• Tidak ada hasil yang ditemukan

penyempurnaan.

54

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kota/Kabupaten Cirebon

Penelitian ini berlokasi di wilayah Kabupaten dan Kotamadya Cirebon, provinsi Jawa Barat. Kota/Kabupaten Cirebon dikenal juga dengan sebutan Kota Udang, yang mana dahulu memang masyarakat kebanyakan bekerja sebagai nelayan yang mencari udang sebagai bahan baku pembuatan terasi dan petis. Adapula yang menyebutnya sebagai Kota Wali, karena memang pada masa Wali Songo, Cirebon merupakan basis penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Selain itu kota Cirebon disebut juga dengan Caruban Nagari atau Grage (kerajaan yang besar), karena memang dahulu pernah berdiri kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sesepuh Keraton Kasepuhan, Bapak Her. Mungal menjelaskan:

Kalau Cirebon ini awalnya bernama Caruban, dalam Purwaka Caruban Nagari (PCN) itu, caruban artinya campuran, karena penduduk awal yang berada di Caruban, atau disebutnya Kebon Pesisir, berada di pantai, pesisir. Nah kemudian, campuran karena berasal dari berbagai bangsa yang datang ke tempat ini, yaitu pedagang yang berasal dari India, Cina, Sumasi, Champa, Kamboja, Arab, dan sebagainya, mereka berdagang di Jawa khususnya Cirebon. Kemudian, dari Caruban itu menjadi Cirebon. Kemudian waktu itu karena perkembangan Cirebon itu pesat, makanya disebut Negara Gede, atau Grage, yang sekarang dipakai jadi nama mall. Lalu dari Cirebon, zaman Belanda itu disebut, Cheirbhon. Nah terus jadi Cirebon sekarang.

55

Jadi, penamaan nama Cirebon sendiri berasal dari kata sarumban (desa), yang dahulu merupakan sebuah dukuh kecil percampuran penduduk dari berbagai daerah. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. Kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.

Selain karena faktor penamaan tempat, penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut belendrang yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda:air rebon), yang kemudian menjadi cirebon. Pada masa Belanda pelafalan Cirebon menjadi Cheirbon, dan sekarang dibakukan menjadi Cirebon.

Secara geografis, wilayah Kabupaten Cirebon bagian utara merupakan dataran rendah (pesisir), sedangkan bagian barat daya berupa pegunungan, yakni lereng Gn.Ciremai. Letak daratannya memanjang dari barat laut ke tenggara. Wilayah Kabupaten Cirebon sebelah utara dibatasi Kota Cirebon dan Laut Jawa; sebelah barat daya dengan Kabupaten Majalengka; sebelah barat dengan Kabupaten Indramayu; sebelah Selatan dengan Kabupaten Kuningan; dan sebelah timur dengan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).

56

Wilayah administrasi Kabupaten Cirebon sendiri terdiri atas 40 kecamatan, yang dibagi lagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon terletak di Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah selatan Kota Cirebon. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran dari Kecamatan Klangenan sebelah timur), Kecamatan Suranenggala (Pemekaran dari Kecamatan Kapetakan sebelah selatan), dan Kecamatan Greged (Pemekaran dari Kecamatan Beber sebelah timur).

57

Cirebon juga merupakan salah satu kabupaten terpadat di Provinsi Jawa Barat. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, Kecamatan Sumber merupakan wilayah dengan jumlah penduduknya paling banyak yaitu sebesar 80.914 jiwa dan berikutnya adalah Kecamatan Gunung Jati yaitu sebanyak 77.712 jiwa. Sedangkan wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kabupaten Cirebon adalah Kecamatan Pasaleman yaitu sebanyak 24.912 jiwa dan Kecamatan Karangwareng sebanyak 26.554 jiwa. Sesuai dengan data kependudukan terbaru Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Cirebon, jumlah penduduk per 30 April 2013 berjumlah 2.957.257 jiwa.

