• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.3 Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa akademisi yang membuat tulisan mengenai pekerja migran, dan juga beberapa diantaranya membahas secara spesifik mengenai Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia. Pada studi pustaka ini, peneliti menemukan banyak tulisan yang membahas bagaimana pekerja migran, khususnya Tenaga Kerja Indonesia menjadi salah satu aspek penting bagi negara, dan tidak sedikit tulisan yang membahas permasalahan TKI yang ditempatkan di berbagai negara lain, termasuk Malaysia, serta bagaimana kedua negara berkoordinasi dalam mengatasi persoalan TKI.

Pekerja migran dikategorikan menjadi dua jenis, yang pertama pekeja migran dengan keterampilan tinggi, dan yang kedua merupakan pekerja migran yang berketerampilan rendah. Jurnal yang ditulis oleh Amarjit Kaur (2004) berjudul The Global Labour Market: International Labour Migration in Southeast

Asia Since the 1980s, menjelaskan bahwa untuk pekerja migran yang tergolong

berketerampilan rendah, cenderung ditempatkan di sektorn gra-sektor domestik sepeti Pembantu Rumah Tangga (PRT). Sehingga jika dikaitkan dengan topik penulis, Indonesia sebagai negara berkembang masih didominasi oleh golongan pekerja migran dengan keterampilan rendah. Hal tersebut tidak lepas dari kondisi Indonesia yang masih dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang belum stabil, mendorong masyarakatnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Brown (1994) dalam bukunya yang berjudul Introduction: Migration - The Asian

Experience menjelaskan bahwa migrasi yang terjadi di Asia menjadi sebuah

momentum penting bagi negara-negara di Asia terlebih dalam pembangunan ekonominya. Melalui pendapat Brown dapat dilihat bahwa latar belakang ekonomi menjadi salah satu pendorong migrasi di Asia sehingga seseorang memilih menjadi pekerja migran yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Migran yang berstatus ilegal menduduki dasar hierarki dari perlindungan hak asasi manusia. Negara-negara berusaha membuat kebijakan migrasi bagi para migran ilegal, hal ini ditujukan untuk menekan jumlah migran ilegal yang masuk ke negara dan berakhir menjadi beban bagi anggaran perekonomian negara. Morris (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Changing Border Control Regimes

and their Impact on Migration in Asia, melihat bahwa migran ilegal merupakan

Universitas Pertamina - 9 kesejahteraan, minim terdengar sauaranya dan mereka dapat dideportasi kapan saja. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pekerja migran ilegal tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja migran, di sisi lain negara-negara terus berupaya membatasi jumlah pekerja migran ilegal. Hal ini memiliki relevansi dengan topik penulis, dengan melihat kondisi pekerja migran ilegal yang jarang tersuarakan hak nya serta rentan tidak mendapatkan perlindungan HAM, memerlukan upaya dari negara untuk mengatasi kondisi ini.

Pekerja migran tentu erat kaitannya dengan kebijakan luar negeri sehingga penting bagi negara untuk mempertimbangkan isu – isu sosial termasuk isu perempuan yang kerap menjadi korban dari pekerja migran ilegal dan lebih lanjut lagi menjadi korban perdagangan manusia. Tentunya keberadaan pekerja migran ini tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah, akan tetapi NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat bisa terlibat dalam rangka merespons kondisi yang dialami oleh pekerja migran khususnya yang ditempatkan di luar negeri. Seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja migran tentunya dengan harapan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dalam proses menjadi pekerja migran, seseorang harus mengikuti prosedur yang ada sejak proses perekrutan hingga penempatan.

Pekerja migran sering tidak terdengar suaranya, hal ini dikarenakan beberapa alasan. Mereka tidak tahu hak mereka di negara asing; mereka tidak berbicara bahasa negara itu untuk secara efektif membawa kasus mereka ke pihak berwenang; mereka takut untuk maju karena takut ada ancaman yang lebih keras dari pihak pengguna jasa mereka dan, mereka memiliki ketakutan lebih jika hak pendapatan mereka tidak bisa keluar. Oleh sebab itu, NGO penting untuk

memberikan advokasi. Menurut Battistella (1993) advokasi berarti menyuarakan hak-hak pekerja migran dan membuat persoalan pekerja migran menjadi sesuatu yang terlihat dan menjadi perhatian global. Seperti apa yang disampaikan Battistella (1993) dalam jurnalnya yang berjudul The Human Rights of Migrant

