• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada Bab ini dideskripsikan lokalitas perubahan iklim meliputi uraian pemahaman nelayan tentang perubahan ekologi dan sistem sosial komunitas yang diasosiasikan dengan perubahan iklim dan dampak sosio-ekologis yang ditimbulkannya. Seperti sudah dibahas pada bab dua, pengertian perubahan iklim dalam penelitian ini merujuk kepada IPCC (2001, 2007) dan UNEP (2009) yakni setiap perubahan dalam iklim pada suatu selang waktu tertentu akibat meningkatnya suhu rata-rata udara dan laut, mencairnya salju dan es serta meningkatnya permukaan air laut. Manifestasi inti dari perubahan iklim meliputi perubahan bertahap dalam suhu dan curah hujan rata-rata, rentang yang lebih besar dalam variasi musiman dan antar-tahunan, peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem dan transformasi potensi bencana ekosistem. Manifestasi tersebut akan berkorelasi dengan slow-omzet hazard seperti curah hujan tidak menentu, kenaikan permukaan laut dan suhu meningkat, serta rapidly unfolding phenomena seperti kekeringan, banjir, kegagalan panen dan badai ekstrim.

Khusus untuk pada kawasan pesisir, parameter perubahan iklim meliputi beberapa indikator yakni kenaikan temperatur suhu udara, perubahan musim dan pola musim, kenaikan tinggi permukaan air laut, memanasnya air laut yang menyebabkan matinya alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang, dan perubahan komposisi ikan di laut. Berbagai perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan ekologis pesisir dan laut antara lain intrusi air laut ke daratan, genangan air dan banjir, erosi pantai, kerusakan terumbu karang khususnya pemutihan (coral bleaching), perubahan proses upwelling, perubahan gerombolan ikan dan pola migrasi ikan, perubahan morfologi pantai dan mangrove, meningkatnya salinitas air, serta meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan. Parameter perubahan iklim di atas selanjutnya digali menggunakan metode fenomenologi dan studi kasus historis untuk melihat

―kesesuaian‖nya dengan pemahaman dan pengalaman komunitas lokal di lokasi penelitian. Pemahaman dan pengalaman yang dianalisis adalah pemahaman dan pengalaman nelayan dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir. Selanjutnya, apa

yang disebut sebagai ―lokalitas perubahan iklim‖ dalam disertasi ini adalah

pemahaman dan pengalaman komunitas nelayan tentang perubahan-perubahan ekologi pesisir dan lautan tempat mereka beraktivitas selama ini dengan indikator- indikator yang dirujuk kepada skenario atau parameter perubahan iklim sebagaimana dirumuskan oleh IPCC (2001) dan UNEP (2009) dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir.

Perubahan Iklim Berdasarkan Pemahaman dan Pengalaman Nelayan Semakin Seringnya Gelombang Pasang

Gelombang pasang dapat diartikan sebagai gelombang air laut berkecepatan antara 10-100 km/jam yang melebihi batas normal dan dapat menimbulkan bahaya baik di lautan maupun di darat terutama daerah pinggir

pantai. Pada umumnya gelombang pasang terjadi karena adanya angin kencang atau topan, perubahan cuaca yang sangat cepat, dan karena ada pengaruh gravitasi bulan maupun matahari. Gelombang pasang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang sedang berlayar dan jika terjadi gelombang pasang di laut akan menyebabkan tersapunya daerah pinggir pantai atau disebut dengan abrasi.

Adapun karakteristik terjadinya gelombang pasang adalah adanya angin kencang, terjadinya badai di tengah laut dan menyebabkan terjadinya gelombang pasang di pinggir pantai dan perubahan cuaca yang tiba-tiba menjadi gelap. Gelombang pasang terjadi akibat kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pasang-surut. Disamping itu juga diakibatkan oleh faktor-faktor lain (eksternal force) seperti dorongan air, swell (gelombang yang ditimbulkan dari jarak jauh), badai dan badai tropis yang merupakan fenomena yang sering terjadi di laut. Gabungan atau interaksi dari faktor tersebut menimbulkan anomali muka air laut yang menyebabkan banjir Rob.

