• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Forum Kolaborasi Pengembangan Ekowisata TWAKI Berdasarkan fakta dilapangan bahwa BBKSDA memiliki peranan yang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

(A+B) Analisis faktor internal:

D. Pembentukan Forum Kolaborasi Pengembangan Ekowisata TWAKI Berdasarkan fakta dilapangan bahwa BBKSDA memiliki peranan yang

lebih besar dibandingkan dengan stakeholders lainnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengembangan ekowisata di TWAKI diharapkan BBKSDA selaku pengelola kawasan dapat berkolaborasi dengan stakeholderslainnya. Pengelolaan ekowisata secara kolaboratif menjadi salah satu solusi untuk dapat meningkatkan efektivitas pengembangan ekowisata. Menurut Triastuti (2015), model kolaborasi yang diterapkan dalam pengembangan ekowisata melalui proses kerja sama oleh para pihak yang terdiri atas Lembaga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat, BUMN, swasta, lembaga pendidikan/lembaga ilmiah yang masing-masing memiliki minat, kepedulian atau kepentingan dengan upaya konservasi pada kawasan pelestarian alam maupun kawasan suaka alam, bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan. Forum kolaborasi pengelolaan ekowisata bisa mengacu pada Permenhut No.85/Menhut- II/2014 tentang tata cara kerja sama penyelenggaraan KPS dan KPA.

Implementasi dari strategi tersebut, beberapa upaya yang perlu dilakukan dalam perbaikan tata kelola di TWAKI sebagai berikut:

1. Perbaikan sistem tata kelola dan reformasi birokrasi pada institusi pengelola maupun sektor penggunaan lahan lainnya.

a. Menyusun dan menerapkan standar pelayanan minimal di tingkat tapak/resort

b. Meningkatkan kapasitas birokrasi melalui pendidikan dan pelatihan.

2. Peningkatan ruang transparansi dan akuntabilitas perizinan khususnya di sektor kehutanan dan sektor penggunaan lahan

a. Membuka akses publik untuk melihat tahapan dan memantau perkembangan proses pembuatan perizinan.

b. Menyediakan mekanisme atau saluran bagi publik untuk mengakses informasi maupun untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap kebijakan publik.

c. Melakukan Audit Kinerja dan Audit Keuangan secara berkala dan terbuka. 3. Inventarisasi dan revisi peraturan yang langsung atau tidak langsung

menghambat implementasi tata kelola ekowisata di TWAKI

a. Melakukan inventarisasi semua produk peraturan lokal yang menghambat implementasi tata kelola ekowisata di TWAKI.

b. Merevisi produk peraturan lokal yang sejalan dengan kebijakan dan aturan.

Sistem kolaborasi pengelolaan TWAKI diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang ada selama ini terutama masalah pengelolaan. Pemerintah, masyarakat, swasta dan lembaga penyangga secara bersama-sama memberikan kontribusi sesuai dengan peran kemampuannya dalam pengelolaan TWAKI. Pemerintah disini adalah lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah yang berfungsi untuk memberikan pelayanan yang maksimum agar interaksi antar