Workers: Agenda for NGOs, maka fungsi NGO ini yang kemudian berusaha

menyuarakan hak-hak pekerja migran. Dalam memperjuangkan hak-hak pekerja migran, akan lebih baik jika kerangka internasional dalam hal ini konvensi ILO misal, dilibatkan dalam proses mereka menyuarakan hak pekerja migran. Dalam topik ini penulis melihat sebuah keterkaitan, dimana pekerja migran merupakan bidang ketenagakerjaan yang dapat melibatkan berbagai macam aktor dalam praktiknya.

Keberadaan pekerja migran ilegal di Asia dalam hal ini di Jepang misal, menjadi fokus tersendiri bagi pemerintah negaranya untuk mengkonsolidasikan upaya-upaya yang melibatkan pemerintahan lainnya, Morris (2006) memaparkan bahwa Jepang membuat kebijakan migrasi ilegal dengan salah satu contoh upayanya membangun kerja sama bilateral dengan negara-negara di perbatasan untuk menekan angka pekerja migran ilegal yang masuk ke Jepang. Jika dikorelasikan dengan kondisi yang dihadapi Indonesia sesuai dengan topik penulis, penulis melihat perlunya memperkuat hubungan antar negara yang berbatasan langsung demi menekan angka pekerja migran ilegal yang masuk ke masing-masing negara. Karena kebijakan dari masing-masing negara yang dapat menjadi kerangka perlindungan bagi pekerja migran.

Berdasarkan kategori pekerja migran yang dipaparkan oleh Kaur (2004), pekerja migran yang didominasi oleh Indonesia adalah pekerja migran dengan

Universitas Pertamina - 11 kategori less skilled workers, yang kemudian memosisikan Pekerja Migran Indonesia bekerja di sektor domestik khususnya Pembantu Rumah Tangga (PRT). pekerja migran ilegal yang dijelaskan oleh Morris (2006) masih dalam kondisi yang rentan, dengan kecenderungan perlakuan tidak manusiawi yang diterima oleh para pekerja migran ilegal, menuntut adanya konsolidasi antar aktor, baik aktor non negara maupun aktor negara. Aktor non negara dalam hal ini menurut Battistella, dapat berperan dalam memberikan advokasi sehingga pekerja migran dapat melalui proses rekrutmen yang sesuai aturan dan memahami hak-hak nya. Negara berperan menjalin kerja sama dengan pemerintahan lain untuk menekan arus pekerja migran ilegal. Tulisan Kaur (2004), Morris (2006), Battistella (1993), dan Brown (1994) membantu penulis dalam melihat kondisi pekerja migran di Asia meskipun tidak semua tulisan membahas secara spesifik mengenai pekerja migran ilegal.

Di Asia Tenggara, pekerja migran dari negara berkembang memiliki insentif yang kuat untuk bermigrasi ke negara yang berpenghasilan lebih tinggi, hal ini dipaparkan oleh Kaur (2004). Sejalan dengan tulisan ini, Indonesia sebagai negara berkembang memiki jumlah pekerja migran yang tinggi khususnya yang masuk ke Malaysia. Namun tingginya biaya administrasi migrasi termasuk pembayaran ke perantara dan agen tenaga kerja dan adanya kuota bagi tenaga kerja berketerampilan rendah mengakibatkan banyak Pekerja Migran Indonesia masuk ke jalur ilegal untuk dapat ditempatkan di negara tujuan. Indonesia yang juga mendominasi arus pekerja migran di Asia Tenggara menjadi sorotan tersendiri. Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi penopang pembangunan bangsa (Elias, Juanita, 2013). Paparan Elias (2013) dalam jurnalnya

yang berjudul Foreign Policy and the Domestic Worker, ini merefleksikan cadangan devisa yang masuk ke dalam negeri yang dibawa oleh para Pekerja Migran Indonesia. Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dan, bahkan sebelum kondisinya diperparah oleh krisis yang terjadi di Asia pada pertengahan 1997, Indonesia adalah salah satu negara dengan surplus tenaga kerja terbesar di dunia (Hugo, 2006). Dengan surplus tenaga kerja terbesar, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pekerja kontrak luar negeri tersebut. Elias (2013) dan Hugo (2006) sepakat bahwa aliran Pekerja Migran Indonesia mendominasi aliran tenaga kerja ke Malaysia. Hal ini kemudian relevan dengan topik penulis, dengan melihat tingginya arus TKI yang berada di Malaysia namun tulisan tersebut lebih berfokus pada fakta di lapangan dan tidak secara spesifik membahas kerangka kerja sama bilateral kedua negara dalam menangani permasalahan TKI di Malaysia sebagai dampak aliran Pekerja Migran Indonesia ke Malaysia.

