• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI

KOMUNITAS DESA NELAYAN:

STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA

PULAU AMBON, MALUKU

S U B A I R

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

ABSTRACT

SUBAIR. Climate Change Adaptation and Fisheries Rural Community Resilience: A Case Study in North Ambon Coastal Area, Maluku. Under the supervision of LALA M. KOLOPAKING as the chairman, SOERYO

ADIWIBOWO and M. BAMBANG PRANOWO as members.

A study of locality impact of climate change is necessary for making a synthesis of the understanding of climate change, vulnerability and climatic adaptation as a material to formulate advocacy policy of climate change which is coastal village-based evidence. The research was conducted in Asilulu village, Maluku, using a study method of historical case. The data collection used was hermeneutic and dialectic methods through participation observation, focus group discussions

(FGD) and interviews. Some research findings were as follows. Fishermen‘s understanding about climate change was based on experience, not on the science of climate change. Vulnerability which was triggered by the negative impact has so far been able to be reduced by the adaptation made. Until now, the community can be considered quite resilient although it is just limited resilience. A very important factor in creating a resilient condition is the role of local institutions that facilitate adaptation. Climatic adaptation by the community adaptation proved to be more effective than the adaptation managed by the government because the government intervention all these time has been more in terms of alternative infrastructure to the technical matters which are very expensive, but it does not increase the adaptability necessary for the community to deal with climate change in all aspects of livelihood.

(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI KOMUNITAS DESA NELAYAN: STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA PULAU AMBON, MALUKU adalah benar merupakan karya saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan sumber informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2013

(5)

RINGKASAN

SUBAIR. Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, SOERYO ADIWIBOWO dan M. BAMBANG PRANOWO

Dari 712.479,69 km2 total luas wilayah Maluku, 93 persen lebih (666.139,85 km2) terdiri atas lautan. Selain itu, lebih dari 83 persen desa berada di daerah pantai sehingga aktivitas masyarakat pedesaan sebagian besar dilakukan di daerah pesisir dan laut. Perairan yang begitu luas mengindikasikan bahwa laut memiliki peran yang vital bagi kehidupan, sehingga dapat dikatakan bahwa laut

merupakan ―ladang kehidupan‖ bagi penduduk di Maluku. Karakteristik geografis dan penduduk yang terkait dengan pesisir dan laut membuat Maluku secara teori rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Di Indonesia, penelitian serta bukti-bukti kredibel tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pedesaan khususnya nelayan perikanan tangkap masih kurang. Selain itu, cara paling umum dalam mengkaji perubahan iklim selama ini adalah melalui pengamatan meteorologis. Dampak iklim seringkali didasarkan pada simulasi model-kenaikan permukaan air laut yang diarahkan sebagai adaptasi biofisik terhadap intrusi air laut ke daratan. Model simulasi seperti itu seringkali non-sensitive terhadap faktor-faktor sosial ekonomi yang sering ditemukan pada kasus studi-studi kualitatif. Penelitian ini merupakan kajian kerentanan dan resiliensi dengan cara yang relatif baru menggunakan metode kualitatif, dilaksanakan dengan pendekatan eksplorasi, bukannya mengenalkan. Informasi yang digali dari masyarakat adalah pandangan (pemahaman) masyarakat terhadap kondisi iklim dan perubahannya yang berlaku di lokalitas wilayah penelitian, pandangan yang dapat saja berbeda dengan pandangan ilmuwan.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat sintesis berkaitan dengan pemahaman nelayan tentang perubahan iklim, strategi adaptasi, serta proses pengambilan keputusan adaptasi sebagai bahan untuk merumuskan formulasi kebijakan advokasi perubahan iklim berbasis evidensi pedesaan nelayan pada kawasan pesisir. Tujuan penelitian lebih rinci dirumuskan sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi kerentanan komunitas nelayan melalui penilaian paparan, kepekaan, dan kemampuan adaptasi, (2) Menganalisis strategi adaptasi dalam mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas terhadap dampak perubahan iklim dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya, dan (3) Menganalisis peran pemerintah dan stakeholder lainnya dalam memfasilitasi praktek strategi adaptasi yang dilakukan komunitas nelayan sebagai bahan untuk merumuskan langkah penyusunan kebijakan pembangunan peka iklim.

Penelitian dilakukan di kawasan pesisir utara Pulau Ambon yakni pada desa nelayan sentra perikanan komoditas komersial ikan Tuna Asilulu yang ditetapkan secara purposif. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus historis. Predikat ‗historis‘ di sini menekankan bahwa pokok kajian penelitian ini bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu, melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu.

(6)

berada dalam cakupan sejarah non-kontemporer (klasik), melainkan dalam cakupan sejarah kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup. Unit analisis adalah komunitas nelayan di desa Asilulu kecamatan Leihitu kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dan kelompok sosial yang ada di dalamnya. Jumlah informan yang dipilih sebanyak 16 orang informan yang terdiri dari unsur nelayan anggota komunitas sebanyak 5 orang, pengumpul 3 orang mewakili 3 lembaga pengumpul, unsur pemerintah desa 1 6 orang, dan unsur pemerintah daerah 2 orang, dan unsur pakar 3 orang. Seluruh informan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposif) sesuai dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan dan pengalaman informan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengamatan berperan serta (participant-observation), Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam secara langsung pada tineliti. Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya.

Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, dan observasi yang telah disunting dan ditranskripsi dianalisis menggunakan analisa kualitatif fenomenologi dan strategi analisis data kualitatif-verifikatif yang keduanya dilakukan secara induktif. Selain analisis induktif, digunakan juga analisis deduktif khususnya untuk menilai tingkat kerentanan komunitas terhadap dampak perubahan iklim. Dalam hal ini, terlebih dahulu disusun kriteria-kriteria kerentanan beserta hipotesis-hipotesis berdasarkan literatur yang ada kemudian membandingkannya dengan kondisi eksisting sosial ekonomi budaya komunitas.

(7)

Kerentanan yang dipicu oleh dampak negatif sejauh ini dapat dikurangi oleh adaptasi yang dilakukan. Sampai di sini, komunitas dapat disebut cukup resilien tetapi dengan resiliensi yang terbatas (limited resilience) karena ketergantungan yang masih sangat tinggi pada keramahan sumberdaya alam. Adaptasi yang terlihat sebagai adaptasi reaktif sesungguhnya adalah adaptasi yang direncanakan (plan adaptation) mengingat perubahan iklim adalah fenomena yang terjadi dalam proses yang sangat lama dan bertahap. Faktor yang sangat penting dalam menciptakan keadaan keadaan yang resilien adalah peran besar lembaga-lembaga lokal yang menfasilitasi tindakan adaptasi yang dilakukan. Kesuksesan adaptasi perubahan iklim ditentukan oleh keberadaan dan keberfungsian lembaga lokal ini. Semakin kuat dan mengakar lembaga lokal maka semakin besar peluang kesuksesan komunitas melakukan adaptasi perubahan

iklim. Sebaliknya, semakin lemah dan ―terasing‖ maka semakin kecil

kemungkinan berhasil melakukan adaptasi. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa adaptasi perubahan iklim oleh komunitas, karenanya, lebih efektif dibanding adaptasi yang dikelola oleh pemerintah. Pandangan ini mensyaratkan bahwa dalam penyusunan kerangka kebijakan adaptasi, komunitaslah yang harus menjadi basis.