Penduduk Cirebon di bagian utara umumnya menggunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Cirebon merupakan bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya, bahasa Cirebon memiliki wyakarana (tata-bahasa) sendiri yang tidak mengikuti pola tata bahasa Jawa. Bahasa ini dituturkan di bagian barat dan timur Kabupaten Cirebon. Sementara di wilayah pedalaman seperti Kecamatan Pasaleman, Ciledug, Beber, dan sekitarnya yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan atau wilayah pedalaman lainnya yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Brebes, dipergunakan bahasa Sunda Cirebon dengan beragam dialeknya. Bahasa Jawa juga bercampur dengan bahasa Cirebon dan bahasa Sunda Cirebon di beberapa wilayah yang berbatasan dengan Brebes, antara lain: Kecamatan Losari, Pabedilan, dan Ciledug.

Adapun kebudayaan yang melekat pada masyarakat Cirebon merupakan perpaduan berbagai budaya yang datang, seperti Cina, Arab, dan India, yang kemudian membentuk perpaduan yang khas. Hal ini dapat dilihat dari beberapa

58

pertunjukan masyarakat Cirebon, seperti: Tarling, Tari Topeng Cirebon, Sintren, Kesenian Gembyung, dan Sandiwara Cirebonan. Kota ini juga memiliki beberapa kerajinan tangan di antaranya Topeng Cirebon, Lukisan Kaca, Bunga Rotan, dan Batik. Salah satu ciri khas batik asal Cirebon adalah motif batik Mega Mendung, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya membentuk bingkai pada gambar utama. Motif tersebut didapat dari pengaruh keraton-keraton di Cirebon, karena pada awalnya seni batik Cirebon hanya dikenal di kalangan keraton. Sekarang di Cirebon, batik motif mega mendung telah banyak digunakan berbagai kalangan. Selain itu terdapat juga motif batik yang disesuaikan dengan ciri khas penduduk pesisir. Pusat industri batik di Cirebon saat ini terpusat di wilayah desa Trusmi, sehingga disebut juga sebagai desa batik Trusmi.

Memang banyak keunikan lain yang terdapat di kota pesisir ini, baik dari aspek budaya, bahasa, sejarah, maupun agama masyarakat Cirebon. Khususnya dari aspek sejarah, kota yang berjuluk kota wali ini, menjadi saksi dinamika penyebaran Islam di Jawa Barat sejak masa wali songo hingga sekarang. Kesultanan Cirebon yang dahulu dipimpin Sunan Gunung Jati telah menorehkan sejarah bagi perkembangan agama Islam Nusantara. Bahkan, telah menciptakan perubahan sosial dengan mengislamkan masyarakat di tanah-sunda (Pajajaran) yang terbentang dari Cirebon sampai ke Banten dari beragama Hindu ke Islam.

Berbagai peninggalan sejarah dan institusi-institusi sosial yang dahulu berperan penting masih lestari hingga saat ini. Keraton, masjid Sang Cipta Rasa, Astana (pemakaman) Gunung Jati dan Gunung Sembung, pondok-pondok

59

pesantren, serta pengguron-pengguron tarekat yang terdapat di Cirebon, mencerminkan kota ini kental dengan tradisi ke-Islaman yang bersifat sufistik. Tarekat Syattariyah yang menjadi fokus peneleitian ini, telah berasosiasi dengan berbagai institusi sosial tersebut. Filosofi, ajaran, dan pola kehidupan sufistik telah meresap ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Cirebon. Berikut akan dipaparkan beberapa lokasi yang memiliki kaitan dengan tarekat Syattariyah di Cirebon sebagai lokasi penelitian ini.

