• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Kerja sama

Kerja sama (cooperation) adalah keterlibatan secara pribadi di antara kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal (Sunarto 1993). Kerja sama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama (Soekanto 2009). Kerja sama merupakan suatu keterlibatan/usaha bersama di antara dua belah pihak (perorangan atau kelompok) untuk satu atau beberapa tujuan bersama serta menghadapi masalah secara optimal.

Kerja sama dapat dibedakan menjadi tiga (Soekanto 2009) yaitu kerja sama spontan (spontaneous coorperation), kerja sama langsung (directed coorperation), kerja sama kontrak (contractual coorperation) dan kerja sama tradisional (traditional coorperation). Kerja sama spontan adalah kerja sama yang serta merta. Kerja sama langsung merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa. Kerja sama kontrak merupakan kerja sama atas dasar tertentu. Kerja sama tradisional merupakan kerja sama sebagai bagian dari unsur atau sistem sosial. Kerja sama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kerja sama kontrak, langsung dan spontan.

Hubungan kerja sama kontrak atau perjanjian tertulis yaitu antara BBKSDA dengan pemerintah daerah yaitu dengan diadakannya penandatanganan MoU serta perumusan perjanjian kerja sama (PKS). Saat ini sudah dilakukan penandatangan MoU dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata alam di Kawah Ijen antara Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Kementerian Kehutanan, kemudian ditindak lanjuti dengan PKS. PKS tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak serta benefit sharing. Sesuai PKS, hak pengusahaan wisata dikelola oleh mitra kerja dan kewajiban mitra kerja adalah pengembangan rest area dan tiket terpadu, dengan membangun dan menyediakan sarana dan prasarana di Dusun Jambu Desa Tamansari Kecamatan

Licin. Saat penelitian berlangsung, PKS ini masih tahap penyusunan dan tahap perundingan untuk mencari kesepakatan bersama.

Pemerintah Kabupaten Bondowoso juga sudah melakukan penandatangan MoU dengan pihak Perhutani, PTPN XII, Bidang BKSDA wilayah III Jember, maskapai penerbangan Garuda Indonesia untuk pengelolaan dan pengembangan pariwisata di Kawah Wurung dan TWAKI serta sarana pariwisata pendukung lainnya, antara lain: air panas di Blawan, Air Terjun Tancak dan Rafting Bosamba. Setelah adanya MoU ini rencana Pemerintah Kabupaten Bondowoso yaitu menyusun bentuk kerja sama dan menyusun program kawasan pariwisata. Penandatangan MoU ini diharapkan pengembangan wisata lokal di Kabupaten Bondowoso bisa berkembang pesat serta mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat Bondowoso, khususnya masyarakat sekitar kawasan wisata.

Kerja sama yang tidak memiliki perjanjian tertulis atau kerja sama yang terjadi di lapangan secara langsung dan spontan didominasi oleh kerja sama yang dilakukan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, swasta dengan masyarakat lokal. Kerja sama tersebut tidak memiliki perjanjian tertulis dikarenakan pihak masyarakat sulit memenuhi syarat untuk menjadi mitra kerja yang memiliki perjanjian tertulis. Keterbatasan pengetahuan dalam menyusun proposal kerja sama dengan pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan swasta menjadi kendala dalam memperoleh kerja sama tertulis. Sebagian besar masyarakat hanya memanfaatkan adanya obyek wisata dengan membuka usaha di areal yang telah disediakan oleh pengelola yang berada di sekitar obyek wisata atau menjadi pekerja lepas di obyek wisata. Selain itu masyarakat juga hanya memiliki peran dalam kegiatan kebersihan, keamanan dan ketertiban (K3) di areal objek wisata sebagai PAM Swakarsa. BBKSDA Jatim memberdayakan masyarakat menjadi volunteer untuk membantu pengelolaan obyek wisata TWAKI. Para volunteer tersebut bertugas menjadi penjaga pintu gerbang (ticket collector), menjaga kebersihan dan keamanan kawasan, para volunteer juga diberikan keleluasaan dalam mengelola tempat parkir. Pihak BBKSDA tidak memberikan gaji khusus untuk para volunteer tersebut. Volunteer mendapatkan penghasilan dari para pengunjung yang dilayaninya, seperti dari hasil sebagai pemandu wisata, menyewakan peralatan berkemah, dan sebagainya. Peran volunteer yaitu membantu pengelola kawasan (BBKSDA) dalam pengamanan kawasan di lapangan bersama dengan petugas PAM Swakarsa dan Masyarakat Peduli Api (MPA) Ijen Lestari jika terjadi kebakaran di kawasan CA/TWA Kawah Ijen.

