PERSEPSI PENONTON TERHADAP
KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Meilissa Adelia Riani NIM: 089114018
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PERSEPSI PENONTON TERHADAP
KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Meilissa Adelia Riani NIM: 089114018
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Saya persembahkan tulisan ini untuk Papi, Mami,
Jeje, and Ooh. Thank you for being the best
supporter, best friend, and family that I’ve ever
vi
PERSEPSI PENONTON TERHADAP KESURUPAN DALAM KESENIAN JATHILAN
Meilissa Adelia Riani
ABSTRAK
Bagi orang Indonesia, peristiwa kesurupan sudah merupakan hal yang biasa terjadi. Meskipun begitu, hasil dari penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kesurupan masih merupakan hal yang mengerikan untuk semua orang, bahkan kesurupan yang dimaksudkan sebagai media hiburan pun masih dianggap mengerikan. Faktanya di banyak tempat masih banyak orang yang mau menonton setiap ada pertunjukan Jathilan. Untuk mengetahui mengapa penonton masih mau menonton Jathilan yang disertai kesurupan, maka penting untuk mengetahui persepsi penonton terhadap kesurupan dalam pertunjukan Jathilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan yang ada dalam pertunjukan Jathilan, dan melihat perilaku yang muncul saat menonton pertunjukan Jathilan. Peneliti menggunakan tiga aspek yang membentuk persepsi, yaitu: aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Peneliti menggunakan metode fenomenologi agar dapat mengetahui persepsi dan pendapat personal subjek secara mendalam. Subjek yang digunakan adalah tiga orang remaja yang gemar menonton Jathilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek mempersepsi kesurupan dalam ranah kognitifnya sebagai hal yang menakutkan, namun pikiran tersebut tidak diikuti dengan perasaan yang negatif melainkan perasaan yang menyertai adalah perasaan positif, yaitu senang, kagum dan bangga. Sehingga perilaku yang akan muncul adalah subjek tetap mau menonton Jathilan. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa akhirnya orang tetap mau menonton Jathilan karena ternyata pikiran negatif tidak selalu diikuti perasaan negatif, namun bisa diikuti perasaan positif sehingga menimbulkan predisposisi perilaku yang positif.
vii
THE SPECTATORS’ PERCEPTION TOWARD TRANCE IN JATHILAN
Meilissa Adelia Riani
ABSTRACT
For Indonesian people, trance is not a strange thing. But previous study said that trance is still a horrible thing for all people, even when the trance is intended for entertainment. But the fact is, in so many places, there are many people who still want to watch Jathilan show. To know why do people still want to watch Jathilan with trance it is important to know the perception of the spectators toward trance in Jathilan show. The aim of this study is to know how the spectators’ perception toward the trance in Jathilan show. The researcher used three aspects which is: cognitive, affective, and action predisposition. The researcher used phenomenology approach to
know the subject’s perception and personal opinion more deeply. The subjects were three
teenagers who love to watch Jathilan. The results of this study showed that the three subjects believed that trance is a scary thing, but they had positive feelings toward it so the action result was they still want to watch Jathilan. The result of this study showed that in the cognitive aspect the three subjects believed that trance was a scary thing, but that thought was not followed with negative feelings but positive feelings instead, such as happy, admiration, and proud. So the action result that will show is the subjects still want to watch Jathilan. This results explain why people still want to watch Jathilan show, it is because negative thoughts was not always followed with negative feelings, but it could be followed with positive feelings so it will rise a positive action predisposition.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat limpahan
karunia dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari
bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Dosen pembimbing akademik hingga tahun 2013 Almh. Dr. Ch. Siwi
Handayani, M.Si. yang selalu setia mendukung dan menyemangati kami
anak-anaknya untuk terus berjuang sampai ‘berdarah-darah’.
3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang sabar menanti dan membimbing sampai terselesaikannya skripsi
ini.
4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Si. dan Sr. Wina FCJ selaku dosen penguji
yang telah memberikan saran sehingga skripsi saya menjadi dapat lebih baik.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen dan staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma yang selama ini telah memberikan banyak ilmu, baik secara teori
maupun pengalaman.
6. Papi di surga yang selalu melihat saya dari atas sana, Mami yang selalu
mendukung saya hingga saya bisa menjadi sarjana, Jeje yang selalu sabar
x
sabar tapi saya tahu Ooh sebenarnya sangat suportif. Terimakasih karena
telah dan akan selalu menjadi keluarga yang hangat untuk saya.
7. Ketiga subjek saya Ch, Ans, dan Dr, terima kasih telah bersedia bercerita dan
ditanya-tanyai tentang kesurupan.
8. Teman-teman angkatan 2008: Bray Tiwi, Anisa Bahar, Paulina Mercedes,
Nucih, Henisa Chibi, Peppy, Puput, Rimpi, Adita, Agnes, Chelly, Aix, Gigie,
Ines, Skolas, Bertha, Winas, Mace Siska, Anjun, Luci, Cik Cynthia, Ayu,
Dewi, Nina, Noni, Gety, Hesti, Sari, Agung, Vincent, Budi H., Budi, Wahyu,
Wawan, Prieska, Dessy, Nindy, Nita, Martha, Dian, Mitha, Fany, Irin, Intan,
Icha, Nana, Pudji, Cory, Rio, Alberto, Abet, Risya, dan teman-teman yang
lainnya.
9. Teman-teman KKN, warga, dan Paguyuban Turonggo Jati Manunggal,
terimakasih untuk segala pengalaman yang saya dapat selama KKN.
10. Terakhir Paulus Frady Hendarto untuk kasihnya selama ini yang selalu
dengan sabar mengingatkan saya agar mengerjakan skripsi.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa
saja yang membacanya.
Yogyakarta, Februari 2014
Penulis,
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat penelitian ... 6
1. Manfaat Praktis ... 6
2. Manfaat Teoritis ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Kerangka Teori... 7
1. Persepsi ... 7
xii
b. Proses Pembentukan Persepsi ... 8
c. Macam Persepsi ... 9
d. Aspek Persepsi ... 10
2. Penonton ... 11
3. Persepsi Penonton ... 12
4. Remaja... 12
5. Jathilan ... 14
6. Kesurupan ... 16
B. Penelitian sebelumnya ... 18
C. Pertanyaan Penelitian ... 19
D. Dinamika Penelitian ... 19
1. Batasan Penelitian ... 19
2. Alur Berpikir ... 21
BAB III. METODE PENELITIAN... 23
A. Metode Penelitian... 23
B. Fokus Penelitian ... 24
C. Metode Pengambilan Sampel ... 28
D. Subjek Penelitian ... 29
E. Metode Pengambilan Data ... 30
F. Metode Analisis Data ... 31
1. Organisasi Data ... 32
2. Koding ... 32
xiii
G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 33
1. Credibility ... 33
2. Dependability ... 34
3. Confirmability ... 34
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Prosedur Pengambilan Data ... 35
B. Subjek Penelitian ... 37
1. Subjek 1 ... 37
2. Subjek 2 ... 38
3. Subjek 3 ... 38
C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 38
D. Pembahasan ... 53
BAB V. PENUTUP ... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran ... 60
1. Bagi Penonton Jathilan ... 60
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Aspek-aspek yang akan Diungkap Dalam Penelitian ... 25
Tabel 2. Pedoman Wawancara ... 26
Tabel 3. Tabel Analisis Subjek 1 ... 38
Tabel 4. Tabel Analisis Subjek 2 ... 43
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi orang Indonesia, peristiwa kesurupan sudah merupakan hal
yang biasa terjadi. Meskipun begitu, sebagian besar orang Indonesia masih
menganggap kesurupan sebagai hal yang mengerikan dan menakutkan.