Gelombang pasang yang cukup tinggi terjadi di wilayah Maluku terjadi pada tahun 2008, terjadi akibat adanya tropical low. Fenomena tropical low

tersebut menghancurkan banyak rumah dan pemukiman penduduk di pesisir Pulau Ambon, yang terparah di desa Wai Kecamatan Salahutu. Pemerintah Provinsi Maluku kemudian melakukan pembangunan tembok penahan abrasi di pantai sepanjang pemukiman desa Wai dan sepanjang pesisir Pulau Ambon (Kepala DKP Maluku, wawancara 6 Januari 2011).

Di Asilulu, gelombang pasang dirasakan lebih sering dari biasanya dalam 4 tahun terakhir. Gelombang pasang terutama dirasakan dampaknya oleh penduduk di dusun Batu Lubang karena posisi rumah yang memang rentang terpapar gelombang pasang. Rumah penduduk di bagian pesisir terletak antara bibir pantai dan tembok penahan gelombang.

Gambar 27. Tembok penahan ombak rusak, bentuk mitigasi yang dilakukan pemerintah terhadap gelombang pasang.

Dari hasil FGD di Batu Lubang pada tanggal 16 September 2012 ditemukan bahwa beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan angin kencang dan gelombang pasang. Terparah menurut penduduk adalah gelombang pasang disertai hujan badai yang terjadi pada periode Agustus 2010. Pada waktu itu, ada 3 rumah penduduk yang terseret hanyut terbawa gelombang ke tengah laut. Belum ada korban jiwa terkait bencana ini. Peristiwa gelombang pasang tersebut, sebagaimana diceritakan oleh salah seorang informan sebagai berikut:

―Ketika terjadi badai dan gelombang pasang yang menghanyutkan beberapa rumah, katong pikir itu adalah bencana. Mungkin ada gempa di tempat lain yang membuat air naik ka darat. Kalau bulan 1-3, ombak sangat tinggi dan menghantam pemukiman. Katong pada bulan itu hanya makan tidur sa

(Arif, 31 tahun, wawancara 16 September 2012).

Indikator dari intensitas gelombang pasang di lokasi penelitian antara lain terlihat dari rusaknya tembok penahan gelombang di hampir semua tempat di Asilulu. Seperti terlihat pada gambar 27, tembok-tembok penahan tersebut tidak mampu menahan hempasan gelombang laut yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan secara signifikan.

Naiknya Permukaan Air Laut

Kenaikan muka air laut dipersepsikan secara berbeda oleh nelayan di lokasi penelitian. Di negeri Asilulu, kebanyakan nelayan tidak menyadari bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut. Menurut mereka, air laut dari dulu dampai sekarang begitu saja. Hal ini diduga karena kebanyakan nelayan di wilayah ini bertempat tinggal agak jauh dari bibir pantai, sehingga intrusi air laut tidak menjadi masalah yang menarik perhatian mereka. Tetapi bagi nelayan di Petuanan Batu Lubang dan Petuanan Pulau Lain, kenaikan permukaan air laut sangat dirasakan. Setidaknya dalam empat tahun terakhir. Hal ini bisa jadi karena rumah mereka berada tepat di bibir pantai, bahkan sebagian dibangun di atas air.

Informasi tentang naiknya permukaan air laut sebagaimana dituturkan oleh Arif (35 tahun), seorang nelayan di Batu Lubang sebagai berikut:

―Tahun-tahun kamarin, biasa itu katong pung bodi kasi simpan di laut. Tapi sekarang, katong su kasi naik ka darat. Jadi naik sampai 3 meter ke darat. Itu mulai terasa pada tahun 2003 ini‖ (wawancara 16 September 2012).

Kenaikan 3 meter yang disebutkan oleh nelayan tersebut menurut penulis bukanlah kenaikan muka air laut secara vertikal melainkan kenaikan muka air laut yang menggenangi daratan sehingga mengalami pergeseran sekitar 3 meter. Tentu saja, luas genangan sangat ditentukan oleh derajat kelandaian dari tanah yang tergenang.

Pernyataan informan di atas dikuatkan oleh pernyataan nelayan lainnya yang mengikuti FGD di Batu Lubang pada hari yang sama. Indikator seperti yang dinyatakan oleh informan dapat dilihat pada Gambar 28.

