• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PENONTON TERHADAP KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSEPSI PENONTON TERHADAP KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PENONTON TERHADAP

KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Meilissa Adelia Riani NIM: 089114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PERSEPSI PENONTON TERHADAP

KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Meilissa Adelia Riani NIM: 089114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Saya persembahkan tulisan ini untuk Papi, Mami,

Jeje, and Ooh. Thank you for being the best

supporter, best friend, and family that I’ve ever

(6)
(7)

vi

PERSEPSI PENONTON TERHADAP KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN

Meilissa Adelia Riani

ABSTRAK

Bagi orang Indonesia, peristiwa kesurupan sudah merupakan hal yang biasa terjadi. Meskipun begitu, hasil dari penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kesurupan masih merupakan hal yang mengerikan untuk semua orang, bahkan kesurupan yang dimaksudkan sebagai media hiburan pun masih dianggap mengerikan. Faktanya di banyak tempat masih banyak orang yang mau menonton setiap ada pertunjukan Jathilan. Untuk mengetahui mengapa penonton masih mau menonton Jathilan yang disertai kesurupan, maka penting untuk mengetahui persepsi penonton terhadap kesurupan dalam pertunjukan Jathilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan yang ada dalam pertunjukan Jathilan, dan melihat perilaku yang muncul saat menonton pertunjukan Jathilan. Peneliti menggunakan tiga aspek yang membentuk persepsi, yaitu: aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Peneliti menggunakan metode fenomenologi agar dapat mengetahui persepsi dan pendapat personal subjek secara mendalam. Subjek yang digunakan adalah tiga orang remaja yang gemar menonton Jathilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek mempersepsi kesurupan dalam ranah kognitifnya sebagai hal yang menakutkan, namun pikiran tersebut tidak diikuti dengan perasaan yang negatif melainkan perasaan yang menyertai adalah perasaan positif, yaitu senang, kagum dan bangga. Sehingga perilaku yang akan muncul adalah subjek tetap mau menonton Jathilan. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa akhirnya orang tetap mau menonton Jathilan karena ternyata pikiran negatif tidak selalu diikuti perasaan negatif, namun bisa diikuti perasaan positif sehingga menimbulkan predisposisi perilaku yang positif.

(8)

vii

THE SPECTATORS’ PERCEPTION TOWARD TRANCE IN JATHILAN

Meilissa Adelia Riani

ABSTRACT

For Indonesian people, trance is not a strange thing. But previous study said that trance is still a horrible thing for all people, even when the trance is intended for entertainment. But the fact is, in so many places, there are many people who still want to watch Jathilan show. To know why do people still want to watch Jathilan with trance it is important to know the perception of the spectators toward trance in Jathilan show. The aim of this study is to know how the spectators’ perception toward the trance in Jathilan show. The researcher used three aspects which is: cognitive, affective, and action predisposition. The researcher used phenomenology approach to

know the subject’s perception and personal opinion more deeply. The subjects were three

teenagers who love to watch Jathilan. The results of this study showed that the three subjects believed that trance is a scary thing, but they had positive feelings toward it so the action result was they still want to watch Jathilan. The result of this study showed that in the cognitive aspect the three subjects believed that trance was a scary thing, but that thought was not followed with negative feelings but positive feelings instead, such as happy, admiration, and proud. So the action result that will show is the subjects still want to watch Jathilan. This results explain why people still want to watch Jathilan show, it is because negative thoughts was not always followed with negative feelings, but it could be followed with positive feelings so it will rise a positive action predisposition.

(9)
(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat limpahan

karunia dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari

bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Dosen pembimbing akademik hingga tahun 2013 Almh. Dr. Ch. Siwi

Handayani, M.Si. yang selalu setia mendukung dan menyemangati kami

anak-anaknya untuk terus berjuang sampai ‘berdarah-darah’.

3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing

Skripsi yang sabar menanti dan membimbing sampai terselesaikannya skripsi

ini.

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Si. dan Sr. Wina FCJ selaku dosen penguji

yang telah memberikan saran sehingga skripsi saya menjadi dapat lebih baik.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen dan staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma yang selama ini telah memberikan banyak ilmu, baik secara teori

maupun pengalaman.

6. Papi di surga yang selalu melihat saya dari atas sana, Mami yang selalu

mendukung saya hingga saya bisa menjadi sarjana, Jeje yang selalu sabar

(11)

x

sabar tapi saya tahu Ooh sebenarnya sangat suportif. Terimakasih karena

telah dan akan selalu menjadi keluarga yang hangat untuk saya.

7. Ketiga subjek saya Ch, Ans, dan Dr, terima kasih telah bersedia bercerita dan

ditanya-tanyai tentang kesurupan.

8. Teman-teman angkatan 2008: Bray Tiwi, Anisa Bahar, Paulina Mercedes,

Nucih, Henisa Chibi, Peppy, Puput, Rimpi, Adita, Agnes, Chelly, Aix, Gigie,

Ines, Skolas, Bertha, Winas, Mace Siska, Anjun, Luci, Cik Cynthia, Ayu,

Dewi, Nina, Noni, Gety, Hesti, Sari, Agung, Vincent, Budi H., Budi, Wahyu,

Wawan, Prieska, Dessy, Nindy, Nita, Martha, Dian, Mitha, Fany, Irin, Intan,

Icha, Nana, Pudji, Cory, Rio, Alberto, Abet, Risya, dan teman-teman yang

lainnya.

9. Teman-teman KKN, warga, dan Paguyuban Turonggo Jati Manunggal,

terimakasih untuk segala pengalaman yang saya dapat selama KKN.

10. Terakhir Paulus Frady Hendarto untuk kasihnya selama ini yang selalu

dengan sabar mengingatkan saya agar mengerjakan skripsi.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa

saja yang membacanya.

Yogyakarta, Februari 2014

Penulis,

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat penelitian ... 6

1. Manfaat Praktis ... 6

2. Manfaat Teoritis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Kerangka Teori... 7

1. Persepsi ... 7

(13)

xii

b. Proses Pembentukan Persepsi ... 8

c. Macam Persepsi ... 9

d. Aspek Persepsi ... 10

2. Penonton ... 11

3. Persepsi Penonton ... 12

4. Remaja... 12

5. Jathilan ... 14

6. Kesurupan ... 16

B. Penelitian sebelumnya ... 18

C. Pertanyaan Penelitian ... 19

D. Dinamika Penelitian ... 19

1. Batasan Penelitian ... 19

2. Alur Berpikir ... 21

BAB III. METODE PENELITIAN... 23

A. Metode Penelitian... 23

B. Fokus Penelitian ... 24

C. Metode Pengambilan Sampel ... 28

D. Subjek Penelitian ... 29

E. Metode Pengambilan Data ... 30

F. Metode Analisis Data ... 31

1. Organisasi Data ... 32

2. Koding ... 32

(14)

xiii

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 33

1. Credibility ... 33

2. Dependability ... 34

3. Confirmability ... 34

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Prosedur Pengambilan Data ... 35

B. Subjek Penelitian ... 37

1. Subjek 1 ... 37

2. Subjek 2 ... 38

3. Subjek 3 ... 38

C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 38

D. Pembahasan ... 53

BAB V. PENUTUP ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

1. Bagi Penonton Jathilan ... 60

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Aspek-aspek yang akan Diungkap Dalam Penelitian ... 25

Tabel 2. Pedoman Wawancara ... 26

Tabel 3. Tabel Analisis Subjek 1 ... 38

Tabel 4. Tabel Analisis Subjek 2 ... 43

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi orang Indonesia, peristiwa kesurupan sudah merupakan hal

yang biasa terjadi. Meskipun begitu, sebagian besar orang Indonesia masih

menganggap kesurupan sebagai hal yang mengerikan dan menakutkan.