Seperti pada penelitian oleh Muhammad Riza dan Istina Puji R
(Universitas Airlangga, 2010), yang meneliti tentang perbedaan persepsi
pada kesurupan sebagai dua fenomena yang berbeda, yaitu kesurupan
sebagai hiburan dan kesurupan sebagai proses pengobatan, kemudian
menemukan aspek apa yang mempengaruhi persepsi tersebut. Hasil dari
penelitian ini menyebutkan bahwa kesurupan masih merupakan hal yang
mengerikan untuk semua orang. Kesurupan yang digunakan sebagai media
hiburan juga masih dianggap mengerikan oleh penontonnya. Tarian Kuda
Lumping yang dimaksudkan sebagai hiburan, masih tetap tidak bisa
menyingkirkan persepsi menakutkan dari mata penontonnya. Hal ini juga
didukung oleh berita yang mengatakan beberapa pengunjung berlari
menghindari penari Jathilan yang tiba-tiba kesurupan. Penari yang
kesurupan bertingkah seperti binatang dan melakukan hal yang dianggap
menakutkan bagi beberapa orang (Tribun, 2012).
Faktanya di banyak tempat masih banyak orang yang mau
orang-orang masih tertarik untuk melihatnya. Dengan adanya pendapat
bahwa kesurupan merupakan hal yang mengerikan, mengapa masih
banyak orang yang tertarik untuk menonton Jathilan? Benarkah kesurupan
itu menakutkan? Hal inilah yang akan peneliti teliti lebih lanjut untuk
mengetahui bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan yang
ada dalam pertunjukan Jathilan, dan mendeskripsikan persepsi kesurupan
dari sudut pandang penontonnya. Hal ini menjadi penting dibahas karena
kita akan memahami bagaimana kesurupan dipandang oleh penonton yang
tetap suka menonton Jathilan meskipun ada orang yang berpendapat
bahwa kesurupan adalah kejadian yang mengerikan dan menakutkan.
Dengan memahami persepsi kesurupan dari sudut pandang penonton ini,
kita dapat mengerti mengapa masih banyak orang yang gemar menonton
Jathilan meski dikatakan kesurupan itu mengerikan dan menakutkan.
“Kesurupan dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu keadaan yang
terjadi bila roh yang lain memasuki seseorang dan menguasainya sehingga
orang itu menjadi lain dalam hal bicara, perilaku, dan sifatnya. Perilakunya
menjadi seperti ada kepribadian lain yang ‘memasukinya’.” Risma (2007).
Keadaan ini dimanfaatkan oleh para penari dalam kesenian Jathilan,
mereka membiarkan dirinya kesurupan agar bisa melakukan hal-hal yang
tidak biasa, seperti makan kembang, mengupas kelapa dengan gigi, makan
beling, atau dipecut. Jathilan adalah tarian yang cukup terkenal di
Indonesia, sebutan lainnya adalah kuda lumping atau jaran kepang. Tarian
terbuat dari bambu sebagai media primer penari untuk menunjukkan arti
simbolik dan termasuk satu elemen dari fenomena nyata kesurupan
(Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia:1999, 37).
Berdasarkan pengamatan peneliti selama Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Dukuh Kepuh, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, warga sekitar masih menggemari
pertunjukan Jathilan yang diadakan oleh paguyuban setempat. Antusiasme
warga terlihat dari banyaknya orang-orang yang datang pada pertunjukan
Jathilan dari anak kecil, pemuda, sampai orang tua walaupun pertunjukan
Jathilan rata-rata diadakan pada malam hari, penonton yang datang tetap
saja banyak. Antusiasme warga dalam menonton Jathilan inilah yang
memunculkan pertanyaan penelitian ini, yaitu jika memang kesurupan
dalam Jathilan masih dianggap sebagai hal yang mengerikan dan
menakutkan mengapa masih banyak orang yang gemar menonton Jathilan?
Peneliti akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mewawancarai
orang yang gemar menonton Jathilan. Manfaat dari penelitian ini adalah
kita dapat mengetahui pengertian kesurupan dari sudut pandang penonton,
dan mendapat gambaran mengapa orang masih mau menonton pertunjukan
yang menampilkan aktivitas kesurupan kemudian dapat menjadi pedoman
untuk penonton agar dapat mengolah emosi dengan baik saat menonton
Jathilan sehingga tidak merasakan takut.
Dari fenomena pada paragraf diatas, muncul pertanyaan mengapa
penelitian dari Muhammad Riza dan Istina Puji R. (2010) menunjukkan
bahwa penonton mempersepsi kesurupan dalam pertunjukan Kuda
Lumping dan Sablang Bakungan sebagai hal yang mengerikan. Maka
peneliti akan mencoba melihat bagaimana penonton Jathilan mempersepsi
kesurupan dalam pertunjukan Jathilan, dan melihat reaksi/perilaku yang
menyertai penonton Jathilan.
Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui
panca inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011). Gibson (1994)
menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap
lingkungan oleh seorang individu. Dalam hal ini, persepsi mencakup
penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan
penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan
cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga
orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan
keadaannya sendiri (Gibson, 1986). Dapat disimpulkan bahwa persepsi
merupakan proses pemberian arti terhadap kejadian yang disadari, yang
dipicu oleh stimulus eksternal dan internal, yang berasal dari panca
inderanya dan kemudian dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk
sikap seseorang.
Penonton Kuda Lumping dan Sablang Bakungan dalam penelitian
Muhammad Riza dan Istina Puji R (2010) mempunyai persepsi bahwa
kesurupan masih merupakan hal yang mengerikan. Hasil penelitian ini
mengerikan, mengapa masih banyak orang yang gemar menonton
Jathilan? Reaksi seseorang terhadap sesuatu yang mengerikan adalah
menghindarinya, namun yang terjadi adalah mereka justru menonton hal
yang mereka yakini sebagai sesuatu yang mengerikan. Hal ini menegaskan
masalah yang dibahas di paragraf-paragraf sebelumnya bahwa ada
kontroversi antara pendapat kesurupan sebagai hal yang mengerikan dan
fakta bahwa masih banyak orang yang gemar menonton Jathilan.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan pada kesenian
Jathilan?
- Bagaimana dinamika emosi takut yang terjadi saat penonton Jathilan
menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan?
C. Tujuan Penelitian
- Memahami sejauh mana persepsi penonton kepada kesurupan dalam
kesenian Jathilan mempengaruhi perilaku menonton Jathilan.
- Memahami dinamika perasaan takut yang terjadi saat penonton
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Praktis
Mendapat informasi bagaimana persepsi penonton dalam
melihat kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.
Mendapat gambaran mengapa orang masih mau menonton
pertunjukan Jathilan yang menampilkan aktivitas kesurupan.
Diharapkan agar masyarakat tertarik untuk ikut serta
melestarikan kebudayaan asli Indonesia, khususnya Jathilan.
2. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai bagaimana
penonton Jathilan mempersepsi kesurupan dan perilaku yang
akan menyertai persepsi tersebut dalam sebuah pertunjukan
Jathilan.
Dapat menjadi pedoman untuk penonton agar dapat mengolah
emosi dengan baik saat menonton Jathilan sehingga tidak
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Persepsi
a) Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa
hal melalui panca inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2011). Gibson (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah
proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang
individu. Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan
stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan
atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara
yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap,
sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang
lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986).
Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang
mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut
pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986). Persepsi
adalah kesadaran tentang proses organik. (Makna ini berfokus
kepada persepsi sebagai sebuah kejadian yang disadari, sebagai
dipicu oleh sejumlah stimulus eksternal atau internal) ( Kamus
Psikologi, 2010).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap kejadian
yang disadari, yang dipicu oleh stimulus eksternal dan internal,
yang berasal dari panca inderanya dan kemudian dapat
mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap seseorang.
b) Proses Pembentukan Persepsi
Menurut Ratnaningsih (Amabile, 1992), proses
terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek atau stimulus
yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (obyek
tersebut menjadi perhatian panca indera), kemudian stimulus
tadi dibawa ke otak. Selanjutnya dari otak terjadi adanya
“kesan” atau jawaban (respon). Adanya stimulus berupa respon
atau kesan dibalikkan ke indera kembali berupa “tanggapan”
atau persepsi hasil kerja indera yaitu pengalaman hasil
pengolahan otak.
Proses pembentukan persepsi dalam penelitian ini
dimulai dari penonton yang mendapat rangsangan dari
menonton Jathilan yang diterima oleh indera penglihatan dan
pendengaran. Atau menggunakan indera penciuman jika
menonton pertunjukan Jathilan tersebut stimulus dibawa ke
otak yang kemudian menyebabkan terjadinya “kesan” atau
jawaban. Kesan ini kemudian dibalikkan kembali ke indera
berupa tanggapan atau persepsi terhadap pertunjukan Jathilan.
c) Macam Persepsi
Ada dua macam persepsi, yaitu eksternal dan internal.
Persepsi eksternal adalah persepsi yang terbentuk karena
adanya rangsangan/stimulus dari luar individu. Sedangkan
persepsi internal adalah persepsi yang terjadi karena adanya
rangsangan/stimulus yang berasal dari individu itu sendiri.
Contoh persepsi eksternal: saat seseorang menonton
pertunjukan Jathilan, stimulus yang diterima adalah
pertunjukan Jathilan. Sedangkan contoh persepsi internal
adalah saat seseorang mempunyai sifat pemarah, saat dirinya
mendengar suara guru yang agak tinggi kemudian ia
mempersepsikan guru tersebut sedang marah, persepsi ini
terjadi karena adanya stimulus internal yang mempengaruhi
individu tersebut.
Dalam penelitian ini, macam persepsi yang digunakan
adalah persepsi eksternal karena stimulus yang diterima
d) Aspek Persepsi
Persepsi mengandung tiga komponen yang membentuk
struktur persepsi yaitu:
1). Komponen Kognitif (pemikiran/perseptual)
Menurut Walgito (2003) komponen kognitif
yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan bagaimana orang mempersepsikan terhadap
objek.
2). Komponen Afektif (Perasaan)
Komponen afektif menyangkut masalah
emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek
persepsi. Secara umum, komponen afektif disamakan
dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Reaksi
emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau
apa yang kita percaya sebagai benar dan berlaku bagi
objek yang dimaksud. Rasa senang merupakan hal yang
positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal
yang negatif (Azwar, 2005).
3). Komponen Konatif (Predisposisi Perilaku)
Komponen predisposisi perilaku/konatif dalam
struktur persepsi menunjukkan bagaimana perilaku atau
seseorang berkaitan dengan objek persepsi yang
dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa
kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi
perilaku. Pengertian kecenderungan perilaku
menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk
perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung
saja, akan tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku
yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan
oleh seseorang (Azwar, 2005).
2. Penonton
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tonton (v);
menonton (v) mempunyai arti melihat (pertunjukan, gambar hidup,
dsb). Sedangkan penonton adalah orang yang menonton
pertunjukan; orang yang hanya melihat (tidak campur, bekerja,
dsb.). Menonton berbeda dengan melihat. Melihat sendiri
mempunyai arti menggunakan mata untuk memandang;
(memperhatikan). Melihat juga mempunyai makna sebagai melihat
sesuatu dengan sambil lalu dan santai ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Dari kedua pengertian sebelumnya tentang menonton
dan melihat, dapat disimpulkan bahwa menonton mempunyai arti
yang lebih khusus, menonton memerlukan durasi dalam
lalu, akan tetapi ketika menonton kita tinggal lebih lama untuk
menonton suatu pertunjukan, gambar hidup, dan sebagainya.
Penonton adalah orang yang hadir dalam suatu pertunjukan dan
intens menonton, menyimak alur, fokus, dan mempunyai konteks.
3. Persepsi Penonton
Pengertian persepsi adalah proses pemberian arti terhadap
kejadian yang disadari, yang dipicu oleh stimulus eksternal dan
internal, yang berasal dari panca inderanya dan kemudian dapat
mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap seseorang.
Sedangkan pengertian penonton adalah orang yang hadir dalam
suatu pertunjukan dan intens menonton, menyimak alur, fokus, dan
mempunyai konteks.
Dengan demikian pengertian persepsi penonton adalah
orang yang hadir dalam suatu pertunjukan yang kemudian
memberikan arti terhadap sesuatu yang intens ditonton olehnya,
menyimak alur, fokus, dan mempunyai konteks, dan kemudian
dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang.
4. Remaja
Alasan pengambilan subjek usia remaja adalah remaja
dianggap sudah mempunyai kemampuan berpikir, mengambil
menonton Jathilan bukan karena adanya paksaan dari orang tua
ataupun orang lain, melainkan merupakan keinginannya sendiri.
Kekuatan pikiran remaja yang sedang berkembang
membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru.
Pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealis; lebih mampu
menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang
orang lain pikirkan tentang diri mereka; serta cenderung
menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Santrock, 2002).
Remaja tidak lagi pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar
pemikiran. Sebaliknya, mereka dapat membangkitkan
situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau
dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak. Selain abstrak,
pemikiran remaja juga idealis. Remaja mulai berpikir tentang
ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri & orang lain dan membandingkan
diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Pada
saat yang sama, mereka juga berpikir lebih logis. Remaja mulai
berpikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rencana untuk
memecahkan masalah-masalah dan menguji
pemecahan-pemecahan masalah secara sistematis (Santrock, 2002).
Masa remaja ialah masa dimana pengambilan keputusan
meningkat (Santrock, 2002). Dibandingkan dengan anak-anak,
remaja yang lebih muda cenderung menghasilkan pilihan-pilihan,
keputusan-keputusan, dan mempertimbangkan kredibilitas
sumber-sumber (Santrock, 2002).
Dengan demikian remaja dipilih sebagai subjek penelitian
ini karena remaja sudah memiliki otonomi, tidak seperti anak-anak
yang pengambilan keputusannya masih banyak dipengaruhi orang
tua. Selain itu peneliti melihat remaja yang gemar menonton
kesenian tradisional seperti ini sudah jarang ditemui, kebanyakan
remaja masa kini lebih gemar menonton televisi, konser atau
hal-hal yang modern.