Informasi yang sama juga disampaikan oleh Tin, seorang nelayan pengumpul yang rumahnya menghadap pantai di negeri induk Asilulu.

―Di depan rumah beta ini, orang tua-tua bilang dulu itu tempat kasi naik perahu. Sekarang sujadi laut. Itu sekitar 20 tahun yang lalu‖ (wawancara 16 Maret 2011).

Keterangan dari beberapa informan yang ditemui di lokasi penelitian menyimpulkan bahwa berdasarkan pengamatan mereka garis pantai sudah bergeser semakin melebar ke daratan khususnya di Dusun Batu Lubang tetapi untuk daerah Desa Asilulu sendiri (pemukiman utama), fenomena tersebut belum teridentifikasi. Ada beberapa dugaan argumentasi untuk perbedaan ini. Pertama,

di dusun Batu Lubang, posisi rumah penduduk lebih menjorok ke arah pantai bahkan relatif berinteraksi dengan air pasang sedangkan di Asilulu posisi rumah agak masuk ke darat (relatif jauh dari garis pantai). Sebagai gambaran, model

pemukiman penduduk di Batu Lubang yang dekat ke garis pantai itu pada umumnya berada di antara garis pantai dengan talut (tembok pelindung ombak) sedangkan di Asilulu, rumah-rumah penduduk dibangun pada posisi antara talut dan jalanan. Itu berarti bahwa di Batu Lubang, talut berada di depan rumah penduduk sedangkan di Asilulu adanya di belakang rumah (lihat Gambar 29).

Gambar 28. Indikator kenaikan permukaan laut. Nelayan memindahkan tempat penyimpanan perahu ke samping rumah yang dulunya di belakang rumah karena kenaikan permukaan air laut.

Gambar 29. Fakta kenaikan permukaan air laut. Pemandangan di salah satu sudut desa, air laut masuk melewati tembok penahan ombak, diduga akibat kenaikan permukaan air laut.

Kedua, hampir seluruh penduduk di dusun Batu Lubang bermata pencaharian sebagai nelayan, khususnya nelayan ikan Tuna. Mereka tidak mempunyai pekerjaan alternatif yang lain sehingga sepanjang tahun mereka berinteraksi dengan lautan. Sebaliknya di Asilulu, kebanyakan nelayan justru tinggalnya di wilayah tengah-tengah perkampungan sedangkan penduduk yang tinggal di bibir pantai banyak yang bukan berprofesi sebagai nelayan melainkan

sebagai pedagang (umumnya rumah sekaligus dijadikan sebagai toko kebutuhan sehari-hari). Sebagai konsekuensinya, perhatian mereka kepada laut dan gejala- gejalanya tidak terlalu besar sementara nelayan yang tinggalnya agak jauh dari bibir pantai juga tidak memperhatikan hal-hal yang tidak terkait dengan mata pencaharian mereka.

Informan penelitian sepaham tentang penyebab kenaikan permukaan air laut. Secara umum mereka mempersepsikan bahwa itu terjadi karena kegiatan

‗pengeringan‘ di kota (Ambon). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh seorang

nelayan berinisial A (31 tahun):

―Naiknya muka air laut ke pemukiman sampai 3 meter katong pahami disebabkan oleh pengeringan (pembentukan daratan dengan cara menimbun pantai, pen.) di kota-kota. Sekarang kan banyak laut su jadi tanah, akhirnya air laut jadi naik. Katong su minta ke pemerintah negeri untuk bikin katong pung talit (atau talut, tembok penahan ombak, pen.) tapi baru dibangun

sekitar 200 meter‖ (wawancara 16 September 2012).

Pengeringan yang dimaksud adalah penimbunan wilayah pesisir di kota Ambon dalam rangka pengembangan pembangunan perkotaan. Beberapa proyek yang diketahui masyarakat adalah proyek penimbunan laut untuk perluasan pasar Mardika dan yang paling terakhir, pembangunan jembatan yang membelah teluk Ambon Baguala. Pembangunan jembatan tersebut menimbun material yang sangat banyak dan membelah Teluk Baguala hampir setengahnya. Pemandangan itu terlihat ketika nelayan atau masyarakat dari Asilulu menuju ke Ambon karena letak proyek pembangunan di sisi jalan poros yang menghubungkan Asilulu dengan Ambon.