Seperti pada penelitian oleh Muhammad Riza dan Istina Puji R

(Universitas Airlangga, 2010), yang meneliti tentang perbedaan persepsi

pada kesurupan sebagai dua fenomena yang berbeda, yaitu kesurupan

sebagai hiburan dan kesurupan sebagai proses pengobatan, kemudian

menemukan aspek apa yang mempengaruhi persepsi tersebut. Hasil dari

penelitian ini menyebutkan bahwa kesurupan masih merupakan hal yang

mengerikan untuk semua orang. Kesurupan yang digunakan sebagai media

hiburan juga masih dianggap mengerikan oleh penontonnya. Tarian Kuda

Lumping yang dimaksudkan sebagai hiburan, masih tetap tidak bisa

menyingkirkan persepsi menakutkan dari mata penontonnya. Hal ini juga

didukung oleh berita yang mengatakan beberapa pengunjung berlari

menghindari penari Jathilan yang tiba-tiba kesurupan. Penari yang

kesurupan bertingkah seperti binatang dan melakukan hal yang dianggap

menakutkan bagi beberapa orang (Tribun, 2012).

Faktanya di banyak tempat masih banyak orang yang mau

(17)

orang-orang masih tertarik untuk melihatnya. Dengan adanya pendapat

bahwa kesurupan merupakan hal yang mengerikan, mengapa masih

banyak orang yang tertarik untuk menonton Jathilan? Benarkah kesurupan

itu menakutkan? Hal inilah yang akan peneliti teliti lebih lanjut untuk

mengetahui bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan yang

ada dalam pertunjukan Jathilan, dan mendeskripsikan persepsi kesurupan

dari sudut pandang penontonnya. Hal ini menjadi penting dibahas karena

kita akan memahami bagaimana kesurupan dipandang oleh penonton yang

tetap suka menonton Jathilan meskipun ada orang yang berpendapat

bahwa kesurupan adalah kejadian yang mengerikan dan menakutkan.

Dengan memahami persepsi kesurupan dari sudut pandang penonton ini,

kita dapat mengerti mengapa masih banyak orang yang gemar menonton

Jathilan meski dikatakan kesurupan itu mengerikan dan menakutkan.

“Kesurupan dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu keadaan yang

terjadi bila roh yang lain memasuki seseorang dan menguasainya sehingga

orang itu menjadi lain dalam hal bicara, perilaku, dan sifatnya. Perilakunya

menjadi seperti ada kepribadian lain yang ‘memasukinya’.” Risma (2007).

Keadaan ini dimanfaatkan oleh para penari dalam kesenian Jathilan,

mereka membiarkan dirinya kesurupan agar bisa melakukan hal-hal yang

tidak biasa, seperti makan kembang, mengupas kelapa dengan gigi, makan

beling, atau dipecut. Jathilan adalah tarian yang cukup terkenal di

Indonesia, sebutan lainnya adalah kuda lumping atau jaran kepang. Tarian

(18)

terbuat dari bambu sebagai media primer penari untuk menunjukkan arti

simbolik dan termasuk satu elemen dari fenomena nyata kesurupan

(Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia:1999, 37).

Berdasarkan pengamatan peneliti selama Kuliah Kerja Nyata

(KKN) di Dukuh Kepuh, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,

Kabupaten Sleman, Yogyakarta, warga sekitar masih menggemari

pertunjukan Jathilan yang diadakan oleh paguyuban setempat. Antusiasme

warga terlihat dari banyaknya orang-orang yang datang pada pertunjukan

Jathilan dari anak kecil, pemuda, sampai orang tua walaupun pertunjukan

Jathilan rata-rata diadakan pada malam hari, penonton yang datang tetap

saja banyak. Antusiasme warga dalam menonton Jathilan inilah yang

memunculkan pertanyaan penelitian ini, yaitu jika memang kesurupan

dalam Jathilan masih dianggap sebagai hal yang mengerikan dan

menakutkan mengapa masih banyak orang yang gemar menonton Jathilan?

Peneliti akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mewawancarai

orang yang gemar menonton Jathilan. Manfaat dari penelitian ini adalah

kita dapat mengetahui pengertian kesurupan dari sudut pandang penonton,

dan mendapat gambaran mengapa orang masih mau menonton pertunjukan

yang menampilkan aktivitas kesurupan kemudian dapat menjadi pedoman

untuk penonton agar dapat mengolah emosi dengan baik saat menonton

Jathilan sehingga tidak merasakan takut.

Dari fenomena pada paragraf diatas, muncul pertanyaan mengapa

(19)

penelitian dari Muhammad Riza dan Istina Puji R. (2010) menunjukkan

bahwa penonton mempersepsi kesurupan dalam pertunjukan Kuda

Lumping dan Sablang Bakungan sebagai hal yang mengerikan. Maka

peneliti akan mencoba melihat bagaimana penonton Jathilan mempersepsi

kesurupan dalam pertunjukan Jathilan, dan melihat reaksi/perilaku yang

menyertai penonton Jathilan.

Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui

panca inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011). Gibson (1994)

menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap

lingkungan oleh seorang individu. Dalam hal ini, persepsi mencakup

penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan

penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan

cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga

orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan

keadaannya sendiri (Gibson, 1986). Dapat disimpulkan bahwa persepsi

merupakan proses pemberian arti terhadap kejadian yang disadari, yang

dipicu oleh stimulus eksternal dan internal, yang berasal dari panca

inderanya dan kemudian dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk

sikap seseorang.

Penonton Kuda Lumping dan Sablang Bakungan dalam penelitian

Muhammad Riza dan Istina Puji R (2010) mempunyai persepsi bahwa

kesurupan masih merupakan hal yang mengerikan. Hasil penelitian ini

(20)

mengerikan, mengapa masih banyak orang yang gemar menonton

Jathilan? Reaksi seseorang terhadap sesuatu yang mengerikan adalah

menghindarinya, namun yang terjadi adalah mereka justru menonton hal

yang mereka yakini sebagai sesuatu yang mengerikan. Hal ini menegaskan

masalah yang dibahas di paragraf-paragraf sebelumnya bahwa ada

kontroversi antara pendapat kesurupan sebagai hal yang mengerikan dan

fakta bahwa masih banyak orang yang gemar menonton Jathilan.

B. Rumusan Masalah

- Bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan pada kesenian

Jathilan?

- Bagaimana dinamika emosi takut yang terjadi saat penonton Jathilan

menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan?

C. Tujuan Penelitian

- Memahami sejauh mana persepsi penonton kepada kesurupan dalam

kesenian Jathilan mempengaruhi perilaku menonton Jathilan.

- Memahami dinamika perasaan takut yang terjadi saat penonton

(21)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Praktis

 Mendapat informasi bagaimana persepsi penonton dalam

melihat kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.

 Mendapat gambaran mengapa orang masih mau menonton

pertunjukan Jathilan yang menampilkan aktivitas kesurupan.

 Diharapkan agar masyarakat tertarik untuk ikut serta

melestarikan kebudayaan asli Indonesia, khususnya Jathilan.

2. Manfaat Teoritis

 Diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai bagaimana

penonton Jathilan mempersepsi kesurupan dan perilaku yang

akan menyertai persepsi tersebut dalam sebuah pertunjukan

Jathilan.