Pada intinya, keseluruhan strategi itu terjadi dan terus bergerak maju karena salah satunya dan yang utama, adanya dukungan kelembagaan lokal yang tumbuh dari komunitas mereka sendiri. Kelembagaan ini adalah jaringan sosial nelayan – pedagang pengumpul yang menjadi pola sistem nafkah nelayan Tuna di Asilulu saat ini. Masyarakat setempat menjadikan jaringan sosial yang ada sebagai sumber dukungan sosial. Studi ini mengidentifikasi setidaknya terdapat dua dukungan sosial yang diperoleh: dukungan instrument dalam bentuk bantuan langsung, bantuan kredit kepemilikan alat tangkap dan bantuan pinjaman biaya operasional penangkapan; dan dukungan informasi berupa informasi wilayah konsentrasi ikan, telah mulainya musim ikan mati, jenis umpan yang sedang disukai ikan Tuna, informasi cuaca dan badai serta informasi lainnya yang terkait dengan sistem nafkah nelayan. Kedua dukungan sosial itu diprakarsai, dikembangan dan dikendalikan oleh pedagang pengumpul, patron yang dalam

konteks mereka menjadi ―bapak‖ yang mengayomi. Tentu saja dibutuhkan penelitian lagi untuk mengungkap dinamika rasionalitas pada hubungan keduanya untuk mengungkap kebenaran yang mungkin tersembunyi. Secara umum, bentuk lembaga lokal membentuk efek bahaya iklim dalam tiga hal penting: mereka menentukan bagaimana rumah tangga dipengaruhi oleh dampak iklim; mereka membentuk kemampuan rumah tangga untuk menanggapi dampak iklim dan mengejar praktek adaptasi yang berbeda, dan mereka memediasi aliran eksternal intervensi dalam konteks adaptasi.

Nilai kegigihan, ketekunan dan sikap budaya sebagai penduduk pesisir

kepulauan dan nelayan ditambah dukungan kelembagaan menjadi ―modal‖ yang

(8)

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang

wajar IPB.

(9)

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN RESILIENSI

KOMUNITAS DESA NELAYAN:

STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA

PULAU AMBON, MALUKU

S U B A I R

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc

(Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr

(Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan Departemen KPM Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS

(Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Arif Satria, SP, M.Si

(11)

PENGESAHAN

Judul Disertasi : Adaptasi Perubahan Iklim dan Resiliensi Komunitas Desa Nelayan: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Utara Pulau Ambon, Maluku

Nama : Subair

NIM : I363080041

Program Studi1 : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Disetujui Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. Prof. Dr. M. Bambang Pranowo Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Kuasa. Semoga keselamatan selalu tercurah kepada Muhammad SAW., nabi mulia akhir zaman dan pembawa cahaya terang bagi dunia. Hanya karena dengan izin dan petunjuk Allah semata penulis dapat menyelesaikan studi sebagaimana mestinya.

Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing disertasi ini, yaitu Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua, Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Bapak Prof. Dr. M. Bambang Pranowo selaku Anggota. Sungguh kesediaan meluangkan waktu dan pikiran secara tulus dan berdedikasi memberikan bimbingan dari awal hingga selesainya penyusunan Disertasi ini merupakan amal yang tidak ternilai harganya bagi penulis. Bukan hanya ilmu dan pengetahuan, dorongan semangat dan kepercayaan dari Komisi Pembimbing telah menjadi motivasi utama dalam penyelesaian studi ini dan lebih luas, dalam menjalani kehidupan sebagai seorang akademisi. Hanya kepada Allah penulis bisa mengharapan balasan atas kebaikan yang telah diberi disertai doa jazakumullahu khaeran katsira. Semoga Allah membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang jauh lebih banyak.

Disertasi ini dapat mencapai bentuknya seperti sekarang ini, selain dari arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing, juga adalah berkat masukan dan arahan penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Oleh karenanya, penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Kualifikasi Doktor dan Ujian Disertasi Tertutup serta Bapak Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Bapak Dr. Arif Satria, SP, M,Si sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan dan seluruh Bapak/Ibu Dosen beserta staf atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah penulis lewati selama kurang lebih lima tahun lamanya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Hasbollah Toisuta, M.Ag (Rektor IAIN Ambon) dan Bapak Dr. Ismail Tuanany, MM (Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN Ambon) yang telah mengizinkan dan mendukung studi penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional cq. Direktur Pendidikan Tinggi yang memberi beasiswa BPPS on going kepada penulis. Terima kasih juga kepada Gubernur Maluku atas bantuan dana penelitian yang sangat membantu dalam kegiatan penelitian. Seluruh informan penelitian terutama kepada Bapak Ali Mahulete (Sekretaris Negeri Asilulu) yang dengan tulus ikhlas dan sabar dalam memberikan keterangan dan informasi untuk penulisan Disertasi ini.

(14)

Muhammadiyah) yang bersedia memberi rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi doktor di IPB. Kepada Almarhum H.A. Abdullah (mantan Ketua STKIP Muhammadiyah Bone) yang banyak memberi dukungan bagi keberlanjutan studi penulis, tidak lupa penulis doakan semoga mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT dan diampuni semua dosa-dosanya.

Tidak kurang dari ucapan terima kasih sebelumnya, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua Ayahanda H. Abdullah Limpo dan Ibunda Almarhumah Hj. Andi Nurmilah yang wafat ketika penulis sedang menempuh studi ini. Semoga Allah mengampuni dosanya, melapangkan baginya kuburannya dan menempatkannya bersama orang-orang saleh di surga. Pencapaian ini secara khusus penulis dedikasikan untuk Almarhumah. Terima kasih juga kepada Ibunda Hj. Andi Nurjannah yang dengan tulus menjadi istri yang baik bagi Ayahanda dan ibu yang baik bagi penulis bersaudara. Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada kedua mertua penulis Ibunda Hj. Mulkaidah dan Ayahanda H. Abidin Samir yang senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang tiada henti yang diberikan pada penulis sehingga mampu menyelesaikan program Doktor ini. Juga kepada kakak tercinta H. Andi Budiman, S.Fil.I dan keluarga, adik-adik tercinta Andi Sarini, Am.d.Kes sekeluarga, Andi Satriani, S.Si sekeluarga dan keluarga, Andi Samratul Uyun, Andi Saidil Bukhaer, Andi Zakiyah Salehah, Andi Asriani Abidin, S.Pd.I sekeluarga Andi Ashadi Abidin,

S.PdI, Andi Mustika Abidin, S.PdI dan Andi Rahmat Abidin, serta dua ‗anak angkatku‘: Rusli Sapsuha dan Sutinah yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keluarga kami.

Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan SPD angkatan 2008, Ibu Dr. Rita Rahmawati dan Bapak Dr. Sulthan Zainuddin, dan teman-teman SPD angkatan 2007 dan 2009 yang telah melewati masa-masa ‗perjuangan‘ bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus menjadi teman berbagi yang penuh inspirasi. Banyak nama dan pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini dan semoga itu tidak mengurangi rasa terima kasih penulis.

Terakhir tetapi bukan yang akhir, ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya penulis sampaikan pada isteri tercinta, Andi Rahmania Abidin, S.Pd.I, M.Si yang dengan ikhlas mendukung penulis dalam perjuangan panjang ini. Juga anak-anakku tersayang Andi, Athan, Arya dan Affan yang telah menjadi sumber kekuatan bagi penulis untuk terus semangat dan tetap bisa tegar menjalani kehidupan ini. Allah mengambil ibunda tercinta karena lebih sayang kepadanya dan pada saat yang sama memberi kalian bagiku karena kecintaanNya padaku. Kepada orang-orang tercinta inilah, disertasi dan gelar yang penulis peroleh karenanya, penulis dedikasikan.

Segala kritik dan saran penulis harapkan demi kesempurnaan usulan penelitian ini, sehingga menjadi tulisan yang bermanfaat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan anugerahNya atas segala kebaikan yang diberikan. Amien.