Penulis menyoroti adanya beberapa alasan mengapa terjadi aliran Pekerja Migran Indonesia ke Malaysia. Hugo (2006) dalam jurnalnya yang berjudul

Forced Migration in Indonesia: Historical Perspectives, memaparkan adanya

jaringan informal dari migrasi spontan yang menghubungkan Malaysia dan Indonesia yang sudah ada sebelum tahun 1970-an. Hal ini menyebabkan timbulnya hubungan historis dan budaya ini memainkan peran penting dalam memfasilitasi migrasi dari Indonesia ke Malaysia. Selain faktor historis, Kaur (2004) juga memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada permintaan tenaga kerja yang meningkat, sehingga mengambil tenaga kerja dari luar negeri merupakan pilihan dalam mengatasi permasalahan tersebut, hal ini diadaptasi oleh Malaysia sehingga Malaysia pun memiliki ketergantungan akan

Universitas Pertamina - 13 pekerja migran. Penulis melihat korelasi faktor tersebut karena peningkatan akan kebutuhan tenaga kerja di Malaysia dianggap sebagai sebuah peluang bagi Indonesia, sehingga yang terjadi adalah arus migrasi semakin masif. Killias (2010) dalam tulisannya yang berjudul ‘Illegal’ Migration as Resistance:

Legality, Morality and Coercion in Indonesian Domestic Worker Migration to Malaysia, turut memaparkan bahwa sebagian besar TKI yang ingin bekerja di luar

negeri masih memilih Malaysia sebagai negara penempatan hal ini karena memiliki kedekatan dengan Indonesia, dari segi bahasa masih tergolong mirip (Melayu), dan persyaratan yang relatif rendah dalam hal pendidikan, usia dan penampilan fisik. Ketiga penulis Hugo (2006), Kaur (2004), dan Killias (2010) menelaah beberapa faktor yang mendasari terjadinya aliran Pekerja Migran Indonesia khususnya ke Malaysia, mulai dari faktor historis, kesamaan budaya, kemudahan persyaratan, kedekatan geografis dan tingginya permintaan tenaga kerja di Malaysia yang meningkat menjadi beberapa faktor yang kemudian dapat memiliki signifikansi terhadap topik penelitian penulis dalam membahas pergerakan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia.

Jika melihat Pekerja Migran Indonesia yang berada di Malaysia, menurut Hugo (2006) menyatakan bahwa perempuan masih mendominasi beberapa aliran tidak berdokumen atau ilegal. Baik laki-laki maupun perempuan, pada faktanya Pekerja Migran Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan. Secara garis besar, menurut Kaur (2004) terdapat 2 hal yang menjadi permasalahan, pertama sistem perekrutan TKI yang akan ditempatkan di luar negeri banyak dihindari oleh calon pekerja karena dianggap terlalu memakan waktu, rumit, mahal dan kurang efektif karena calon pekerja kerap mengurus dokumen-dokumen melalui

proses yang berlapis. Kedua, TKI yang berada di luar negeri mengalami tindakan kekerasan yang lebih tinggi dibanding banyak negara pengirim lainnya. Tindakan kekerasan yang dialami berupa kekerasan fisik maupun seksual.

Dari kedua permasalahan yang dipaparkan Kaur (2004) tersebut dapat dilihat bahwa rumitnya proses perekrutan TKI yang akan ditempatkan di luar negeri membuat tingginya angka tenaga kerja ke luar negeri yang tidak berdokumen. Pemerintah Indonesia perlu langkah tegas dalam menghadapi masalah TKI ini, penulis melihat bahwa dari permasalahan yang dihadapi TKI khususnya di Malaysia juga diakibatkan oleh kurangnya informasi yang akurat tentang proses dan kondisi migran di negara tujuan. Pekerja rumah tangga Indonesia khususnya yang berada di Malaysia mengalami perlakuan yang tidak wajar, dalam buku Elias (2013) pemerintah Indonesia melakukan embargo sebagai respon kemarahan domestik menanggapi berbagai kasus tindak kekerasan yang diterima PRT Indonesia di Malaysia. Berangkat dari hal tersebut, penulis melihat bahwa secara signifikan pekerja migran muncul sebagai masalah kebijakan luar negeri yang urgensi untuk dibahas antara para pembuat kebijakan luar negeri dan mengevaluasi kerja dari perwakilan diplomatik negara.