 Dapat menjadi pedoman untuk penonton agar dapat mengolah

emosi dengan baik saat menonton Jathilan sehingga tidak

(22)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Persepsi

a) Pengertian Persepsi

Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa

hal melalui panca inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2011). Gibson (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah

proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang

individu. Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan

stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan

atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara

yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap,

sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang

lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986).

Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang

mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut

pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986). Persepsi

adalah kesadaran tentang proses organik. (Makna ini berfokus

kepada persepsi sebagai sebuah kejadian yang disadari, sebagai

(23)

dipicu oleh sejumlah stimulus eksternal atau internal) ( Kamus

Psikologi, 2010).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap kejadian

yang disadari, yang dipicu oleh stimulus eksternal dan internal,

yang berasal dari panca inderanya dan kemudian dapat

mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap seseorang.

b) Proses Pembentukan Persepsi

Menurut Ratnaningsih (Amabile, 1992), proses

terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek atau stimulus

yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (obyek

tersebut menjadi perhatian panca indera), kemudian stimulus

tadi dibawa ke otak. Selanjutnya dari otak terjadi adanya

“kesan” atau jawaban (respon). Adanya stimulus berupa respon

atau kesan dibalikkan ke indera kembali berupa “tanggapan”

atau persepsi hasil kerja indera yaitu pengalaman hasil

pengolahan otak.

Proses pembentukan persepsi dalam penelitian ini

dimulai dari penonton yang mendapat rangsangan dari

menonton Jathilan yang diterima oleh indera penglihatan dan

pendengaran. Atau menggunakan indera penciuman jika

(24)

menonton pertunjukan Jathilan tersebut stimulus dibawa ke

otak yang kemudian menyebabkan terjadinya “kesan” atau

jawaban. Kesan ini kemudian dibalikkan kembali ke indera

berupa tanggapan atau persepsi terhadap pertunjukan Jathilan.

c) Macam Persepsi

Ada dua macam persepsi, yaitu eksternal dan internal.

Persepsi eksternal adalah persepsi yang terbentuk karena

adanya rangsangan/stimulus dari luar individu. Sedangkan

persepsi internal adalah persepsi yang terjadi karena adanya

rangsangan/stimulus yang berasal dari individu itu sendiri.

Contoh persepsi eksternal: saat seseorang menonton

pertunjukan Jathilan, stimulus yang diterima adalah

pertunjukan Jathilan. Sedangkan contoh persepsi internal

adalah saat seseorang mempunyai sifat pemarah, saat dirinya

mendengar suara guru yang agak tinggi kemudian ia

mempersepsikan guru tersebut sedang marah, persepsi ini

terjadi karena adanya stimulus internal yang mempengaruhi

individu tersebut.

Dalam penelitian ini, macam persepsi yang digunakan

adalah persepsi eksternal karena stimulus yang diterima

(25)

d) Aspek Persepsi

Persepsi mengandung tiga komponen yang membentuk

struktur persepsi yaitu:

1). Komponen Kognitif (pemikiran/perseptual)

Menurut Walgito (2003) komponen kognitif

yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,

pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan

dengan bagaimana orang mempersepsikan terhadap

objek.

2). Komponen Afektif (Perasaan)

Komponen afektif menyangkut masalah

emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek

persepsi. Secara umum, komponen afektif disamakan

dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Reaksi

emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau

apa yang kita percaya sebagai benar dan berlaku bagi

objek yang dimaksud. Rasa senang merupakan hal yang

positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal

yang negatif (Azwar, 2005).

3). Komponen Konatif (Predisposisi Perilaku)

Komponen predisposisi perilaku/konatif dalam

struktur persepsi menunjukkan bagaimana perilaku atau

(26)

seseorang berkaitan dengan objek persepsi yang

dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa

kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi

perilaku. Pengertian kecenderungan perilaku

menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk

perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung

saja, akan tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku

yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan

oleh seseorang (Azwar, 2005).

2. Penonton

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tonton (v);

menonton (v) mempunyai arti melihat (pertunjukan, gambar hidup,

dsb). Sedangkan penonton adalah orang yang menonton

pertunjukan; orang yang hanya melihat (tidak campur, bekerja,

dsb.). Menonton berbeda dengan melihat. Melihat sendiri

mempunyai arti menggunakan mata untuk memandang;

(memperhatikan). Melihat juga mempunyai makna sebagai melihat

sesuatu dengan sambil lalu dan santai ( Kamus Besar Bahasa

Indonesia). Dari kedua pengertian sebelumnya tentang menonton

dan melihat, dapat disimpulkan bahwa menonton mempunyai arti

yang lebih khusus, menonton memerlukan durasi dalam

(27)

lalu, akan tetapi ketika menonton kita tinggal lebih lama untuk

menonton suatu pertunjukan, gambar hidup, dan sebagainya.

Penonton adalah orang yang hadir dalam suatu pertunjukan dan

intens menonton, menyimak alur, fokus, dan mempunyai konteks.

3. Persepsi Penonton

Pengertian persepsi adalah proses pemberian arti terhadap

kejadian yang disadari, yang dipicu oleh stimulus eksternal dan

internal, yang berasal dari panca inderanya dan kemudian dapat

mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap seseorang.

Sedangkan pengertian penonton adalah orang yang hadir dalam

suatu pertunjukan dan intens menonton, menyimak alur, fokus, dan

mempunyai konteks.

Dengan demikian pengertian persepsi penonton adalah

orang yang hadir dalam suatu pertunjukan yang kemudian

memberikan arti terhadap sesuatu yang intens ditonton olehnya,

menyimak alur, fokus, dan mempunyai konteks, dan kemudian

dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang.

4. Remaja

Alasan pengambilan subjek usia remaja adalah remaja

dianggap sudah mempunyai kemampuan berpikir, mengambil

(28)

menonton Jathilan bukan karena adanya paksaan dari orang tua

ataupun orang lain, melainkan merupakan keinginannya sendiri.

Kekuatan pikiran remaja yang sedang berkembang

membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru.

Pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealis; lebih mampu

menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang

orang lain pikirkan tentang diri mereka; serta cenderung

menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Santrock, 2002).

Remaja tidak lagi pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar

pemikiran. Sebaliknya, mereka dapat membangkitkan

situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau

dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak. Selain abstrak,

pemikiran remaja juga idealis. Remaja mulai berpikir tentang

ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri & orang lain dan membandingkan

diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Pada

saat yang sama, mereka juga berpikir lebih logis. Remaja mulai

berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rencana untuk

memecahkan masalah-masalah dan menguji

pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis (Santrock, 2002).

Masa remaja ialah masa dimana pengambilan keputusan

meningkat (Santrock, 2002). Dibandingkan dengan anak-anak,

remaja yang lebih muda cenderung menghasilkan pilihan-pilihan,

(29)

keputusan-keputusan, dan mempertimbangkan kredibilitas

sumber-sumber (Santrock, 2002).

Dengan demikian remaja dipilih sebagai subjek penelitian

ini karena remaja sudah memiliki otonomi, tidak seperti anak-anak

yang pengambilan keputusannya masih banyak dipengaruhi orang

tua. Selain itu peneliti melihat remaja yang gemar menonton

kesenian tradisional seperti ini sudah jarang ditemui, kebanyakan

remaja masa kini lebih gemar menonton televisi, konser atau

hal-hal yang modern.

5. Jathilan

Kuda Lumping dalam bahasa Jawa disebut juga Jaran

Kepang. Kesenian ini dimainkan dengan sebuah kuda buatan yang

tersusun dari anyaman bambu dan ijuk pohon aren lalu dibentuk

menyerupai kuda. Penyebaran budaya tari Kuda Lumping berada di

Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga asal usul lahirnya tari

Kuda Lumping seringkali diidentikkan dengan perjuangan

Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda.

