• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil seri kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dari tahun 2010-2011 di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa secara umum hampir semua elemen masyarakat di Indonesia telah mengetahui adanya perubahan yang terjadi pada iklim saat ini (DNPI 2012). Masyarakat mengetahui dan merasakan adanya perubahan iklim itu sejak sepuluh tahun terakhir. Fenomena perubahan iklim diketahui melalui indikator suhu udara yang semakin panas, curah hujan yang tinggi di waktu tertentu namun di waktu lain sangat jarang, musim kemarau yang lebih panjang, pergeseran masa tanam dan masa panen sehingga menggeser pula produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan sektor lainnya. Dari data kajian DNPI itu menemukan bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia tentang perubahan iklim hanya pada dampak yang ditimbulkan, bukan pada keilmuan perubahan iklim itu sendiri. Kesimpulan dari kajian DNPI itu termasuk penilaian bahwa berbagai wilayah di Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim.

Identifikasi dampak perubahan iklim sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya telah menyebabkan berbagai perubahan ekologis di pesisir dan lautan. Sebagaimana diprediksi oleh banyak ilmuan, nelayan adalah elemen yang paling terpengaruh dengan perubahan ekologis yang diakibatkan oleh dampak negatif perubahan iklim. Dampaknya tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain dalam kehidupan sosial ekonomi, bahkan keselamatan jiwa nelayan.

Berbagai gejala perubahan iklim, dengan demikian, menjadi faktor-faktor awal yang memicu terjadinya berbagai perubahan fisik dan lingkungan yang berdampak pada kegiatan produksi nelayan Asilulu. Dampak ini terjadi melalui perubahan kondisi ekologi yang pada akhirnya berdampak pula pada kondisi sosial dan ekonomi nelayan sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Beberapa aspek sosial budaya masyarakat yang ikut terpengaruh oleh dampak perubahan iklim antara lain pada aspek sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, struktur sosial, dan posisi sosial nelayan. Sistem pengetahuan yang terbentuk berdasarkan pengalaman empirik nelayan-nelayan sebelumnya dan telah diterapkan secara turun-temurun secara perlahan mulai sering tidak relevan lagi, misalnya dalam hal kalender musim.

Tekanan alam telah secara nyata menjadi yang menjadi faktor yang dapat mengganggu atau bahkan merugikan kehidupan mereka. Pada bab ini akan dianalisis kerentanan-kerentanan yang diakibatkan oleh dampak negatif perubahan iklim berdasarkan pemahaman dan pengetahuan nelayan sendiri. Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas dan upaya dalam menyikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi penghidupan masyarakat. Dengan kata lain dapat menguatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

Analisis kerentanan dilakukan untuk mengidentifikasi kelemahan terhadap guncangan eksternal. Kerentanan merupakan derajat kehilangan atau kerusakan yang mungkin terjadi ketika kejadian ekstrim terjadi. Hal tersebut mengakibatkan tidak berfungsinya fungsi-fungsi normal berkaitan dengan bencana atau perubahan kondisi ekologis. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik seorang/sekelompok orang dalam hal kemampuan mereka dalam mengantisipasi/menghadapi/melawan terhadap dampak bencana alam. Atau juga mengidentifikasi ketidakmampuan suatu unit keluarga atau masyarakat untuk menanggulangi kerugian, kerusakan dan gangguan yang timbul akibat terjadinya suatu ancaman yang secara periodik, siklikal, mendadak, perlahan dan jangka pendek/panjang.