Kerja sama antar stakeholders di TWAKI atas dasar TUPOKSI, aturan lembaga, kesamaan tujuan atau visi dan misi di antara lembaga/instansi/kelompok masyarakat. Hubungan kerja sama antara stakeholders di TWAKI terletak pada komponen konservasi, manfaat ekonomi, edukasi dan wisata. Hubungan kerja sama pada komponen konservasi antara BKSDA dan LSM Hijau Madani di dalam dokumen dijelaskan pada pasal 6 AD/ART menjelaskan bahwa LSM Hijau Madani mempunyai tujuan yaitu ikut serta berperan aktif dalam pembangunan dari segala aspek yang berbasis pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Hubungan tersebut di lapangan terlihat dari kerja sama dalam suatu kegiatan penanaman sebanyak 50 bibit pohon Cemara Gunung dan bakti sosial membersihkan sampah di sepanjang jalur pendakian Kawah Ijen. Teridentifikasi juga hubungan kerja sama antara BBKSDA dan PT. Candi Ngrimbi. PT. Candi

Ngrimbi menyediakan petugas untuk membersihkan sampah di sepanjang jalur pendakian para penambang serta menyediakan tempat sampah.

Hubungan kerja sama dalam komponen manfaat ekonomi dan wisata juga teridentifikasi antara BBKSDA dan PT. Sura Parama Setia disebut potensial kerja sama, karena belum ada bentuk kegiatan dan masih menunggu perijinan. Hubungan kerjasama pada komponen ekonomi juga teridentifikasi antara BBKSDA, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan PT. Candi Ngrimbi yaitu penerimaan pajak dari usaha eksploitasi belerang.

Hubungan kerja sama dalam komponen wisata yaitu antara Disbudpar, PHRI, HPI dan ASITA, Baprowangi, dan Transwisata Ijen yang di dalam dokumen dijelaskan pada pasal 13 dan 14 TUPOKSI Disbudpar tentang tugas Disbudpar dalam melakukan kegiatan promosi yaitu untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. ADRT PHRI menjelaskan tentang tujuan PHRI untuk berperan aktif dalam kegiatan promosi di dalam dan di luar negeri untuk meningkatkan dan memantapkan iklim usaha kepariwisataan. ADRT HPI menjelaskan tentang tugas dan usaha HPI untuk menciptakan kerja sama dengan pemerintah maupun komponen usaha jasa pariwisata demi terciptanya lapangan kerja yang layak dan merata bagi anggota. ADRT ASITA menjelaskan tentang tujuan ASITA untuk meningkatkan peran anggota sebagai salah satu pelaku utama pariwisata nasional, penghasil devisa dan peningkatan pendapatan serta pengembangan kapasitas usaha berdaya saing global. TUPOKSI Baprowangi yaitu sebagai mitra kerja pemerintah daerah dan koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha dan daerah. TUPOKSI dan ADRT stakeholders tersebut saling mendukung dalam mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan wisata dengan peningkatan kegiatan promosi dan pengembangan kapasitas kerja.