Sementara sebagian rakyat lainnya percaya bahwa kesenian ini

sudah ada sejak jaman Raden Patah membangun kerajaan Demak.

Sebagai kesenian, Kuda Lumping menggabungkan unsur

tarian, nyanyian dan kekuatan magis sebagai satu kesatuan. Gerak

(30)

mewakili karakter kepahlawanan dalam sebuah perang. Tak heran

alunan musik yang terbentuk dari perpaduan suara kendang,

kenong, selompret dan gong terdengar hingar-bingar dan

mengundang sebagian besar masyarakat sekitar untuk berkumpul

menjadi satu. Momen inilah yang digunakan para pejuang jaman

Hindia-Belanda untuk menyatukan para pemuda sebagai pasukan

perlawanan (id.wikipedia.org).

Seringkali dalam pertunjukan Kuda Lumping diselipkan

unsur magis yang berupa bakar diri, makan beling, berjalan di atas

pecahan kaca dan menyayat tubuh sendiri dengan golok. Ini

terdengar mengerikan. Sebelum acara pagelaran Kuda Lumping

dimulai, biasanya diawali dengan ritual pembacaan mantra-mantra

tertentu oleh orang yang dipercayai memiliki kekutan sakti. Hal ini

diyakini dapat membantu penari Kuda Lumping lebih kuat dan

kebal terhadap berbagai macam senjata tajam.

Kuda Lumping biasanya dimainkan secara berpasangan

oleh kaum lelaki. Bisa 2 orang, 4 orang bahkan 6 orang sekaligus.

Namun dalam perkembangannya, kaum perempuan turut andil

sebagai penari Kuda Lumping dan menjadi penyambut tamu

penting yang berkunjung ke Pemerintahan Daerah. Hanya saja

bedanya, aksi penari perempuan tidak disertai dengan atraksi

(31)

luwes dan mencerminkan keanggunan pejuang wanita.

(jadiberita.com)

Jadi berdasarkan penjelasan dari paragraf-paragraf diatas,

dapat disimpulkan bahwa kuda lumping merupakan kesenian yang

menggabungkan unsur tarian, nyanyian dan kekuatan magis

sebagai satu kesatuan. Peralatan musik yang digunakan antara lain

: kendang, kenong, selompret dan gong.

6. Kesurupan

Kesurupan secara umum merupakan sebuah perubahan

temporer didalam kesadaran yang disertai hilangnya rasa identitas,

sebuah pemfokusan selektif kepada aspek-aspek spesifik

lingkungan dan perilaku-perilaku stereotip yang dialami sebagai

sesuatu yang berada diluar kontrol seseorang. Simtom-simtom ini

biasanya disertai oleh sebuah keyakinan bahwa dirinya kesurupan

sebuah ruh, kekuatan, atau orang lain. Istilah ini digunakan hanya

untuk oleh stress, disfungsi, dan tidak ada satupun kondisi ini yang

menjadi komponen normal dari upacara keagamaan / kebudayaan

lain. ( Kamus Psikologi, 2010).

Trance Disorder/Dissociative (Kamus Psikologi, 2010)

merupakan sebuah keadaan trance tidak dikehendaki yang tidak

(32)

Trance religious (Kamus Psikologi, 2010) merupakan

sebuah kerasukan yang disebabkan devosi religius yang sangat

dalam. Sebenarnya istilah ‘kerasukan’ ini salah kaprah karena

kondisi yang diacu biasanya tidak menunjukkan penurunan fungsi

tubuh yang umumnya dikaitkan dengan makna kerasukan, malah

memanifestasikan sebuah kualitas perilaku atau sikap yang penuh

tenaga, kuat bahkan gila-gilaan. Mereka yang mengalami

kerasukan religius menunjukkan gerak tubuh yang tidak

dikehendaki, dan fungsi tubuhnya seolah berubah menjadi ‘supra

-alamiah’. Karena itulah, wajah individu yang kerasukan religius

terlihat seperti ‘sadar’ namun sebenarnya bukan kesadarannya

sendiri, dapat melakukan atraksi berbahaya seperti makan serpihan

kaca, bergerak seperti hewan sesuai ‘roh’ yang merasukinya.

Sanggup berbicara dalam bahasa berbeda yang tidak pernah

dikuasai sebelumnya, dan sanggup menceritakan sesuatu yang

tidak pernah diketahui individu tersebut, bahkan mungkin oleh

siapapun.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, kesurupan yang

peneliti gunakan dalam penelitian adalah kesurupan sebagai sebuah

perubahan temporer didalam kesadaran yang disertai hilangnya

rasa identitas. Orang yang kesurupan memanifestasikan sebuah

kualitas perilaku atau sikap yang penuh tenaga, kuat bahkan

(33)

fungsi tubuhnya seolah berubah menjadi ‘supra-alamiah’. Dalam

keadaan ini, orang yang kesurupan dapat melakukan atraksi

berbahaya seperti makan serpihan kaca, bergerak seperti hewan

sesuai ‘roh’ yang merasukinya. Sanggup berbicara dalam bahasa

berbeda yang tidak pernah dikuasai sebelumnya, dan sanggup

menceritakan sesuatu yang tidak pernah diketahui individu

tersebut, bahkan mungkin oleh siapapun.

B. Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya merupakan penelitian dari Muhammad Riza

dan Istina Puji R. (Universitas Airlangga, 2010) yang berjudul Persepsi

Ritual Kesurupan dalam Budaya Jawa pada Kuda Lumping dan Sablang

Bakungan : sebuah Penelitian Indigeneous dalam Kebudayaan Jawa. Latar

belakang penelitian ini adalah adanya dua fenomena berbeda tentang

kesurupan, yaitu kesurupan sebagai hiburan dan kesurupan sebagai proses

penyembuhan (masyarakat Jawa menyebutnya Tolak Bala). Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Ada 10 partisipan yang

terlibat dalam penelitian ini yang berasal dari Kediri dan Banyuwangi di

mana Kuda Lumping dan Sablang Bakungan berasal. Hasil penelitian

menunjukkan partisipan berpikir bahwa kesurupan adalah hal yang

mengerikan karena perilaku orang / penari yang kesurupan sangat liar dan

tidak bisa dijelaskan. Mereka berperilaku sangat aneh. Meskipun tarian

(34)

mengurangi persepsi menakutkan pada penontonnya. Begitu juga persepsi

penonton pada kesurupan dalam tarian Sablang Bakungan. Meskipun

ritual ini dimaksudkan untuk menolak bencana, saat wanita tua yang

menari dalam Sablang Bakungan kesurupan tetap dianggap mengerikan.

Peneliti menemukan celah dari penelitian sebelumnya, yaitu dalam

penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Riza dan Istina Puji R subjek

yang digunakan bukan orang yang memang sering menonton kesenian

Jathilan atau Sablang Bakungan, Riza hanya mengambil beberapa sampel

yang berasal dari daerah yang mempunyai paguyuban Kuda Lumping dan

Sablang Bakungan tanpa ada keterangan memadai tentang alasan

pemilihan subjek.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan pada

kesenian Jathilan?

2. Bagaimana dinamika emosi takut yang terjadi saat penonton

Jathilan menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan?

