja masa kini lebih gemar menonton televisi, konser atau

hal-hal yang modern.

5. Jathilan

Kuda Lumping dalam bahasa Jawa disebut juga Jaran

Kepang. Kesenian ini dimainkan dengan sebuah kuda buatan yang

tersusun dari anyaman bambu dan ijuk pohon aren lalu dibentuk

menyerupai kuda. Penyebaran budaya tari Kuda Lumping berada di

Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga asal usul lahirnya tari

Kuda Lumping seringkali diidentikkan dengan perjuangan

Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda.

Sementara sebagian rakyat lainnya percaya bahwa kesenian ini

sudah ada sejak jaman Raden Patah membangun kerajaan Demak.

Sebagai kesenian, Kuda Lumping menggabungkan unsur

tarian, nyanyian dan kekuatan magis sebagai satu kesatuan. Gerak

mewakili karakter kepahlawanan dalam sebuah perang. Tak heran

alunan musik yang terbentuk dari perpaduan suara kendang,

kenong, selompret dan gong terdengar hingar-bingar dan

mengundang sebagian besar masyarakat sekitar untuk berkumpul

menjadi satu. Momen inilah yang digunakan para pejuang jaman

Hindia-Belanda untuk menyatukan para pemuda sebagai pasukan

perlawanan (id.wikipedia.org).

Seringkali dalam pertunjukan Kuda Lumping diselipkan

unsur magis yang berupa bakar diri, makan beling, berjalan di atas

pecahan kaca dan menyayat tubuh sendiri dengan golok. Ini

terdengar mengerikan. Sebelum acara pagelaran Kuda Lumping

dimulai, biasanya diawali dengan ritual pembacaan mantra-mantra

tertentu oleh orang yang dipercayai memiliki kekutan sakti. Hal ini

diyakini dapat membantu penari Kuda Lumping lebih kuat dan

kebal terhadap berbagai macam senjata tajam.

Kuda Lumping biasanya dimainkan secara berpasangan

oleh kaum lelaki. Bisa 2 orang, 4 orang bahkan 6 orang sekaligus.

Namun dalam perkembangannya, kaum perempuan turut andil

sebagai penari Kuda Lumping dan menjadi penyambut tamu

penting yang berkunjung ke Pemerintahan Daerah. Hanya saja

bedanya, aksi penari perempuan tidak disertai dengan atraksi

luwes dan mencerminkan keanggunan pejuang wanita.

(jadiberita.com)

Jadi berdasarkan penjelasan dari paragraf-paragraf diatas,

dapat disimpulkan bahwa kuda lumping merupakan kesenian yang

menggabungkan unsur tarian, nyanyian dan kekuatan magis

sebagai satu kesatuan. Peralatan musik yang digunakan antara lain

: kendang, kenong, selompret dan gong.

6. Kesurupan

Kesurupan secara umum merupakan sebuah perubahan

temporer didalam kesadaran yang disertai hilangnya rasa identitas,

sebuah pemfokusan selektif kepada aspek-aspek spesifik

lingkungan dan perilaku-perilaku stereotip yang dialami sebagai

sesuatu yang berada diluar kontrol seseorang. Simtom-simtom ini

biasanya disertai oleh sebuah keyakinan bahwa dirinya kesurupan

sebuah ruh, kekuatan, atau orang lain. Istilah ini digunakan hanya

untuk oleh stress, disfungsi, dan tidak ada satupun kondisi ini yang

menjadi komponen normal dari upacara keagamaan / kebudayaan

lain. ( Kamus Psikologi, 2010).

Trance Disorder/Dissociative (Kamus Psikologi, 2010)

merupakan sebuah keadaan trance tidak dikehendaki yang tidak

Trance religious (Kamus Psikologi, 2010) merupakan

sebuah kerasukan yang disebabkan devosi religius yang sangat

dalam. Sebenarnya istilah ‘kerasukan’ ini salah kaprah karena

kondisi yang diacu biasanya tidak menunjukkan penurunan fungsi

tubuh yang umumnya dikaitkan dengan makna kerasukan, malah

memanifestasikan sebuah kualitas perilaku atau sikap yang penuh

tenaga, kuat bahkan gila-gilaan. Mereka yang mengalami

kerasukan religius menunjukkan gerak tubuh yang tidak

dikehendaki, dan fungsi tubuhnya seolah berubah menjadi ‘supra

-alamiah’. Karena itulah, wajah individu yang kerasukan religius terlihat seperti ‘sadar’ namun sebenarnya bukan kesadarannya

sendiri, dapat melakukan atraksi berbahaya seperti makan serpihan

kaca, bergerak seperti hewan sesuai ‘roh’ yang merasukinya.

Sanggup berbicara dalam bahasa berbeda yang tidak pernah

dikuasai sebelumnya, dan sanggup menceritakan sesuatu yang

tidak pernah diketahui individu tersebut, bahkan mungkin oleh

siapapun.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, kesurupan yang

peneliti gunakan dalam penelitian adalah kesurupan sebagai sebuah

perubahan temporer didalam kesadaran yang disertai hilangnya

rasa identitas. Orang yang kesurupan memanifestasikan sebuah

kualitas perilaku atau sikap yang penuh tenaga, kuat bahkan

fungsi tubuhnya seolah berubah menjadi ‘supra-alamiah’. Dalam

keadaan ini, orang yang kesurupan dapat melakukan atraksi

berbahaya seperti makan serpihan kaca, bergerak seperti hewan

sesuai ‘roh’ yang merasukinya. Sanggup berbicara dalam bahasa

berbeda yang tidak pernah dikuasai sebelumnya, dan sanggup

menceritakan sesuatu yang tidak pernah diketahui individu

tersebut, bahkan mungkin oleh siapapun.

Dokumen terkait