• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

B. Keraton dan Pengguron

Pusat-pusat pengajaran tarekat (pengguron) tersebar di berbagai wilayah Cirebon. Berdasarkan sejarahnya (sejak masa wali songo abad ke-16 dan masa Kolonial abad ke-17 sampai 19) tarekat Syattariyah berkembang pesat di sekitar keraton-keraton di Cirebon karena memang dahulu keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan keagamaan. Hingga saat ini, terdapat tiga keraton dan satu pengguron yang belakangan disebut sebagai keraton, yaitu: Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Dua yang pertama, keraton Kasepuhan dan Kanoman merupakan dua keraton utama. Sementara dua yang terakhir merupakan cabang (pecahan) dari keraton Kanoman. Berikut adalah deskripsi singkat mengenai keraton dan pengguron-pengguron di Cirebon yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah sebagai lokasi penelitian.

B.1. Keraton Kasepuhan

Keraton ini terletak di Jl. Lemahwungkuk, Kec. Lemahwungkuk, Kotamadya Cirebon. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah

60

dan terdapat dinding-dinding, gerbang, dan gapura bangunan keraton yang banyak menggunakan porselen (piring-piring) dari Cina sebagai hadiah dari Kerajaan Dinasti Ming saat Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien. Keraton Kasepuhan memiliki nilai historis, filosofis, dan sufistik yang berkaitan erat dengan sejarah penyebaran Islam di Cirebon, dan Jawa Barat pada umumnya.

Gambar 2.2 Kereta Singa Barong di Museum Keraton Kasepuhan

* Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 16 April 2015 di Keraton Kasepuhan

Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.Keraton ini juga memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksinya yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta tersebut melambangkan tiga binatang suci (buroq-Islam, gajah-Hindu, dan naga-Cina) sebagai perlambang

61

budaya-budaya masyarakat di Cirebon. Ini mencerminkan bahwa Cirebon sangat menghargai budaya-budaya yang ada pada saat itu. Bahkan bagi kalangan tarekat, kereta ini bukan hanya dimaknai secara kultural, tetapi merupakan ceminan cipta, karsa, dan rasa dari manusia. Saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.

Secara tata letak, sebagaimana keraton-keraton yang ada di wilayah Cirebon dan Jawa pada umumnya, bangunan keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara. Di depan keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang dahulu bernama Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan setiap hari Sabtu (Saptonan) dan juga sebagai titik pusat tata letak kompleks pemerintahan keraton. Dahulu di alun-alun ini dilaksanakan juga pentas perayaan kesultanan dan sebagai tempat rakyat berdatangan untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman dari sultan.

Di sebelah barat keraton Kasepuhan terdapat masjid megah hasil karya walisongo yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar (sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya). Model bentuk keraton yang menghadap utara, dengan bangunan Masjid di sebelah barat, dan pasar di sebelah timur, serta alun-alun ditengahnya, merupakan model tata letak keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.

62 B.2. Keraton Kanoman

Keraton Kanoman terletak di Jl. Kanoman, Kec. Pekalipan, Kotamdya Cirebon, atau di sisi barat keraton Kasepuhan. Semenjak berdirinya keraton Kanoman pada tahun 1678 M, kesultanan Cirebon terbagi dua yang terdiri keraton Kasepuhan (Sepuh) dan keraton Kanoman (Anom) ibarat pemimpin dan wakilnya.

Gambar 2.3 Siti Inggil di Keraton Kanoman

*Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi pada tanggal 18 April 2015

Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang Pasar Kanoman. Di keraton ini tinggal sultan ke-12 yang bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Keraton Kanoman memiliki bangunan kuno yang salah satunya bernama Bangsal Witana yang merupakan cikal bakal keraton. Di keraton ini masih terdapat barang barang, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat

63

baik dan tersimpan di museum. Sebagai kereta Singa Barong di Kasepuhan, bentuk kereta Paksi Naga Liman juga memiliki filosofi khusus; burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj; naga, yang berarti hewan suci bangsa Cina, dan Gajah hewan yang disucikan umat Hindu. Kereta itu juga melambangkan akulturasi budaya dari masyarakat di Cirebon.

Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat kompleks bangunan bangunan bernama Siti Hinggil. Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Sebagaimana model keraton di pesisir, keraton Kanoman juga smenghadap ke utara. Di depan keraton selalu terdapat alun-alun untuk rakyat berkumpul, pasar sebagai pusat perekonomian, dan di sebelah timur keraton terdapat ada masjid.