D. Dinamika Penelitian 1. Batasan Penelitian

Kata kunci dari penelitian ini adalah meneliti orang yang

gemar menonton Jathilan, maka untuk mendapatkan subjek yang

(35)

pada orang yang sering menonton Jathilan, yaitu yang selalu

menonton setiap ada pertunjukan Jathilan di daerahnya. Kriteria

subjek lainnya adalah berusia remaja, sering menonton Jathilan

(menonton setiap ada pertunjukan Jathilan di dusunnya). Alasan

pengambilan subjek usia remaja adalah peneliti ingin melihat

alasan mengapa di jaman yang sudah serba modern ini masih

banyak generasi muda yang gemar menonton kesenian tradisional,

khususnya Jathilan. Serta usia remaja dianggap sudah mempunyai

kemampuan berpikir, mengambil keputusan dan memaparkan ide

secara runtut sehingga saat menonton Jathilan bukan karena adanya

paksaan dari orang tua ataupun orang lain, melainkan merupakan

keinginannya sendiri.

Kesurupan yang peneliti gunakan dalam penelitian adalah

kesurupan sebagai sebuah perubahan temporer didalam kesadaran

yang disertai hilangnya rasa identitas. Orang yang kesurupan dapat

melakukan atraksi berbahaya seperti makan serpihan kaca,

bergerak seperti hewan atau sesuai ‘roh’ yang merasukinya.

Sanggup berbicara dalam bahasa berbeda yang tidak pernah

dikuasai sebelumnya, dan sanggup menceritakan sesuatu yang

tidak pernah diketahui individu tersebut, bahkan mungkin oleh

(36)

2. Alur Berpikir

Penelitian ini berawal dari peneliti yang melihat adanya

kontoversi antara hasil penelitian Muhammad Riza dan Istina Puji

R. (2010) bahwa kesurupan dipersepsi sebagai hal yang

mengerikan dan fakta bahwa masih banyak orang yang menonton

pertunjukan Jathilan. Faktanya di lapangan, masih banyak orang

yang mau menonton setiap ada pertunjukan Jathilan bahkan

beberapa orang tidak pernah ketinggalan untuk menonton. Dengan

adanya pendapat bahwa kesurupan merupakan hal yang

mengerikan, mengapa masih banyak orang yang tertarik untuk

menonton Jathilan? Benarkah kesurupan itu menakutkan? Hal

inilah yang akan peneliti teliti lebih lanjut untuk mengetahui

bagaimana dinamika penonton Jathilan mempersepsi kesurupan

pada Jathilan dan perilaku yang menyertai persepsi penonton

tersebut.

Reaksi seseorang terhadap sesuatu yang mengerikan adalah

menghindarinya, namun yang terjadi adalah mereka justru

menonton hal yang diyakini sebagai sesuatu yang mengerikan.

Penelitian ini bermula dari penonton yang melihat kesurupan

dalam sebuah pertunjukan Jathilan; penelitian sebelumnya

menunjukkan persepsi penonton terhadap kesurupan dalam

pertunjukan Jathilan adalah mengerikan dan menakutkan. Namun

(37)

menggemari pertunjukan Jathilan, maka peneliti mencoba

menggali yang dialami penonton saat menonton pertunjukan

Jathilan yang disertai kesurupan dengan melihat aspek-aspek dalam

persepsi yaitu: aspek kognitif (pikiran), aspek afektif (perasaan),

dan aspek konatif (perilaku). Hal ini menjadi penting dibahas

karena kita akan memahami bagaimana kesurupan dipandang oleh

penonton yang tetap suka menonton Jathilan meskipun ada

pendapat bahwa kesurupan adalah kejadian yang mengerikan dan

menakutkan. Dengan memahami persepsi kesurupan dari sudut

pandang penonton ini, kita dapat mengerti mengapa masih banyak

orang yang gemar menonton Jathilan meski dikatakan kesurupan

itu mengerikan dan menakutkan; dan kemudian dapat menjadi

pedoman untuk penonton agar dapat mengolah emosinya dengan

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian

Penelitian ini hendak melihat bagaimana persepsi penonton

Jathilan yang disertai kesurupan. Persepsi penonton adalah proses

pemberian arti terhadap kejadian yang disadari oleh penonton, yang dipicu

oleh stimulus eksternal dan internal, yang berasal dari panca indera

sewaktu menonton pertunjukan Jathilan yang kemudian dapat

mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap orang tersebut. Maka dapat

dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan bersifat sosial yang perlu

memahami persepsi akan kesurupan pada Jathilan dari sudut pandang

subyek. Oleh karena itu, jenis penelitian yang dirasa tepat adalah

penelitian kualitatif yang lebih memfokuskan pada pemahaman daripada

pengukuran. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (dalam

Moleong, 2009) adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah,

dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan

jalan melibatkan metode yang ada (wawancara, pengamatan, dan

pemanfaatan dokumen).

Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode

fenomenologi. Metode penelitian fenomeologi ini dipilih karena sesuai

dengan tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan, yaitu berusaha

mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada persepsi atau

pendapat personal seorang individu tentang objek atau peristiwa (Smith,

(39)

2009). Stanley Deetz (1999) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam

fenomenologi: 1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak

disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan secara langsung dari

pengalaman yang disadari “conscious experience”. 2. Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu.

Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan

oleh apa makna sesuatu tersebut dalam kehidupan kita. 3. Bahasa adalah

sarana makna. Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui

bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan

dunia sosial tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti berusaha memahami persepsi yang

dimiliki oleh penonton. Menurut Smith (2009) kata “memahami” sangat

mewakili kedua aspek memahami-interpretasi dalam artian

mengidentifikasi atau berempati dan memahami dalam artian berusaha

memaknai. Dengan menggunakan kedua aspek tersebut dalam penelitian

cenderung akan menghasilkan analisis yang lebih kaya dan melaksanakan

keadilan yang lebih besar terhadap totalitas pribadi.

B. Fokus Penelitian

Fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah persepsi

penonton terhadap kesurupan dalam pertunjukan Jathilan. Fokus dalam

penelitian ini, yaitu menggali persepsi penonton yang menonton

(40)

Persepsi penonton terhadap kesurupan dalam kesenian Jathilan

tidak lepas dari aspek kognitif, afektif, dan konatif. Aspek-aspek dan

pedoman umum wawancara terhadap penonton pertunjukan Jathilan yang

disertai kesurupan akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

- Aspek-aspek

Aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian ini antara lain :

Tabel 1. Aspek-aspek yang akan Diungkap dalam Penelitian

Aspek Hal-hal yang Diungkap

1. Kognitif  Ingatan atau pengetahuan, dan

pandangan penonton tentang

kesurupan dalam pertunjukan

Jathilan

2. Afektif  Berbagai perasaan yang dirasakan

penonton pertunjukan Jathilan

sehubungan dengan fenomena

kesurupan; berbagai perasaan ketika

melihat penarinya mengalami

kesurupan.

3. Konatif  Bagaimana penonton berperilaku

setelah menonton pertunjukan

Jathilan yang disertai kesurupan.

Sejauh mana kejadian kesurupan

(41)

dan aktivitas kehidupan dalam

kehidupan sehari-hari.

- Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara yang akan digunakan untuk memperoleh data

yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

Tabel 2. Pedoman Wawancara

Target Jawaban Pertanyaan

I. Untuk mendapatkan informasi

tentang definisi subjek tentang

kesurupan, perasaan yang

dirasakan, dan perilaku yang

menyertai saat menonton

pertunjukan Jathilan

- Kg = Bagaimana anda

memandang peristiwa kesurupan

dalam pertunjukan Jathilan?

- Kg = Apakah yang ada di pikiran

Anda ketika mendengar tentang

kesurupan dalam sebuah

pertunjukan Jathilan?

- Af = Apa yang anda rasakan

ketika menonton kesurupan dalam

pertunjukan Jathilan?

