• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERJA SAMA BILATERAL INDONESIA DAN MALAYSIA TERKAIT PENANGANAN KASUS TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) ILEGAL DI MALAYSIA PADA KURUN WAKTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERJA SAMA BILATERAL INDONESIA DAN MALAYSIA TERKAIT PENANGANAN KASUS TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) ILEGAL DI MALAYSIA PADA KURUN WAKTU"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KERJA SAMA BILATERAL INDONESIA DAN

MALAYSIA TERKAIT PENANGANAN KASUS

TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) ILEGAL DI

MALAYSIA PADA KURUN WAKTU 2015-2018

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Anisa Rahmayuwati 106216007

FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(2)
(3)
(4)

LEMBAR

PEBIYYATAAI\T

Deqgar iai saya menyatakau bahwa tugas a}fiir berjudul

"Keril

Sama Bileterd Indorcrir dea Mdaysir Tertait Penengaau Karus Tcrage Kcrla Indonecia

(TI(I)

tregrl dt Malaysia pade Kunrn Walrtu 2015-201E"

ini

adalah benar-benEr merrryaka* hffiil kilr1la say* smdiri dan

ti&k

maryau&rng mated ymg ditulis oleh orang lain kecuali telah dihttip sebagai referensi yang smbernya

tslah dituli$lmn smara jelas eesuai deirgan kaidah pmlkan katye ilrniah.

Apabila dikemudian hari ditemukan

adanf

kecumngan dalam karla rnt, srya bers€dis merrerime $mksi

dri

Urivercias Pertanina seeuai de*grn pcnatur& yangberlaku.

Demi

il-u

pemgetahum, saya menyettrjui mtuk me,mberikan kepfidr Universitas Pertamina hak bebas myalti noneksklustf (*on-wclusive

royalty-free rtght) atas tugas al&ir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak

bebas

rolalti

nousksklusif

ini

Unive,rcitas Perfamina bertak mclryimpn,

mengalih medialformat-kan, meugelola ilalam b€ofirk pangkatm data (database), me,rewat, dan me'ryftlikasikan tugas akhir saya selama tetry nrmmtumkan trarna eaya sebagai peuuliVpencipta dan sebagai pemilik hak crpta.

Demikian pernyataan ini sayabuat dengan sebeirrniya

Jakarta" 23 Dese,mber 2019

Yaug memburat pernyafaa

(5)

iv

ABSTRAK

Anisa Rahmayuwati. 106216007. Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia

Terkait Penanganan Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal di Malaysia Pada Kurun Waktu 2015-2018.

Penempatan TKI di luar negeri menjadi alternatif untuk mengurangi pengangguran bagi Pemerintah Indonesia. Malaysia merupakan negara penempatan yang paling banyak dipilih oleh TKI selama 3 tahun berturut-turut dari 2015 hingga 2018, selain itu jumlah TKI di Malaysia mengisi hampir setengah dari jumlah pekerja migran yang ada di Malaysia. Untuk menganalisis pergerakan TKI secara ilegal ke Malaysia, penulis menggunakan konsep interdependensi, serta kerja sama bilateral. Adanya faktor penarik dan faktor pendorong yang dapat menjelaskan munculnya interdependensi antara Indonesia dan Malaysia. Dalam kerangka kerja sama bilateral, Indonesia dan Malaysia memiliki insentif untuk berkoordinasi dalam mewujudkan regulasi yang mengatur perlindungan TKI. Bentuk implementasi kerja sama bilateral tersebut berupa MoU, koordinasi antar lembaga teknis, serta pembentukan Joint Task Force (JTF). Pada tahun 2016, MoU yang menjadi salah satu bentuk kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia terkait TKI sudah berakhir, hingga tahun 2018, belum ada kesepakatan baru yang dibuat. Oleh sebab itu, dalam menjalin kerja sama bilateral, Indonesia dan Malaysia menemui hambatan yang mempengaruhi optimalisasi implementasi kerja sama bilateral yang ada. Penulis menganalisis tulisan ini dengan tujuan untuk memahami serta menganalisis interaksi Indonesia dan Malaysia dalam upaya menangani permasalahan TKI ilegal serta hambatan yang ditemui. Penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif, dengan jenis data yang dianalisis adalah dokumen ataupun laporan dari lembaga resmi dan juga literatur terkait, serta in-depth interview dengan narasumber terkait.

Kata kunci: TKI Ilegal, Interdependensi, Kerja Sama Bilateral, Memorandum of Understanding (MoU).

(6)

ABSTRACT

Anisa Rahmayuwati. 106216007. Bilateral Cooperation Between Indonesia and

Malaysia in Handling Cases of Indonesian Illegal Migrant Workers (TKI) in Malaysia Between 2015-2018.

The placement of migrant workers abroad is an alternative to reducing unemployment problems for the Government of Indonesia. Malaysia is the most chosen placement country by TKI for 3 years from 2015 to 2018, besides that the number of TKI in Malaysia makes up almost half of the migrant workers in Malaysia. To analyze the movement of migrant workers illegally to Malaysia, the authors use the concept of interdependence, as well as bilateral cooperation. There are pull and push factors that can explain interdependence relations between Indonesia and Malaysia. In the framework of bilateral cooperation, Indonesia and Malaysia have incentives to coordinate in realizing regulations that regulate the protection of Indonesian migrant workers. Implementation of the bilateral cooperation it is, MoU, coordination between stakeholders, and establishment of Joint Task Force (JTF). In 2016, the MoU, which is a form of bilateral cooperation between Indonesia and Malaysia related to TKI, has ended, until 2018, no new agreements have been made. Therefore, in establishing bilateral cooperation, Indonesia and Malaysia encountered obstacles that influenced the optimization of the existing bilateral cooperation. The author analyzes this paper with the aim of understanding and analyzing the interactions of Indonesia and Malaysia in an effort to deal with the problems of illegal migrant workers and the obstacles encountered. The author uses qualitative research methodologies, with the type of data analyzed are documents or reports from official institutions and also related literature, as well as in-depth interviews with relevant sources.