5. Jathilan
Kuda Lumping dalam bahasa Jawa disebut juga Jaran
Kepang. Kesenian ini dimainkan dengan sebuah kuda buatan yang
tersusun dari anyaman bambu dan ijuk pohon aren lalu dibentuk
menyerupai kuda. Penyebaran budaya tari Kuda Lumping berada di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga asal usul lahirnya tari
Kuda Lumping seringkali diidentikkan dengan perjuangan
Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda.
Sementara sebagian rakyat lainnya percaya bahwa kesenian ini
sudah ada sejak jaman Raden Patah membangun kerajaan Demak.
Sebagai kesenian, Kuda Lumping menggabungkan unsur
tarian, nyanyian dan kekuatan magis sebagai satu kesatuan. Gerak
mewakili karakter kepahlawanan dalam sebuah perang. Tak heran
alunan musik yang terbentuk dari perpaduan suara kendang,
kenong, selompret dan gong terdengar hingar-bingar dan
mengundang sebagian besar masyarakat sekitar untuk berkumpul
menjadi satu. Momen inilah yang digunakan para pejuang jaman
Hindia-Belanda untuk menyatukan para pemuda sebagai pasukan
perlawanan (id.wikipedia.org).
Seringkali dalam pertunjukan Kuda Lumping diselipkan
unsur magis yang berupa bakar diri, makan beling, berjalan di atas
pecahan kaca dan menyayat tubuh sendiri dengan golok. Ini
terdengar mengerikan. Sebelum acara pagelaran Kuda Lumping
dimulai, biasanya diawali dengan ritual pembacaan mantra-mantra
tertentu oleh orang yang dipercayai memiliki kekutan sakti. Hal ini
diyakini dapat membantu penari Kuda Lumping lebih kuat dan
kebal terhadap berbagai macam senjata tajam.
Kuda Lumping biasanya dimainkan secara berpasangan
oleh kaum lelaki. Bisa 2 orang, 4 orang bahkan 6 orang sekaligus.
Namun dalam perkembangannya, kaum perempuan turut andil
sebagai penari Kuda Lumping dan menjadi penyambut tamu
penting yang berkunjung ke Pemerintahan Daerah. Hanya saja
bedanya, aksi penari perempuan tidak disertai dengan atraksi
luwes dan mencerminkan keanggunan pejuang wanita.
(jadiberita.com)
Jadi berdasarkan penjelasan dari paragraf-paragraf diatas,
dapat disimpulkan bahwa kuda lumping merupakan kesenian yang
menggabungkan unsur tarian, nyanyian dan kekuatan magis
sebagai satu kesatuan. Peralatan musik yang digunakan antara lain
: kendang, kenong, selompret dan gong.
6. Kesurupan
Kesurupan secara umum merupakan sebuah perubahan
temporer didalam kesadaran yang disertai hilangnya rasa identitas,
sebuah pemfokusan selektif kepada aspek-aspek spesifik
lingkungan dan perilaku-perilaku stereotip yang dialami sebagai
sesuatu yang berada diluar kontrol seseorang. Simtom-simtom ini
biasanya disertai oleh sebuah keyakinan bahwa dirinya kesurupan
sebuah ruh, kekuatan, atau orang lain. Istilah ini digunakan hanya
untuk oleh stress, disfungsi, dan tidak ada satupun kondisi ini yang
menjadi komponen normal dari upacara keagamaan / kebudayaan
lain. ( Kamus Psikologi, 2010).
Trance Disorder/Dissociative (Kamus Psikologi, 2010)
merupakan sebuah keadaan trance tidak dikehendaki yang tidak
Trance religious (Kamus Psikologi, 2010) merupakan
sebuah kerasukan yang disebabkan devosi religius yang sangat
dalam. Sebenarnya istilah ‘kerasukan’ ini salah kaprah karena
kondisi yang diacu biasanya tidak menunjukkan penurunan fungsi
tubuh yang umumnya dikaitkan dengan makna kerasukan, malah
memanifestasikan sebuah kualitas perilaku atau sikap yang penuh
tenaga, kuat bahkan gila-gilaan. Mereka yang mengalami
kerasukan religius menunjukkan gerak tubuh yang tidak
dikehendaki, dan fungsi tubuhnya seolah berubah menjadi ‘supra
-alamiah’. Karena itulah, wajah individu yang kerasukan religius
terlihat seperti ‘sadar’ namun sebenarnya bukan kesadarannya
sendiri, dapat melakukan atraksi berbahaya seperti makan serpihan
kaca, bergerak seperti hewan sesuai ‘roh’ yang merasukinya.
Sanggup berbicara dalam bahasa berbeda yang tidak pernah
dikuasai sebelumnya, dan sanggup menceritakan sesuatu yang
tidak pernah diketahui individu tersebut, bahkan mungkin oleh
siapapun.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, kesurupan yang
peneliti gunakan dalam penelitian adalah kesurupan sebagai sebuah
perubahan temporer didalam kesadaran yang disertai hilangnya
rasa identitas. Orang yang kesurupan memanifestasikan sebuah
kualitas perilaku atau sikap yang penuh tenaga, kuat bahkan
fungsi tubuhnya seolah berubah menjadi ‘supra-alamiah’. Dalam
keadaan ini, orang yang kesurupan dapat melakukan atraksi
berbahaya seperti makan serpihan kaca, bergerak seperti hewan
sesuai ‘roh’ yang merasukinya. Sanggup berbicara dalam bahasa
berbeda yang tidak pernah dikuasai sebelumnya, dan sanggup
menceritakan sesuatu yang tidak pernah diketahui individu
tersebut, bahkan mungkin oleh siapapun.
B. Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya merupakan penelitian dari Muhammad Riza
dan Istina Puji R. (Universitas Airlangga, 2010) yang berjudul Persepsi
Ritual Kesurupan dalam Budaya Jawa pada Kuda Lumping dan Sablang
Bakungan : sebuah Penelitian Indigeneous dalam Kebudayaan Jawa. Latar
belakang penelitian ini adalah adanya dua fenomena berbeda tentang
kesurupan, yaitu kesurupan sebagai hiburan dan kesurupan sebagai proses
penyembuhan (masyarakat Jawa menyebutnya Tolak Bala). Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Ada 10 partisipan yang
terlibat dalam penelitian ini yang berasal dari Kediri dan Banyuwangi di
mana Kuda Lumping dan Sablang Bakungan berasal. Hasil penelitian
menunjukkan partisipan berpikir bahwa kesurupan adalah hal yang
mengerikan karena perilaku orang / penari yang kesurupan sangat liar dan
tidak bisa dijelaskan. Mereka berperilaku sangat aneh. Meskipun tarian
mengurangi persepsi menakutkan pada penontonnya. Begitu juga persepsi
penonton pada kesurupan dalam tarian Sablang Bakungan. Meskipun
ritual ini dimaksudkan untuk menolak bencana, saat wanita tua yang
menari dalam Sablang Bakungan kesurupan tetap dianggap mengerikan.