Berkaitan dengan topik yang penulis ambil, kemudian penulis menyoroti kebijakan Malaysia mengenai pekerja migran. Menurut Wong (2006) dalam tulisannya yang berjudul The Recruitment of Foreign Labour in Malaysia: From

Migration System to Guest Worker Regime, Malaysia sebagai negara yang

bergantung akan Tenaga Kerja Indonesia masih memiliki masalah dalam merekonsiliasi kebutuhannya akan pekerja migran dengan kebijakan dalam negerinya. Tata kelola kebijakan pemerintah Malaysia pada bidang

Universitas Pertamina - 15 ketenagakerjaan masih tergolong lemah yang berimplikasi pada kerentanan bagi para pekerja migran berketerampilan rendah. Berangkat dari hal ini, penulis melihat bahwa kebijakan yang dimiliki Malaysia memungkinkan para pekerja asing untuk kehilangan status mereka secara hukum dan kebebasan mereka pun turut dibatasi. Tulisan Wong (2006) memberikan gambaran bagi penulis mengenai tata kelola kebijakan pekerja migran disana, yang secara kerangka hukum masih cenderung merugikan negara pengirim. Meskipun tulisan Wong (2006) belum secara spesifik menggambarkan upaya bilateral yang dilakukan oleh Malaysia dengan negara pengirim pekerja migran.

Elias (2013) dan Joseph (2013) dalam tulisannya yang berjudul

Globalization, Social Justice, and Migration: Indonesian Domestic Migrant Workers in Malaysia, memaparkan bahwa para Pekerja Migran Indonesia yang

bekerja di Malaysia telah diakui sebagai tenaga kerja yang ‘murah’, mampu berkomunikasi dalam bahasa Malaysia, serta tersedia (bisa diminta bekerja) kapan saja. Sehingga penulis melihat signifikansi dari keberadaan TKI ini memerlukan koordinasi antara Malaysia dan Indonesia dalam pengambilan tindakan khusus, sehingga kemudian dapat mendukung keberhasilan upaya kedua pemerintahan dalam menyelesaikan kasus-kasus TKI khususnya TKI yang berstatus ilegal, agar kepentingan dua negara ini bisa sama-sama tercapai.

Kondisi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia pada tahun 2002 yang dipaparkan dalam tulisan Firdausy (2006) yang berjudul Indonesian Labour

Migration after the 1997–98 Asian Economic and Financial Crisis, menunjukkan

kondisi yang memprihatinkan terlebih dengan terjadinya deportasi massal sekitar setengah juta Pekerja Migran Indonesia, sehingga menciptakan krisis

kemanusiaan yang memprihatinkan ketika mereka kembali ke daerah masing-masing dengan kondisi fisik dan psikis yang tak berdaya serta perbekalan yang tidak memadai akibat dari kebijakan Hire Indonesians Last yang dikeluarkan oleh Malaysia. Penulis melihat, kebijakan seperti ini tentunya akan memengaruhi kondisi TKI dan akan menimbulkan respons dari Indonesia terkait kebijakan yang berujung merugikan Indonesia, seperti yang dipaparkan oleh Hugo (2006), penulis sepakat bahwa kebijakan seperti ini tentunya mendiskriminasi pekerja Indonesia. Dan kondisi-kondisi seperti ini perlu tindak lanjut dari kedua pemerintahan.