Kerentanan diformulasikan dengan mengkombinasikan antara pemahaman masyarakat dengan teori kerentanan sebagaimana telah diuraikan pada bab kedua dari disertasi ini. Kerentanan dalam penelitian ini dilihat pada dua aspek. Pertama,

kerentanan pada sistem sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh faktor ekstenal yakni dampak langsung dari perubahan iklim. Kedua, kerentanan disebabkan oleh faktor internal sebagai sisa potensi risiko yang tidak bisa diatasi oleh adaptasi. Analisis kerentanan dalam penelitian ini dilakukan dengan menganalisis dua aspek yang berbeda yakni potensi risiko meliputi paparan dan kepekaan, dan kemampuan adaptasi (IPCC 2007). Potensi risiko merupakan faktor yang berkontribusi meningkatkan kerentanan dan kemampuan adaptasi sebaliknya merupakan faktor yang mereduksi kerentanan. Oleh karenanya, kemampuan adaptasi sering dipersamakan dengan resiliensi sosial meskipun dalam studi ini, resiliensi dipahami lebih kompleks dari itu.

Pada dasarnya, analisis kerentanan dalam disertasi ini tidak hanya terbatas pada dua aspek tersebut melainkan dikembangkan lebih luas dengan melihat aspek-aspek sosial budaya masyarakat. Ini merupakan pendekatan yang relatif baru dalam kajian kerentanan perubahan iklim dengan memasukkan aspek-aspek sosiologis mengingat kajian kerentanan perubahan iklim yang ada selama ini relatif mengabaikan aspek-aspek tersebut.

Kerentanan Wilayah Provinsi Maluku terhadap Dampak Perubahan Iklim secara Umum

Kerentanan wilayah Maluku terhadap dampak perubahan iklim salah satunya dapat dirujuk kepada hasil kajian Bappeda Provinsi Maluku (2011) yang mencatat bahwa kerentanan Maluku meliputi kerentanan pada, (1) aspek pertanian dan bahan pangan, (2) aspek kelautan dan perikanan, (3) aspek ketersediaan air minum, dan (4) aspek sosial ekonomi budaya dan tata kelola pemerintahan.

Pertama, kerentanan pada aspek pertanian (sumber pangan). Menurut hasil kajian Bappeda Maluku, kerentanan sumber pangan bukan pada bagaimana sumber-sumber pangan tersebut berkontribusi terhadap perubahan iklim melainkan dampak perubahan iklim pada sumber pangan utama. Kebanyakan wilayah daratan di Maluku terdiri atas tanaman non pangan melainkan berupa tanaman-tanaman dari berbagai jenis tanaman-tanaman komersil sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama di pulau-pulau berukuran cukup besar seperti Pulau Ambon. Di beberapa tempat alih fungsi lahan terjadi secara massif, mengakomodasi kebijakan untuk mendapat

devisa. Di sisi lain, mahalnya harga tanaman produksi lokal seperti cengkeh dan pala yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan impor seperti beras dan tepung membuat masyarakat lebih memilih menanam tanaman non pangan komersil dan bergantung pada makanan impor untuk kebutuhan sehari- hari mereka.

Kecenderungan yang cukup mengkhawatirkan pada tahun-tahun belakangan ini adalah permintaan bahan makanan yang didatangkan dari luar semakin meningkat. Bahan-bahan makanan pokok seperti beras, tepung terigu maupun bahan makanan lainnya telah mengganti pola diet sebagian besar masyarakat lokal. Kondisi seperti sangat penting untuk mendapat perhatian berkaitan dengan isu ketahanan pangan gizi, mengingat bervariasinya harga komoditas-komoditas tersebut pada pasar global. Kondisi itu akan semakin bertambah kritis apabila skenario perubahan iklim benar-benar terjadi yang salah satu dampaknya adalah terjadinya cuaca ekstrim yang mengganggu pelayaran dan degan demikian akan mengganggu distribusi bahan pangan. Kondisi seperti ini jika dibiarkan terus tanpa memperhatikan potensi bahan pangan lokal akan mempengaruhi ketahanan pangan di masa yang akan datang. Jika itu terjadi, maka kemiskinan akan meningkat dan kemampuan Provinsi Maluku untuk memenuhi kewajibannya dalam MDG (Millenium Development Goals) akan dipertaruhkan.