Peneliti menemukan celah dari penelitian sebelumnya, yaitu dalam
penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Riza dan Istina Puji R subjek
yang digunakan bukan orang yang memang sering menonton kesenian
Jathilan atau Sablang Bakungan, Riza hanya mengambil beberapa sampel
yang berasal dari daerah yang mempunyai paguyuban Kuda Lumping dan
Sablang Bakungan tanpa ada keterangan memadai tentang alasan
pemilihan subjek.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana penonton Jathilan mempersepsi kesurupan pada
kesenian Jathilan?
2. Bagaimana dinamika emosi takut yang terjadi saat penonton
Jathilan menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan?
D. Dinamika Penelitian 1. Batasan Penelitian
Kata kunci dari penelitian ini adalah meneliti orang yang
gemar menonton Jathilan, maka untuk mendapatkan subjek yang
pada orang yang sering menonton Jathilan, yaitu yang selalu
menonton setiap ada pertunjukan Jathilan di daerahnya. Kriteria
subjek lainnya adalah berusia remaja, sering menonton Jathilan
(menonton setiap ada pertunjukan Jathilan di dusunnya). Alasan
pengambilan subjek usia remaja adalah peneliti ingin melihat
alasan mengapa di jaman yang sudah serba modern ini masih
banyak generasi muda yang gemar menonton kesenian tradisional,
khususnya Jathilan. Serta usia remaja dianggap sudah mempunyai
kemampuan berpikir, mengambil keputusan dan memaparkan ide
secara runtut sehingga saat menonton Jathilan bukan karena adanya
paksaan dari orang tua ataupun orang lain, melainkan merupakan
keinginannya sendiri.
Kesurupan yang peneliti gunakan dalam penelitian adalah
kesurupan sebagai sebuah perubahan temporer didalam kesadaran
yang disertai hilangnya rasa identitas. Orang yang kesurupan dapat
melakukan atraksi berbahaya seperti makan serpihan kaca,
bergerak seperti hewan atau sesuai ‘roh’ yang merasukinya.
Sanggup berbicara dalam bahasa berbeda yang tidak pernah
dikuasai sebelumnya, dan sanggup menceritakan sesuatu yang
tidak pernah diketahui individu tersebut, bahkan mungkin oleh
2. Alur Berpikir
Penelitian ini berawal dari peneliti yang melihat adanya
kontoversi antara hasil penelitian Muhammad Riza dan Istina Puji
R. (2010) bahwa kesurupan dipersepsi sebagai hal yang
mengerikan dan fakta bahwa masih banyak orang yang menonton
pertunjukan Jathilan. Faktanya di lapangan, masih banyak orang
yang mau menonton setiap ada pertunjukan Jathilan bahkan
beberapa orang tidak pernah ketinggalan untuk menonton. Dengan
adanya pendapat bahwa kesurupan merupakan hal yang
mengerikan, mengapa masih banyak orang yang tertarik untuk
menonton Jathilan? Benarkah kesurupan itu menakutkan? Hal
inilah yang akan peneliti teliti lebih lanjut untuk mengetahui
bagaimana dinamika penonton Jathilan mempersepsi kesurupan
pada Jathilan dan perilaku yang menyertai persepsi penonton
tersebut.
Reaksi seseorang terhadap sesuatu yang mengerikan adalah
menghindarinya, namun yang terjadi adalah mereka justru
menonton hal yang diyakini sebagai sesuatu yang mengerikan.
Penelitian ini bermula dari penonton yang melihat kesurupan
dalam sebuah pertunjukan Jathilan; penelitian sebelumnya
menunjukkan persepsi penonton terhadap kesurupan dalam
pertunjukan Jathilan adalah mengerikan dan menakutkan. Namun
menggemari pertunjukan Jathilan, maka peneliti mencoba
menggali yang dialami penonton saat menonton pertunjukan
Jathilan yang disertai kesurupan dengan melihat aspek-aspek dalam
persepsi yaitu: aspek kognitif (pikiran), aspek afektif (perasaan),
dan aspek konatif (perilaku). Hal ini menjadi penting dibahas
karena kita akan memahami bagaimana kesurupan dipandang oleh
penonton yang tetap suka menonton Jathilan meskipun ada
pendapat bahwa kesurupan adalah kejadian yang mengerikan dan
menakutkan. Dengan memahami persepsi kesurupan dari sudut
pandang penonton ini, kita dapat mengerti mengapa masih banyak
orang yang gemar menonton Jathilan meski dikatakan kesurupan
itu mengerikan dan menakutkan; dan kemudian dapat menjadi
pedoman untuk penonton agar dapat mengolah emosinya dengan
BAB III
METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian
Penelitian ini hendak melihat bagaimana persepsi penonton
Jathilan yang disertai kesurupan. Persepsi penonton adalah proses
pemberian arti terhadap kejadian yang disadari oleh penonton, yang dipicu
oleh stimulus eksternal dan internal, yang berasal dari panca indera
sewaktu menonton pertunjukan Jathilan yang kemudian dapat
mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap orang tersebut. Maka dapat
dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan bersifat sosial yang perlu
memahami persepsi akan kesurupan pada Jathilan dari sudut pandang
subyek. Oleh karena itu, jenis penelitian yang dirasa tepat adalah
penelitian kualitatif yang lebih memfokuskan pada pemahaman daripada
pengukuran. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (dalam
Moleong, 2009) adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah,
dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan
jalan melibatkan metode yang ada (wawancara, pengamatan, dan
pemanfaatan dokumen).
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode
fenomenologi. Metode penelitian fenomeologi ini dipilih karena sesuai
dengan tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan, yaitu berusaha
mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada persepsi atau
pendapat personal seorang individu tentang objek atau peristiwa (Smith,
2009). Stanley Deetz (1999) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam
fenomenologi: 1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak
disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan secara langsung dari
pengalaman yang disadari “conscious experience”. 2. Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu.
Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan
oleh apa makna sesuatu tersebut dalam kehidupan kita. 3. Bahasa adalah
sarana makna. Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui
bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan
dunia sosial tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha memahami persepsi yang
dimiliki oleh penonton. Menurut Smith (2009) kata “memahami” sangat
mewakili kedua aspek memahami-interpretasi dalam artian
mengidentifikasi atau berempati dan memahami dalam artian berusaha
memaknai. Dengan menggunakan kedua aspek tersebut dalam penelitian
cenderung akan menghasilkan analisis yang lebih kaya dan melaksanakan
keadilan yang lebih besar terhadap totalitas pribadi.
B. Fokus Penelitian
Fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah persepsi
penonton terhadap kesurupan dalam pertunjukan Jathilan. Fokus dalam
penelitian ini, yaitu menggali persepsi penonton yang menonton
Persepsi penonton terhadap kesurupan dalam kesenian Jathilan
tidak lepas dari aspek kognitif, afektif, dan konatif. Aspek-aspek dan
pedoman umum wawancara terhadap penonton pertunjukan Jathilan yang
disertai kesurupan akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
- Aspek-aspek
Aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian ini antara lain :
Tabel 1. Aspek-aspek yang akan Diungkap dalam Penelitian
Aspek Hal-hal yang Diungkap
1. Kognitif Ingatan atau pengetahuan, dan
pandangan penonton tentang
kesurupan dalam pertunjukan
Jathilan
2. Afektif Berbagai perasaan yang dirasakan
penonton pertunjukan Jathilan
sehubungan dengan fenomena
kesurupan; berbagai perasaan ketika
melihat penarinya mengalami
kesurupan.