Keywords: Indonesian Illegal Migrant Worker, Interdependence, Bilateral Cooperation, Memorandum of Understanding (MoU).

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena atas segala

rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini yang berjudul “Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia Terkait Penanganan Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal di Malaysia pada Kurun Waktu 2015-2018” merupakan salah satu syarat mencapai gelar S-1 Sarjana Hubungan Internasional, Universitas Pertamina.

Pemikiran penulis dalam menyusun skripsi ini diharapkan dapat

memberikan sumbangsih bagi literatur dibidang ilmu yang relevan, khususnya

bidang kerja sama bilateral, serta Hak Asasi Manusia (HAM), berikut dengan

bagaimana negara terkait merumuskan kebijakan pekerja migrannya yang menjadi

salah satu instrumen penting pembangunan bangsa. Selain itu, diharapkan skripsi

ini dapat mengisi celah kebaruan penelitian dibidang terkait, serta menjadi acuan

dan evaluasi bagi peneliti selanjutnya.

Penulis disatu sisi menyadari masih terdapat kekurangan dan kelemahan

yang ada selama penulisan skripsi ini, baik secara teknis maupun substansi. Atas

dasar ini penulis mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun dari

pembaca untuk semakin memperkaya keilmuan dari skripsi ini. Pada akhirnya,

penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang

membacanya.

Jakarta, 23 Desember 2019

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR SINGKATAN ... x BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Tinjauan Pustaka ... 7 1.4 Kerangka Pemikiran ... 22 1.4.1 Interdependensi ... 22

1.4.2 Kerja Sama Bilateral ... 23

1.5 Metodologi ... 28

1.5.1 Desain Penelitian ... 28

1.5.2 Metode Pengumpulan Data ... 28

1.6 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 29

1.6.1 Tujuan Penelitian ... 29

1.6.2 Manfaat Penelitian ... 29

1.7 Sistematika Penulisan ... 30

BAB II PROBLEMATIKA TKI ILEGAL DI MALAYSIA ... 32

2.1 Problematika TKI Ilegal di Malaysia dari tahun 2015-2018 ... 32

2.2 Strategi Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan TKI periode 2015-2018 ... 47

BAB III KERJA SAMA INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM MENANGANI KASUS TKI ILEGAL DI MALAYSIA ... 59

3.1 Analisis Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia dalam Penanganan Kasus TKI Ilegal ... 59

3.2 Peranan kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia ... 76

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

(9)

viii

4.2 Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA ... 97 DAFTAR LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

x

DAFTAR SINGKATAN

Lambang/Singkatan Arti Keterangan

TKI Tenaga Kerja Indonesia

BNP2TKI Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

WNI Warga Negara Indonesia

BHI Badan Hukum Indonesia

MOU Memorandum of Understanding

PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia

HAM Hak Asasi Manusia

JTF Joint Task Force

BP3TKI Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

(12)
(13)

Universitas Pertamina - 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara,

Indonesia dan Malaysia juga melakukan hubungan bilateral yang mencakup

berbagai agenda yang disertakan skala prioritas tertentu. Hubungan bilateral yang

dijalin antara Indonesia dengan Malaysia juga mencakup bidang ketenagakerjaan.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sisi lain mampu memberikan kontribusi terhadap

pembangunan ekonomi negara. Dengan dihadapkan pada permasalahan

pengangguran, dan lapangan pekerjaan yang terbatas, menjadi TKI merupakan

pilihan agar bisa keluar dari jeratan pengangguran. Menjadi TKI di luar negeri

merupakan pilihan yang menarik bagi mereka yang ingin mencari penghidupan

yang lebih baik. Di sisi lain, untuk memperoleh pekerjaan secara layak di dalam

negeri belum dapat terpenuhi secara maksimal, karena kesempatan kerja yang

terbatas. Seiring berjalannya waktu peminat TKI yang ingin bekerja di luar negeri

semakin meningkat dan hal tersebut tentunya tidak terlepas dari para TKI yang

lebih memilih melalui jalur non prosedural atau ilegal agar bisa segera

mendapatkan pekerjaan.

Malaysia merupakan negara tujuan terbanyak bagi para TKI berdasarkan

pada data BNP2TKI. Per Desember 2018, penempatan TKI berdasarkan negara,

sebanyak 90.671 memilih Malaysia sebagai tempat bekerja (BNP2TKI, 2018).

Pada tahun 2015, jumlah TKI yang ditempatkan di Malaysia mencapai 97.635

(14)

Malaysia, dan di tahun 2017, jumlah penempatan TKI di Malaysia juga

mengalami peningkatan dengan total jumlah 88.991 (BNP2TKI, 2017).