Hubungan kerja sama pada komponen edukasi antara Disbudpar Banyuwangi dan HPI di lapangan yaitu memberi pelatihan Bahasa Inggris dan pengetahuan mengenai memandu wisata kepada eks penambang belerang yang beralih kerja sebagai pemandu wisata. Kerja sama antara HPI Jatim dan HPI Banyuwangi dan BBKSDA Jatim juga telah dilaksanakan dalam kegiatan sosialisasi dan pembinaan terhadap para pramuwisata yang melaksanakan aktivitas di TWAKI. Penyuluhan dan pembinaan juga dilakukan oleh BBKSDA yang meliputi penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan dan pembinaan kepada masyarakat, salah satu bentuk pembinaan yaitu dengan membentuk masyarakat peduli api (MPA) yang direkrut dari berbagai lapisan masyarakat dari desa di Kec. Sempol Kabupaten Bondowoso dan Kec. Licin Kabupaten Banyuwangi. Pembinaan ini berdampak positif terhadap peningkatan perlindungan hutan oleh masyarakat. Pembinaan terhadap masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengajak masyarakat di sekitar kawasan untuk melakukan kegiatan sadar wisata.

2) Komunikasi

Komunikasi merupakan proses memahami satu sama lainnya dan proses informasi baik berupa fakta, kebijakan, prospek, rumor dan kegagalan dapat disebarkan dalam organisasi (Denise 2011). Komunikasi dalam organisasi juga merupakan proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau selalu berubah-ubah. Definisi mengandung tujuh konsep kunci

yaitu proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan dan ketidakpastian (Muhammad 2004).

Komunikasi merupakan hubungan yang penting karena komunikasi yang baik dapat meminimalisir konflik yang biasa terjadi dalam suatu pengelolaan bersama. Hubungan komunikasi tersebut terjadi pada hampir seluruh pihak, namunsubjecttidak tercatat dalam suatu aturan tapi berlangsung secara spontan di lapangan. Hubungan komunikasi yang teridentifikasi rutin terjadi di lapangan yaitu antara BBKSDA dan PVMBG tentang pelaporan kondisi dan keadaan kegunungapian di CA/TWAKI.

Tugas pokok BBKSDA yaitu untuk menyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di dalam dan di luar kawasan konservasi, sehingga dalam pelaksanaanya melibatkan stakeholders terkait, baik itu pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Salah satu contoh hubungan komunikasi pada komponen konservasi ialah ketika pemerintah daerah ataupun LSM mengadakan kegiatan bakti sosial dan penanaman pohon di kawasan TWAKI yang juga melibatkan masyarakat sekitar, sehingga dalam pelaksanaanya harus mengurus perijinan kepada BBKSDA.

Hubungan komunikasi juga teridentifikasi antara PHRI, ASITA, HPI, Transwisata Ijen, PT. Candi Ngrimbi dengan Pemda serta antara PT. Candi Ngrimbi dan PT. Sura Parama Setia dengan BBKSDA. Menurut Arismayanti (2011), komunikasi antara pihak swasta dengan pemerintah sangat penting dilakukan dalam hal permintaan izin ketika perusahaan mulai berdiri maupun dalam kegiatan operasional perusahaan. Komunikasi dari pihak swasta kepada pemerintah atau negara dalam hal pembayaran pajak, sebagai akibat dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak swasta. Berbagai peraturan juga dikeluarkan pemerintah untuk mengatur dan menjamin keberadaan serta kelangsungan usaha pihak swasta. Bidang perjalanan dan pariwisata, pemerintah memiliki dua pengaruh yaitu menyusun struktur regulasi dari suatu industri dan mengatur kegiatan pariwisata yang memberikan pertumbuhan ekonomi untuk masyarakat lokal dan ini dilaksanakan pada semua level pemerintahan, baik level nasional maupun daerah. Agar membantu pengembangan pariwisata sebagai suatu industri, pemerintah dapat mengambil berbagai langkah agar pengembangan dapat berjalan dengan lancar dan berhasil efektif. Pemerintah harus dapat menciptakan iklim investasi yang menarik, agar para investor tertarik menanamkan modalnya di sektor pariwisata melalui peraturan yang dapat menjamin stabilitas ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi pengembangan pariwisata.