3. Konatif Bagaimana penonton berperilaku
setelah menonton pertunjukan
Jathilan yang disertai kesurupan.
Sejauh mana kejadian kesurupan
dan aktivitas kehidupan dalam
kehidupan sehari-hari.
- Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara yang akan digunakan untuk memperoleh data
yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
Tabel 2. Pedoman Wawancara
Target Jawaban Pertanyaan
I. Untuk mendapatkan informasi
tentang definisi subjek tentang
kesurupan, perasaan yang
dirasakan, dan perilaku yang
menyertai saat menonton
pertunjukan Jathilan
- Kg = Bagaimana anda
memandang peristiwa kesurupan
dalam pertunjukan Jathilan?
- Kg = Apakah yang ada di pikiran
Anda ketika mendengar tentang
kesurupan dalam sebuah
pertunjukan Jathilan?
- Af = Apa yang anda rasakan
ketika menonton kesurupan dalam
pertunjukan Jathilan?
- Kn = Apa yang Anda lakukan
ketika ada kejadian kesurupan
dalam pertunjukan Jathilan yang
sedang Anda tonton?
pikiran Anda setelah menonton
kesurupan dalam pertunjukan
Jathilan?
II. Untuk mendapatkan informasi
tentang pandangan, perasaan, dan
perilaku subjek terhadap
pertunjukan Jathilan yang tidak
disertai kesurupan
- Kg = Menurut anda bagaimana
jika dalam suatu pertunjukan
Jathilan tidak ada penari yang
kesurupan?
- Af = Bagaimana perasaan anda
ketika menonton pertunjukan
Jathilan yang tidak ada
kesurupannya?
- Kn = Apa yang Anda lakukan
misalnya Anda menonton sebuah
pertunjukan Jathilan yang tidak ada
kesurupannya?
III. Untuk mendapatkan informasi
mengenai posisi kesurupan dalam
pertunjukan Jathilan.
- Kg = Menurut Anda apakah
dalam sebuah pertunjukan Jathilan
harus ada kejadian kesurupannya?
Mengapa?
IV. Untuk mendapatkan informasi
tentang mengapa subyek tetap mau
menonton pertunjukan Jathilan
yang disertai kesurupan dan
- Kg = Apa yang membuat anda
tetap mau menonton pertunjukan
Jathilan yang disertai kesurupan?
perilaku subjek ketika memutuskan
tetap menonton pertunjukan
Jathilan yang disertai kesurupan
pertunjukan Jathilan yang disertai
kesurupan?
C. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode Purposive Sampling. Dalam pendekatan
purposif peneliti hanya memilih subyek yang dianggap memiliki informasi
berkenaan dengan permasalahan penelitian. Oleh karena itu, peneliti
terlebih dulu menetapkan kriteria yang harus dimiliki subyek sebelum
melakukan proses pengambilan data.
Purposive Sampling adalah pengambilan sampel dengan melihat
syarat-syarat dan kriteria-kriteria tertentu berupa ciri-ciri yang sudah
ditemukan sebelumnya, sesuai dengan tujuan penelitian (Arikunto, 1989).
Adapun kriteria dalam penelitian ini antara lain :
1. Sering menonton Jathilan yang disertai kesurupan (menonton
setiap ada pertunjukan Jathilan di dusunnya).
2. Penonton yang hadir dan intens menonton minimal 75% dalam
sebuah pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan.
3. Berusia remaja
Tidak ada batasan tertentu akan banyaknya subyek dalam
subjek Jumlah sampel tersebut akan memberikan jumlah kasus yang
mencukupi untuk memeriksa kesamaan dan perbedaan antarsubyek.
D. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah warga Kepuh, Desa
Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman dan warga Condong Catur,
Sleman. Banyaknya subyek dalam penelitian ini adalah tiga orang
penonton, dua dari Kepuh dan satu dari Condong Catur. Pemilihan subyek
ini berdasarkan kedua daerah tersebut sering diadakan pertunjukan
Jathilan. Sehingga rata-rata warga Dusun Kepuh dan Condong Catur
memenuhi salah satu kriteria sampel yaitu sering menonton pertunjukan
Jathilan.
Dalam penelitian ini penonton dibatasi pada penonton yang hadir
dan intens menonton minimal 75% dari awal sampai habis dalam sebuah
pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan. Alasan ini diambil karena
dengan menonton minimal 75% subyek dianggap benar-benar menonton,
bukan hanya lewat dan melihat sambil lalu. Sehingga sampel yang didapat
adalah orang yang memang gemar menonton pertunjukan Jathilan.
Kriteria subjek lainnya adalah berusia remaja. Alasan pengambilan
subjek usia remaja adalah peneliti ingin melihat alasan mengapa di jaman
yang sudah serba modern ini masih banyak generasi muda yang gemar
menonton kesenian tradisional, khususnya Jathilan. Alasan lain adalah
keputusan dan memaparkan ide secara runtut sehingga saat menonton
Jathilan bukan karena adanya paksaan dari orang tua ataupun orang lain,
melainkan merupakan keinginannya sendiri.
E. Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang cocok untuk penelitian ini adalah
wawancara semi-terstruktur. Dalam penelitian ini, peneliti ingin
menganalisis secara detail bagaimana para subyek mempersepsi dan
membangun pemahaman mengenai kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.
Oleh karena itu dibutuhkan intrumen pengumpulan data yang fleksibel,
yaitu wawancara semi terstruktur.
Wawancara semi-terstruktur memungkinkan peneliti dan subyek
melakukan dialog, dan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun
sebelumnya dapat dimodifikasi menurut respon subyek. Dengan demikian,
peneliti dapat menyelidiki lebih jauh wilayah-wilayah yang menarik dan
penting yang muncul. Ketika melakukan wawancara semi-terstruktur,
pewawancara memiliki seperangkat pertanyaan pada daftar wawancara,
akan tetapi wawancara bukan didikte oleh daftar tersebut, daftar
pertanyaan hanya merupakan panduan. Akibatnya urutan pertanyaan
menjadi tidak begitu penting, pewawancara lebih memiliki kebebasan
untuk menanyakan lebih jauh berbagai wilayah menarik yang muncul, dan
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan penulis
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sehubungan dengan fenomena
yang diteliti, sekaligus menjadi daftar pengecek untuk mengetahui apakah
aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau diajukan sebagai pertanyaan.
Peneliti akan merekam selama proses wawancara berlangsung. Hal
ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam mewawancarai agar tidak
perlu menulis selama wawancara yang dapat merusak rapport dengan
subyek. Data rekaman yang telah diperoleh kemudian akan dibuat
transkrip wawancara atau verbatim yang dibuat sesuai dengan hasil
wawancara termasuk observasi selama wawancara berlangsung.
F. Metode Analisis Data
Setelah data diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data yang sudah diperoleh. Metode yang digunakan untuk
menganalisis data verbatim dalam penelitian ini adalah analisis isi. Hal ini
dilakukan karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan data deskriptif, dan untuk menganalisis data deskriptif
metode yang tepat digunakan adalah analisis isi. Langkah-langkah dalam
menganalisis data antara lain : pengorganisasian data, koding, dan
interpretasi. Langkah-langkah tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
1. Organisasi Data
Tahap awal dari analisis data adalah organisasi data. Dalam tahap
ini peneliti akan mengumpulkan keseluruhan verbatim subyek dan
menyimpannya secara lengkap dan sistematis.