Bogor, Juni 2013

(15)

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Surat Pernyataan iii

Ringkasan v

Halaman Hak Cipta viii

Lembar Pengesahan ix

Kata Pengantar xi

Daftar Isi xiii

Daftar Gambar xvii

Daftar Tabel xviii

1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1

Masalah Penelitian 6

Tujuan Penelitian 7

Manfaat dan Kegunaan Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 8

Kebaruan Disertasi (Novelty) 10

2. LANDASAN TEORITIS Pengantar 14

Wacana Perubahan Iklim 14

Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim 16

Kenaikan Permukaan Air Laut 16

Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Perikanan 17

Adaptasi Perubahan Iklim 18

Konsepsi Adaptasi Perubahan Iklim 19

Jenis dan Dimensi Adaptasi Perubahan Iklim 21

Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pesisir di Indonesia 23

Resiliensi (Resilience) 23

Beberapa Konsepsi Resiliensi terkait Perubahan Iklim 24

Resiliensi Sosial 33

Resiliensi Sosial dan Kemampuan adaptasi 34

Kerentanan (Vulnerable) 35

Kerentanan dan Resiliensi 37

Kelembagaan Lokal dan Adaptasi Perubahan Iklim 38

Konsep Umum Kelembagaan 38

Kelembagaan Nelayan Pesisir 39

Peran Lembaga Lokal dalam Adaptasi Perubahan Iklim 41

Penelitian Terkait Terdahulu 42

3. PARADIGMA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN METODOLOGI Pengantar 47

Paradigma Penelitian 47

Kerangka Pemikiran 51

Metode Penelitian 53

Lokasi dan Waktu Penelitian 53

Pendekatan Penelitian 55

(16)

Metode Pengumpulan Data 57

Keterbatasan Penelitian 61

Pemeriksaan Keabsahan Data 62

Metode Analisa Data 63

Tahapan dan Pedoman Analisa Data 64

Analisis Kerentanan 65

Analisis Potensi Risiko 67

Analisis Kemampuan Adaptasi 68

Analisis Strategi Adaptasi 68

Analisis Resiliensi Komunitas 69

Analisis Peran Kelembagaan 71

4. EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA LOKASI PENELITIAN Geografis 74

Iklim dan Musim 75

Aksebilitas 76

Infrastruktur Sosial 77

Kependudukan 79

Ekonomi dan Mata Pencarian 80

Sosial dan Budaya 81

Sejarah Negeri Asilulu 82

Asilulu: Potret Negeri Adat Maluku 83

Lembaga Adat Tradisional 85

Lembaga Perikanan Tangkap 89

Kelembagaan Pengumpul 93

Lembaga Pengumpul sebagai Kelompok Produksi 94

Lembaga Pengumpul sebagai Lembaga Pemasaran 95

Lembaga Pengumpul sebagai Sumber Jaringan Informasi 96

Lembaga Pengumpul sebagai Mediator Intervensi Eksternal 95

Lembaga Pengumpul sebagai Patron 98

Lembaga Pengumpul sebagai Sumber Dukungan Sosial 100

Perikanan Tangkap Tuna di Desa Asilulu 102

Profil Usaha Penangkapan Tuna di Negeri Asilulu 102

Wilayah dan Musim Penangkapan 105

Armada dan Teknologi Penangkapan Ikan 109

5. LOKALITAS PERUBAHAN IKLIM Pengantar 115

Perubahan Iklim Berdasarkan Pemahaman dan Pengalaman Nelayan 115

Semakin Seringnya Gelombang Pasang 115

Naiknya Permukaan Air Laut 117

Cuaca Ekstrim 119

Bergesernya Musim Ikan 121

Kacaunya Pola Musim dan Angin 123

Bergesernya Lokasi Penangkapan Ikan 125

Lokalitas Dampak Perubahan Iklim 123

Dampak Fisik dan Ekologi 129

Dampak Sosial-Ekonomi 131

(17)

Menurunnya Hasil Tangkapan Nelayan 133

Dampak pada Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan 135

Ikhtisar 138

6. KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN Pengantar 140

Kerentanan Wilayah Provinsi Maluku terhadap Dampak Perubahan Iklim secara Umum 141

Potensi Risiko Perubahan Iklim di Lokasi Penelitian 144

Tingkat Paparan Komunitas 144

Tingkat Kepekaan Komunitas 146

Kemampuan Adaptasi 149

Menilai Kerentanan Komunitas 153

Ikhtisar 155

7. ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Pengantar 158

Praktek Adaptasi Perubahan Iklim Komunitas 158

Membuat Tembok Penahan Gelombang dan Para-para 158

Strategi Mengejar Musim 160

Beralih Sementara Mencari Ikan Dasar 162

Mengurangi Resiko Melaut dengan Melaut secara Berkelompok 164

Mengganti Perahu dan Mengembangkan Teknologi Produksi Baru 165

Belajar dan Mengembangkan Pengetahuan Baru 167

Merevitalisasi Kelembagaan Lokal dan Memperkuat Jaringan Sosial 169

Mengembangkan Pola Nafkah Ganda 170

Tawakkal 174

Peran Pemerintah dalam Praktek Adaptasi Perubahan Iklim 176

Ikhtisar 178

8. RESILIENSI SOSIAL KOMUNITAS NELAYAN Re-konseptualisasi Resiliensi Sosial 184

Analisis Resiliensi Sosial Komunitas 186

Resiliensi Sosial adalah Memperlakukan Gangguan sebagai Sebuah Kesempatan 186

Resiliensi Sosial adalah Kemampuan Sistem Beradaptasi dan Terus Berfungsi 187

Resiliensi bersumber dari Mata Pencaharian yang Berkelanjutan 190

Resiliensi Sosial sebagai Hasil dari Kesuksesan Adaptasi 194

Resiliensi Sosial sebagai Berfungsinya Kelembagaan Lokal Secara Optimal 195

Ikhtisar 198

9. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Kesimpulan 200

Implikasi Teoritis 201

Implikasi Kebijakan 204

Daftar Pustaka 207

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta wilayah Provinsi Maluku 4

Gambar 2. Konsep Kontinum Adaptasi . 21

Gambar 3. Dimensi adaptasi perubahan iklim 22

Gambar 4. Kerangka konseptual penelitian 52

Gambar 5. Wawancara open-ended 59

Gambar 6. Wawancara dengan Pengumpul 59

Gambar 7. FGD 61

Gambar 8. Tahapan analisis penelitian 65

Gambar 9. Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim 66

Gambar 10. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan perubahan iklim 67

Gambar 11. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, perubahan iklim, dan adaptasi 69

Gambar 12. Skema penilaian resiliensi sosial (social resilience) komunitas nelayan 69

Gambar 13. Kerangka Pikir Peran Kelembagaan Lokal 73

Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian 74

Gambar 15. Peta Potensi Desa 74

Gambar 16. Balai Negeri atau Baileo. 78

Gambar 17. Masjid dan Rumah Raja 82

Gambar 18. Alur Distribusi Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan 96

Gambar 19. Mesjid dan Rumah Raja 103

Gambar 20. Kegiatan pengolahan ikan di salah satu cold storage 105

Gambar 21. Ikan Tuna 106

Gambar 22. Peta fishing ground nelayan di Maluku 106

Gambar 23. Perahu kole-kole 110

Gambar 24. Perahu semang 111

Gambar 25. Perahu fiber 112

Gambar 26. Bagan apung di perairan 114

Gambar 27. Tembok penahan ombak rusak 116

Gambar 28. Indikator kenaikan permukaan laut 117

Gambar 29. Fakta kenaikan permukaan air laut 118

Gambar 30. Dampak gelombang pasang dan abrasi 130

Gambar 31. Kerentanan Pulau Lain 130

Gambar 32. Para-para 131

Gambar 33. Kerentanan pemukiman 132

Gambar 34. Sagu lempeng dan ‗suami‘ 151

Gambar 35. Talit 159

Gambar 37. Para-para yang dibangun oleh nelayan di belakang rumah warga 160

Gambar 38. Nelayan bekerja dengan perahu semang 163

Gambar 39. Perahu fiber atau Long Boat 164

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan

Tingkat Umur dan Jenis Kelamin 79

Tabel 2. Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan Jenjang Pendidikan Formal 80

Tabel 3. Keadaan Mata Pencaharian Penduduk Angkatan Kerja Negeri Assilulu 81

Tabel 4. Kelompok Nelayan di Asilulu 93

Tabel 5. Pedagang Pengumpul dan Jumlah Armadanya 104

Tabel 6. Kalender Musim Penangkapan Ikan Tuna di Negeri Asilulu 107

Tabel 7. Jumlah Produksi Kelompok Nelayan/Bulan 108

Tabel 8 Perubahan Lingkungan berdasarkan Pemahaman Nelayan 127

Tabel 9. Hasil Penilaian potensi risiko komunitas nelayan 153

Tabel 10. Praktek Adaptasi Iklim oleh Komunitas Nelayan 176

(20)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer sehingga terjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan (Meiviana et al. 2004: iv). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Pada perkembangan selanjutnya, perubahan iklim menjadi isu penting dalam kebijakan-kebijakan penting internasional setelah tahun 1995 ketika laporan penilaian kedua dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa

human activities were having a ‗discernible‘ impact on climate‖ (IPCC 2001).