Dengan tingginya angka tersebut tentunya tidak lepas dari berbagai

persoalan yang ditimbulkan. Negara berkewajiban untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan ketika para TKI bekerja di luar negeri. Pemerintah Indonesia telah

berupaya untuk mengurangi jumlah kekerasan dan berbagai pelanggaran terkait

TKI. Pemberian perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) dan

Badan Hukum Indonesia (BHI) pada dasarnya telah diamanatkan oleh UUD 1945

yang ketentuannya tertuang dalam UU Nomor. 39 Tahun 2004 tentang

Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, bahwa negara berkewajiban

melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri. Kemudian

undang-undang tersebut telah direvisi dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2017

tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia. Perumusan undang-undang baru

ini mempertimbangkan ketentuan Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak

Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990), yang sudah disahkan

sebelumnya oleh Indonesia pada tahun 2012 (Indonesia’s NGO Coalition for

International Human Rights, 2018). Adanya berbagai peraturan

perundang-undangan tersebut, seharusnya perlindungan terhadap WNI dalam hal ini juga

TKI diharapkan dapat terjamin secara maksimal.

TKI ilegal menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi pemerintah Indonesia

dalam pengelolaan migrasi. Adanya kekurangan pengelolaan dalam sistem

perekrutan dan perlindungan TKI, menyebabkan para pencari kerja di Indonesia

memilih jalur non prosedural yang berlaku, dan berakhir menjadi TKI ilegal di

(15)

Universitas Pertamina - 3 Ketidaktahuan TKI tentang prosedur perekrutan yang benar juga turut menjadi

faktor maraknya jumlah TKI ilegal (IOM, 2010). TKI ilegal memiliki

kecenderungan mendapatkan perlakuan yang tidak berperikemanusiaan dalam

bekerja ditambah secara dokumen tidak memiliki dokumen resmi sehingga

berisiko tidak mendapatkan perlindungan dan pelayanan dari KBRI setempat. TKI

ilegal cenderung terisolasi dan membuat mereka rentan terhadap pelecehan fisik

dan seksual, menjadi korban kerja paksa, serta perdagangan manusia. Berbagai

upaya turut dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan

kasus-kasus yang terkait dengan TKI ilegal, dimulai dari proses perekrutan hingga

penempatan, pemerintah terus berusaha untuk mengoptimalkan perannya dalam

memberikan perlindungan kepada TKI (Firdausy, 2006).

Pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk segera melakukan

perundingan dengan Malaysia dalam menghadapi permasalahan TKI ilegal yang

terjadi. Perundingan masalah tersebut mendorong terjadinya kerja sama bilateral

antara Indonesia dan Malaysia, kerja sama bilateral dilakukan agar tercipta

koordinasi kebijakan antar pemerintah, maupun menghasilkan nota kesepahaman

yang kemudian mengikat kedua belah untuk mematuhinya. Indonesia dan

Malaysia sebelumnya sudah menandatangani perjanjian kerja sama atau

Memorandum of Understanding (MoU) penempatan TKI (MoU) pada tahun 2004

(Killias, 2010). Selain itu terdapat nota kesepahaman antara Pemerintah Republik

Indonesia dan Pemerintah Malaysia yang ditandatangani di Bali pada tahun 2006,

mengenai perekrutan dan penempatan pekerja domestik Indonesia yang bertujuan

untuk mengembangkan kerja sama antara pihak-pihak pengguna jasa dan penata

(16)

Pekerja Rumah Tangga Republik Indonesia (Killias, 2010). Pada tahun 2011,

Indonesia dan Malaysia menandatangani MoU lanjutan dan Malaysia

berkomitmen untuk meningkatkan situasi kerja yang lebih positif dan menjamin

hari libur bagi para pekerja (Elias, 2013). Namun MoU pada tahun 2011 ini

merupakan MoU terakhir yang disepakati kedua negara, setelah MoU tersebut

berakhir di tahun 2016, kedua pemerintah belum mendiskusikan kembali terkait

perpanjangan atau membuat MoU baru hingga tahun 2018 berjalan.

MoU memainkan peranan untuk menomorsatukan perlindungan bagi TKI

yang dapat dilakukan melalui tindakan dan kesepakatan bilateral. Poin-poin dalam

nota kesepahaman yang dibahas adalah mengenai perlindungan dan penanganan

TKI yang tidak memiliki dokumen resmi atau dalam hal ini ilegal (Nielsen, 2013).

Kementerian Luar Negeri terus berupaya menegaskan kembali MoU sebagai

payung hukum untuk perlindungan WNI di negara dengan permasalahan kasus

TKI terbanyak yakni Malaysia (Kementerian Luar Negeri, 2018). Sehingga

negara wajib melakukan pengawasan terkait MoU tersebut agar perlindungan

terhadap TKI dapat berjalan maksimal. Kerja sama penempatan dan perlindungan

TKI di Malaysia tidak terlepas dari berbagai kendala terkait kondisi dan sistem

ketenagakerjaan kedua negara. Bentuk kerja sama apapun seharusnya memiliki

aturan yang jelas, sehingga kesepakatan yang telah disetujui tidak merugikan

salah satu pihak.

Berkaitan dengan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia,

tentunya perlu memperhatikan komponen pendukung dalam pembaruan nota

kesepahaman seperti memperhatikan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2017

(17)

Universitas Pertamina - 5 Tenaga Kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri seperti Malaysia.

Disadari bahwa kedua negara merupakan bagian dari ASEAN, maka pembaruan

nota kesepahaman selanjutnya juga mengacu pada prinsip-prinsip yang secara

tegas tercantum dalam ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the

Rights of Migrant Workers (ASEAN Secretariat, 2018). Dengan begitu, kedua

negara perlu berkolaborasi untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah

dan menyelesaikan segala kasus terkait keberdaan pekerja migran ilegal,

khususnya TKI yang memiliki aliran migran terbesar di Malaysia. Hal ini

ditujukan untuk menunjang keselamatan, kesejahteraan serta keadilan bagi para

pekerja migran. Dalam kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia terkait

TKI ilegal, perlunya perhatian terhadap agen atau pihak ketiga yang melakukan

perekrutan TKI dengan maksud menghilangkan jalur-jalur tidak berdokumen

resmi dan memastikan bahwa proses perekrutan mematuhi hukum, peraturan dan

kebijakan yang berlaku (Wong, 2006).