2. Koding
Setelah mengorganisasi data, peneliti kemudian melakukan tahap
koding. Koding bertujuan agar dapat mengorganisasikan dan
mensistemasi data secara lengkap dan detil sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari dan menemukan
makna dari data yang dikumpulkan (Poerwandari, 2005).
Proses koding ini dilakukan dengan memberikan kode dan
catatan lapangan di samping verbatim. Kode dalam penelitian ini adalah
Kg (kognitif), Af (Afektif), dan Kn (Konatif). Selanjutnya peneliti akan
melakukan analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses
pengkodean data yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema,
kualifikasi tema, atau hal-hal diantara gabungan dari yang telah
disebutkan. Dari tema tersebut, diharapkan persepsi penonton
pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan dapat digambarkan dengan
baik.
3. Interpretasi
Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi. Interpretasi
dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tema-tema yang muncul
observasi. Interpretasi dilakukan agar didapatkan gambaran data yang
lebih mendalam. Klave (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa
interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif
sekaligus mendalam.
G.
Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan
(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability),
dan kepastian (confirmability).
1. Credibility
Penerapan kriteria derajat kepercayaan (credibility) pada
dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari penelitian
kuantitatif. Kriteria ini berfungsi: pertama, melaksanakan inkuiri
sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat
dicapai; kedua, mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil
penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada pengalaman
yang sedang diteliti (Moleong, 2009). Kredibilitas dalam penelitian
kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud
mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses,
2. Dependability
Kriteria kebergantungan merupakan subtitusi istilah reliabilitas
dalam penelitian nonkualitatif. Dalam penelitian nonkualitatif
reliabilitas ditunjukkan dengan jalan mengadakan replikasi studi.
Namun, pada penelitian kualitatif reliabilitas menekankan pada data,
bukan pada ‘orang’. Jadi pemeriksaan derajat kebergantungan bukan
lagi berkaitan dengan cirri penyidik, melainkan berkaitan dengan
ciri-ciri data.
3. Confirmability
Kriteria kepastian (confirmability) berasal dari konsep
objektivitas menurut penelitian nonkualitatif. Penelitian nonkualitatif
menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antarsubyek. Sedangkan
dalam penelitian kualitatif pemastian bahwa sesuatu itu obyektif atau
tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap
pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang (Moleong, 2009).
Dapat dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subyektif,
sedangkan jika disepakati oleh beberapa atau banyak orang baru dapat
dikatakan obyektif. Menurut Moleong (2009) sesuatu yang obyektif
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prosedur Pengambilan Data
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam mengambil data
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan pemilihan subjek dengan metode purposive
sampling. Pemilihan subjek didasarkan pada kriteria yang telah
ditetapkan peneliti, yaitu : berusia remaja, gemar menonton
jatilan, dan yang hadir dan intens menonton jatilan. Awalnya
peneliti mewawancarai empat subjek yang berasal dari dua
daerah yang sama. Namun ketika mulai melakukan pendekatan
diketahui bahwa dua subjek pernah menari Jathilan. Kemudian
peneliti mengugurkan dua subjek tersebut karena dapat
menimbulkan bias dalam menjawab pertanyaan penelitian.
Akhirnya peneliti mewawancarai dua subjek lagi yang berasal
dari daerah yang berbeda. Subjek 1 dan subjek 2 berasal dari
Kecamatan Cangkringan, sedangkan subjek 3 berasal dari
Kecamatan Condong Catur, Sleman. Peneliti memilih subjek
dari kedua daerah tersebut karena di kedua daerah tersebut
sering diadakan pertunjukan jatilan.
2. Membangun rapport dengan subjek penelitian. Peneliti
melangsungkan KKN. Peneliti melakukan pendekatan dengan
subjek 1 dan 2 dengan cara mengajak makan sambil mengobrol
dan mengunjungi rumah subjek. Sedangkan subjek 3 dikenal
peneliti dari seorang teman kampus yang merupakan warga
Condong Catur. Pendekatan dengan subjek 3 juga dilakukan
dengan mengajak nongkrong sambil mengobrol.
3. Melakukan tahap persiapan penelitian dengan membuat
pedoman wawancara. Pedoman wawancara dibuat sesuai
dengan aspek-aspek yang hendak digali dari subjek, yaitu
aspek kognitif, afektif dan konatif.
4. Melakukan uji coba wawancara terhadap subjek secara acak.
Hal ini dilakukan untuk mengecek apakah pertanyaan dalam
pedoman wawancara dapat dipahami oleh subjek dan apakah
pertanyaan dapat menggali jawaban sesuai dengan aspek yang
hendak digali.
5. Merevisi pertanyaan berdasarkan hasil uji coba wawancara.
6. Melakukan pengambilan data wawancara. Peneliti melakukan
wawancara dengan subjek 1 pada tanggal 20 Februari 2013,
kemudian subjek 2 pada tanggal 21 Februari 2013. Kemudian
peneliti mewawancarai subjek 3 pada tanggal 28 Juni 2013.
Setelah melakukan wawancara peneliti kemudian membuat
verbatim atau transkrip wawancara. Selanjutnya peneliti
kurang pada subjek 1 dan 2 pada tanggal 14 Juli 2013, dan
pada subjek 3 pada tanggal 16 Juli 2013.
7. Peneliti menentukan koding serta membuat kategori untuk
keseluruhan verbatim subjek.
8. Peneliti melakukan konfirmasi data kepada subjek untuk
memastikan data yang telah diperoleh oleh peneliti sesuai
dengan keadaan subjek. Peneliti melakukan konfirmasi data
kepada subjek 1 dan 2 pada tanggal 14 Juli 2013, dan subjek 3
pada tanggal 16 Juli 2013.
9. Langkah selanjutnya adalah peneliti melakukan interpretasi
data dan membuat kesimpulan dan saran.
B. Subjek Penelitian
Peneliti melakukan wawancara terhadap empat subjek dengan data
sebagai berikut :
1. Subjek 1
Nama : Ch
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 17 tahun
Pekerjaan : Pelajar
2. Subjek 2
Nama : Ans
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Pertama nonton jatilan : Sewaktu SD
3. Subjek 3
Nama : Dr
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Pertama nonton jatilan : Sewaktu TK
C. Hasil Analisis Data Penelitian
Tabel 3. Tabel Analisis Subjek 1
I. Untuk mendapatkan informasi akan pengetahuan subjek tentang kesurupan, perasaan yang dirasakan, dan perilaku yang menyertai saat menonton pertunjukan Jathilan.
Kognitif Afektif Konatif
Yang dipikirkan ketika
mendengar kata
kesurupan adalah
seram, mistis, dan
aneh. (I. Kg (5-9))
Kesurupan adalah
Ada perasaan kagum
saat melihat penari
yang kesurupan
melakukan hal yang
tidak wajar. (I. Af
(38-40))
Subjek tetap menonton
ketika terjadi
kesurupan dalam
Jathilan. (I. Kn
keadaan tidak sadar. Orang yang
kesurupan berperilaku
aneh seperti makan
beling.