Menurut Glantz (1990), jauh sebelum maraknya konsensus umum tentang realitas bahwa perubahan iklim adalah disebabkan oleh manusia sesungguhnya tingkat keparahan dari dampak perubahan tersebut sudah lebih dulu terjadi.

Beberapa ilmuan dan literatur tentang kebijakan pembangunan (seperti (Kates 2000, Mendelsohn et al. 2007, Smith et al. 2003) berkeyakinan bahwa masyarakat miskin dan rumah tangga pedesaan yang bergantung pada sumber daya alamlah yang akan menanggung dampak beban merugikan yang tidak proporsional dampak perubahan iklim. Dalam empat dekade lalu, bahaya-bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran hutan telah menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan, hancurnya ekonomi dan infrastruktur sosial juga kerusakan lingkungan. Di banyak tempat dunia, frekuensi dan intensitas bahaya-bencana ini cenderung meningkat. Banjir dan angin-badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30% diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain.

Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. IPCC (2007) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab kerentanan wilayah ini. Pertama, pemanasan global ditengarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980-2000). Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis)

mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai ―tahun tenang‖ saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan

(21)

dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Dampak ini diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di tahun 1997-1998.

Terkait dengan skenario yang dikembangkan IPCC di atas, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim mengingat bahwa posisi geografisnya yang terbentang dari 6 derajat LU sampai 11 derajat LS dan 9 - 141 derajat BT dengan jumlah total pulau terbesar di dunia (17.500 pulau) dan garis pantai nomor 2 terpanjang di dunia yaitu 81.000 km (sekitar 14% dari garis pantai dunia) serta luas laut yang mendekati 70% luas keseluruhan wilayahnya (KNLH 2007: 3). Berdasarkan

Policy Brief yang diterbitkan oleh Kantor Bank Dunia Jakarta (World Bank 2010), meskipun kepastian mengenai besarnya bahaya masih belum dapat dipastikan, namun beberapa dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan sangat signifikan adalah:

1) Kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia telah mengalami kenaikan 0.3oC (pengamatan sejak 1990). Tahun 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ini, dengan kenaikan hampir 1oC (di atas rata-rata dari tahun 1961 – 1990).

2) Curah hujan yang lebih tinggi. Diperkirakan, akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun, serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang menyebabkan risiko banjir meningkat secara signifikan. Hal ini akan merubah keseimbangan air di lingkungan dan mempengaruhi pembangkit listrik tenaga air dan suplai air minum.

3) Kenaikan permukaan air laut. Daerah berpopulasi padat akan sangat dipengaruhi oleh kenaikan permukaan air laut. Ada sekitar 40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10 m dari permukaan air laut rata-rata, yang berarti sangat rentan terhadap perubahan permukaan air laut.

4) Resiliensi pangan. Perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, kenaikan permukaan air laut akan menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan udang di seluruh negeri.

5) Pengaruh pada keanekaragaman bahari. Diperkirakan bahwa iklim yang berubah akan meningkatkan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 – 2.5oC. Hal ini akan menambah tekanan pada 50,000km2 terumbu karang, yang sudah dalam keadaan darurat. Pemutihan terumbu karang diperkirakan akan meningkat secara konstan pada suhu air laut, seperti yang diamati pada saat terjadinya El Nino.

(22)

berjangkitnya kasus demam berdarah selama musim hujan di Indonesia, sebagiannya mungkin saja disebabkan oleh iklim yang lebih hangat.

Pola curah hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang. Banyak pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan masih banyak lagi dampak lain yang akan timbul. Perubahan iklim di Indonesia akan menyebabkan: (1) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah subtropis; (2) pada musim kemarau wilayah Selatan Indonesia mengalami penuruban curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan (Tim Sintetis Kebijakan 2008). Dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1,429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait hidro-meteorologi (KNLH 2007: 4). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan yang ektrim yang lebih parah, yang pada giliranya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar.

Provinsi Maluku merupakan miniatur Indonesia dengan karakteristik geografis kepulauan. Seperti terlihat pada Gambar 1, hampir seluruh wilayah Provinsi Maluku terdiri atas lautan dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan luas wilayah Provinsi Maluku adalah 712.479,69 km2, terdiri dari 93,5% luas perairan (666.139,85 km2) dan 6,5% luas daratan (46.339,80 km2). Total jumlah pulau yang teridentifikasi adalah 1.340 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 10.630,10 km (DKP Maluku 2007). Perairan yang begitu luas seperti itu mengindikasikan bahwa laut memiliki peran yang vital bagi kehidupan di Maluku,

sehingga dapat dikatakan bahwa laut merupakan ―ladang kehidupan‖ bagi penduduk Maluku. Oleh karenanya, sebagai daerah kepulauan, secara teori Maluku sangat rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim.

(23)

Gambar 1. Peta wilayah Provinsi Maluku. Wilayah Maluku terdiri dari 93,5% luas perairan dan hanya 6,5% luas daratan (sumber: http://www.malukuprov.go.id)

Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperburuk kehidupan ekonomi masyarakat pesisir yang kebanyakan menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Merujuk kepada Kusumastanto (2009), masyarakat pesisir memiliki karakteristik sumber kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam dan aktivitas ekonominya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang sangat rentan dari kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang (coral reef),

mangrove, serta padang lamun (seagrass), pencemaran, maupun bencana laut yang dalam konteks perubahan iklim, intensitasnya semakin tinggi dan karakteristiknya relatif baru bagi pengetahuan nelayan tradisional. Oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global.

(24)

Di banyak tempat di dunia, efek perubahan iklim sudah terjadi dengan konsekuensi yang berpotensi bencana bagi masyarakat miskin (Adger et al. 2005, 2007). Bersamaan dengan hal itu, ancaman terkait dengan keragaman iklim di masa lalu terhadap masyarakat miskin pedesaan di beberapa tempat, juga telah berhasil dihadapi, bahkan jika perubahan iklim mungkin diperkirakan meningkatkan frekuensi dan intensitas ancaman tersebut sekalipun (Mortimore dan Adams 2001, Scoones 2001). Pengalaman-pengalaman yang kaya dalam masyarakat akar rumput sebagaimana ditunjukkan oleh Lassa ed. (2009) menunjukan bahwa dalam realitas akar rumput, agenda adaptasi selalu terintegrasi dengan strategi nafkah (livelihood) baik soal pengelolaan aset dan ruang maupun sumber daya alam dan lingkungan, serta berbagai aspek pangan, sandang dan papan.