stakeholderlain dapat berjalan dengan lancar. Sebagai contoh instansi pemerintah adalah BBKSDA Jatim, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Kabupaten Banyuwangi dan Dinas Pariwisata, Pemuda Olahraga dan Perhubungan (Disparporahub) Kabupaten Bondowoso. Swasta merupakan perusahaan atau instansi swasta yang usahanya berada di dalam kawasan seperti PT. Candi Ngrimbi dan PT. Sura Parama Setia. Pihak swasta ini diharapkan sebagai sponsor pendanaan untuk pengembangan. Menurut Setiawan dan Rahmi (2000), contributory partnership atau kemitran melalui kontribusi merupakan suatu kesepakatan yang mana sebuah organisasi swasta atau publik setuju memberikan sponsor atau dukungan umumnya berupa dana melalui program CSR (coorporate social responsibility). Masyarakat yang dimaksud adalah penduduk yang memiliki akses terdekat ke kawasan TWAKI, antara lain penduduk yang berada di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi dan Desa Sempol Kecamatan Sempol Kabupaten. Menurut Rahardjo (2005), untuk bisa memaksimalkan keuntungan dari sisi konservasi maka penting untuk mendefinisikan bagaimana bentuk-bentuk partisipasi masyarakat lokal sejak awal. Sedangkan lembaga pendukung merupakan lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap keberadaan kelestarian TWAKI. Sebagai contoh LSM (Hijau Madani), pencinta alam, pemerhati lingkungan, para peneliti, asosiasi sukarela, kelompok komunitas, dan lain-lain.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no 2 tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis konservasi sumber daya alam pada Pasal 33 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan wilayah konservasi pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dapat ditetapkan Resort Konservasi Wilayah yang merupakan jabatan non struktural dengan keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Konservasi Sumber Daya Alam. UPT tingkat resort saat ini sudah terbentuk yaitu Resort Konservasi Wilayah 18 Kawah Ijen, yang wilayahnya luas meliputi CA/TWA Kawah Ijen, CA Ceding, dan CA Pancur Ijen I-II, sehingga dalam hal pengamanan, perlindungan, dan pengembangannya kurang optimal, karena keterbatasan anggaran Pagu dan personil petugas, maka diperlukan unit organisasi tersendiri sebagai lembaga pengelola yang fokus mengembangkan pariwisata di TWAKI. Keberadaan sebuah unit organisasi sebagai lembaga pengelola pariwisata di TWAKI perlu dibentuk oleh BBKSDA dan Pemda. Lembaga pengelola tersebut dapat berupa Forum Tata Kelola Pariwisata yang saat ini sudah banyak digagas dan dibentuk di beberapa kawasan wisata di Indonesia. Tujuan pembentukan Forum Tata Kelola Pariwisata Kawah Ijen adalah sebagai sebuah lembaga resmi pemerintah yang akan melakukan tugas dan fungsi pengelolaan terpadu dan menyeluruh terhadap pengembangan ekowisata di TWAKI.

Agar lebih fokus dan mempercepat proses inisiasi pembentukan Forum Tata Kelola Pariwisata Kawah Ijen, maka harus dibentuk sebuah tim untuk membentuk sebuah lembaga pengelola yang terdiri atas perwakilan tiap-tiap stakeholder. Menurut Rumetnaet al(2011), fungsi dan tugas tim yaitu:

1) Prioritas utama untuk menyiapkan pembentukan Lembaga Pengelola pengembangan ekowisata TWAKI yang berbentuk unit organisasi di bawah koordinasi BBKSDA Jatim, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso.

2) Inventarisasi data yang terdiri atas permasalahan, kelembagaan yang sudah ada, tugas-tugas yang sudah ada sekarang.

3) Mengkaji kebutuhan sumber daya manusia dan pembiayaan. 4) Menganalisis fungsi unit organisasi yang akan dibentuk.

5) Bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerja kepada Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jatim dan Kepala Daerah Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso (Bupati).

Forum ini merupakan adalah representasi seluruh anggota dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi kolaborasi pengelolaan sehari-hari. Penetapan keterwakilan keanggotaan forum berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Ketergantungan kelangsungan hidup terhadap kelestarian CA/TWAKI. b. Berkontribusi positif terhadap kelestarian CA/TWAKI.

c. Kesesuaian dengan prinsip, visi dan misi kolaborasi pengelolaan ekosistem CA/TWAKI.

d. Kesediaan memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan kolaborasi pengelolaan.

Implikasi lembaga pengelola terhadap tata kelola kawasan TWAKI

Sesuai tujuan pembentukan Lembaga Pengelola TWAKI, maka implikasi Lembaga Pengelola terhadap Tata Kelola di TWAKI adalah melaksanakan fungsi pengelolaan yang secara menyeluruh dilaksanakan oleh semuastakeholders.

Menurut Rumetna et al (2011), tugas utama yang akan dilaksanakan oleh Lembaga Pengelola ini adalah:

1. Merencanakan pengembangan ekowisata TWAKI (ekologi, ekonomi, dan sosial budaya)

2. Monitoring dan evaluasi 3. Pengembangan kerja sama

4. Pengawasan/patroli (termasuk penguatan patrol masyarakat lokal) 5. Komunikasi dan pendidikan

6. Fungsi koordinasi

7. Pengembangan manajemen adaptif 8. Pendanaan

Pengelolaan TWAKI akan dikelola secara terpadu oleh Lembaga Pengelola ini melalui delapan tugas utama tersebut di atas. Sehingga diharapkan melalui sebuah pengelolaan yang terpadu, secara professional dan mendapat dukungan kuat oleh Pemerintah Kabupaten dan juga Pemerintah Pusat, termasuk dukungan pendanaan secara resmi dan berkesinambungan dari pemerintah.