3) Koordinasi

Koordinasi merupakan proses penyatuan unit organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Denise 2011). Koordinasi juga merupakan suatu kesatuan usaha bersama dari beberapa bagian, komponen, kelompok, atau organisasi yang memiliki bermacam sikap, tugas dan wewenang masing-masing agar tercipta suatu keserasian, keselarasan, dan kesatuan tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Damayanti 2006).

Hubungan koordinasi di antara instansi pemerintah terdapat di dalam dokumen TUPOKSI dan di lapangan. Hubungan koordinasi yang terjadi antara Disbudpar Banyuwangi dan Bappeda Banyuwangi, antara Disparporahub Bondowoso dan Bappeda Bondowoso disebut hubungan koordinasi horizontal sedangkan hubungan koordinasi antara Disbudpar Banyuwangi dan Baprowangi

disebut hubungan koordinasi vertikal. Hubungan koordinasi horizontal adalah hubungan koordinasi yang dilaksanakan di antara instansi/organisasi yang berada pada tingkat yang sama sedangkan hubungan koordinasi vertikal adalah hubungan koordinasi yang dilaksanakan oleh badan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya terhadap badan-badan yang lebih rendah tingkatannya (Hadjan 1994). Hubungan koordinasi antara Disbudpar dan Bappeda yaitu dalam hal perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan pariwisata daerah. Instansi tersebut juga memiliki tugas melakukan konservasi pada kawasan konservasi sesuai dengan cakupan kerjanya. Pelaksanaan tugas konservasi pada masing-masing instansi memerlukan koordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan. Koordinasi antara Disbudpar dan Baprowangi termuat dalam TUPOKSI Baprowangi yaitu sebagai mitra kerja pemerintah daerah dan koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha dan daerah.

Koordinasi dilakukan juga oleh BBKSDA, Disbudpar Banyuwangi atau Disparporahub Bondowoso dengan para pengusaha wisata dalam kegiatan- kegiatan pertemuan atau rapat koordinasi pengelolaan TWAKI yang dilakukan sesuai rencana kerja. Hubungan koordinasi antara BBKSDA dan Pemerintah Daerah terjadi dalam kegiatan-kegiatan yang yang direncanakan atau dilaksanakan pihak Pemda yang berkaitan dengan wisata baik berupa kegiatan atau event wisata ataupun dalam pembangunan infrastruktur di sekitar kawasan TWAKI. Hubungan koordinasi antara Pemerintah Daerah dan para pengusaha wisata, melalui kegiatan promosi wisata dievent-eventpameran pariwisata.

Hubungan yang terjadi antara pemangku kepentingan juga teridentifikasi hubungan berpotensi konflik. Potensi konflik kepentingan terjadi antara BBKSDA dan pihak pemerintah daerah dalam hal pengelolaan TWAKI. Kawasan konservasi mempunyai peran yang penting dan strategis bagi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan, sehingga dalam pengelolaan TWAKI selalu memperhatikan dimensi ekologis, ekonomis, dan sosial. Pemerintah Daerah menjadikan TWAKI sebagai salah satu kawasan strategis yang dikembangkan menjadi wilayah pengembangan pariwisata prioritas dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi. Potensi konflik terjadi karena walaupun kedua belah pihak sama-sama memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi, namun pengelolaan oleh pihak BBKSDA lebih berat ke arah lingkungan, sementara pihak Pemda lebih ke arah ekonomi.