Beberapa kasus yang menjadi perhatian penulis adalah kasus Adelina Lisao,

TKI asal Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang meninggal di Penang pada

tahun 2018 akibat dugaan tindakan majikannya yang diluar perikemanusiaan

(CNN Indonesia, 2018). Selain itu kasus pada tahun 2017 yang merupakan masa

transisi pasca berakhirnya Memorandum of Understanding (MoU) yang

disepakati kedua negara, masih timbul kasus penganiayaan TKI. TKI asal Cirebon

Jubaedah, diduga kuat meninggal karena mengalami trauma fisik akibat

penganiayaan berat oleh majikannya di Malaysia (KOMPAS, 2017). Pada

Desember 2016, kasus TKI Suyanti asal Sumatera Utara mencuat lantaran Suyanti

(18)

lebam di kedua matanya (VOA, 2018) Suyanti masuk melalui jalur ilegal di Port

Klang yang merupakan jalur masuk utama melalui laut wilayah Malaysia. Tahun

2015, TKI asal Kalimantan Barat, Nurjanah, menjadi korban penyiksaan majikan,

salah satu perlakuan yang diterima oleh Nurjanah adalah kedua matanya ditusuk

menggunakan jari tangan dan cabai, Nurjanah juga tidak mendapatkan gaji

(Liputan 6, 2015).

Oleh sebab itu, dihadapkan dengan berbagai kondisi TKI Indonesia di

Malaysia, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kerja sama dengan

pemangku kebijakan di dalam negeri maupun di negara tujuan dan juga

memperketat pengawasan serta evaluasi di setiap tahapan dimulai dari perekrutan,

penempatan dan pelaksanaan. Selain itu pentingnya evaluasi dari kerja sama

bilateral yang sudah dijalin agar regulasi atau nota kesepahaman yang sudah

dibuat, dapat diterapkan secara maksimal dan meminimalisir terjadinya

kasus-kasus penganiayaan yang menimpa TKI ilegal di Malaysia. Pemerintah melalui

lembaga-lembaga yang berwenang, dan juga perwakilan negara di berbagai

negara tujuan khususnya Malaysia, berfokus pada upaya diplomasi dan membahas

secara bilateral terkait persoalan-persoalan TKI, dengan melibatkan berbagai

entitas selain pemerintahan di Malaysia, juga dengan diaspora Indonesia yang ada

di Malaysia agar penanganan kasus-kasus terkait TKI ilegal tidak kembali

terulang.

Penulis mengangkat topik ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

pengaruh kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia yang sudah dijalin dalam

menangani permasalahan TKI ilegal yang terjadi di Malaysia khususnya pada

(19)

Universitas Pertamina - 7 perlindungan hak TKI sudah berakhir dan belum diperpanjang lagi hingga tahun

2018. Berkaitan dengan nota kesepahaman yang berakhir tersebut maka akan

berdampak pada penempatan TKI dan hal lainnya yang menunjang keberadaan

TKI di Malaysia. Selanjutnya topik yang diangkat penulis diharapkan

memberikan gambaran terkait permasalahan TKI ilegal di Malaysia dan

mengevaluasi kerja sama bilateral yang sudah dijalankan Indonesia-Malaysia

dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Diharapkan upaya pemerintah

Indonesia sebagai otoritas yang wajib memberikan perlindungan bagi warga

negaranya dapat berjalan dengan maksimal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan pertanyaan

penelitian: Bagaimana pengaruh kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia

terkait penanganan kasus TKI ilegal di Malaysia pada kurun waktu 2015-2018?

1.3 Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa akademisi yang membuat tulisan mengenai pekerja

migran, dan juga beberapa diantaranya membahas secara spesifik mengenai

Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia. Pada studi pustaka ini,

peneliti menemukan banyak tulisan yang membahas bagaimana pekerja migran,

khususnya Tenaga Kerja Indonesia menjadi salah satu aspek penting bagi negara,

dan tidak sedikit tulisan yang membahas permasalahan TKI yang ditempatkan di

berbagai negara lain, termasuk Malaysia, serta bagaimana kedua negara

(20)

Pekerja migran dikategorikan menjadi dua jenis, yang pertama pekeja

migran dengan keterampilan tinggi, dan yang kedua merupakan pekerja migran

yang berketerampilan rendah. Jurnal yang ditulis oleh Amarjit Kaur (2004)

berjudul The Global Labour Market: International Labour Migration in Southeast

Asia Since the 1980s, menjelaskan bahwa untuk pekerja migran yang tergolong

berketerampilan rendah, cenderung ditempatkan di sektorn gra-sektor domestik

sepeti Pembantu Rumah Tangga (PRT). Sehingga jika dikaitkan dengan topik

penulis, Indonesia sebagai negara berkembang masih didominasi oleh golongan

pekerja migran dengan keterampilan rendah. Hal tersebut tidak lepas dari kondisi

Indonesia yang masih dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang belum

stabil, mendorong masyarakatnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Brown (1994) dalam bukunya yang berjudul Introduction: Migration - The Asian

Experience menjelaskan bahwa migrasi yang terjadi di Asia menjadi sebuah

momentum penting bagi negara-negara di Asia terlebih dalam pembangunan

ekonominya. Melalui pendapat Brown dapat dilihat bahwa latar belakang

ekonomi menjadi salah satu pendorong migrasi di Asia sehingga seseorang

memilih menjadi pekerja migran yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Migran yang berstatus ilegal menduduki dasar hierarki dari perlindungan

hak asasi manusia. Negara-negara berusaha membuat kebijakan migrasi bagi para

migran ilegal, hal ini ditujukan untuk menekan jumlah migran ilegal yang masuk

ke negara dan berakhir menjadi beban bagi anggaran perekonomian negara.