Kesurupan itu unik,
tidak semua orang
bisa. (I. Kg (11-28))
Awalnya penari
sadar, lama-lama
pusing kemudian
menjadi tidak sadar
setelah ‘roh’ diundang.
Saat tidak sadar
penari bertingkah
sesuka hati, contohnya
makan ayam hidup. (I.
Kg (24-33))
Kesurupan seram
karena tidak wajar,
contoh perilaku tidak
wajar yang seram
adalah yang makan
beling dan ayam
hidup. (I. Kg
(117-120))
Setelah menonton
dalam pikirannya
biasa, tidak ketakutan
terbayang-bayang. (I. Kg
(52-54))
II. Untuk mendapatkan informasi tentang pandangan, perasaan, dan perilaku subjek terhadap pertunjukan Jathilan yang tidak disertai kesurupan
Kognitif Afektif Konatif
Jika Jathilan tanpa
karena narinya bagus.
(II. Af (75-80))
Yang dilakukan ketika
menonton Jathilan
yang tidak ada
kesurupannya hanya
melihat saja. (II. Kn
(79))
III. Untuk mendapatkan informasi mengenai posisi kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.
Kognitif Afektif Konatif
Kesurupan itu penting
karena yang menjadi
pembeda dengan
kesenian lain. (III. Kg
(145-147))
IV. Untuk mendapatkan informasi tentang mengapa subyek tetap mau menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan dan perilaku subjek ketika memutuskan tetap menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan
Kognitif Afektif Konatif
Yang membuat tetap
mau menonton
Jathilan karena unik,
tidak ada di Negara
lain dan melestarikan
kebudayaan sendiri.
(IV. Kg (100-112))
Apa yang terjadi
dalam Jathilan
dirasakan menghibur. Jika ada Jathilan dan
tidak menonton
rasanya kurang. (IV.
Kg (126-128))
--- Masih mau menonton
Jathilan sampai
sekarang. (IV. Kn
(149-150))
Berdasarkan tabel 3 dapat disimpulkan bahwa Ch mempunyai
pikiran kesurupan sebagai hal yang seram, mistis dan aneh. Pikiran
tersebut disertai dengan perasaan kagum Ch terhadap penari yang
sehingga Ch menjadi tergerak untuk tetap mau menonton pertunjukan
Jathilan sampai sekarang.
Ch meyakini bahwa kesurupan adalah hal yang seram karena orang
yang kesurupan biasanya berperilaku tidak wajar, seperti: makan beling,
atau makan ayam hidup. Meskipun kesurupan dianggap sebagai hal yang
seram dan mistis, namun Ch tidak terganggu dengan pikiran-pikiran
tersebut sehingga pikiran tersebut tidak melekat hingga Ch meninggalkan
tempat pertunjukan Jathilan tersebut.. Ch menjelaskan proses kesurupan
yang pada awalnya penari sadar, kemudian lama-kelaman penari
merasakan pusing dan menjadi tidak sadar setelah diundangkan ‘roh’.
Penari yang berada dalam keadaan tidak sadar ini kemudian bertingkah
sesuka hati mereka seperti makan ayam hidup.
Meskipun berpendapat kesurupan adalah hal yang seram, Ch
melihat kesurupan sebagai hal yang unik karena tidak semua orang bisa
melakukannya sehingga membuat Ch merasa kagum. Terkait dengan
posisi kesurupan dalam Jathilan Ch berpendapat bahwa kesurupan dalam
Jathilan itu penting karena menjadi pembeda dengan kesenian lain. Ch
berpendapat kesurupan tidak harus ada dalam setiap pertunjukan Jathilan.
Meskipun berpendapat kesurupan tidak harus ada, Ch mengaku jika
Jathilan tanpa disertai kesurupan pertunjukan Jathilan dirasakan tidak
ramai/meriah dan tidak ada seninya, namun Ch akan tetap senang dan
Alasan Ch tetap mau menonton Jathilan adalah Ch meyakini
bahwa kesurupan itu unik dan tidak ada di negara lain serta Ch merasa apa
yang ada dalam Jathilan dirasakan menghibur sehingga Ch merasakan ada
yang kurang jika Ch mengetahui ada Jathilan dan Ch tidak menonton.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa meskipun Ch mempunyai pikiran
kesurupan sebagai hal yang seram dan mistis, akan tetapi perasaan Ch
yang menyertai adalah perasaan positif yaitu perasaan kagum sehingga
perilaku yang akan dimunculkan Ch adalah tetap mau menonton Jathilan.
Tabel 4. Tabel Analisis Subjek 2
I. Untuk mendapatkan informasi akan pengetahuan subjek tentang kesurupan, perasaan yang dirasakan, dan perilaku yang menyertai saat menonton pertunjukan Jathilan.
Kognitif Afektif Konatif
Yang ada di pikiran
saat mendengar kata
kesurupan adalah takut
karena penarinya suka
melakukan hal yang
aneh dan tidak biasa.
(I. Kg (3-7))
Arti kesurupan adalah
makhluk yang tidak
kelihatan masuk ke
dalam tubuh seseorang
yang biasanya terjadi
pada malam hari di
Yogyakarta. (I. Af
(25-27))
Ada perasaan bangga
masih ada yang mau
melestarikan kesenian
daerah. (I. Af (47-49))
Yang dilakukan ketika
melihat penari
kesurupan adalah
menjauh dari kandang
karena takut
kesurupan. (I. Kn
keluar. (I. Kg (11-20))
lestarikan Jathilan. (I.
Kg (41-45))
penarinya lari-lari. (I.
Kg (116-121))
II. Untuk mendapatkan informasi tentang pandangan, perasaan, dan perilaku subjek terhadap pertunjukan Jathilan yang tidak disertai kesurupan
Kognitif Afektif Konatif
Kesurupan bisa jadi
bukan bagian dari
Jathilan karena ke-
banyakan penari-nya
tidak bisa kesurupan.
(II. Kg (61-65))
Perasaan waktu
menonton Jathilan
tanpa kesurupan tidak
apa-apa yang penting
tariannya bagus seperti
yang diajarkan leluhur.
(II. Af (67-73))
Yang dilakukan tetap
menonton sampai
selesai. (II. Kn
(76-77))
III. Untuk mendapatkan informasi mengenai posisi kesurupan dalam pertunjukan Jathilan.
Jathilan tidak harus
ada kesurupannya
karena mungkin cuma
me-lestarikan
tariannya jadi tidak
harus kesurupan. (III.
Kg (53-59))
Jathilan yang bagus
yang ada
kesurupannya.
Jathilan bagus kalau
narinya bagus, tapi
lebih bagus lagi jika
ada kesurupannya.
(III. Kg (84-108)
--- ---
IV. Untuk mendapatkan informasi tentang mengapa subyek tetap mau menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan dan perilaku subjek ketika memutuskan tetap menonton pertunjukan Jathilan yang disertai kesurupan
Kognitif Afektif Konatif
Yang membuat tetap
mau menonton karena
tariannya bagus dan
penontonnya banyak.
(IV. Kg (79-81))
Mau menonton
Jathilan karena
kelihatannya meriah
dan bagus. (IV. Kg
(109-112))
--- Masih lumayan sering
menonton, bahkan saat
latihan pun kadang
menonton. (IV. Kn