Tulisan-tulisan yang dibuat oleh Kaur (2004), Elias (2013), Wong (2006), Joseph (2013), Hugo (2006), dan Firdausy (2006) memiliki signifikansi dengan topik yang penulis angkat, khususnya ketika membahas kondisi Pekerja Migran Indonesia yang tersebar di negara penempatan khususnya Malaysia, mulai dari latar belakang yang mendorong munculnya masalah Pekerja Migran Indonesia hingga keadaan yang dialami para TKI disana. Pekerja Migran Indonesia secara garis besar seperti apa yang dipaparkan oleh Kaur (2004) menemui dua permasalahan, yang pertama sistem perekrutan TKI yang cenderung rumit dan memakan biaya serta waktu yang lebih menjadikan TKI banyak yang memilih jalur ilegal agar bisa cepat bekerja, lalu permasalahan kedua adalah TKI menjadi pekerja migran yang menerima kekerasan dengan angka yang lebih tinggi dibanding negara pengirim lainnya. Selain permasalahan tersebut, Indonesia masih perlu berbenah dalam memberikan informasi dan mengedukasi calon TKI yang hendak ditempatkan, faktanya menurut tulisan Elias (2013) pemerintah Indonesia pernah melakukan embargo TKI ke Malaysia yang dikarenakan adanya tindak kekerasan dan kasus-kasus pelecehan terhadap TKI yang berada disana.

Universitas Pertamina - 17 Menjadi penting bagi penulis untuk melihat kondisi Pekerja Migran Indonesia yang berada di Malaysia khususnya. Kaur (2004) memaparkan bahwa Pekerja Migran Indonesia masih menjadi sumber pekerja asing bagi beberapa negara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand, yang kemudian penulis berfokus pada Malaysia sebagai topik penelitian.

Melihat dari sisi Malaysia, Malaysia secara domestik masih memiliki masalah dalam mengatur kebijakan ketenagakerjaannya, hal ini dibenarkan oleh Wong (2006), dalam tulisannya kebijakan ketenagakerjaan Malaysia bagi pekerja migran masih tergolong lemah dan hal ini berdampak pada kondisi TKI disana yang rentan tindak kekerasan dan pelecehan. Secara kerangka hukum, Wong (2006) memaparkan bagaimana kebijakan rekrutmen pekerja migran di Malaysia yang bisa membantu penulis dalam memberikan gambaran, namun di sisi lain tulisan tersebut belum secara komprehensif membahas upaya bilateral antar negara. Terlepas dari berbagai faktor yang ditulis oleh Elias (2013) dan Joseph (2013) yang pada akhirnya membuat Pekerja Migran Indonesia masih dibutuhkan oleh Malaysia, kondisi Pekerja Migran Indonesia disana masih memprihatinkan, ditambah pada tahun 2002, menurut tulisan Firdausy (2006) TKI mengalami krisis kemanusiaan akibat adanya deportasi massal di Malaysia bagi para TKI, hal tersebut selaras dengan tulisan Hugo (2006) yang masih menyoroti adanya kebijakan Malaysia yang cenderung merugikan Indonesia dan mendiskriminasi TKI.

Berbicara mengenai kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia terkait TKI yang menjadi topik penulis, Indonesia menjalin beberapa kesepakatan yang dalam perkembangannya masih perlu banyak evaluasi. Menurut tulisan

Arifianto (2009) yang berjudul The Securitization of Transnational Labor

Migration: The Case of Malaysia and Indonesia, perjanjian bilateral berupa antara

Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 merombak perjanjian sebelumnya yang diadakan di Medan, dengan menetapkan prosedur formal untuk perekrutan Tenaga Kerja Indonesia dan memperhatikan kondisi minimum kerja. Namun penulis melihat dalam tulisan tersebut, perjanjian bilateral tidak mencakup sektor domestik padahal sektor domestik kerap menerima kekerasan yang lebih parah dan jarang mendapatkan perlindungan. Hal tersebut didukung dengan belum dihapuskannya kebijakan mengenai hak majikan yang berhak memegang paspor pekerja dan membatasi mereka berinteraksi dengan dunia luar termasuk serikat pekerja. Berangkat dari perjanjian bilateral pada tahun 2004 tersebut, penulis menyoroti beberapa tulisan yang membahas perjanjian bilateral setelahnya. Yang pertama tulisan Killias (2010), tulisan tersebut mengatakan bahwa nota kesepahaman yang ditandatangani pada tahun 2006 mensyaratkan majikan Malaysia untuk menandatangani kontrak hukum dengan pekerja rumah tangga Indonesia mereka, dan kontrak ini memberikan hak dasar kepada TKI yang berada disana. Menurut penulis, dalam tulisan yang dipaparkan Killias (2010) tersebut, nota kesepahaman pada tahun 2006 belum memberikan dampak yang positif terhadap kondisi TKI di sana, hal ini dilihat dari upah standar yang tidak menguntungkan dan sifatnya tidak dapat dinegosiasikan kembali.