Semua pemangku kepentingan yang terlibat dengan pengelolaan TWAKI umumnya merupakan pihak yang berkepentingan dengan kelestarian kawasan konservasi. Berdasarkan hal tersebut, berarti terdapat potensi untuk bekerja sama di antara pemangku kepentingan tersebut. Sampai saat penelitian berlangsung, dalam TWAKI pengelolaan kolaboratif terus digagas, namun belum dapat berjalan seperti yang diharapkan dan belum ada perjanjian kesepakatan yang menaungi kepentingan masing-masing pihak. Pengelolaan kolaboratif mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, Pemda, dunia usaha dan masyarakat. Manajemen kolaboratif tidak mudah diterapkan dan efektif untuk semua kondisi dan keadaan. Perlu keseriusan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat untuk mencapai pengelolaan kawasan TWAKI yang lebih baik. Melalui pengelolaan secara kolaboratif oleh multi pihak ini juga diharapkan terwujudnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Tabel 12 Hubunganstakeholdersdi TWAKI Stakeholders 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1. BKSDA 2. DISBUDPAR BANYUWANGI 1,2,3 3. DISPARPORAHUB BONDOWOSO 1,2,3 2,3 4. BAPPEDA BANYUWANGI 1,2,3 1,2,3 3 5. BAPPEDA BONDOWOSO 1,2,3 3 1,2,3 2,3 6. PVMBG 1,2,3 2 2 2 2 7. PT.CANDI NGRIMBI 1,2,3 1,2,3 2 2,3 2 1,2,3 8. TRANSWISATA IJEN 2 2,3 - - - 2 - 9. PHRI 2 1,2,3 1,2,3 2,3 2,3 2 - 2 10. ASITA 2 1,2,3 1,2,3 - - 2 - 1,2,3 1,2 11. HPI 2 1,2,3 1,2,3 - - 2 - 2 1,2 1,2 12. BAPROWANGI 2 1,2,3 - 1,2,3 - - - 1,2,3 1,2,3 1,2,3 1,2,3

13. PT. SURA PARAMA SETIA 1,2,3 - - - -

14. LSM HIJAU MADANI 1,2,3 - 2,3 - 3 - - - - 15. PTPN XII 1,2,3 - 1,2,3 - 2,3 2 - - 2 2 2 - - - 16. PERHUTANI 1,2,3 2 1,2 3 3 2 - - - 1,2,3 17. MASYARAKAT 1,2,3 1,2,3 - 1,2,3 - 2 1,2,3 - - - 1 Keterangan: (1) kerja sama (2) komunikasi (3) koordinasi

Analisis Isi

Aspek hukum dan kelembagaan (legal and institutional aspects) dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan ekowisata diwujudkan dalam bentuk interaksi hukum dan kelembagaan. Masing-masing stakeholders yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan, baik lembaga pemerintah, lembaga swasta, maupun lembaga masyarakat, memperoleh mandat hukum dari peraturan perundang- undangan yang berlaku untuk melakukan satu, dua, atau beberapa komponen kegiatan pengelolaan ekowisata. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa masing- masing komponen kegiatan pengelolaan merupakan interaksi hukum dan kelembagaan. Interaksi hukum dan kelembagaan terjadi di setiap komponen kegiatan pengelolaan dan juga antar komponen kegiatan di dalam pengelolaaan, maka keterpaduan tersebut hendaknya dapat diupayakan untuk terwujud di setiap lini dan tingkatan interaksi hukum dan kelembagaan. Upaya untuk memadukan peraturan perundang-undangan pengelolaan, atau paling tidak untuk menyelaraskan dan menserasikannya, dapat dilakukan melalui penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional dengan memperhatikan kepentingan- kepentingan masing-masing lembaga dengan arahan utama untuk mengembangkan ekowisata dari kawasan pelestarian alam. Apabila keterpaduan hukum dapat diwujudkan, maka masalah keterpaduan dalam aplikasinya juga harus selalu diupayakan oleh lembaga pengelola kawasan pelestarian alam. Keterpaduan kelembagaan senantiasa akan menjadi jaminan bagi terselenggaranya harmonisasi hukum dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam.

Identifikasi peraturan perundang-undangan terkait pengembangan ekowisata di TWAKI yang dianalisis merujuk kepada prinsip-prinsip tata kelola yang baik menurut United Nations Development Programme (UNDP) dalam Eagleset al.(2013), disajikan pada Lampiran 3.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.Undang-undang no 5 tahun 1990 digunakan sebagai dasar konservasi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan yang merujuk pada prinsip-prinsip tata kelola, UU no 5 tahun 1990 mengandung prinsip antara lain participation, rule of law, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness dan effeciency, dan strategic version.