Di sisi lain, di pedalaman Maluku, terutama di pulau-pulau kecil, mayoritas penduduk pedesaan masih hidup dan tergantung pada produksi subsisten pangan dan perikanan. Sejumlah tanaman budidaya seperti sagu, ubi kayu (kasbi), ubi jalar (patatas) dan tanaman lain seperti pisang masih bagian dari pola diet utama masyarakat lokal. Di Maluku, sebagian besar kawasan pertanian sangat tergantung dari curah hujan, dan menunjukan ketergantungan terhadap pola musim (musim hujan) sangatlah tinggi. Terjadinya perubahan ilklim yang berpengaruh terhadap pola musim, jelas akan menghancurkan sistem pertanian yang ada.

Pengaruh dan gangguan seperti itu diprediksi akan lebih intensif di masa yang akan datang dan akan mengganggu produksi pangan dan ekonomi, dimana diproyeksikan siklon tropis akan lebih intens dan kenaikan hingga 14 persen dari variasi curah hujan hujan normal (IPCC 2007) pada akhir abad ini. Lebih dari itu, di antara iklim ekstrim, presipitasi diubah dan evapotranspirasi meningkat (termasuk intensitasnya serta pergeseran temporal dan spasial) juga akan menjadi perhatian sebagai perubahan ini berakar. Meningkatkan banjir di kawasan pesisir, salinisasi dan erosi sebagai akibat dari kenaikan permukaan laut dan kegiatan manusia dapat mengkontaminasi dan mengurangi luasan lahan pertanian produktif dan, yang pda gilirannya, mengancam ketahanan pangan rumah tangga pada tingkat lokal.

Kedua, sektor kelautan dan perikanan. Sektor perikanan merupakan sektor unggulan bagi Provinsi Maluku. Pentingnya sektor ini bukan hanya bagi darah Maluku tapi juga bagi kepentingan ekonomi secara nasional, yang secara langsung berkaitan dengan kebijakan ketahanan pangan nasional. Namun sektor ini juga tidak terlepas pengaruh perubahan iklim global. Kombinasi dari meningkatkan temperatur dan kenaikan muka air laut akan mengakibatkan perubahan pola sirkulasi pesisir, sehingga mempengaruhi pasokan hara, erosi pantai, dan mungkin keasaman laut dan pemutihan karang. Kondisi ini jelas akan berpengaruh terhadap proses ekologi yang berhubungan langsung dengan

kemampuan tumbuh karang dan siklus pemijahan berbagai ikan karang dan invertebrata lainnya. Mengingat bahwa perikanan pesisir menyediakan sumber penting makanan dan keamanan ekonomi bagi masyarakat pesisir, perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi kehidupan sebagian besar masyarakat Maluku.

Industri perikanan komersial seperti tuna dan cakalang akan sangat terganggu juga dengan berubahnya pola migrasi dari jenis ikan-ikan pelagis besar ini. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan industri perikanan apapun sangat terkait dengan variabel lingkungan seperti suhu laut dan produksi primer. Dengan demikian, proyeksi kenaikan permukaan laut, perubahan suhu permukaan laut dan perubahan proses pengangkatan massa air (up welling) akhirnya akan mempengaruhi produktivitas plankton. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan menurunkan produktifitas hasil-hasil perikanan yang secara langsung menggangu ketahanan pangan. Semua usaha perikanan yang sangat tergantung dengan ekosistem pesisir juga akan terpengaruh. Cuaca yang tidak menentu, frekuensi siklon yang lebih intens dapat menyebabkan terganggunya sistem operasional penangkapan dan kurang produktif, dan bermuara pada berkurangnya pasokan ikan dan hilangnya pendapat para nelayan dan industri itu sendiri.