- Kn = Apa yang Anda lakukan

ketika ada kejadian kesurupan

dalam pertunjukan Jathilan yang

sedang Anda tonton?

(42)

pikiran Anda setelah menonton

kesurupan dalam pertunjukan

Jathilan?

II. Untuk mendapatkan informasi

tentang pandangan, perasaan, dan

perilaku subjek terhadap

pertunjukan Jathilan yang tidak

disertai kesurupan

- Kg = Menurut anda bagaimana

jika dalam suatu pertunjukan

Jathilan tidak ada penari yang

kesurupan?

- Af = Bagaimana perasaan anda

ketika menonton pertunjukan

Jathilan yang tidak ada

kesurupannya?

- Kn = Apa yang Anda lakukan

misalnya Anda menonton sebuah

pertunjukan Jathilan yang tidak ada

kesurupannya?

III. Untuk mendapatkan informasi

mengenai posisi kesurupan dalam

pertunjukan Jathilan.

- Kg = Menurut Anda apakah

dalam sebuah pertunjukan Jathilan

harus ada kejadian kesurupannya?

Mengapa?

IV. Untuk mendapatkan informasi

tentang mengapa subyek tetap mau

menonton pertunjukan Jathilan

yang disertai kesurupan dan

- Kg = Apa yang membuat anda

tetap mau menonton pertunjukan

Jathilan yang disertai kesurupan?

(43)

perilaku subjek ketika memutuskan

tetap menonton pertunjukan

Jathilan yang disertai kesurupan

pertunjukan Jathilan yang disertai

kesurupan?

C. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah metode Purposive Sampling. Dalam pendekatan

purposif peneliti hanya memilih subyek yang dianggap memiliki informasi

berkenaan dengan permasalahan penelitian. Oleh karena itu, peneliti

terlebih dulu menetapkan kriteria yang harus dimiliki subyek sebelum

melakukan proses pengambilan data.

Purposive Sampling adalah pengambilan sampel dengan melihat

syarat-syarat dan kriteria-kriteria tertentu berupa ciri-ciri yang sudah

ditemukan sebelumnya, sesuai dengan tujuan penelitian (Arikunto, 1989).

Adapun kriteria dalam penelitian ini antara lain :

1. Sering menonton Jathilan yang disertai kesurupan (menonton

setiap ada pertunjukan Jathilan di dusunnya).

2. Penonton yang hadir dan intens menonton minimal 75% dalam

sebuah pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan.

3. Berusia remaja

Tidak ada batasan tertentu akan banyaknya subyek dalam

(44)

subjek Jumlah sampel tersebut akan memberikan jumlah kasus yang

mencukupi untuk memeriksa kesamaan dan perbedaan antarsubyek.

D. Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah warga Kepuh, Desa

Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman dan warga Condong Catur,

Sleman. Banyaknya subyek dalam penelitian ini adalah tiga orang

penonton, dua dari Kepuh dan satu dari Condong Catur. Pemilihan subyek

ini berdasarkan kedua daerah tersebut sering diadakan pertunjukan

Jathilan. Sehingga rata-rata warga Dusun Kepuh dan Condong Catur

memenuhi salah satu kriteria sampel yaitu sering menonton pertunjukan

Jathilan.

Dalam penelitian ini penonton dibatasi pada penonton yang hadir

dan intens menonton minimal 75% dari awal sampai habis dalam sebuah

pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan. Alasan ini diambil karena

dengan menonton minimal 75% subyek dianggap benar-benar menonton,

bukan hanya lewat dan melihat sambil lalu. Sehingga sampel yang didapat

adalah orang yang memang gemar menonton pertunjukan Jathilan.

Kriteria subjek lainnya adalah berusia remaja. Alasan pengambilan

subjek usia remaja adalah peneliti ingin melihat alasan mengapa di jaman

yang sudah serba modern ini masih banyak generasi muda yang gemar

menonton kesenian tradisional, khususnya Jathilan. Alasan lain adalah

(45)

keputusan dan memaparkan ide secara runtut sehingga saat menonton

Jathilan bukan karena adanya paksaan dari orang tua ataupun orang lain,

melainkan merupakan keinginannya sendiri.

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang cocok untuk penelitian ini adalah

wawancara semi-terstruktur. Dalam penelitian ini, peneliti ingin

menganalisis secara detail bagaimana para subyek mempersepsi dan

membangun pemahaman mengenai kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.

Oleh karena itu dibutuhkan intrumen pengumpulan data yang fleksibel,

yaitu wawancara semi terstruktur.

Wawancara semi-terstruktur memungkinkan peneliti dan subyek

melakukan dialog, dan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun

sebelumnya dapat dimodifikasi menurut respon subyek. Dengan demikian,

peneliti dapat menyelidiki lebih jauh wilayah-wilayah yang menarik dan

penting yang muncul. Ketika melakukan wawancara semi-terstruktur,

pewawancara memiliki seperangkat pertanyaan pada daftar wawancara,

akan tetapi wawancara bukan didikte oleh daftar tersebut, daftar

pertanyaan hanya merupakan panduan. Akibatnya urutan pertanyaan

menjadi tidak begitu penting, pewawancara lebih memiliki kebebasan

untuk menanyakan lebih jauh berbagai wilayah menarik yang muncul, dan

(46)

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan penulis

mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sehubungan dengan fenomena

yang diteliti, sekaligus menjadi daftar pengecek untuk mengetahui apakah

aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau diajukan sebagai pertanyaan.

Peneliti akan merekam selama proses wawancara berlangsung. Hal

ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam mewawancarai agar tidak

perlu menulis selama wawancara yang dapat merusak rapport dengan

subyek. Data rekaman yang telah diperoleh kemudian akan dibuat

transkrip wawancara atau verbatim yang dibuat sesuai dengan hasil

wawancara termasuk observasi selama wawancara berlangsung.

F. Metode Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah

menganalisis data yang sudah diperoleh. Metode yang digunakan untuk

menganalisis data verbatim dalam penelitian ini adalah analisis isi. Hal ini

dilakukan karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang

menggunakan data deskriptif, dan untuk menganalisis data deskriptif

metode yang tepat digunakan adalah analisis isi. Langkah-langkah dalam

menganalisis data antara lain : pengorganisasian data, koding, dan

interpretasi. Langkah-langkah tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai

(47)

1. Organisasi Data

Tahap awal dari analisis data adalah organisasi data. Dalam tahap

ini peneliti akan mengumpulkan keseluruhan verbatim subyek dan

menyimpannya secara lengkap dan sistematis.

2. Koding

Setelah mengorganisasi data, peneliti kemudian melakukan tahap

koding. Koding bertujuan agar dapat mengorganisasikan dan

mensistemasi data secara lengkap dan detil sehingga data dapat

memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari dan menemukan

makna dari data yang dikumpulkan (Poerwandari, 2005).

Proses koding ini dilakukan dengan memberikan kode dan

catatan lapangan di samping verbatim. Kode dalam penelitian ini adalah

Kg (kognitif), Af (Afektif), dan Kn (Konatif). Selanjutnya peneliti akan

melakukan analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses

pengkodean data yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema,

kualifikasi tema, atau hal-hal diantara gabungan dari yang telah

disebutkan. Dari tema tersebut, diharapkan persepsi penonton

pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan dapat digambarkan dengan

baik.

3. Interpretasi

Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi. Interpretasi

dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tema-tema yang muncul

(48)

observasi. Interpretasi dilakukan agar didapatkan gambaran data yang

lebih mendalam. Klave (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa

interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif

sekaligus mendalam.

G.