Morris (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Changing Border Control Regimes

and their Impact on Migration in Asia, melihat bahwa migran ilegal merupakan

(21)

Universitas Pertamina - 9 kesejahteraan, minim terdengar sauaranya dan mereka dapat dideportasi kapan

saja. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pekerja migran ilegal

tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja migran, di sisi lain negara-negara

terus berupaya membatasi jumlah pekerja migran ilegal. Hal ini memiliki

relevansi dengan topik penulis, dengan melihat kondisi pekerja migran ilegal yang

jarang tersuarakan hak nya serta rentan tidak mendapatkan perlindungan HAM,

memerlukan upaya dari negara untuk mengatasi kondisi ini.

Pekerja migran tentu erat kaitannya dengan kebijakan luar negeri sehingga

penting bagi negara untuk mempertimbangkan isu – isu sosial termasuk isu

perempuan yang kerap menjadi korban dari pekerja migran ilegal dan lebih lanjut

lagi menjadi korban perdagangan manusia. Tentunya keberadaan pekerja migran

ini tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah, akan tetapi NGO atau

Lembaga Swadaya Masyarakat bisa terlibat dalam rangka merespons kondisi yang

dialami oleh pekerja migran khususnya yang ditempatkan di luar negeri.

Seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja migran tentunya dengan harapan

untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dalam proses menjadi pekerja

migran, seseorang harus mengikuti prosedur yang ada sejak proses perekrutan

hingga penempatan.

Pekerja migran sering tidak terdengar suaranya, hal ini dikarenakan

beberapa alasan. Mereka tidak tahu hak mereka di negara asing; mereka tidak

berbicara bahasa negara itu untuk secara efektif membawa kasus mereka ke pihak

berwenang; mereka takut untuk maju karena takut ada ancaman yang lebih keras

dari pihak pengguna jasa mereka dan, mereka memiliki ketakutan lebih jika hak

(22)

memberikan advokasi. Menurut Battistella (1993) advokasi berarti menyuarakan

hak-hak pekerja migran dan membuat persoalan pekerja migran menjadi sesuatu

yang terlihat dan menjadi perhatian global. Seperti apa yang disampaikan

Battistella (1993) dalam jurnalnya yang berjudul The Human Rights of Migrant

Workers: Agenda for NGOs, maka fungsi NGO ini yang kemudian berusaha

menyuarakan hak-hak pekerja migran. Dalam memperjuangkan hak-hak pekerja

migran, akan lebih baik jika kerangka internasional dalam hal ini konvensi ILO

misal, dilibatkan dalam proses mereka menyuarakan hak pekerja migran. Dalam

topik ini penulis melihat sebuah keterkaitan, dimana pekerja migran merupakan

bidang ketenagakerjaan yang dapat melibatkan berbagai macam aktor dalam

praktiknya.

Keberadaan pekerja migran ilegal di Asia dalam hal ini di Jepang misal,

menjadi fokus tersendiri bagi pemerintah negaranya untuk mengkonsolidasikan

upaya-upaya yang melibatkan pemerintahan lainnya, Morris (2006) memaparkan

bahwa Jepang membuat kebijakan migrasi ilegal dengan salah satu contoh

upayanya membangun kerja sama bilateral dengan negara-negara di perbatasan

untuk menekan angka pekerja migran ilegal yang masuk ke Jepang. Jika

dikorelasikan dengan kondisi yang dihadapi Indonesia sesuai dengan topik

penulis, penulis melihat perlunya memperkuat hubungan antar negara yang

berbatasan langsung demi menekan angka pekerja migran ilegal yang masuk ke

masing-masing negara. Karena kebijakan dari masing-masing negara yang dapat

menjadi kerangka perlindungan bagi pekerja migran.

Berdasarkan kategori pekerja migran yang dipaparkan oleh Kaur (2004),

(23)

Universitas Pertamina - 11 kategori less skilled workers, yang kemudian memosisikan Pekerja Migran

Indonesia bekerja di sektor domestik khususnya Pembantu Rumah Tangga (PRT).

pekerja migran ilegal yang dijelaskan oleh Morris (2006) masih dalam kondisi

yang rentan, dengan kecenderungan perlakuan tidak manusiawi yang diterima

oleh para pekerja migran ilegal, menuntut adanya konsolidasi antar aktor, baik

aktor non negara maupun aktor negara. Aktor non negara dalam hal ini menurut

Battistella, dapat berperan dalam memberikan advokasi sehingga pekerja migran

dapat melalui proses rekrutmen yang sesuai aturan dan memahami hak-hak nya.

Negara berperan menjalin kerja sama dengan pemerintahan lain untuk menekan

arus pekerja migran ilegal. Tulisan Kaur (2004), Morris (2006), Battistella (1993),

dan Brown (1994) membantu penulis dalam melihat kondisi pekerja migran di

Asia meskipun tidak semua tulisan membahas secara spesifik mengenai pekerja

migran ilegal.