Ketiga, aspek ketersediaan air minum. Menurut Bappeda Maluku (2011), terdapat 5 jenis sumber air minum yaitu; (1) air hujan, (2) air tanah, (3) air permukaan, (4) air desalinasi, dan (5) air minum impor (kemasan). Di kepulauan Maluku, tidak semua sumber air minum dapat diakses dan tersedia dengan mudah di kebanyakan pulau-pulau yang ada. Hal ini mengakibatkan, sebagian besar masyarakat sangat rentan terhadap variabilitas alami pola hujan atau perubahan pola siklon tropis. Kejadian-kejadian yang signifikan yang terjadi di berbagai negara-negara Pasific berkaitan dengan krisis air minum beberapa tahun yang lalu bisa saja terjadi di Maluku mengingat karaktersitik yang hampir sama.

Keempat, aspek sosial ekonomi budaya dan tata kelola pemerintahan. Bappeda Maluku mengidentifikasi beberapa faktor pada aspek ini sebagai faktor tantangan untuk upaya adaptasi. Menurut penulis, faktor-faktor tersebut merupakan aspek yang membuat Maluku rentan terhadap perubahan iklim apabila tidak dikelola secara baik. Faktor-faktor tersebut adalah:

1) Perbedaan persepsi perubahan iklim dan persaingan prioritas antara pemerintah dan individu-individu.

Persepsi dari masyarakat, khususnya para penentu kebijakan publik menyangkut perubahan iklim akan mempengaruhi tindakan yang akan di ambil untuk menghadapi resiko perubahan iklim. Perubahan iklim sering dilihat sebagai fenomena futuristik, sehingga seringklai gagasan adaptasi perubahan iklim jarang dianggap sebagai prioritas utama baik oleh pemerintah maupun individu yang mengakibatkan dukungan dana dan kelembagaan akan sangat lemah. Sebagian besar masyarakat masih menganggap dampak dari perubahan iklim dan variabilitas kondisi ekstrim yang terjadi sebagai kejadian nornal, sehingga kondisi ini akan mempengaruhi mereka dalam berperan serta aktif dalam kegiatan- kegiatan adaptasi. Oleh karena itu menumbuhkan kesadaran dan pemahaman publik secara baik terhadap perubahana iklim harus ditujukan untuk menghilangkan kesalahan persepsi ini.

2) Kerangka kelembagaan pemerintah yang relatif masih lemah.

Upaya-upaya adaptasi perubahan iklim harus mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Walaupun dari pemerintah pusat, perhatian terhadap dampak dari perubahan iklim sudah mendapat perhatian yang serius dengan terbentuknya Dewan Nasional Perubahan Iklim melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008, namun tanpa dukungan dari pemerintah daerah upaya-upaya adaptasi akan sangat sulit dilakukan.

3) Kondisi sosial ekonomi yang lemah.

Kegiatan adaptasi pada dasarnya mebutuhkan biaya yang tidak sedikit, terutama bagi masyarakat pada kawasan-kawasan tertinggal dengan kondisi perekonomian yang lemah. Dengan pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, diperhadapkan dengan hal-hal lainnya seperti relokasi ke tempat yang lebih aman hingga urusan asuransi dan sebagainya akan sangat sulit bagi mereka untuk dapat dipenuhi.

4) Ketersediaan kapasitas dan pemerintahan yang baik.

Permasalahan lain adalah kurangnya kapasitas dan tata kelola yang mapan didaerah, termasuk pada tingkat komunitas. Masih minimnya orang-orang yang memiliki latar belakang pengetahuan iklim (perubahan iklim) maupun adaptasi disamping lemahnya pada tataran sistem dan institusi, jelas akan sangat mempengaruhi kemampuan dalam merencanakan serta mengimplentasi upaya-upaya adaptasi dalam bingkai pembangunan daerah secara keselurahan. Pemerintah daerah seringkali ditantang menunjukan untuk menunjuk tata kelola pemerintahan yang baik dengan membentuk lembaga-lembaga yang dapat mengoptimalkan pelayanan publik ke seluruh wilayah. Kekakuan yang selama ini terjadi pada tataran pengambilan keputusan baik pada tingkat nasional maupun provinsi harus menjadi lebih fleksibel jika menginginkan upaya-upaya adaptasi dampak perubahan iklim menjadi lebih efektif dan efisien.