Pembentukan Forum Tata Kelola Pariwisata (FTKP) Kawasan Kawah Ijen bertujuan meningkatkan Kawasan Kawah Ijen sebagai tujuan utama wisata di Jawa Timur. Adapun fungsi dari forum tata kelola adalah sebagai media dalam membangun dan mewujudkan komitmen bersama dari masing-masing pemangku kepentingan untuk mengelola kepariwisataan baik internal destination development maupun external destination development, sebagai media komunikasi yang sistematis dan berkelanjutan, sebagai wadah pembagian peran agar fungsi masing-masing stakeholders menjadi jelas, dan sebagai media pemberdayaan masyarakat. Fokus kepada pembentukan forum untuk menggalang kerja sama, komunikasi, koordinasi, sinergi sistem yang dinamis, jejaring dan kepemimpinan dalam pengelolaan destinasi. FTKP merupakan alat untuk

mengaktivasi fungsi-fungsi tata kelola destinasi pariwisata dengan menggunakan konsep Destination Management Organization (DMO) dan Destination Governance (DG). DMO harus dapat memotivasi para pihak untuk dapat meningkatkan kualitas external destination marketing, internal destination development dan destination governance sehingga dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan (Teguh 2011). Destination Management Organization (DMO) menjadi salah satu program pengelolaan pengembangan destinasi pariwisata yang bertujuan meningkatkan tata kelola destinasi pariwisata dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah dan sektoral.

Mewujudkan komitmen bersama ditempuh dengan langkah-langkah: a. Tata kelola untuk mewujudkan destinasi pariwisata yang aman, nyaman,

menarik, mudah dicapai, berwawasan lingkungan, meningkatkan pendapatan nasional, daerah dan masyarakat

b. Tata kelola untuk pemasaran pariwisata yang sinergis, unggul, dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara

c. Tata kelola untuk mewujudkan industri pariwisata yang berdaya saing, kredibel, menggerakan kemitraan usaha, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya

d. Tata kelola untuk mewujudkan organisasi pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional yang efektif dan efisien dalam rangka mendorong terwujudnya pembangunan kepariwsataan yang berkelanjutan.

Forum Tata Kelola Pariwisata Kawah Ijen perlu ditetapkan melalui Surat Direktur Konservasi Kawasan Ditjen PHKA atau melalui Surat Keputusan Bersama antara Kepala BBKSDA Jatim, Bupati Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Ruang lingkup yang diatur dalam SK tersebut nantinya adalah

1. Implementasi kegiatan dalam pelaksanaan pengelolaan yang meliputi : a. Proses persiapan kemitraan para pihak pemangku kepentingan.

b. Hubungan antar para pihak dengan pemerintah dan pemerintahan daerah, antara para pihak, antar pemerintah dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan wisata dan hubungan para pihak.

c. Pembagian peran dan tanggung jawab para pihak dalam melakukan inisiasi pengembangan rencana dan kesepakatan bersama serta pelaksanaan rencana dan kesepakatan tersebut.

2. Arah peraturan pengelolaan kolaboratif adalah untuk mencapai kondisi- kondisi pengelolaan kawasan wisata sebagai berikut:

a. Pengelolaan yang efektif dengan mendayagunakan pengetahuan, kemampuan sumber daya dan keunggulan komparatif dari berbagai pihak kepentingan yang hanya melalui pengelolaan kolaboratif hal tersebut dapat terpenuhi.

b. Terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Gagasan pembentukan FTKP nantinya akan melibatkan unsur dunia usaha, masyarakat dan pemerintah. Dalam pengelolaan pariwisata oleh ketiga unsur ini harus bersinergi untuk menciptakan pariwisata yang berdaya saing. Fungsi FTKP ini adalah sebagai media komunikasi dalam hal tata kelola pengembangan destinasi wisata. Adanya forum ini pembagian peran akan terdefinisi dengan baik

sesuai fungsi masing-masing, sehingga akan tercipta sinergi dalam pengembangan wisata di TWAKI. Diharapkan dengan adanya forum ini masalah klasik birokrat dalam hal koordinasi, komunikasi dan kolaborasi bisa teratasi, karena dalam forum ini nantinya seluruh unsur adalah setara. Sehingga pola kerjanya akan mengedepankan dialog dan diskusi dalam mengidentifikasi berbagai isu dan permasalahan yang ada (Marpaung 2015).