Menurut Nicholls et al. (2007) dan Agrawal (2008), sebagian besar studi tentang adaptasi di daerah pesisir di dunia saat ini cenderung mencurahkan perhatian jauh lebih besar untuk alternatif infrastruktur dan teknologi untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif dan relatif mengabaikan perhatian terhadap aspek sosial atau alternatif kelembagaan. Langkah-langkah peningkatan infrastruktur terbukti lebih mahal dan kurang efektif daripada upaya yang menggabungkan pengaturan dan intervensi kelembagaan dengan perbaikan teknis dan modal. Oleh karena itu perubahan iklim tidak hanya membutuhkan investasi yang signifikan dalam fasilitas infrastruktur tetapi juga penyangga kelembagaan untuk mencegah bencana akibat perubahan iklim (Gupta et al. 2008, Agrawal 2008, Maguire dan Cartwright 2008, Adger et al. 2005).

Menurut Maguire dan Cartwright (2008), analisis sosial atas dampak iklim selama ini diterapkan dengan cara yang paralel dengan 'pendekatan kerentanan'. Analisis sosial dengan perspektif kerentanan umumnya berfokus pada aspek-aspek negatif atau kelemahan dari sebuah komunitas. Tradisi pendekatan kerentanan dan pendekatan berbasis prediktif terbatas karena tidak mampu sepenuhnya menangkap, memahami dan mengendalikan semua perubahan dan ancaman yang mungkin dihadapi masyarakat. Karena realitas sosial yang dinamis, terus berubah dan terdiri dari banyak proses yang saling terkait, sangat sulit untuk menangkap perubahan sosial melalui indikasi berbasis indeks kerentanan dan mustahil untuk memprediksi semua kemungkinan hasilnya (Walker et al. 2002). Oleh karena itu, studi ini menggunakan sebuah perspektif yang relatif baru dalam studi perubahan iklim yaitu perspektif resiliensi sosial (social resilience perspective).

Berbeda dengan pendekatan kerentanan, pendekatan perspektif resiliensi seimbang dalam hal yang mencakup kerentanan dalam masyarakat (bukan label seluruh komunitas sebagai 'rentan') serta sumber daya dan kapasitas adaptif yang memungkinkan masyarakat untuk mengatasi kerentanan dan mengelola perubahan dengan cara yang positif. Alih-alih mencoba untuk memprediksi perubahan spesifik, perspektif resiliensi menerima bahwa perubahan tidak bisa dihindari dan kadang tak terduga (Maguire dan Cartwright 2008, Resilience Alliance 2007).

(25)

bencana (disaster risk reduction - DRR) (Bahadur et al. 2010). Istilah ini telah menjadi sangat populer untuk menggambarkan interseksi antara dua bidang tersebut dengan kemiskinan dan pembangunan sebagai 'pembangunan tahan iklim' (climate resilient development), dan selanjutnya konsep 'pembangunan tahan iklim' dengan cepat menjadi a catch-all untuk mengatasi dampak perubahan iklim dalam konteks pembangunan.

Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya menilai resiliensi sosial masyarakat nelayan di pesisir serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi. Kunci untuk meningkatkan kemampuan adaptasi (adaptive capacity) ialah resiliensi (Folke et al. 2002). Pengembangan konsep ini sejalan dengan pendapat Berkes dan Seixas (2005) bahwa pengembangan sistem resiliensi ekologi-sosial merupakan kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan, namun pengembanganya di negara berkembang masih sangat diabaikan, sementara resiliensi sangat sesuai digunakan untuk mengkaji pengelolaan wilayah pesisir, khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak.

Masalah Penelitian

Meskipun dampak perubahan iklim berkonotasi negatif di banyak tempat, di beberapa tempat lainnya ancaman itu juga telah berhasil dihadapi. Masyarakat pedesaan di berbagai belahan dunia telah mengalami berbagai bentuk peristiwa iklim yang ekstrim dan seiring waktu, mereka telah mengembangkan berbagai tanggapan adaptif untuk mengatasi risiko lingkungan terhadap mata pencaharian. Agrawal (2008) dalam kesimpulannya setelah mereview praktek adaptasi lokal dari lebih sekitar 40 negara menyebutkan bahwa kesuksesan adaptasi bergantung pada kesuksesan pada pengaturan kelembagaan - adaptasi tidak pernah terjadi dalam kekosongan kelembagaan. Studi khusus yang berfokus pada tema-tema seperti konservasi air, pengembangan pertanian, mata pencaharian pedesaan, pengelolaan hutan juga mengidentifikasi lembaga lokal sebagai kunci untuk adaptasi (Adger 2000b, Droogers 2004, Naess 2005). Peran lembaga-lembaga dalam berbagai skala, termasuk dalam konteks lokal, telah diterima secara luas dalam berbagai analisis iklim dan adaptasi (Batterbury dan Forsyth 1999, Thompson et al. 2006).

(26)

yang positif dapat mempengaruhi kemampuan adaptasi dan praktek adaptasi bagi masyarakat miskin.

Provinsi Maluku terdiri dari 1.340 pulau besar dan kecil, dengan lokasi pemukiman penduduk yang sebagian besar bermukim di pesisir pantai. Hal ini membuat Provinsi Maluku sangat rentan dengan bencana seperti kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim, serta bahaya-bahaya lain yang dapat mengancam sewaktu-waktu. Wilayah kepulauan dalam konteks ancaman bencana dan dampak perubahan iklim memiliki kerentanan atau risiko yang lebih tinggi. Ketersediaan pangan, energi, fasilitas dan pelayanan kesehatan atau pendidikan secara kasat mata dapat terlihat. Kepulauan Maluku karena keunikan karakteristiknya baik secara geofisika, sosial, ekonomi dan budaya tersebut membuatnya sangat rentan terhadap efek dari pemanasan global, termasuk bencana alam lebih sering dan intens, seperti siklon, banjir dan kekeringan lahan. Juga keterbatasan-keterbatasan dalam merespon kejadian bencana mengingat sistem adat dan kearifan lokal masih cukup kuat dalam sistem kehidupan masyarakatnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan, pada sisi yang lain, sistem adat dan kearifan lokal juga dapat menjadi modal besar dalam melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Selanjutnya, berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian (problem statement) di atas, pertanyaan penelitian (research question) dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana kerentanan komunitas terhadap dampak dan resiko perubahan iklim dari sudut pandang pemahaman dan pengalaman nelayan dan bagaimana nelayan beradaptasi dengannya?

2) Bagaimana praktek adaptasi nelayan menghadapi dampak perubahan iklim dan sejauh mana peran kelembagaan lokal dalam mengembangkan adaptasi nelayan di tingkat desa?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat sintesis berkaitan dengan pemahaman nelayan tentang perubahan iklim, kerentanan yang ditimbulkannya, strategi adaptasi untuk mereduksi kerentanan, proses pengambilan keputusan adaptasi, dan resiliensi komunitas sebagai bahan untuk merumuskan formulasi kebijakan advokasi perubahan iklim berbasis evidensi pedesaan nelayan pada kawasan pesisir. Tujuan penelitian lebih rinci dirumuskan sebagai berikut:

1) Menganalisis kerentanan komunitas nelayan di wilayah pesisir utara Pulau Ambon (desa Asilulu) melalui penilaian potensi risiko perubahan iklim (meliputi paparan dan kepekaan) dan penilaian kemampuan adaptasi dan selanjutnya menganalisis praktek adaptasi yang dikembangkan dalam mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas.

(27)

Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kegunaan pada dua aspek yaitu aspek teoritis akademis dan aspek praktis empiris.

Dari aspek teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kegunaan sebagai berikut

1) Temuan penelitian merupakan sebuah pengungkapan fakta ilmiah yang relatif baru pada kasus yang diteliti sehingga dapat berkontribusi pada pengembangan teoritis khususnya bidang kajian ilmu sosiologi pedesaan. 2) Secara metodologis, penelitian ini menawarkan metodologi penelitian sosial

yang relatif berbeda dengan mainstream metodologi yang digunakan selama ini untuk mengidentifikasi dan memahami aspek-aspek sosial dari perubahan ekologi yang didorong oleh perubahan iklim.