Potensi Risiko Perubahan Iklim di Lokasi Penelitian

Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko (potencial impact) dengan melihat tingkatan paparan dan kepekaan. Potensi risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan gabungan dari paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah.

Tingkat Paparan Komunitas

Paparan adalah sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem (IPCC 2007). Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan.

Paparan di sini adalah paparan pada level komunitas, bukan pada level rumah tangga atau individu. Kolopaking (2011) merumuskan terdapat dua indikator menilai keterpaparan rumat tangga atas dampak perubahan iklim yakni pertama, kedekatan properti atau sumber mata pencaharian keluarga (meliputi

rumah, lahan pertanian, sumber mata pencaharian dan properti lainnya) terhadap pusat bencana (banjir, bahaya longsor, kekeringan); dan kedua, upaya atau langkah-langkah penanganan bencana yang sudah dilakukan dan efektivitas/ tingkat keberhasilan upaya yang dilakukan dalam mengurangi besar dampak.

Kedua indikator tersebut kurang tepat diaplikasikan pada wilayah pesisir dan komunitas nelayan dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya properti keluarga di wilayah pesisir hampir secara semuanya dekat dengan sumber bencana jika bencana perubahan iklim pad sektor ini adalah gelombang pasang, abrasi pantai dan intrusi air laut ke darat. Sumber mata pencaharian komunitas nelayan adalah lautan bebas yang dengan demikian juga secara keseluruhan terpapar secara langsung oleh dampak perubahan iklim. Itulah mengapa unit analisis yang digunakan dalam disertasi ini adalah analisis komunitas, bukan rumah tangga atau komunitas. Selain itu, apabila indikator kedua digunakan untuk menilai keterpaparan, penilaian hanya bisa dilakukan apabila bencana sudah terjadi dan sudah dilaksanakan upaya atau langkah-langkah penanganannya. Oleh karena itu, dalam disertasi ini disusun indikator penilaian paparan perubahan iklim meliputi aspek-aspek sosial ekonomi budaya dan dilakukan secara deduktif dengan memprediksi tingkat kerentanan berdasarkan skenario yang telah dibuat. Penilaian dilakukan pada level komunitas desa dengan berpedoman pada definisi kerentanan IPCC (2007). Indikator tersebut dapat dilihat pada Bab 3 tabel 3.2. Di situ tingkat paparan dibagi atas tiga kategori dengan indikator dan karakteristik masing-masing.

Desa Asilulu terletak pada kawasan pesisir utara Pulau Ambon di mana hampir 90 persen (86,2 persen) dari penduduk usia kerja bekerja sebagai nelayan atau bergantung kepada sumberdaya pesisir dan laut, meliputi pekerjaan sebagai nelayan, pengusaha perikanan dan buruh perikanan. Ini berarti bahwa hampir seluruh sumber penghidupan/mata pencaharian masyarakat bergantung pada kondisi iklim. Kerentanan ini semakin dikuatkan oleh budaya setempat yang memaknai pekerjaan nelayan sebagai mata pencaharian hidup pokok yang sudah dijalani sejak leluhur dari dahulu kala, warisan nenek moyang yang harus dipertahankan.

Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka dapat dideskripsikan bahwa komunitas nelayan di desa Asilulu ini telah mengalami beberapa hal terkait perubahan iklim sebagai berikut:

1) Masa berlangsungnya angin musim dan musim penghujan berubah: bergeser hingga lebih dari satu bulan, tanda-tanda datangnya musim seluruhnya tidak sama lagi, kemampuan masyarakat untuk menduga musim tidak lagi dapat diandalkan.

2) Kejadian cuaca buruk yang merusak harta benda dan mengancam keselamatan jiwa berlangsung hampir setiap tahun.

3) Luasan wilayah yang tergenang air laut karena pasang tertinggi atau kenaikan permukaan laut menunjukkan pertambahan setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir.