Berdasarkan dua nota kesepahaman yang ditandatangani antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 dan 2006, penulis melihat bahwa masih adanya kesepakatan yang merugikan salah satu pihak dalam hal ini Indonesia. Sebagai respon dari kasus-kasus yang terjadi terhadap TKI di Malaysia, Indonesia

Universitas Pertamina - 19 melakukan moratorium TKI ke Malaysia pada tahun 2009. Diakibatkan kurangnya kesepakatan yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak, kasus-kasus pun terus terjadi tanpa etikat untuk memperbaiki atau menanggulangi kasus yang berhubungan antara TKI dan pihak pengguna jasa. Oleh sebab itu, Indonesia dan Malaysia berusaha melakukan negosiasi dan mendorong kesepakatan dalam nota kesepahaman pada tahun 2011. Dalam tulisan Nielsen (2013) yang berjudul Wellbeing Among Indonesian Labour Migrants to Malaysia:

Implications of the 2011 Memorandum of Understanding, Malaysia berniat untuk

menerapkan amnesti bagi para Pekerja Migran Indonesia yang ilegal, selain itu pekerja rumah tangga memiliki hak untuk menyimpan paspor mereka daripada harus menyerahkannya kepada majikan mereka, dan itu menjamin mereka mendapat libur mingguan. Namun yang menjadi sorotan penulis, terlepas dari adanya perubahan arah kesepakatan yang menjadi lebih memberikan hak kepada para pekerja, nota kesepahaman tersebut tidak menetapkan upah minimum dan tetap membebankan biaya rekrutmen yang membuat pekerja semakin kesulitan dalam membagi pendapatannya.

Sebagai negara yang memiliki surplus tenaga kerja, Indonesia perlu memanfaatkan momentum ini secara bijak. Dengan adanya migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengurangi pengangguran dan meningkatkan devisa dari valuta asing yang dibawa oleh para TKI. Masyarakat Indonesia masih memiliki animo yang tinggi untuk menjadi TKI dan ditempatkan di luar negeri khususnya Malaysia. Minat yang tinggi ini seharusnya diselaraskan dengan mekanisme perlindungan yang baik. Perlindungan hak-hak pekerja migran menuntut adanya pembentukan prosedur

pengaduan yang efektif, regulasi yang efektif dari berbagai agensi yang terlibat dalam proses perekrutan. Tentunya hal ini akan membantu dalam pemberdayaan pekerja di luar negeri dan melindungi hak-hak mereka. Jika kembali melihat permasalahan yang dihadapi TKI di Malaysia sesuai dengan tulisan Kaur (2004), Elias (2013) dan Joseph (2013), kedua negara masih memiliki urgensi untuk memperbaiki regulasi pekerja migrannya. Terlebih kedua negara masih saling membutuhkan, Indonesia mendapat pasar tenaga kerja, dan Malaysia mendapat pekerja migran yang sesuai kebutuhannya. Upaya kedua negara dalam mengatasi persoalan dilihat dari adanya upaya perbaikan nota kesepahaman dari tahun 2004, 2006 dan paling terakhir 2011.

Beberapa penulis yang menyoroti nota kesepahaman Indonesia dan Malaysia terkait TKI, yang pertama Arifianto (2009) menyoroti kesepakatan bilateral yang dijalin pada tahun 2004 dengan menetapkan prosedur formal untuk perekrutan Tenaga Kerja Indonesia dan memperhatikan kondisi minimum kerja. Lalu berangkat dari nota kesepahaman 2004, muncul nota kesepahaman baru pada tahun 2006 yang dipaparkan oleh Killias (2010), pada nota kesepahaman ini, majikan wajib menandatangani kontrak dengan pekerja rumah tangga sehingga majikan wajib memberi hak dasar pekerja rumah tangga, lalu nota kesepahaman yang terakhir pada tahun 2011, dibahas oleh Nielsen (2013) pekerja rumah tangga berhak memegang paspornya dan juga pemberian amnesti bagi para pekerja

Dokumen terkait