B.3. Keraton Kacirebonan

Kacirebonan terletak di wilayah Kel. Pulasaren Kec. Pekalipan, tepatnya 1 km sebelah barat daya keraton Kasepuhan, atau 500 meter sebelah selatan keraton Kanoman. Kacirebonan merupakan pemekaran dari keraton Kanoman setelah Sultan Anom IV, yakni PR. Muhammad Khaerudin wafat, putra mahkota yang seharusnya menggantikan tahta (PR. Anom Madenda) diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap pembangkang dan memberontak. Ketika

64

kembali dari pengasingan, tahta sudah diduduki oleh PR. Abu sholeh Imamuddin, atas kesepakatan keluarga. Akhirnya PR. Anom Madenda membangun keraton Kacirebonan tahun 1800 M, kemudian muncullah Sultan Carbon I sebagai Sultan Kacirebonan pertama. Namun gelar sultan hanya dipakai sampai masa jabatan itu, dan atas kebijakan Belanda keturunan setelahnya bergelar kepangeranan.

Bangunan Kacirebonan tidak termasuk tipologi arsitektural bangunan keraton, karena memang tidak memiliki alun-alun, masjid, dan wilayah yang cukup luas untuk disebut keraton, sehingga kebanyakan menyebutnya sebagai bangunan Kacirebonan dibanding keraton Kacirebonan. Bila dilihat dari segi bentuknya, bangunan Kacirebonan seperti bangunan pembesar pada zaman kolonial Belanda dengan pengaruh arsitektur Eropa yang kuat, dan lebih memiliki gaya arsitektur Jawa. Bahkan gelar kesultanan yang saat ini adalah KGPH.

Gambar 2.4 Jinem di Keraton Kacirebonan

65

Bangunan yang didirikan pada masa kolonial ini banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti: keris,wayang, perlengkapan perang, gamelan dan naskah-naskah kuno Di depan sebelah timur, terdapat sebuah paseban, tempat menerima tamu atau pengunjung keraton. Di sebelah barat, terdapat taman kecil dan air mancur. Kemudian bangunan utama keraton ini ialah jinem yang cukup luas tempat sultan menerima tamu-tamu keraton atau pemerintahan, yang terkadang juga digunakan sebagai pementasan kesenian. Di dalamnya, terdapat peninggalan sejarah seperti: keris, lukisan, perlengkapan perang, gamelan, perlengkapan upacara, serta naskah-naskah kuno. Salah satu naskah tersebut

adalah sebuah kitab klasik karangan Imam Ibn „Arabi yang merupakan kitab

tasawuf berbahasa Arab yang sudah rapuh kertasnya. Adapaun naskah-naskah yang lain adalah naskah-naskah berbahasa Arab-Pegon (Arab-Jawa). Dan di bagian belakang terdapat halaman kecil yang dijadikan tempat latihan kesenian Tari Topeng, Sintren, dan Gamelan khas kesenian Cirebon. Seperti halnya keraton Kasepuhan dan Kanoman, Kecirebonan tetap menjaga dan melestarikan tradisi dan upacara adat seperti upacara Pajang Jimat (perayaan maulid Nabi Saw).

B.4. Pengguron Kaprabonan

Pengguron Kaprabonan terletak di sebelah timur keraton Kanoman dan berada di tengah-tengah Pasar Kanoman. Kompleks pengguron ini terbilang kecil bila dibandingkan dengan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Di dalamnya terdapat dua tempat tinggal keluarga Kaprabonan dan sebuah tajug (mushola) yang terletak di bagian barat, di sebelah air mancur kecil. Tajug tersebut dahulu

66

dipakai untuk mengajarkan ilmu tarekat oleh Rama Guru Adipati Kaprabon (pendiri Kaprabonan) kepada para murid-murid beliau.

Gambar 2.5 Halaman Pengguron Kaprabonan

*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 17 April 2015

Namun perkembangan saat ini, pengguron Kaprabonan tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengguron tarekat sebagaimana dahulu. Malah Pangeran Hempi Raja Kaprabon, penerus pengguron Kaprabonan mengangkat dirinya sebagai sultan dan menjadikan pengguron Kaprabonan sebagai keraton. Memang agaknya ada kepentingan politis yang mungkin menyelimuti perkembangan tarekat di Kaprabonan. Oleh karenanya, kebanyakan pengguron yang ada saat ini mulai keluar dari lingkungan Kaprabonan dan bertempat di luar keraton-keraton lainnya. Bahkan dari pengamatan peneliti, tidak ada sama sekali aktivitas ketarekatan yang

67

diadakan di Kaprabonan. Hanya ditemukan beberapa kitab ketarekatan berbahasa Arab-Pegon milik keluarga Kaprabonan.