B. Keraton dan Pengguron di Cirebon

Pusat-pusat pengajaran tarekat (pengguron) tersebar di berbagai wilayah Cirebon. Berdasarkan sejarahnya (sejak masa wali songo abad ke-16 dan masa Kolonial abad ke-17 sampai 19) tarekat Syattariyah berkembang pesat di sekitar keraton-keraton di Cirebon karena memang dahulu keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan keagamaan. Hingga saat ini, terdapat tiga keraton dan satu pengguron yang belakangan disebut sebagai keraton, yaitu: Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Dua yang pertama, keraton Kasepuhan dan Kanoman merupakan dua keraton utama. Sementara dua yang terakhir merupakan cabang (pecahan) dari keraton Kanoman. Berikut adalah deskripsi singkat mengenai keraton dan pengguron-pengguron di Cirebon yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah sebagai lokasi penelitian.

B.1. Keraton Kasepuhan

Keraton ini terletak di Jl. Lemahwungkuk, Kec. Lemahwungkuk, Kotamadya Cirebon. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah

60

dan terdapat dinding-dinding, gerbang, dan gapura bangunan keraton yang banyak menggunakan porselen (piring-piring) dari Cina sebagai hadiah dari Kerajaan Dinasti Ming saat Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien. Keraton Kasepuhan memiliki nilai historis, filosofis, dan sufistik yang berkaitan erat dengan sejarah penyebaran Islam di Cirebon, dan Jawa Barat pada umumnya.

Gambar 2.2 Kereta Singa Barong di Museum Keraton Kasepuhan

* Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 16 April 2015 di Keraton Kasepuhan

Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.Keraton ini juga memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksinya yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta tersebut melambangkan tiga binatang suci (buroq-Islam, gajah-Hindu, dan naga-Cina) sebagai perlambang

61

budaya-budaya masyarakat di Cirebon. Ini mencerminkan bahwa Cirebon sangat menghargai budaya-budaya yang ada pada saat itu. Bahkan bagi kalangan tarekat, kereta ini bukan hanya dimaknai secara kultural, tetapi merupakan ceminan cipta, karsa, dan rasa dari manusia. Saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.

Secara tata letak, sebagaimana keraton-keraton yang ada di wilayah Cirebon dan Jawa pada umumnya, bangunan keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara. Di depan keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang dahulu bernama Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan setiap hari Sabtu (Saptonan) dan juga sebagai titik pusat tata letak kompleks pemerintahan keraton. Dahulu di alun-alun ini dilaksanakan juga pentas perayaan kesultanan dan sebagai tempat rakyat berdatangan untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman dari sultan.

Di sebelah barat keraton Kasepuhan terdapat masjid megah hasil karya walisongo yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar (sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya). Model bentuk keraton yang menghadap utara, dengan bangunan Masjid di sebelah barat, dan pasar di sebelah timur, serta alun-alun ditengahnya, merupakan model tata letak keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.

62 B.2. Keraton Kanoman

Keraton Kanoman terletak di Jl. Kanoman, Kec. Pekalipan, Kotamdya Cirebon, atau di sisi barat keraton Kasepuhan. Semenjak berdirinya keraton Kanoman pada tahun 1678 M, kesultanan Cirebon terbagi dua yang terdiri keraton Kasepuhan (Sepuh) dan keraton Kanoman (Anom) ibarat pemimpin dan wakilnya.

Gambar 2.3 Siti Inggil di Keraton Kanoman

*Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi pada tanggal 18 April 2015

Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang Pasar Kanoman. Di keraton ini tinggal sultan ke-12 yang bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Keraton Kanoman memiliki bangunan kuno yang salah satunya bernama Bangsal Witana yang merupakan cikal bakal keraton. Di keraton ini masih terdapat barang barang, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat

63

baik dan tersimpan di museum. Sebagai kereta Singa Barong di Kasepuhan, bentuk kereta Paksi Naga Liman juga memiliki filosofi khusus; burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj; naga, yang berarti hewan suci bangsa Cina, dan Gajah hewan yang disucikan umat Hindu. Kereta itu juga melambangkan akulturasi budaya dari masyarakat di Cirebon.

Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat kompleks bangunan bangunan bernama Siti Hinggil. Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Sebagaimana model keraton di pesisir, keraton Kanoman juga smenghadap ke utara. Di depan keraton selalu terdapat alun-alun untuk rakyat berkumpul, pasar sebagai pusat perekonomian, dan di sebelah timur keraton terdapat ada masjid.

B.3. Keraton Kacirebonan

Kacirebonan terletak di wilayah Kel. Pulasaren Kec. Pekalipan, tepatnya 1 km sebelah barat daya keraton Kasepuhan, atau 500 meter sebelah selatan keraton Kanoman. Kacirebonan merupakan pemekaran dari keraton Kanoman setelah Sultan Anom IV, yakni PR. Muhammad Khaerudin wafat, putra mahkota yang seharusnya menggantikan tahta (PR. Anom Madenda) diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap pembangkang dan memberontak. Ketika

64

kembali dari pengasingan, tahta sudah diduduki oleh PR. Abu sholeh Imamuddin, atas kesepakatan keluarga. Akhirnya PR. Anom Madenda membangun keraton Kacirebonan tahun 1800 M, kemudian muncullah Sultan Carbon I sebagai Sultan Kacirebonan pertama. Namun gelar sultan hanya dipakai sampai masa jabatan itu, dan atas kebijakan Belanda keturunan setelahnya bergelar kepangeranan.

Bangunan Kacirebonan tidak termasuk tipologi arsitektural bangunan keraton, karena memang tidak memiliki alun-alun, masjid, dan wilayah yang cukup luas untuk disebut keraton, sehingga kebanyakan menyebutnya sebagai bangunan Kacirebonan dibanding keraton Kacirebonan. Bila dilihat dari segi bentuknya, bangunan Kacirebonan seperti bangunan pembesar pada zaman kolonial Belanda dengan pengaruh arsitektur Eropa yang kuat, dan lebih memiliki gaya arsitektur Jawa. Bahkan gelar kesultanan yang saat ini adalah KGPH.

Gambar 2.4 Jinem di Keraton Kacirebonan

65

Bangunan yang didirikan pada masa kolonial ini banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti: keris,wayang, perlengkapan perang, gamelan dan naskah-naskah kuno Di depan sebelah timur, terdapat sebuah paseban, tempat menerima tamu atau pengunjung keraton. Di sebelah barat, terdapat taman kecil dan air mancur. Kemudian bangunan utama keraton ini ialah jinem yang cukup luas tempat sultan menerima tamu-tamu keraton atau pemerintahan, yang terkadang juga digunakan sebagai pementasan kesenian. Di dalamnya, terdapat peninggalan sejarah seperti: keris, lukisan, perlengkapan perang, gamelan, perlengkapan upacara, serta naskah-naskah kuno. Salah satu naskah tersebut

adalah sebuah kitab klasik karangan Imam Ibn „Arabi yang merupakan kitab

tasawuf berbahasa Arab yang sudah rapuh kertasnya. Adapaun naskah-naskah yang lain adalah naskah-naskah berbahasa Arab-Pegon (Arab-Jawa). Dan di bagian belakang terdapat halaman kecil yang dijadikan tempat latihan kesenian Tari Topeng, Sintren, dan Gamelan khas kesenian Cirebon. Seperti halnya keraton Kasepuhan dan Kanoman, Kecirebonan tetap menjaga dan melestarikan tradisi dan upacara adat seperti upacara Pajang Jimat (perayaan maulid Nabi Saw).

B.4. Pengguron Kaprabonan

Pengguron Kaprabonan terletak di sebelah timur keraton Kanoman dan berada di tengah-tengah Pasar Kanoman. Kompleks pengguron ini terbilang kecil bila dibandingkan dengan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Di dalamnya terdapat dua tempat tinggal keluarga Kaprabonan dan sebuah tajug (mushola) yang terletak di bagian barat, di sebelah air mancur kecil. Tajug tersebut dahulu

66

dipakai untuk mengajarkan ilmu tarekat oleh Rama Guru Adipati Kaprabon (pendiri Kaprabonan) kepada para murid-murid beliau.