Dari aspek praktis empiris, beberapa harapan kegunaan penelitian adalah sebagai berikut.

1) Penilaian kerentanan secara mikro-deduktif dan analisis adaptasi secara mikro-induktif serta penilaian resiliensi yang menggabungkan pendekatan deduktif dan induktif dalam konteks sosiologi diharapkan dapat melengkapi kajian dampak dan risiko perubahan iklim yang telah ada selama ini terutama kajian metereologis dan kuantitatif sehingga menjadi sumber referensi penyusunan kebijakan mengurangi kerentanan akibat dampak perubahan iklim khususnya di wilayah pedesaan pesisir yang lebih membumi, efektif dan tepat sasaran.

2) Dekripsi pengalaman yang ada tentang bentuk-bentuk adaptasi masa lalu pada komunitas pedesaan pesisir di lokasi penelitian diharapkan menjadi pelajaran strategis dalam menyusun strategi adaptasi untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global pada berbagai bentuk adaptasi dalam konteks lokasi yang berbeda.

3) Metodologi yang digunakan dan teori yang dihasilkan penelitian ini diharapkan bisa digunakan dalam analisis kajian kerentanan dan risiko di wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dalam kerangka kerja adaptasi bencana dengan pendekatan micro-level untuk kondisi wilayah dan ketersediaan data seperti kasus Maluku, khususnya oleh pemerintah dalam kerangka pembangunan yang mempertimbangkan dampak perubahan iklim.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

(28)

atau perubahan dan mempertahankan perilaku adaptif. Resiliensi sosial memiliki dimensi ekonomi, politik, tata ruang/spasial, dan kelembagaan. Sebuah komunitas yang resilien (a resilient community) adalah komunitas yang mampu menanggapi perubahan atau tekanan dengan cara yang positif dan mampu mempertahankan fungsi inti sebagai sebuah komunitas meskipun mereka dalam tekanan. Resiliensi

sosial berbeda dari 'resiliensi individu‘ (individual resilience) dimana resiliensi sosial memperhitungkan dimensi kelembagaan, ekonomi dan sosial masyarakat.

Selanjutnya ruang lingkup penelitian dibatasi sebagai berikut:

1) Lokasi penelitian adalah wilayah Negeri Asilulu kecamatan Leihitu kabupaten Maluku Tengah provinsi Maluku, mewakili karakteristik pedesaan pesisir Maluku.

2) Unit analisis penelitian adalah komunitas desa nelayan perikanan tangkap dan kelembagaan, baik lokal maupun supra lokal, yang berhubungan dengan praktek adaptasi di lokasi penelitian. Informan penelitian dipilih secara purposive untuk mendapatkan keadaan ―merepresentasikan‖

komunitas secara keseluruhan.

3) Pokok kajian penelitian ini bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu, melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu. Karena perubahan iklim adalah fenomena alamiah yang berlansung dalam rentang waktu yang sangat lama serta adaptasi juga dilakukan secara perlahan mengikuti perubahan lingkungan yang salah satunya disebabkan oleh perubahan iklim, maka gejala sosial yang diamati dibatasi pada rentang waktu sepuluh tahun terakhir.

4) Kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada kelembagaan yang beroperasi pada skala lokal pedesaan di wilayah studi, khususnya yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan tangkap.

5) Penelitian ini mengidentifikasi perubahan iklim dari pemahaman masyarakat dengan cara membandingkannya dengan kajian-kajian ilmiah tentang perubahan iklim, bukan mengukur perubahan iklim secara meteorologi atau secara kuantitatif. Ukuran perubahan iklim dalam penelitian ini, oleh karenanya bersifat lokalitas kualitatif dan subjektif berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masyarakat.

6) Mengingat definisi kerentanan yang begitu luas, kerentanan dalam penelitian ini dibatasi pada dua aspek. Pertama, kerentanan pada sistem sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh faktor ekstenal yakni dampak langsung dari perubahan iklim. Pada aspek ini pertama ini kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terpapar, peka dan kemampuan adaptasinya. Kedua, kerentanan pada sistem sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh faktor internal yakni sebagai bagian dari hasil adaptasi. Di sini kerentanan dilihat sebagai perkiraan besar dampak buruk timbul akibat keragaman dan perubahan iklim setelah dilakukan upaya adaptasi. Dengan kata lain, kerentanan adalah sisa potensi risiko yang tidak bisa diatasi oleh kemampuan adaptasi.

(29)

merespon pergerakan iklim dan dampaknya yang merugikan atau mengurangi peluang manfaat. Ada dua batasan tentang adaptasi dalam pengertian ini. Pertama, adaptasi adalah realisasi dari kemampuan adaptasi untuk mengurangi kerentanan, dan kedua, adaptasi hanya dapat diukur sebagai respon aktual sebuah masyarakat untuk perubahan.

8) Mengingat resiliensi adalah istilah sangat umum yang secara akademik memiliki makna ganda dan beragam, melintasi sejumlah disiplin ilmu dan bidang praktis, maka konteks resiliensi di sini dibatasi pada resiliensi sosial atau resiliensi komunitas. Dalam konteks perubahan iklim, resiliensi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk menanggapi dampak perubahan iklim sambil terus berfungsi secara teratur.

Kebaruan Disertasi (Novelty)

Perubahan iklim merupakan isu atau fenomena baru dalam kajian sosiologi, yang dalam konteks ini memiliki dua aspek yang berbeda. Pertama,

aspek dampak yang terkait dengan akibat yang sudah pasti terjadi atau terlihat dengan jelas. Dampak perubahan iklim dengan demikian adalah sesuatu yang sudah bisa teridentifikasi dan sudah dirasakan oleh masyarakat secara fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, menilai dampak dapat dilakukan melalui pemahaman dan pengalaman nelayan yang karenanya paradigma konstruktivis yang identik dengan metode kualitatif dan analisis induktif. Kedua, aspek risiko yang terkait dengan prediksi atau skenario yang dikembangkan dari kajian-kajian terdahulu. Dalam hal ini, risiko adalah sesuatu yang belum terjadi tetapi diyakini akan terjadi. Oleh karenanya, diperlukan hipotesis-hipotesis untuk memprediksi fakta yang hendak diteliti yang dibangun dari sintesis teori dan kajian-kajian terdahulu. Pendekatan seperti itu merupakan cirn khas dari paradigma post-positivisme dengan analisis deduksi, meskipun dalam studi ini perhitungan secara statistik tidak dilakukan.

Mempertimbangkan dua aspek dari perubahan iklim tersebut dan relevansi paradigma yang ada sebagaimana diuraikan, maka dua paradigma yang selalu dipertentangkan digabungkan dalam studi ini, meskipun pada dasarnya tidak meleburnya menjadi satu pendekatan baru melainkan menerapkannya secara parsial pada bebarapa tema dan unit analisis studi. Selain itu, diperlukan kebaruan metodologi dan pendekatan untuk mendeskripsikan fenomena dan dampak perubahan iklim secara sosiologis mengingat dampak perubahan iklim yang meskipun merupakan tema kajian baru dalam ilmu sosial tetapi ditengarai dampaknya sudah nyata dalam kehidupan sosial masyarakat sedangkan di sisi yang lain studi pada beberapa wilayah masih belum ada sama sekali, termasuk dalam hal ini di Maluku. Perubahan iklim sebagai sebuah fenomena yang sudah menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan budaya memerlukan kajian

mikro-induktif untuk dapat mendeskripsikan secara utuh dan sesuai dengan ―realitas‖

(30)

Terlepas dari aspek metodologis di atas, kajian perubahan iklim selama ini seperti terpisah dari kajian-kajian ilmu sosial, terutama sosiologi. Meskipun dipahami bahwa perubahan iklim disebabkan oleh dan berdampak pada kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat, namun perubahan iklim selama ini hanya dianggap sebagai masalah geofisika dan teknis lingkungan belaka; tidak ada kaitannya dengan urusan pembangunan atau kebijakan publik. Masalah perubahan iklim seolah-olah hanya menjadi perhatian dan urusan ilmuwan fisika, ahli cuaca, dan pakar lingkungan saja. Di sisi lain, upaya pengurangan emisi GRK oleh negara maju dan negara berkembang masih lebih banyak mengandalkan pendekatan teknologi dan ilmu pengetahuan alam dan masih sedikit menyertakan kebijakan pembangunan sosial ekonomi serta pendekatan politik dan kultural yang diperlukan untuk mengatasi masalah kompleks tersebut secara komperehensif. Oleh karenanya, penelitian ini mencoba memahami perubahan iklim dari perspektif sosiologis.