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksan.

Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.

Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan

(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability),

dan kepastian (confirmability).

1. Credibility

Penerapan kriteria derajat kepercayaan (credibility) pada

dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari penelitian

kuantitatif. Kriteria ini berfungsi: pertama, melaksanakan inkuiri

sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat

dicapai; kedua, mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil

penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada pengalaman

yang sedang diteliti (Moleong, 2009). Kredibilitas dalam penelitian

kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud

mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses,

(49)

2. Dependability

Kriteria kebergantungan merupakan subtitusi istilah reliabilitas

dalam penelitian nonkualitatif. Dalam penelitian nonkualitatif

reliabilitas ditunjukkan dengan jalan mengadakan replikasi studi.

Namun, pada penelitian kualitatif reliabilitas menekankan pada data,

bukan pada ‘orang’. Jadi pemeriksaan derajat kebergantungan bukan

lagi berkaitan dengan cirri penyidik, melainkan berkaitan dengan

ciri-ciri data.

3. Confirmability

Kriteria kepastian (confirmability) berasal dari konsep

objektivitas menurut penelitian nonkualitatif. Penelitian nonkualitatif

menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antarsubyek. Sedangkan

dalam penelitian kualitatif pemastian bahwa sesuatu itu obyektif atau

tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap

pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang (Moleong, 2009).

Dapat dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subyektif,

sedangkan jika disepakati oleh beberapa atau banyak orang baru dapat

dikatakan obyektif. Menurut Moleong (2009) sesuatu yang obyektif

(50)

35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prosedur Pengambilan Data

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam mengambil data

adalah sebagai berikut :

1. Melakukan pemilihan subjek dengan metode purposive

sampling. Pemilihan subjek didasarkan pada kriteria yang telah

ditetapkan peneliti, yaitu : berusia remaja, gemar menonton

jatilan, dan yang hadir dan intens menonton jatilan. Awalnya

peneliti mewawancarai empat subjek yang berasal dari dua

daerah yang sama. Namun ketika mulai melakukan pendekatan

diketahui bahwa dua subjek pernah menari Jathilan. Kemudian

peneliti mengugurkan dua subjek tersebut karena dapat

menimbulkan bias dalam menjawab pertanyaan penelitian.

Akhirnya peneliti mewawancarai dua subjek lagi yang berasal

dari daerah yang berbeda. Subjek 1 dan subjek 2 berasal dari

Kecamatan Cangkringan, sedangkan subjek 3 berasal dari

Kecamatan Condong Catur, Sleman. Peneliti memilih subjek

dari kedua daerah tersebut karena di kedua daerah tersebut

sering diadakan pertunjukan jatilan.

2. Membangun rapport dengan subjek penelitian. Peneliti

(51)

melangsungkan KKN. Peneliti melakukan pendekatan dengan

subjek 1 dan 2 dengan cara mengajak makan sambil mengobrol

dan mengunjungi rumah subjek. Sedangkan subjek 3 dikenal

peneliti dari seorang teman kampus yang merupakan warga

Condong Catur. Pendekatan dengan subjek 3 juga dilakukan

dengan mengajak nongkrong sambil mengobrol.

3. Melakukan tahap persiapan penelitian dengan membuat

pedoman wawancara. Pedoman wawancara dibuat sesuai

dengan aspek-aspek yang hendak digali dari subjek, yaitu

aspek kognitif, afektif dan konatif.

4. Melakukan uji coba wawancara terhadap subjek secara acak.

Hal ini dilakukan untuk mengecek apakah pertanyaan dalam

pedoman wawancara dapat dipahami oleh subjek dan apakah

pertanyaan dapat menggali jawaban sesuai dengan aspek yang

hendak digali.

5. Merevisi pertanyaan berdasarkan hasil uji coba wawancara.

6. Melakukan pengambilan data wawancara. Peneliti melakukan

wawancara dengan subjek 1 pada tanggal 20 Februari 2013,

kemudian subjek 2 pada tanggal 21 Februari 2013. Kemudian

peneliti mewawancarai subjek 3 pada tanggal 28 Juni 2013.

Setelah melakukan wawancara peneliti kemudian membuat

verbatim atau transkrip wawancara. Selanjutnya peneliti

(52)

kurang pada subjek 1 dan 2 pada tanggal 14 Juli 2013, dan

pada subjek 3 pada tanggal 16 Juli 2013.

7. Peneliti menentukan koding serta membuat kategori untuk

keseluruhan verbatim subjek.

8. Peneliti melakukan konfirmasi data kepada subjek untuk

memastikan data yang telah diperoleh oleh peneliti sesuai

dengan keadaan subjek. Peneliti melakukan konfirmasi data

kepada subjek 1 dan 2 pada tanggal 14 Juli 2013, dan subjek 3

pada tanggal 16 Juli 2013.

9. Langkah selanjutnya adalah peneliti melakukan interpretasi

data dan membuat kesimpulan dan saran.

B. Subjek Penelitian

Peneliti melakukan wawancara terhadap empat subjek dengan data

sebagai berikut :

1. Subjek 1

Nama : Ch

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 17 tahun

Pekerjaan : Pelajar

(53)

2. Subjek 2

Nama : Ans

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 18 tahun

Pekerjaan : Pelajar

Pertama nonton jatilan : Sewaktu SD

3. Subjek 3

Nama : Dr

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 18 tahun

Pekerjaan : Pelajar

Pertama nonton jatilan : Sewaktu TK

C. Hasil Analisis Data Penelitian

Tabel 3. Tabel Analisis Subjek 1

I. Untuk mendapatkan informasi akan pengetahuan subjek tentang kesurupan, perasaan yang dirasakan, dan perilaku yang menyertai saat menonton pertunjukan Jathilan.

Kognitif Afektif Konatif

Yang dipikirkan ketika

mendengar kata

kesurupan adalah

seram, mistis, dan

aneh. (I. Kg (5-9))

 Kesurupan adalah

Ada perasaan kagum

saat melihat penari

yang kesurupan

melakukan hal yang

tidak wajar. (I. Af

(38-40))

Subjek tetap menonton

ketika terjadi

kesurupan dalam

Jathilan. (I. Kn

(54)

keadaan tidak sadar.  Orang yang

kesurupan berperilaku

aneh seperti makan

beling.

 Kesurupan itu unik,

tidak semua orang

bisa. (I. Kg (11-28))

 Awalnya penari

sadar, lama-lama

pusing kemudian

menjadi tidak sadar

setelah ‘roh’ diundang.

 Saat tidak sadar

penari bertingkah

sesuka hati, contohnya

makan ayam hidup. (I.

Kg (24-33))

Kesurupan seram

karena tidak wajar,

contoh perilaku tidak

wajar yang seram

adalah yang makan

beling dan ayam

hidup. (I. Kg

(117-120))

Setelah menonton

dalam pikirannya

biasa, tidak ketakutan

(55)

terbayang-bayang. (I. Kg

(52-54))

II. Untuk mendapatkan informasi tentang pandangan, perasaan, dan perilaku subjek terhadap pertunjukan Jathilan yang tidak disertai kesurupan

Kognitif Afektif Konatif

Jika Jathilan tanpa

karena narinya bagus.

(II. Af (75-80))

Yang dilakukan ketika

menonton Jathilan

yang tidak ada

kesurupannya hanya

melihat saja. (II. Kn

(79))

III. Untuk mendapatkan informasi mengenai posisi kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.

Kognitif Afektif Konatif

(56)

Kesurupan itu penting

karena yang menjadi

pembeda dengan

kesenian lain. (III. Kg

(145-147))

IV. Untuk mendapatkan informasi tentang mengapa subyek tetap mau menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan dan perilaku subjek ketika memutuskan tetap menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan

Kognitif Afektif Konatif

Yang membuat tetap

mau menonton

Jathilan karena unik,

tidak ada di Negara

lain dan melestarikan

kebudayaan sendiri.