Di Asia Tenggara, pekerja migran dari negara berkembang memiliki insentif

yang kuat untuk bermigrasi ke negara yang berpenghasilan lebih tinggi, hal ini

dipaparkan oleh Kaur (2004). Sejalan dengan tulisan ini, Indonesia sebagai negara

berkembang memiki jumlah pekerja migran yang tinggi khususnya yang masuk

ke Malaysia. Namun tingginya biaya administrasi migrasi termasuk pembayaran

ke perantara dan agen tenaga kerja dan adanya kuota bagi tenaga kerja

berketerampilan rendah mengakibatkan banyak Pekerja Migran Indonesia masuk

ke jalur ilegal untuk dapat ditempatkan di negara tujuan. Indonesia yang juga

mendominasi arus pekerja migran di Asia Tenggara menjadi sorotan tersendiri.

Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi penopang

(24)

yang berjudul Foreign Policy and the Domestic Worker, ini merefleksikan

cadangan devisa yang masuk ke dalam negeri yang dibawa oleh para Pekerja

Migran Indonesia. Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dan, bahkan

sebelum kondisinya diperparah oleh krisis yang terjadi di Asia pada pertengahan

1997, Indonesia adalah salah satu negara dengan surplus tenaga kerja terbesar di

dunia (Hugo, 2006). Dengan surplus tenaga kerja terbesar, Indonesia menjadi

salah satu negara dengan pekerja kontrak luar negeri tersebut. Elias (2013) dan

Hugo (2006) sepakat bahwa aliran Pekerja Migran Indonesia mendominasi aliran

tenaga kerja ke Malaysia. Hal ini kemudian relevan dengan topik penulis, dengan

melihat tingginya arus TKI yang berada di Malaysia namun tulisan tersebut lebih

berfokus pada fakta di lapangan dan tidak secara spesifik membahas kerangka

kerja sama bilateral kedua negara dalam menangani permasalahan TKI di

Malaysia sebagai dampak aliran Pekerja Migran Indonesia ke Malaysia.

Penulis menyoroti adanya beberapa alasan mengapa terjadi aliran Pekerja

Migran Indonesia ke Malaysia. Hugo (2006) dalam jurnalnya yang berjudul

Forced Migration in Indonesia: Historical Perspectives, memaparkan adanya

jaringan informal dari migrasi spontan yang menghubungkan Malaysia dan

Indonesia yang sudah ada sebelum tahun 1970-an. Hal ini menyebabkan

timbulnya hubungan historis dan budaya ini memainkan peran penting dalam

memfasilitasi migrasi dari Indonesia ke Malaysia. Selain faktor historis, Kaur

(2004) juga memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada

permintaan tenaga kerja yang meningkat, sehingga mengambil tenaga kerja dari

luar negeri merupakan pilihan dalam mengatasi permasalahan tersebut, hal ini

(25)

Universitas Pertamina - 13 pekerja migran. Penulis melihat korelasi faktor tersebut karena peningkatan akan

kebutuhan tenaga kerja di Malaysia dianggap sebagai sebuah peluang bagi

Indonesia, sehingga yang terjadi adalah arus migrasi semakin masif. Killias

(2010) dalam tulisannya yang berjudul ‘Illegal’ Migration as Resistance:

Legality, Morality and Coercion in Indonesian Domestic Worker Migration to Malaysia, turut memaparkan bahwa sebagian besar TKI yang ingin bekerja di luar

negeri masih memilih Malaysia sebagai negara penempatan hal ini karena

memiliki kedekatan dengan Indonesia, dari segi bahasa masih tergolong mirip

(Melayu), dan persyaratan yang relatif rendah dalam hal pendidikan, usia dan

penampilan fisik. Ketiga penulis Hugo (2006), Kaur (2004), dan Killias (2010)

menelaah beberapa faktor yang mendasari terjadinya aliran Pekerja Migran

Indonesia khususnya ke Malaysia, mulai dari faktor historis, kesamaan budaya,

kemudahan persyaratan, kedekatan geografis dan tingginya permintaan tenaga

kerja di Malaysia yang meningkat menjadi beberapa faktor yang kemudian dapat

memiliki signifikansi terhadap topik penelitian penulis dalam membahas

pergerakan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia.

Jika melihat Pekerja Migran Indonesia yang berada di Malaysia, menurut

Hugo (2006) menyatakan bahwa perempuan masih mendominasi beberapa aliran

tidak berdokumen atau ilegal. Baik laki-laki maupun perempuan, pada faktanya

Pekerja Migran Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan. Secara garis

besar, menurut Kaur (2004) terdapat 2 hal yang menjadi permasalahan, pertama

sistem perekrutan TKI yang akan ditempatkan di luar negeri banyak dihindari

oleh calon pekerja karena dianggap terlalu memakan waktu, rumit, mahal dan

(26)

proses yang berlapis. Kedua, TKI yang berada di luar negeri mengalami tindakan

kekerasan yang lebih tinggi dibanding banyak negara pengirim lainnya. Tindakan

kekerasan yang dialami berupa kekerasan fisik maupun seksual.