Demi menguatkan analisis sosiologi dalam studi ini, penulis menggunakan pendekatan yang relatif baru dalam studi perubahan iklim yakni pendekatan resiliensi sosial. Secara tradisional, analisis sosial atas dampak iklim terhadap sistem sosial-ekonomi ‗belum‘ didekati dari perspektif resiliensi sosial, melainkan diterapkan dengan cara yang paralel dengan 'pendekatan kerentanan' (Maguire dan Cartwright 2008). Analisis sosial dengan perspektif kerentanan umumnya berfokus pada aspek-aspek negatif atau kelemahan dari sebuah komunitas. Tradisi pendekatan kerentanan dan pendekatan berbasis prediktif terbatas karena tidak mampu sepenuhnya menangkap, memahami dan mengendalikan semua perubahan dan ancaman yang mungkin dihadapi masyarakat. Karena realitas sosial yang dinamis, terus berubah dan terdiri dari banyak proses yang saling terkait, sangat sulit untuk menangkap perubahan sosial melalui indikasi berbasis indeks kerentanan dan mustahil untuk memprediksi semua kemungkinan hasilnya (Burdge dan Vanclay 1995, Kelly 2000, Walker et al. 2002). Sebaliknya, pendekatan resiliensi, seimbang dalam hal yang mencakup kerentanan dalam masyarakat (bukan label seluruh komunitas sebagai 'rentan') serta sumber daya dan kemampuan adaptasi yang memungkinkan masyarakat untuk mengatasi kerentanan dan mengelola perubahan dengan cara yang positif. Alih-alih mencoba untuk memprediksi perubahan spesifik, pendekatan resiliensi menerima bahwa perubahan tidak bisa dihindari dan kadang tak terduga (Maguire dan Cartwright 2008, Resilience Alliance 2007).

Pendekatan di atas diambil dengan pertimbangan bahwa studi sosial tentang perubahan iklim yang telah dilakukan sebelum ini menyisakan beberapa celah teoritis, antara lain: (1) menunjukkan kesulitan yang inheren dalam upaya untuk mendapatkan gambaran umum tentang kerentanan dan kemampuan adaptasi berdasarkan daftar indikator dan pengukuran kuantitatif (Brooks et al. 2005); (2) kebanyakan adalah studi awal tentang kerentanan (Bohle et al. 1994, Cutter 1996, Watts dan Bohle 1993); dan (3) relatif mengabaikan fakta bahwa kerentanan terhadap perubahan iklim adalah fungsi bukan hanya dari hasil biofisik terkait dengan variasi dan perubahan suhu, curah hujan, topografi dan tanah, tetapi juga faktor sosio-politik dan institusional yang dapat bervariasi secara signifikan pada skala relatif baik (Adger 2006, 2008).

(31)

mengurangi tingkat kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas terhadap perubahan iklim. Formulasi kerentanan pada level komunitas selama ini belum dilakukan, terutama pada wilayah pesisir dan dengan unit analisis nelayan. Formulasi kerentanan yang dikembangkan dan atau digunakan pada studi-studi sebelumnya melihat kerentanan terhadap perubahan iklim adalah fungsi biofisik terkait dengan variasi dan perubahan suhu, curah hujan, topografi dan tanah, dan belum ada yang menyoroti kerentanan terkait juga dengan faktor sosio-politik dan institusional yang dapat bervariasi secara signifikan pada skala relatif baik. Tingkat dimana mereka terkait dengan kerentanan cenderung tergantung pada lokasi dan faktor budaya khusus - sehingga meskipun perubahan iklim adalah fenomena global, maka adaptasi terhadap dampak iklim adalah ‗inevitably and unavoidably local‘ (Agrawal 2008: 13). Oleh karenanya, penelitian ini mengkaji kerentanan menggunakan pendekatan mikro deduktif dan mikro induktif dengan memasukkan faktor sosial, ekonomi dan budaya sebagai salah satu faktor penentu kerentanan dan unit analisis pada level komunitas. Dengan begitu, diharapkan hasil kajian dapat melengkapi kajian-kajian perubahan iklim yang sudah ada

selama ini dan memberi penjelasan yang lebih membumi dan ‗realistis‘ tentang

realitas masyarakat berhadapan dengan perubahan iklim, khususnya masyarakat pedesaan pesisir.

(32)

2. PENDEKATAN TEORITIS Pengantar

Sebelum peneliti turun ke lapangan dan melakukan analisis penelitian, langkah penting yang harus dilakukan adalah melakukan kajian kepustakaan atau penelusuran penelitian terdahulu yang memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan permasalahan penelitian yang diangkat. Bahkan kajian pustaka juga sangat diperlukan sebelum peneliti menemukan permasalahan karena salah satu cara untuk menemukan masalah penelitian yang tepat adalah melakukan kajian pustaka dan penelusuran penelitian terdahulu. Kajian kepustakaan dimaksud dalam disertasi ini diistilahkan dengan pendekatan teoritis.

Pendekatan teoritis dalam hal ini merupakan bangunan keilmuan (body of knowledge) yang menjadi pijakan, perspektif dan akan memperluas khazanah keilmuan peneliti terhadap masalah yang diangkat. Pendekatan teoritis ini meliputi pengidentifikasian secara sistematis, penemuan, dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah perubahan iklim, konsep adaptasi, kerentanan, kelembagaan dan resiliensi. Dengan demikian, bab ini ditujukan sebagai kajian pustaka yang memiliki beberapa fungsi sebagai berikut : (1) Menyediakan kerangka konsepsi atau kerangka teori untuk penelitian yang direncanakan; (2) Menyediakan informasi tentang penelitian-penelitian yang lampau yang berhubungan dengan peneiftian yang akan dilakukan. Proses ini menghindari pengulangan (duplication) yang tidak disengaja dari penelitian-penelitian terdahulu dan membimbing kita pada apa yang perlu diselidiki; (3) Memberikan rasa percaya diri sebab melalui kajian pustaka semua konstruk yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia. Oleh karenanya itu peneliti menguasai informasi mengenai subjek tersebut; (4) Menyediakan temuan-temuan dan kesimpulan-kesimpulan penyelidikan terdahulu yang dapat dihubungkan dengan penemuan dan kesimpulan disertasi ini. Penelitian sebagai kegiatan ilmiah bukan hanya memerlukan data-data ilmiah melalui kajian teoritik dan penelitian terdahulu, melainkan juga argumentasi ilmiah yang akan menjadi dasar mengapa penelitian terhadap suatu masalah penting dilaksanakan.