(IV. Kg (100-112))

 Apa yang terjadi

dalam Jathilan

dirasakan menghibur.  Jika ada Jathilan dan

tidak menonton

rasanya kurang. (IV.

Kg (126-128))

--- Masih mau menonton

Jathilan sampai

sekarang. (IV. Kn

(149-150))

Berdasarkan tabel 3 dapat disimpulkan bahwa Ch mempunyai

pikiran kesurupan sebagai hal yang seram, mistis dan aneh. Pikiran

tersebut disertai dengan perasaan kagum Ch terhadap penari yang

(57)

sehingga Ch menjadi tergerak untuk tetap mau menonton pertunjukan

Jathilan sampai sekarang.

Ch meyakini bahwa kesurupan adalah hal yang seram karena orang

yang kesurupan biasanya berperilaku tidak wajar, seperti: makan beling,

atau makan ayam hidup. Meskipun kesurupan dianggap sebagai hal yang

seram dan mistis, namun Ch tidak terganggu dengan pikiran-pikiran

tersebut sehingga pikiran tersebut tidak melekat hingga Ch meninggalkan

tempat pertunjukan Jathilan tersebut.. Ch menjelaskan proses kesurupan

yang pada awalnya penari sadar, kemudian lama-kelaman penari

merasakan pusing dan menjadi tidak sadar setelah diundangkan ‘roh’.

Penari yang berada dalam keadaan tidak sadar ini kemudian bertingkah

sesuka hati mereka seperti makan ayam hidup.

Meskipun berpendapat kesurupan adalah hal yang seram, Ch

melihat kesurupan sebagai hal yang unik karena tidak semua orang bisa

melakukannya sehingga membuat Ch merasa kagum. Terkait dengan

posisi kesurupan dalam Jathilan Ch berpendapat bahwa kesurupan dalam

Jathilan itu penting karena menjadi pembeda dengan kesenian lain. Ch

berpendapat kesurupan tidak harus ada dalam setiap pertunjukan Jathilan.

Meskipun berpendapat kesurupan tidak harus ada, Ch mengaku jika

Jathilan tanpa disertai kesurupan pertunjukan Jathilan dirasakan tidak

ramai/meriah dan tidak ada seninya, namun Ch akan tetap senang dan

(58)

Alasan Ch tetap mau menonton Jathilan adalah Ch meyakini

bahwa kesurupan itu unik dan tidak ada di negara lain serta Ch merasa apa

yang ada dalam Jathilan dirasakan menghibur sehingga Ch merasakan ada

yang kurang jika Ch mengetahui ada Jathilan dan Ch tidak menonton.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa meskipun Ch mempunyai pikiran

kesurupan sebagai hal yang seram dan mistis, akan tetapi perasaan Ch

yang menyertai adalah perasaan positif yaitu perasaan kagum sehingga

perilaku yang akan dimunculkan Ch adalah tetap mau menonton Jathilan.

Tabel 4. Tabel Analisis Subjek 2

I. Untuk mendapatkan informasi akan pengetahuan subjek tentang kesurupan, perasaan yang dirasakan, dan perilaku yang menyertai saat menonton pertunjukan Jathilan.

Kognitif Afektif Konatif

Yang ada di pikiran

saat mendengar kata

kesurupan adalah takut

karena penarinya suka

melakukan hal yang

aneh dan tidak biasa.

(I. Kg (3-7))

Arti kesurupan adalah

makhluk yang tidak

kelihatan masuk ke

dalam tubuh seseorang

yang biasanya terjadi

pada malam hari di

Yogyakarta. (I. Af

(25-27))

Ada perasaan bangga

masih ada yang mau

melestarikan kesenian

daerah. (I. Af (47-49))

Yang dilakukan ketika

melihat penari

kesurupan adalah

menjauh dari kandang

karena takut

kesurupan. (I. Kn

(59)

keluar. (I. Kg (11-20))

lestarikan Jathilan. (I.

Kg (41-45))

penarinya lari-lari. (I.

Kg (116-121))

II. Untuk mendapatkan informasi tentang pandangan, perasaan, dan perilaku subjek terhadap pertunjukan Jathilan yang tidak disertai kesurupan

Kognitif Afektif Konatif

Kesurupan bisa jadi

bukan bagian dari

Jathilan karena ke-

banyakan penari-nya

tidak bisa kesurupan.

(II. Kg (61-65))

Perasaan waktu

menonton Jathilan

tanpa kesurupan tidak

apa-apa yang penting

tariannya bagus seperti

yang diajarkan leluhur.

(II. Af (67-73))

Yang dilakukan tetap

menonton sampai

selesai. (II. Kn

(76-77))

III. Untuk mendapatkan informasi mengenai posisi kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.

(60)

Jathilan tidak harus

ada kesurupannya

karena mungkin cuma

me-lestarikan

tariannya jadi tidak

harus kesurupan. (III.

Kg (53-59))

 Jathilan yang bagus

yang ada

kesurupannya.

 Jathilan bagus kalau

narinya bagus, tapi

lebih bagus lagi jika

ada kesurupannya.

(III. Kg (84-108)

--- ---

IV. Untuk mendapatkan informasi tentang mengapa subyek tetap mau menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan dan perilaku subjek ketika memutuskan tetap menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan

Kognitif Afektif Konatif

Yang membuat tetap

mau menonton karena

tariannya bagus dan

penontonnya banyak.

(IV. Kg (79-81))

Mau menonton

Jathilan karena

kelihatannya meriah

dan bagus. (IV. Kg

(109-112))

--- Masih lumayan sering

menonton, bahkan saat

latihan pun kadang

menonton. (IV. Kn

Gambar

Tabel 1. Aspek-aspek yang akan Diungkap Dalam Penelitian ........................  25
Tabel 1. Aspek-aspek yang akan Diungkap dalam Penelitian
Tabel 2. Pedoman Wawancara
Tabel 3. Tabel Analisis Subjek 1
+3

Referensi

Dokumen terkait

- Pemberian terapi kombinasi metformin dan oksigen hiperbarik meningkatkan ketebalan ukuran kolagen di jaringan kulit yang terinfeksi bakteri anaerob ( Pseudomonas

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh profitabilitas dan solvabilitas terhadap ketidaktepatwaktuan publikasi laporan keuangan dengan reputasi

viskositas intrinsik, sedangkan Gambar 5(a) menunjukkan pengaruh suhu coupling reaction pada Starch-g-Polyacrylamide dengan sintesis. nt-PAM teknik polimerisasi

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan kejadian preeklampsia lebih banyak dialami oleh Ibu dengan primigravida (65,6%) daripada multigravida (34,4%) pada trimester

The next step was applying the theories to analyze the work to answer the first problem about how the Victorian era settings are depicted in Charles Dickens’ Oliver Twist and

Kajian ini telah dijalankan di Simpang Empat, Alor Setar, Kedah bermatlamat untuk memahami amalan inovasi pertanian di kalangan petani Cina. Kajian ini dilaksanakan berasaskan tiga

Output atas dasar harga berlaku diperoleh dari perkalian produksi dengan harga yang berlaku pada masing-masing tahun, sedangkan output atas dasar harga konstan

Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2008-2012 ini menggunakan metode pendekatan produksi yaitu jumlah nilai barang dan jasa akhir atau nilai tambah