Mengingat bahwa hampir seluruh nelayan bergantung pada sumberdaya alam maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh nelayan di Asilulu memiliki risiko yang tinggi terpapar dampak dan risko negatif dari perubahan iklim.

Tingkat Kepekaan Komunitas

Kepekaan adalah dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim (IPCC 2007). Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja.

Hasil analisis kepekaan komunitas nelayan di lokasi penelitian digambarkan sebagai berikut. Pertama, perubahan kondisi iklim dirasakan pengaruhnya sangat pada kegiatan penghidupan (mata pencaharian) masyarakat karena ketergantungan yang begitu tinggi terhadap ―keramahan‖ sumberdaya alam. Kedua, dalam satu musim kegiatan penghidupan masyarakat, nelayan mengalami hambatan satu musim dan bahkan lebih. Hambatan yang dihadapi terutama badai yang tidak bisa diprediksi, musim paceklik ikan yang lebih lama dan fishing ground yang bergeser jauh ke tengah melampaui daya jelajah nelayan. Ketiga, pengaruh perubahan kondisi iklim pada ketenangan jiwa masyarakat dirasakan sangat besar terkait dengan kekhawatiran risiko melaut yang tinggi dan susah diprediksi. Bukan hanya kekhawatiran nelayan, tetapi juga kekhawatiran keluarga di rumah karena banyaknya informasi kecelakaan di laut yang menelan korban jiwa karena cuaca ekstrim. Keempat, pengaruh perubahan kondisi iklim pada sumberdaya alam perikanan sangat besar meliputi pola pergerakan ikan yang semakin sudah diprediksi, perkiraan jenis umpan yang disukai ikan yang sering salah karena ikan lebih menyukai jenis umpan yang lain, dan ditambah angin kencang serta gelombang tinggi yang membahayakan kalaupun mereka mengetahui posisi dan jenis umpan yang disukai ikan. Kelima, kejadian cuaca buruk yang mengakibatkan kerusakan harta benda dan kecelakaan dalam sepuluh tahun terakhir.

Faktor kepekaan lainnya adalah masalah ketahanan pangan. Kepekaan pangan penting untuk disorot dalam kaitan dengan dampak dampak dan risiko perubahan iklim karena perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, kenaikan permukaan air laut akan menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan udang di seluruh negeri (World Bank 2010). Oleh karenanya, World Bank memprediksi, resiliensi pangan menjadi hal signifikan yang akan terjadi seiring dengan perubahan iklim yang terus terjadi.

Di Maluku, meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor ini belum terpapar oleh perubahan iklim, tetapi bagaimana sektor ini berkontribusi terhadap kerentanan komunitas penting untuk dikemukakan. Faktor ini tidak dimasukkan ke dalam tabel karena faktor ini pada satu sisi bisa juga menjadi faktor yang meningkatkan kemampuan adaptasi komunitas. Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal

sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Bencana alam atau bencana teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan.

Di Asilulu, sebagaimana wilayah lain di Pulau Ambon, tidak ada sawah untuk menanam padi, ladang jagung pun bukan hal yang umum dijumpai. Kebun- kebun masyarakat kebanyakan berbatu karang, bukan tanah. Masyarakat Asilulu tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Lain dan Pulau Kasuari. Profesi utama mereka tentu saja sebagai pencari ikan atau nelayan. Sementara kondisi geografis daratan yang ditempati sangat kering dan lebih cocok dengan tanaman semacam ketela pohon atau singkong (bahasa lokal: kasbi). Itu makanya mereka sesungguhnya lebih akrab dengan dua komoditas ini sebagai bahan pangan utamanya.

Melihat kenyataan ini, sesungguhnya sistem pangan yang bergantung kepada sagu dan singkong itu tercipta karena adaptasi masyarakat dengan kondisi geografis dan sumberdaya alam yang tersedia. Bukan hanya dari segi budaya,

Dokumen terkait