• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kerangka Pemikiran

1.4.2 Kerja Sama Bilateral

Negara-negara memiliki kepentingan bersama dalam mengatasi suatu isu atau permasalahan, tidak terkecuali terkait pekerja migran, seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa isu low politics berpotensi untuk menjadi dasar negara menjalin kerja sama yang lebih intens. Artinya, interdependensi yang semakin meningkat di isu low politics dalam hal ini adalah pekerja migran, menuntut adanya kerja sama antar negara yang saling berkepentingan. Atas dasar interdependensi inilah, timbul kerja sama antar negara, tidak terkecuali yang bersifat bilateral. Menurut William D. Coplin (1971) interaksi dari sebuah upaya pemecahan masalah dapat berlangsung secara bilateral. Dalam situasi kerja sama

bilateral, negara-negara sepakat bahwa ada sebuah permasalahan bersama yang dihadapi meskipun dimungkinkan masing-masing pihak terkait menawarkan pemecahan masalah yang berbeda-beda dan dihadapkan dengan kepentingan yang berbeda dari masing-masing pihak. Dengan adanya upaya pemecahan suatu masalah secara kolektif hal ini juga mendorong adanya identifikasi suatu permasalahan yang dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang. Dengan adanya kerja sama bilateral, negara-negara berusaha memecahkan masalah yang berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi dan politik, termasuk dalam hal ini pekerja migran.

Pekerja migran merupakan aspek penunjang bagi masing-masing negara, baik negara tersebut penerima ataupun pengirim. Dengan adanya kondisi tersebut, maka mendorong intensitas interaksi kerja sama bilateral antara kedua negara. Kerja sama bilateral yang dalam kesepakatannya dapat menghasilkan suatu peraturan memungkinkan adanya penyatuan sumber daya dari pihak-pihak terkait guna memecahkan masalah bersama tersebut, dan hal ini dapat meningkatkan efisiensi dari sebuah kerja sama dalam praktiknya. Mengingat kondisi sumber daya negara tidaklah sama, maka kekurangan dalam hal sumber daya dapat diatasi dengan tindakan kolektif berupa kerja sama bilateral. Dalam tulisan William D. Coplin jika kerja sama dijalin secara bilateral, maka dalam prosesnya akan melibatkan policy influencers dan para pengambil keputusan utama di kedua negara dalam mengidentifikasi masalah bersama yang sifatnya spesifik. Dalam meningkatkan urgensi kasus pekerja migran ilegal agar dibawa ke level negara,

policy influencers memiliki pengaruh dalam proses pembuatan kesepakatan

Universitas Pertamina - 25 memecahkan masalah bersama tersebut. Serta pengambil keputusan utama di titik beratkan pada kepala negara yang tentunya turut mengidentifikasi permasalahan terkait pekerja migran ilegal.

Kerja sama juga menuntut koordinasi kebijakan masing-masing negara yang bekerja sama, hal ini ditujukan untuk mengurangi ketidakefektifan dari suatu kerja sama. Dalam hal pekerja migran, hal ini tentunya menuntut adanya upaya kerja sama yang intensif antara negara penerima dan negara pengirim untuk mencegah penyalahgunaan pekerja migran menjadi kejahatan lintas negara seperti perdagangan manusia. Dalam tulisan K.J Holsti turut dipaparkan objektif suatu negara dalam melakukan kerja sama yang sifatnya lintas negara:

“Governments cooperate for the primary and essential reason of

reducing costs, coordinating and regulating common threats or problems, policy harmonization, and increase communication to develop means of conducting predictably peaceful relationships” (Holsti, K. J, 1995).

Berangkat dari tulisan tersebut, maka kerja sama yang terjadi antar aktor ditujukan untuk bisa merealisasi tujuan masing-masing negara yang bersangkutan dalam menyelesaikan masalah bersama, meningkatkan komunikasi sehingga mampu menjaga hubungan dan persahabatan antar negara melalui upaya koordinasi kebijakan. Keputusan yang dihasilkan melalui negosiasi dalam hubungan kerja sama dibuat dengan mempertimbangkan kondisi domestik masing-masing pihak yang terlibat.