Cuaca Ekstrim

Nelayan menenggarai terjadi peningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir yang mereka jadikan ladang penghidupan selama ini, terutama 5-7 tahun terakhir. Seperti dituturkan oleh Musa (39 tahun), seorang nelayan di Pulau Lain.

―Sekarang ini ombak lebih sering. Dulu biasa mau bulan 6 tua (akhir bulan, pen.) baru ada ombak. Itu terjadi sampai bulan 9 baru istrahat. Tapi sekarang seng lai. Sekarang saja, sudah bulan 9 tapi angin masih kuat dan ombak. Selain itu, su kacau. Sering-sering, hari ini ombak, hari ini teduh,

katong susah lai. Padahal dulu-dulu seng bagitu. Yang terparah itu tahun ini.

Katong nelayan semua mati akal pak. Tapi katong pung hitungan bahwa bulan ini katong su harus ke laut, tapi seng bisa ka angin dan ombak‖ (wawancara 18 Juni 2011).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Saleh (47 tahun):

―Dulu ombak juga sering dan tinggi tetapi katong masih bisa barmain deng akan. Tapi sekarang ombak su jahat, katong seng bisa lai perkirakan akan.

… jadi kalau katong su pikir musim ombak, katong seng ka laut lai. Paling juga ada yang tetap pi mancari tapi hanya di pinggir-pinggir sa, par ikan- ikan dasar buat makan. Kalau ada banyak baru katong jual akan

(wawancara 18 Juni 2011).

Pada suatu kesempatan FGD di Batu Lubang, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa bahkan pada kegiatan penangkapan ikan di sekitar pesisir

Batu Lubang pun kegiatannya juga sudah mengalami banyak perubahan terkait perubahan iklim. Hal itu terlihat dari penuturan Arif (32 tahun) berikut ini.

―Ada perubahan angin yang semakin kencang. Biasanya tidak bisa mancing pada musim barat dan pada musim angin timur juga tidak bisa melaut karena angin sangat kencang. Melaut pada bulan September – Desember. Sangat sulit bagi nelayan sampan untuk bisa efektif melaut karena hanya pada bulan September - Desember setiap tahun‖(wawancara 16 September 2012).

Musa (39 tahun) juga menjelaskan lebih jauh tentang cuaca ekstrim sebagai berikut.

―Sekarang ini musim ada pindah. Sekarang mulai bergeser. Ombak juga mulai berubah. Nelayan pung pengetahuan itu, ikan tuna itu justru makan kalau ada ombak. Tapi itu kalau ombak satu arah mata angin. Kalau ombak satu arah, biar kuat bagaimana nelayan bisa taklukkan akan. Tapi sekarang itu, katong seng tahu angin itu arah dari mana. Jadi dong takut kalau ombak

tar jelas dari arah mata angin mana atau dari semua arah mata angin, biar ikan makan bagaimana, dong seng barani. Itu perahu bisa terbalik‖ (Wawancara 13 Maret 2011).

Lebih lanjut Musa menceritakan pengetahuannya:

―Kadang-kadang juga memang ada katong salah hitung. Seharusnya itu musim barat tapi ombak dan angin masih kencang. Tapi itu kadang saja. Kalau Desember sampai akhir Maret, itu pasti saja, angin kencang hantam dari utara. Orang sini bilang, ‗angin seng ada hidup‘. ‗Angin ancur skali‘. Itu dia pung angin, dia pung ombak, dia pung hujan, samua. Nelayan dong

kandas samua, kecuali nelayan-nelayan jaring. Dong kan sisir saja dekat- dekat pulau di sini. Desember sampai Februari itu, tidak ada nelayan melaut sama sekali. Ke laut berarti cari mati, pasti hilang saja. Kalau hilang, katong seng pi cari lai ka katong takut hilang lai. Katong kalo ke

laut, pasti hilang saja‖.