Wacana Perubahan Iklim

(33)

Iklim adalah rata-rata kondisi cuaca yang merupakan interaksi yang kompleks antara proses-proses fisik, kimia, biologi yang mencerminkan interaksi antara geosfer, biosfer yang terjadi pada atmosfer bumi. Karena itu iklim suatu tempat atau wilayah merupakan deskripsi statistik tentang kondisi atmosfer dalam jangka waktu yang panjang sehingga menggambarkan rata-rata variabel cuaca (Murdiyarso 1999). Cuaca berubah sepanjang waktu, iklim biasanya akan sama berabad-abad jika tidak diganggu. Tetapi, bumi tidak dibiarkan sendirian. Manusia melakukan aktivitas yang signifikan sehingga merubah bumi dan iklimnya. Perubahan iklim disebabkan oleh efek GRK, yaitu gas-gas hasil emisi yang terakumulasi di stratosfer. GRK yang menangkap panas di dalam atmosfer adalah karbondioksida (CO2), metana (NH4), klorofluorokarbon (CFC), nitrat oksida, ozon, uap air, sulfur heksaklorida, hidrofluoro (HFCs) dan perfluorokarbon (PFCs) (Satria 2009, Diposaptono 2009). Diposaptono (2009) menggambarkan proses efek rumah kaca sebagai kondisi dimana sinar matahari yang memancarkan gelombang pendek leluasa menerobos masuk ke rumah kaca. Namun, ketika bumi memancarkan gelombang panjang ke atmosfer, gelombang ini tertahan oleh rumah kaca. Akibatnya, gelombang panjang yang bersifat panas tadi terjebak di dalam rumah kaca, kemudian suhu di dalam rumah kaca meningkat karena efek pemanasan dari bumi tertahan di atap kaca tersebut. Dengan berubahnya suhu bumi yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk di

bumi ini, maka kejadian tersebut dinamakan sebagai ―pemanasan global‖.

Manifestasi inti dari perubahan iklim meliputi perubahan bertahap dalam suhu dan curah hujan rata-rata, rentang yang lebih besar dalam variasi musiman dan antar-tahunan, peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem, dan transformasi potensi bencana ekosistem (Tompkins dan Adger 2004). Manifestasi ini akan berkorelasi dengan slow-omzet hazard seperti curah hujan tidak menentu, kenaikan permukaan laut, perubahan permukaan air, dan suhu meningkat, serta

rapidly unfolding phenomena seperti kekeringan, banjir, hujan dan kegagalan panen, dan badai. Semua fenomena tersebut akan menyebabkan eksposur dan sensitivitas yang lebih besar pada penduduk pedesaan melalui tiga dampak besar pada mata pencaharian mereka: peningkatan risiko lingkungan, pengurangan kesempatan mata pencaharian, dan akibatnya, tekanan yang jauh lebih besar terhadap lembaga-lembaga sosial yang ada (Agrawal 2008: 10). Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini sangat besar sehingga ilmuan-ilmuan ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini.

Khusus untuk pada kawasan pesisir, ekologi yang menjadi fokus dari penelitian ini, dampak perubahan iklim mengakibatkan berbagai kerugian yang telah dan akan dirasakan oleh masyarakat pesisir khususnya nelayan perikanan tangkap. Berikut ini diuraikan dampak perubahan iklim pada kawasan pesisir dan nelayan.

Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim

(34)

Namun pada tahun 1990, konsentrasi CO2 telah meningkat hingga 353 ppm. Dengan pola konsumsi energi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 akan meningkat hingga dua kali lipat dibanding zaman pra industri, yaitu sebesar 580 ppm.

Menurut IPCC (2001), dengan meningkatnya konsentrasi CO2 sebanyak dua kali lipat, maka diperkirakan peningkatan suhu bumi yang akan terjadi adalah sebesar 1,4-5,8°C. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1°C di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (Hulme 1999). Beberapa skenario proyeksi kenaikan suhu udara di Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 sebesar dua kali lipat akan diikuti oleh peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 3-4,2°C (Meiviana et al.

2004: 20).

Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tak menentunya pola curah hujan. Di beberapa tempat curah hujan meningkat, yang kemudian akan berdampak pada terjadinya banjir dan longsor. Sementara di sebagian tempat lain curah hujan menurun, sehingga berdampak pada terjadinya kekeringan.

Kenaikan Permukaan Air Laut

Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar Pulau Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 - 88 cm (IPCC 2001).

Berbagai studi IPCC memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Menurut IPCC (2001), pada tahun 2030, permukaan air laut akan bertambah antara 8-29 cm dari permukaan air laut saat ini. Sebagai dampak naiknya permukaan air laut, maka banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang. Apabila 'skenario' IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang.

(35)

sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk dari daerah pantai.

Menurut studi ALGAS (1997 dikutip dalam Meiviana et al. 2004: 21), jika Indonesia - dan juga negara lainnya – tidak melakukan upaya apapun untuk mengurangi emisi GRK, maka diperkirakan pada tahun 2070 akan terjadi kenaikan permukaan laut setinggi 60 cm. Jika permukaan pantai landai, maka garis pantai akan mundur lebih dari 60 cm ke arah darat. Hal ini diperkirakan akan mengancam tempat tinggal ribuan bahkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Tahun 2070 diperkirakan sebanyak 800 ribu rumah di tepi pantai harus dipindahkan atau diperbaiki. Untuk itu dana yang dibutuhkan sekitar 30 milyar rupiah.

Masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Mereka bahkan kehilangan tempat tinggal serta infrastruktur pendukung yang telah terbangun. Nelayan juga akan kehilangan mata pencahariannya akibat berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Hal ini disebabkan karena tak menentunya iklim sehingga menyulitkan mereka untuk melaut.

Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Perikanan

Pemanasan global menyebabkan memanasnya air laut sebesar 2-3°C. Akibatnya, alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya, terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih dan mati (coral bleaching).

Kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700 km2 atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia (WRI 2002). Peristiwa El Nino yang terjadi setiap 2-13 tahun sekali, pada tahun 1997-1998 menyebabkan naiknya suhu air laut sehingga memicu peristiwa pemutihan karang terluas, terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Menurut Wilkinson di Indonesia sudah terjadi pemutihan karang sebesar 30% (Murdiyarso 2003). Di Kepulauan Seribu, sekitar 90-95% terumbu karang hingga kedalaman 25 m mengalami kematian. Setelah El Nino berlalu, terumbu karang yang rusak punya kesempatan untuk tumbuh kembali. Seperti halnya yang terjadi pada terumbu karang di Kepulauan Seribu yang membaik sekitar 20-30% dalam waktu 2 tahun. Pemutihan karang menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lain-lain) karena tak ada lagi terumbu karang yang layak untuk dihuni dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang, itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang berada wilayah lainnya (Meiviana et al. 2004: 23).

Gambar

Tabel 1.   Keadaan Penduduk Negeri Asilulu berdasarkan
Gambar 1. Peta wilayah Provinsi Maluku. Wilayah Maluku terdiri dari 93,5% luas
Gambar 2. Konsep Kontinum Adaptasi (sumber: Spearman dan McGray 2011)
Gambar 3. Dimensi adaptasi perubahan iklim (Spearman dan McGray 2011).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ball concentration and ball feeling atau konsentrasi pada bola dan daya perasaan untuk bola.(2) Footwork and body movement, yaitu cara mengatur serta menggerakkan kaki dan

[r]

Berdasarkan hasil Observasi yang telah dialakukan di SDN 6 Selat Hilir yang dilakukan oleh peneliti bersama dengan guru kelas V bahwa hasil belajar peserta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipotong terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap pendapatan jagal di RPH Penggaron dengan t hitung sebesar 9,845

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi muatan padatan tersuspensi di Muara Sungai Banjir Kanal Barat Semarang tanggal 26 Mei 2014 saat

Jika telah habis batas waktu sewa, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan sewa ke Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Madiun.. Jika sewa sudah

Hasil penelitian dan pembahasan tentang “Pengelolaan Bengkel Kerja Dalam Mempersiapkan Kemandirian Lulusan di SMK Satya Karya Karanganyar”, dapat disimpulkan, bahwa

Untuk mengubah warna garis tabel klik kanan frame table > Properties, pada bagian Colors klik gambar kuas kecil, lalu pilih warna yang ada di daftar bawahnya.. Sedangkan