Kerja sama muncul karena adanya kebutuhan masing-masing negara yang hendak diwujudkan. Kerja sama di sisi lain juga butuh untuk dipelihara oleh negara-negara dan dilakukan sebuah pengaturan regulasi yang jelas, agar kerja sama dapat berlangsung harmoni dan tertib. K. J Holsti (1995) dalam bukunya

menuliskan bahwasanya kerja sama internasional merupakan sebuah kesepakatan akan suatu masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka membantu negara mencapai kepentingannya. Kerja sama internasional dibutuhkan mengingat adanya hubungan antarnegara yang bersifat interdependensi dan membutuhkan sebuah wadah pengaturan dalam menjalankannya.

Oleh sebab itu penulis menggunakan konsep kerja sama bilateral dalam mengidentifikasi interaksi antara dua negara, dalam menangani permasalahan pekerja migran ilegal. Mengingat urgensi persoalan pekerja migran yang semakin rentan maka perlunya komitmen kedua negara untuk meminimalisir efek negatif dari persoalan pekerja migran dan mencegah persoalan tersebut berdampak ke hubungan diplomatik dan persahabatan antar negara tetangga.

Adanya landasan pemikiran yang mendorong meningkatnya intensitas interaksi yang bersifat interdependensi menjadikan motivasi bagi negara untuk membahas suatu permasalahan dalam kerangka kerja sama yang dijalin secara bilateral. Kerja sama antar negara yang dijalin secara bilateral antara Indonesia dan Malaysia dalam konteks pembahasan isu pekerja migran ilegal salah satu tujuannya adalah untuk mengakomodir hak TKI sebagai pekerja migran dan tidak hanya berfokus pada upaya menjaga kepentingan nasional masing-masing. Meskipun masing-masing negara memiliki preferensi dalam menjalin kerja sama, namun dalam menyelesaikan persoalan pekerja migran, negara dalam hal ini mempunyai peran vital dalam menghadirkan berbagai upaya perlindungan bagi para tenaga kerjanya.

Universitas Pertamina - 27

 Skema Kerangka Pemikiran

Dalam menyusun skema pemikiran di atas, Indonesia dan Malaysia melakukan kerja sama diawali dengan adanya interdependensi dari kedua negara yang didukung oleh faktor penarik dan faktor pendorong yang datang dari masing-masing domestik. Kemudian kedua negara berupaya untuk mengidentifikasi permasalahan mengenai TKI ilegal yang banyak menjadi korban penganiayaan di Malaysia. Berangkat dari identifikasi permasalahan tersebut, Indonesia dan Malaysia berunding terkait solusi yang hendak diambil atas permasalahan TKI ilegal di Malaysia, perundingan terkait masalah tersebut dilakukan dalam kerangka sama antar negara yang sifatnya bilateral dengan bentuk implementasi kerja sama bilateral berupa memorandum of understanding sebagai instrumen hukum formal yang mengikat kedua belah pihak, kemudian menjalin koordinasi antar lembaga teknis di wilayah perbatasan yang rentan akan pergerakan TKI ilegal, dan kemudian membentuk Joint Task Force (JTF). Masing-masing bentuk kerja sama bilateral tersebut digunakan untuk

Indonesia Malaysia

Problems: Illegal Migrant Workers

Action: Bilateral cooperation

Interdependensi

Implementation of bilateral cooperation:

Memorandum of Understanding

Coordination between stakeholders

Joint Task Force

menganalisis upaya kedua negara sebagai pihak yang saling interdependensi untuk tetap memenuhi kepentingannya sebagai negara pengirim dan negara penerima TKI. Dalam menjalin kerja sama bilateral, ditemui beberapa hambatan yang dapat mengurangi optimalisasi kerja sama bilateral, namun selain itu, kerja sama bilateral tetap dilakukan kedua negara untuk menjaga hubungan yang harmoni dan merealisasi tujuan-tujuan yang telah disepakati. Penulis berfokus pada analisis implementasi kerja sama bilateral yang dijalin kedua negara serta keterkaitannya dengan kasus TKI ilegal khususnya pada tahun 2015 hingga 2018 , serta faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hubungan yang bersifat interdependensi antar kedua negara.

1.5 Metodologi

Dokumen terkait