Dari keempat lokasi penelitian di wilayah keraton yang peneliti telusuri, masih tersisa bekas-bekas peninggalan dari sejarah dan perkembangan tarekat Syattariyah di Cirebon. Peninggalan-peninggalan tersebut antara lain seperti tajug, kitab, naskah/manuskrip, dan benda-benda bersejarah yang memang berkaitan dengan tarekat Syattariyah. Memang keraton tersebut dahulu memang dijadikan sebagai pusat penyebaran agama dan tarekat. Tapi karena pengaruh politis dan penjajahan, maka aktivitas ketarekatan akhirnya keluar dari keraton. Selain itu, di keempat lokasi tersebut sudah tidak ada lagi rama guru (mursyid) yang tinggal di sana, walaupun memang sebagaian murid-murid tarekat dari keluarga keluarga keraton masih banyak yang mengamalkan tarekat Syattariyah sebagai warisan Sunan Gunung Jati. Dengan menimbang beberapa hal di atas, maka data-data yang dikumpulkan dari keempat lokasi tersebut lebih bersifat data skunder yang bersifat historis dan dokumentatif.

B.5. Pengguron Tarekat

Sebagaimana telah dijelaskan, pengguron-pengguron tarekat yang awalnya berada dalam wilayah keraton, sekarang bertempat di luar lingkungan keraton. Namun demikian, mereka masih memiliki hubungan baik dengan pihak keraton, bahkan dalam upacara-upacara keagamaan keraton turut mengundang pihak pengguron. Berikut adalah pengguron yang masih berafiliasi dengan keraton dan masih eksis hingga saat ini:

68

Tabel 2.1 Lokasi Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah

No Nama Pengguron Pimpinan Lokasi

1. Pengguron Tarekat Agama Islam

Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat

Jl. Jagasatru, Pegajahan, Kotamadya Cirebon 2. Pengguron Krapyak Rama Guru Pangeran

Muhammad Afiyah

Gg. Kaprabonan, Kotamadya Cirebon 3. Pengguron Lam Alif Rama Guru Raden

Bambang Iriyanto

Jl. Drajat, Kotamadya Cirebon

4. Pengguron Rama Guru Pangeran Muhammad Hilman

Rama guru Pangeran Muhammad Hilman

Perumnas, Kotamadya Cirebon

5. Pengguron Rama Guru Pangeran Yudi

Kusumaningrat

Rama Guru Pangeran Yudi Kusumaningrat

Gg. Kaprabonan, Kotamadya Cirebon 6. Pengguron Rama Guru

Pangeran Yunan Kaprabonan

Rama Guru Pangeran Yunan Kaprabonan

Gg. Kaprabonan, Kotamadya Cirebon 7. Pengguron Tarekat

Islam

Rama Guru Pangeran Harman Raja Kaprabon

Tuparev, Kotamadya Cirebon

Sumber: Persebaran tarekat ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Rama Guru Pangeran Muh. Nurbuwat P., Rama Guru Rd.Bambang Iriyanto dan Rama Guru Pangeran Harman Raja Kaprabon pada Mei 2015.

Pengguron-pengguron tersebut merupakan pengguron yang masih aktif hingga saat ini. Sebagian dari pengguron ini lokasinya tidak terlalu jauh dari keraton, seperti Pengguron Krapyak, Pengguron Tarekat Agama Islam, dan Pengguron Rama Guru Yudi Kusumaningrat, yang letaknya masih berdekatan Keraton Kasepuhan dan Kaprabonan. Namun adapula pengguron yang memang berjauhan atau sengaja menjauhi keraton, seperti Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam yang terletak di Drajat dan Tuparev.

Dengan menimbang efisiensi waktu dan jarak, keterkaitan pengguron dan keraton yang lebih erat, serta sanad dari Rama Guru yang memang berasal dari trah laki-laki, lokasi penelitian ini lebih terfokus di pengguron Tarekat Agama

69

Islam, yang terletak di Jl. Jagasatru, Pegajahan Utara No.59. Pengguron ini merupakan pimpinan Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat, keturunan Kaprabonan yang memiliki sanad sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Di antara pengguron-pengguron yang lain, pengguron Mama Nung (panggilan akrab Rama Guru PM. Nurbuwat Purbaningrat) memang yang paling aktif kegiatannya. Selain itu, pengguron ini juga yang terbesar dengan terdapat sebuah tajug dan dua buah pendopo sebagai tempat berkumpulnya para murid (ikhwan) tarekat setiap seminggu/sebulan sekali. Di sinilah selanjutnya peneliti melakukan observasi, wawancara, dan pencatatan secara intens guna melihat relasi dan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton di Cirebon.

Gambar 2.6 Halaman Depan Pengguron Pegajahan

70

Peneliti juga melakukan pengamatan dan wawancara di beberapa pengguron lain sebagai bahan perbandingan dan pelengkap terhadap data yang didapat dari Pengguron Pegajahan. Beberapa pengguron yang terbuka untuk penelitian, antara lain: Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam. Kedua pengguron ini terletak berjauhan dengan keraton sehingga hanya menjadi lokasi tambahan untuk melengkapi data yang di dapat. Melalui ketiga pengguron yang berafiliasi dengan keraton, peneliti akan menganalisis bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton sebagai relasi antara aspek agama dan sosial-budaya di keraton.

Dokumen terkait