Gambar 2.5 Halaman Pengguron Kaprabonan

*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 17 April 2015

Namun perkembangan saat ini, pengguron Kaprabonan tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengguron tarekat sebagaimana dahulu. Malah Pangeran Hempi Raja Kaprabon, penerus pengguron Kaprabonan mengangkat dirinya sebagai sultan dan menjadikan pengguron Kaprabonan sebagai keraton. Memang agaknya ada kepentingan politis yang mungkin menyelimuti perkembangan tarekat di Kaprabonan. Oleh karenanya, kebanyakan pengguron yang ada saat ini mulai keluar dari lingkungan Kaprabonan dan bertempat di luar keraton-keraton lainnya. Bahkan dari pengamatan peneliti, tidak ada sama sekali aktivitas ketarekatan yang

67

diadakan di Kaprabonan. Hanya ditemukan beberapa kitab ketarekatan berbahasa Arab-Pegon milik keluarga Kaprabonan.

Dari keempat lokasi penelitian di wilayah keraton yang peneliti telusuri, masih tersisa bekas-bekas peninggalan dari sejarah dan perkembangan tarekat Syattariyah di Cirebon. Peninggalan-peninggalan tersebut antara lain seperti tajug, kitab, naskah/manuskrip, dan benda-benda bersejarah yang memang berkaitan dengan tarekat Syattariyah. Memang keraton tersebut dahulu memang dijadikan sebagai pusat penyebaran agama dan tarekat. Tapi karena pengaruh politis dan penjajahan, maka aktivitas ketarekatan akhirnya keluar dari keraton. Selain itu, di keempat lokasi tersebut sudah tidak ada lagi rama guru (mursyid) yang tinggal di sana, walaupun memang sebagaian murid-murid tarekat dari keluarga keluarga keraton masih banyak yang mengamalkan tarekat Syattariyah sebagai warisan Sunan Gunung Jati. Dengan menimbang beberapa hal di atas, maka data-data yang dikumpulkan dari keempat lokasi tersebut lebih bersifat data skunder yang bersifat historis dan dokumentatif.

B.5. Pengguron Tarekat

Sebagaimana telah dijelaskan, pengguron-pengguron tarekat yang awalnya berada dalam wilayah keraton, sekarang bertempat di luar lingkungan keraton. Namun demikian, mereka masih memiliki hubungan baik dengan pihak keraton, bahkan dalam upacara-upacara keagamaan keraton turut mengundang pihak pengguron. Berikut adalah pengguron yang masih berafiliasi dengan keraton dan masih eksis hingga saat ini:

68

Tabel 2.1 Lokasi Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah

No Nama Pengguron Pimpinan Lokasi

1. Pengguron Tarekat Agama Islam

Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat

Jl. Jagasatru, Pegajahan, Kotamadya Cirebon 2. Pengguron Krapyak Rama Guru Pangeran

Muhammad Afiyah

Gg. Kaprabonan, Kotamadya Cirebon 3. Pengguron Lam Alif Rama Guru Raden

Bambang Iriyanto

Jl. Drajat, Kotamadya Cirebon

4. Pengguron Rama Guru Pangeran Muhammad Hilman

Rama guru Pangeran Muhammad Hilman

Perumnas, Kotamadya Cirebon

5. Pengguron Rama Guru Pangeran Yudi

Kusumaningrat

Rama Guru Pangeran Yudi Kusumaningrat

Gg. Kaprabonan, Kotamadya Cirebon 6. Pengguron Rama Guru

Pangeran Yunan Kaprabonan

Rama Guru Pangeran Yunan Kaprabonan

Gg. Kaprabonan, Kotamadya Cirebon 7. Pengguron Tarekat

Islam

Rama Guru Pangeran Harman Raja Kaprabon

Tuparev, Kotamadya Cirebon

Sumber: Persebaran tarekat ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Rama Guru Pangeran Muh. Nurbuwat P., Rama Guru Rd.Bambang Iriyanto dan Rama Guru Pangeran Harman Raja Kaprabon pada Mei 2015.