Stakeholdersyang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain: 1. Pemerintah

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, yang dilakukan melalui 3 kegiatan yaitu:

a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan;

c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan:

a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Pemerintah juga berwenang dalam pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

2. Pemerintah daerah

Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

3. Masyarakat

Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna dan dalam mengembangkan peran serta rakyat, Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

4. Pelaku Usaha

Perlindungan sistem penyangga sistem kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, UU menyebutkan bahwa setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan, wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009

Undang-undang No 10 tahun 2009 merupakan kebijakan nasional tentang kepariwisataan. Undang-undang No 10 tahun 2009 digunakan sebagai dasar kebijakan nasional bagi pengembangan pariwisata termasuk pengelolaan wisata di zona pemanfaatan TWAKI. Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan yang merujuk pada prinsip-prinsip tata kelola, UU no 10 tahun 2009 mengandung prinsip antara lain participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, effectiveness dan effeciency, accountability, dan strategic version.

Stakeholdersyang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain: 1. Pemerintah

Pada bab I pasal 1 angka 13, 14, dan 15 terdapat pengertian pemerintah pusat, pemerintah daerah dan menteri. Selanjutnya pada bab IV pasal 10 dan 11 menjelaskan mengenai pengembangan yang mendukung pembangunan kepariwisataan dilakukan antara pemerintah dan pemerintah daerah serta antara pemerintah dengan lembaga yang terkait dengan kepariwisataan. Pasal 13 angka 3 juga menjelaskan bahwa kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkan oleh pemerintah. Pasal 15, 16, dan 17 menjelaskan mengenai tugas pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dalam usaha pariwisata. Pasal 18 menjelaskan

mengenai hak pemerintah dan pemerintah daerah pasal 23, pasal 28 menjelaskan mengenai wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam kegiatan kepariwisataan. Pasal 36 menjelaskan mengenai pemerintah memfasilitasi pembentukan badan promosi pariwisata indonesia dan pasal 43 mengenai pembentukan badan promosi pariwisata daerah. Pasal 52, pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan SDM pariwisata. Pasal 57 menjelaskan bahwa pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat.

2. Pelaku usaha

Pada bab I pasal 1 angka 8 mengenai pengertian pengusaha pariwisata. Pada bab VI mengenai usaha pariwisata juga menjelaskan bahwa pelaku usaha wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada pemerintah atau pemerintah daerah yang diatur dalam pasal 15 dan ditekankan lagi pada pasal 26 mengenai kewajiban-kewajiban lain daripada pengusaha pariwisata, sedangkan mengenai hak pengusaha pariwisata diatur dalam pasal 22. Pasal 56 juga menjelaskan bahwa pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga ahli warga negara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Masyarakat/konsumen

Pada pasal 19 dan 20 mengenai hak masyarakat yang pada undang-undang ini disebut sebagai setiap orang dan setiap wisatawan, sedangkan mengenai kewajibannya diatur dalam pasal 24 dan 25 serta larangannya pada pasal 27. 4. NonGovernment Organization/Lembaga Swadaya Masyarakat

Undang-Undang Kepariwisataan menjelaskan bahwa di bidang kepariwisataan terdapat pula lembaga swasta dan bersifat mandiri yang bertugas meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia, sebagai koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah dan mitra kerja pemerintah dan pemerintah daerah. Lembaga tersebut adalah Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibukota negara dan Badan Promosi Pariwisata Daerah yang berkedudukan di ibukota provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini diatur pada bab IX pasal 33 sampai dengan pasal 49. Selain itu, terdapat pula satu wadah yang mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif yakni Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, terdiri atas pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan asosiasi lain yang terkait langsung dengan pariwisata. Hal ini diatur secara khusus pada pada bab XI