Peningkatan intensitas cuaca ekstrim berakibat pada semakin tingginya resiko melaut yang disebabkan oleh ancaman meningkatnya badai dan gelombang ekstrim. Pada wilayah perairan Asilulu gelombang ekstrim serta badai merupakan ancaman yang kerap kali datang ketika tiba musim angin Timur serta musim penghujan. Sementara perahu dan sarana penangkapan ikan nelayan Asilulu belum dalam kapasitas menghadapi badai ataupun gelombang besar, meskipun sudah tidak bisa digolongkan lagi sebagai peralatan tradisional. Apabila datang musim dimana resiko melaut berada dalam kondisi yang tinggi, kebanyakan nelayan lebih memilih untuk tidak melaut. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan buruk yang dapat terjadi apabila nelayan memaksakan untuk tetap melaut. Di musim-musim ini kebanyakan nelayan mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu kembali melaut lagi ketika kondisi mulai membaik. Namun salah satu dampak dari perubahan iklim berupa perubahan pola angin, di wilayah Asilulu menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di beberapa kasus, angin barat berhembus di periode seharusnya berhembus angin timur. Hal ini merupakan kendala yang beresiko cukup besar bagi nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Meskipun alam mulai dirasakan tidak lagi ‗seramah‘ dulu lagi, para nelayan di Asilulu selalu tetap semangat dalam menggeluti pekerjaan mereka.

Selain karena mereka tidak memiliki alternatif pekerjaan lain yang lebih baik, budaya pelaut sudah melekat pada diri mereka.

Bergesernya Musim Ikan

Nelayan di Asilulu merasakan pergeseran musim ikan dalam beberapa tahun terakhir, seperti diungkapkan oleh Arif (32 tahun) berikut ini.

―Ketika musim kemarau, ikan-ikan yang diperoleh cenderung lebih sedikit. Namun bila musim kemarau telah berakhir, ikan-ikan kembali banyak. Terutama setelah berakhirnya kemarau yang berkepanjangan, setidaknya tiga bulan, biasanya tangkapan kembali melimpah‖ (Wawancara 16 September 2012).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ali (39 tahun), seorang tokoh nelayan yang dikenal inovatif di Asilulu, sebagai berikut.

―Selama tujuh tahun beta menjadi nelayan sendiri, banyak sekali perubahan di lautan. Dulu ikan mulai makan itu bulan tiga, sekarang ini bulan empat. Kadang-kadang maju ke bulan satu. Itu yang bikin kita nelayan di sini kewalahan. Prediksi musim kita sudah sering meleset. Beberapa tahun lalu misalnya, waktu bulan Januari. Maitua (isteri) bilang, eh kamu tidak melaut? Itu orang su hela (ikan) tuna. Sudah hela banyak itu. Tapi kita tunggu sampai bulan 3 atau paling cepat bulan 2. Padahal kita sudah salah arah itu. Beta pernah pada tahun 1999, 8 bulan beta seng turun ka

menunggu musim ikan turun. Pada hal prediksi beta salah. Jadi dari bulan Haji sampai bulan Safar, beta tidak melaut karena prediksi beta ternyata meleset‖ (Wawancara 19 Maret 2011).

Hal yang sama juga diceritakan oleh Musa (39 tahun):

―Selanjutnya katong lihat juga cuaca. Itu lewat katong punya perhitungan. Kalau dulu katong bertanya ka orang tua-tua sebelum operasi. Beta tanya ke

beta pung bapak sandiri. Antua dulu adalah ahli lautan dengan perahu boat. Betapung bapak kalau ke Jawa dengan perahu itu kan melihat, kalau musim Barat itu harus haluan ini, musim Timur itu harus haluan ini. Tapi sekarang

katong hitung itu sendiri. Jadi katong hitung. Hari ini Barat Laut, jam berapa dia sudah jalan. Berarti besok kita sudah sampai di tempat ini baru dia jalan. Atau biarkan dia jalan dulu baru katong jalan‖ (Wawancara 13 Maret 2011).