Pengguron-pengguron tersebut merupakan pengguron yang masih aktif hingga saat ini. Sebagian dari pengguron ini lokasinya tidak terlalu jauh dari keraton, seperti Pengguron Krapyak, Pengguron Tarekat Agama Islam, dan Pengguron Rama Guru Yudi Kusumaningrat, yang letaknya masih berdekatan Keraton Kasepuhan dan Kaprabonan. Namun adapula pengguron yang memang berjauhan atau sengaja menjauhi keraton, seperti Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam yang terletak di Drajat dan Tuparev.

Dengan menimbang efisiensi waktu dan jarak, keterkaitan pengguron dan keraton yang lebih erat, serta sanad dari Rama Guru yang memang berasal dari trah laki-laki, lokasi penelitian ini lebih terfokus di pengguron Tarekat Agama

69

Islam, yang terletak di Jl. Jagasatru, Pegajahan Utara No.59. Pengguron ini merupakan pimpinan Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat, keturunan Kaprabonan yang memiliki sanad sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Di antara pengguron-pengguron yang lain, pengguron Mama Nung (panggilan akrab Rama Guru PM. Nurbuwat Purbaningrat) memang yang paling aktif kegiatannya. Selain itu, pengguron ini juga yang terbesar dengan terdapat sebuah tajug dan dua buah pendopo sebagai tempat berkumpulnya para murid (ikhwan) tarekat setiap seminggu/sebulan sekali. Di sinilah selanjutnya peneliti melakukan observasi, wawancara, dan pencatatan secara intens guna melihat relasi dan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton di Cirebon.

Gambar 2.6 Halaman Depan Pengguron Pegajahan

70

Peneliti juga melakukan pengamatan dan wawancara di beberapa pengguron lain sebagai bahan perbandingan dan pelengkap terhadap data yang didapat dari Pengguron Pegajahan. Beberapa pengguron yang terbuka untuk penelitian, antara lain: Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam. Kedua pengguron ini terletak berjauhan dengan keraton sehingga hanya menjadi lokasi tambahan untuk melengkapi data yang di dapat. Melalui ketiga pengguron yang berafiliasi dengan keraton, peneliti akan menganalisis bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton sebagai relasi antara aspek agama dan sosial-budaya di keraton.

C. Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep

Selain di lingkungan keraton, tarekat Syattariyah juga berafiliasi dengan pondok-pondok pesantren di Cirebon, antara lain: Pesantren Benda Kerep dan Pesantren Buntet. Kedua pondok pesantren klasik ini memiliki akar historis yang terkait erat dengan penyebaran Islam dan perkembangan tarekat Syattariyah di Cirebon. Kedua pesantren ini memiliki kaitan genalogis dengan Mbah Muqoyyim (mufti keraton yang belakangan mendirikan pesantren Buntet, dan keturunannya mendirikan pesantren Benda). Antara Buntet dan Benda, keduanya juga bersama-sama berjuang dalam rangka syiar Islam dan melawan penjajahan Belanda. Selain itu, keduanya juga masih mempertahankan tradisi-tradisi yang sarat dengan ritual-ritual sufistik. Oleh karena itu, penelusuran tentang afiliasi tarekat Syattariyah terhadap pesantren akan ditelusuri melalui kedua pondok pesantren ini.

71 C.1. Pondok Pesantren Buntet

Lokasi pondok pesantren Buntet saat ini terletak di Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Lokasi awal-mula Pondok Buntet Pesantren berlokasi di dekat Dawuan Sela, kira-kira 1km di sebelah barat lokasi pesantren sekarang, tepatnya di blok Sidabagus (Dusun II Desa Buntet). Kondisi

Dokumen terkait