Dari kedua permasalahan yang dipaparkan Kaur (2004) tersebut dapat

dilihat bahwa rumitnya proses perekrutan TKI yang akan ditempatkan di luar

negeri membuat tingginya angka tenaga kerja ke luar negeri yang tidak

berdokumen. Pemerintah Indonesia perlu langkah tegas dalam menghadapi

masalah TKI ini, penulis melihat bahwa dari permasalahan yang dihadapi TKI

khususnya di Malaysia juga diakibatkan oleh kurangnya informasi yang akurat

tentang proses dan kondisi migran di negara tujuan. Pekerja rumah tangga

Indonesia khususnya yang berada di Malaysia mengalami perlakuan yang tidak

wajar, dalam buku Elias (2013) pemerintah Indonesia melakukan embargo

sebagai respon kemarahan domestik menanggapi berbagai kasus tindak kekerasan

yang diterima PRT Indonesia di Malaysia. Berangkat dari hal tersebut, penulis

melihat bahwa secara signifikan pekerja migran muncul sebagai masalah

kebijakan luar negeri yang urgensi untuk dibahas antara para pembuat kebijakan

luar negeri dan mengevaluasi kerja dari perwakilan diplomatik negara.

Berkaitan dengan topik yang penulis ambil, kemudian penulis menyoroti

kebijakan Malaysia mengenai pekerja migran. Menurut Wong (2006) dalam

tulisannya yang berjudul The Recruitment of Foreign Labour in Malaysia: From

Migration System to Guest Worker Regime, Malaysia sebagai negara yang

bergantung akan Tenaga Kerja Indonesia masih memiliki masalah dalam

merekonsiliasi kebutuhannya akan pekerja migran dengan kebijakan dalam

(27)

Universitas Pertamina - 15 ketenagakerjaan masih tergolong lemah yang berimplikasi pada kerentanan bagi

para pekerja migran berketerampilan rendah. Berangkat dari hal ini, penulis

melihat bahwa kebijakan yang dimiliki Malaysia memungkinkan para pekerja

asing untuk kehilangan status mereka secara hukum dan kebebasan mereka pun

turut dibatasi. Tulisan Wong (2006) memberikan gambaran bagi penulis

mengenai tata kelola kebijakan pekerja migran disana, yang secara kerangka

hukum masih cenderung merugikan negara pengirim. Meskipun tulisan Wong

(2006) belum secara spesifik menggambarkan upaya bilateral yang dilakukan oleh

Malaysia dengan negara pengirim pekerja migran.

Elias (2013) dan Joseph (2013) dalam tulisannya yang berjudul

Globalization, Social Justice, and Migration: Indonesian Domestic Migrant Workers in Malaysia, memaparkan bahwa para Pekerja Migran Indonesia yang

bekerja di Malaysia telah diakui sebagai tenaga kerja yang ‘murah’, mampu berkomunikasi dalam bahasa Malaysia, serta tersedia (bisa diminta bekerja) kapan

saja. Sehingga penulis melihat signifikansi dari keberadaan TKI ini memerlukan

koordinasi antara Malaysia dan Indonesia dalam pengambilan tindakan khusus,

sehingga kemudian dapat mendukung keberhasilan upaya kedua pemerintahan

dalam menyelesaikan kasus-kasus TKI khususnya TKI yang berstatus ilegal, agar

kepentingan dua negara ini bisa sama-sama tercapai.

Kondisi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia pada tahun 2002 yang

dipaparkan dalam tulisan Firdausy (2006) yang berjudul Indonesian Labour

Migration after the 1997–98 Asian Economic and Financial Crisis, menunjukkan

kondisi yang memprihatinkan terlebih dengan terjadinya deportasi massal sekitar

(28)

kemanusiaan yang memprihatinkan ketika mereka kembali ke daerah

masing-masing dengan kondisi fisik dan psikis yang tak berdaya serta perbekalan yang

tidak memadai akibat dari kebijakan Hire Indonesians Last yang dikeluarkan oleh

Malaysia. Penulis melihat, kebijakan seperti ini tentunya akan memengaruhi

kondisi TKI dan akan menimbulkan respons dari Indonesia terkait kebijakan yang

berujung merugikan Indonesia, seperti yang dipaparkan oleh Hugo (2006), penulis

sepakat bahwa kebijakan seperti ini tentunya mendiskriminasi pekerja Indonesia.

Dan kondisi-kondisi seperti ini perlu tindak lanjut dari kedua pemerintahan.

Tulisan-tulisan yang dibuat oleh Kaur (2004), Elias (2013), Wong (2006),

Joseph (2013), Hugo (2006), dan Firdausy (2006) memiliki signifikansi dengan

topik yang penulis angkat, khususnya ketika membahas kondisi Pekerja Migran

Indonesia yang tersebar di negara penempatan khususnya Malaysia, mulai dari

latar belakang yang mendorong munculnya masalah Pekerja Migran Indonesia

hingga keadaan yang dialami para TKI disana. Pekerja Migran Indonesia secara

garis besar seperti apa yang dipaparkan oleh Kaur (2004) menemui dua

permasalahan, yang pertama sistem perekrutan TKI yang cenderung rumit dan

memakan biaya serta waktu yang lebih menjadikan TKI banyak yang memilih

jalur ilegal agar bisa cepat bekerja, lalu permasalahan kedua adalah TKI menjadi

pekerja migran yang menerima kekerasan dengan angka yang lebih tinggi

dibanding negara pengirim lainnya. Selain permasalahan tersebut, Indonesia

masih perlu berbenah dalam memberikan informasi dan mengedukasi calon TKI

yang hendak ditempatkan, faktanya menurut tulisan Elias (2013) pemerintah

Indonesia pernah melakukan embargo TKI ke Malaysia yang dikarenakan adanya

(29)

Universitas Pertamina - 17 Menjadi penting bagi penulis untuk melihat kondisi Pekerja Migran Indonesia

yang berada di Malaysia khususnya. Kaur (2004) memaparkan bahwa Pekerja

Migran Indonesia masih menjadi sumber pekerja asing bagi beberapa negara

seperti Malaysia, Singapura dan Thailand, yang kemudian penulis berfokus pada

Malaysia sebagai topik penelitian.