Tin (39 tahun), seorang pedagang pengumpul yang juga lama menjadi nelayan menceritakan pengetahuan dan pengalamannya tentang fenomena pergeseran musim ikan ini sebagai berikut:

―Musim bergeser. Biasanya, sepengetahuan katong, antara bulan Juli sampai September itu angin kencang. Tapi sekarang ini angin kurang. Biasa kalau di musim timur angin kurang, di musim barat kurang lai. Jadi nelayan su

hitung, kalau musim barat ini kurang ombak, berarti musim timur nanti ini

katong su bisa pi mancari. Tapi kalau di (musim) Barat angin su kencang, nah itu jaga di Timur lai. ….. Katong sekarang seng bisa memperkirakan musim. Misalnya tahun kemarin ini to, barat seng ada angin sama sekali.

Seng ada ombak. Angin saja yang kuat. Jadi banyak nelayan yang pi ambil (menangkap) umpan, selesai langsung pulang karena angin kencang terlalu kuat di luar. Tapi kalau memang cuaca bagus, nelayan langsung pi mancari

Pergeseran musim ikan juga diketahui dari hasil FGD yang dilaksanakan pada tanggal 16 September 2012 Batu Lubang. 11 orang nelayan yang menjadi peserta pada FGD tersebut setuju bahwa telah terjadi pergeseran musim ikan yang dirasakan oleh nelayan dalam 5 atau 6 tahun terakhir. Salah seorang peserta FGD, Deki (36 tahun) menceritakan:

―Memang batul, terjadi perubahan musim ikan. Tahun-tahun kamarin, biasa itu bulan 4-5 ikan tuna itu makan betul. Tapi kalau sekarang, katong seng

ada ketentuan kapan ikan itu makan. Terkadang bulan 6 atau 7, 8, 9. Tapi biasa otomatis, bulan 6 itu ikan stop makan. Sejak dulu dari zaman tete moyang. Selain itu, ombak sangat besar pada bulan 6 sampai bulan 8. Bulan 9 itu masa-masa ombak dan angin‖.

Perubahan musim ikan ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan nelayan mengingat beberapa spesies ikan memang hanya datang di musim-musim tertentu. Salah satunya adalah ikan tuna. Sebagai contoh di tahun 2010, hanya beberapa nelayan saja yang berhasil memperoleh tangkapan ikan tuna. Itupun dalam jumlah yang kecil dan tidak berlangsung lama. Seperti yang dialami oleh pak Ali (39 tahun) berikut ini:

―Dalam musim ini, beta sudah turun 9 kali. Itu 6 kali bocor (tidak dapat hasil sama sekali, pen.). Kalau 6 kali, itu 3 drum minyak tanah. 1 drum itu Rp. 700.000,-. Itu belum termasuk olinya. Kalau dihitung dengan oli dan semua-semua itu, itu habis Rp. 1.500.000,-. ‖ (wawancara 16 Maret 2011).

Ikan tuna merupakan salah satu ikan musiman yang hanya bisa ditangkap pada satu periode tertentu, bukanlah ikan yang dapat diperoleh sepanjang tahun. Biasanya ketika musim ikan tuna datang, ikan ini akan muncul dalam jumlah yang besar. Perubahan iklim telah memberi dampak yang signifikan terhadap periode musim ikan jenis ini.

Kacaunya Pola Musim dan Angin

Nelayan di Asilulu memahami dua musim angin yang berhembus di wilayah perairan Maluku, yaitu musim angin timur dan musim angin barat. Musim angin timur berhembus sejak bulan April hingga Agustus, sedangkan musim angin barat berhembus di bulan September hingga Januari. Para nelayan memanfaatkan musim angin timur sebagai momentum untuk mencari tangkapan. Sedangkan berhembusnya angin barat merupakan suatu hambatan yang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut di sekitar wilayah tangkapan ikan seperti biasanya. Gejala perubahan iklim telah menyebabkan kekacauan musim angin di wilayah ini.

Para nelayan telah mengakui terjadinya kekacauan angin, sebagaimana diceritakan oleh Sulaiman (60 tahun), seorang ―orang tua-tua‖ yang menjadi acuan nelayan di Asilulu dalam melaut, berikut ini.

―Kalau kacau, su kacau sekarang. Sekarang yang ada perubahan antara bulan langit dengan tanggal atau tahun. Manusia rekeng sekarang antara tanggal dengan bulan langit. Tanggal itu dia maju sementara bulan langit itu tetap. Bulan itu ada 2, bulan Islam (sistem kalander Hijriyah, pen.) dan

Dokumen terkait