Melihat dari sisi Malaysia, Malaysia secara domestik masih memiliki

masalah dalam mengatur kebijakan ketenagakerjaannya, hal ini dibenarkan oleh

Wong (2006), dalam tulisannya kebijakan ketenagakerjaan Malaysia bagi pekerja

migran masih tergolong lemah dan hal ini berdampak pada kondisi TKI disana

yang rentan tindak kekerasan dan pelecehan. Secara kerangka hukum, Wong

(2006) memaparkan bagaimana kebijakan rekrutmen pekerja migran di Malaysia

yang bisa membantu penulis dalam memberikan gambaran, namun di sisi lain

tulisan tersebut belum secara komprehensif membahas upaya bilateral antar

negara. Terlepas dari berbagai faktor yang ditulis oleh Elias (2013) dan Joseph

(2013) yang pada akhirnya membuat Pekerja Migran Indonesia masih dibutuhkan

oleh Malaysia, kondisi Pekerja Migran Indonesia disana masih memprihatinkan,

ditambah pada tahun 2002, menurut tulisan Firdausy (2006) TKI mengalami krisis

kemanusiaan akibat adanya deportasi massal di Malaysia bagi para TKI, hal

tersebut selaras dengan tulisan Hugo (2006) yang masih menyoroti adanya

kebijakan Malaysia yang cenderung merugikan Indonesia dan mendiskriminasi

TKI.

Berbicara mengenai kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia

terkait TKI yang menjadi topik penulis, Indonesia menjalin beberapa kesepakatan

(30)

Arifianto (2009) yang berjudul The Securitization of Transnational Labor

Migration: The Case of Malaysia and Indonesia, perjanjian bilateral berupa antara

Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 merombak perjanjian sebelumnya yang

diadakan di Medan, dengan menetapkan prosedur formal untuk perekrutan Tenaga

Kerja Indonesia dan memperhatikan kondisi minimum kerja. Namun penulis

melihat dalam tulisan tersebut, perjanjian bilateral tidak mencakup sektor

domestik padahal sektor domestik kerap menerima kekerasan yang lebih parah

dan jarang mendapatkan perlindungan. Hal tersebut didukung dengan belum

dihapuskannya kebijakan mengenai hak majikan yang berhak memegang paspor

pekerja dan membatasi mereka berinteraksi dengan dunia luar termasuk serikat

pekerja. Berangkat dari perjanjian bilateral pada tahun 2004 tersebut, penulis

menyoroti beberapa tulisan yang membahas perjanjian bilateral setelahnya. Yang

pertama tulisan Killias (2010), tulisan tersebut mengatakan bahwa nota

kesepahaman yang ditandatangani pada tahun 2006 mensyaratkan majikan

Malaysia untuk menandatangani kontrak hukum dengan pekerja rumah tangga

Indonesia mereka, dan kontrak ini memberikan hak dasar kepada TKI yang berada

disana. Menurut penulis, dalam tulisan yang dipaparkan Killias (2010) tersebut,

nota kesepahaman pada tahun 2006 belum memberikan dampak yang positif

terhadap kondisi TKI di sana, hal ini dilihat dari upah standar yang tidak

menguntungkan dan sifatnya tidak dapat dinegosiasikan kembali.

Berdasarkan dua nota kesepahaman yang ditandatangani antara Indonesia

dan Malaysia pada tahun 2004 dan 2006, penulis melihat bahwa masih adanya

kesepakatan yang merugikan salah satu pihak dalam hal ini Indonesia. Sebagai

(31)

Universitas Pertamina - 19 melakukan moratorium TKI ke Malaysia pada tahun 2009. Diakibatkan

kurangnya kesepakatan yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak,

kasus-kasus pun terus terjadi tanpa etikat untuk memperbaiki atau menanggulangi

kasus yang berhubungan antara TKI dan pihak pengguna jasa. Oleh sebab itu,

Indonesia dan Malaysia berusaha melakukan negosiasi dan mendorong

kesepakatan dalam nota kesepahaman pada tahun 2011. Dalam tulisan Nielsen

(2013) yang berjudul Wellbeing Among Indonesian Labour Migrants to Malaysia:

Implications of the 2011 Memorandum of Understanding, Malaysia berniat untuk

menerapkan amnesti bagi para Pekerja Migran Indonesia yang ilegal, selain itu

pekerja rumah tangga memiliki hak untuk menyimpan paspor mereka daripada

harus menyerahkannya kepada majikan mereka, dan itu menjamin mereka

mendapat libur mingguan. Namun yang menjadi sorotan penulis, terlepas dari

adanya perubahan arah kesepakatan yang menjadi lebih memberikan hak kepada

para pekerja, nota kesepahaman tersebut tidak menetapkan upah minimum dan

tetap membebankan biaya rekrutmen yang membuat pekerja semakin kesulitan

dalam membagi pendapatannya.

Sebagai negara yang memiliki surplus tenaga kerja, Indonesia perlu

memanfaatkan momentum ini secara bijak. Dengan adanya migrasi Tenaga Kerja

Indonesia ke luar negeri memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengurangi

pengangguran dan meningkatkan devisa dari valuta asing yang dibawa oleh para

TKI. Masyarakat Indonesia masih memiliki animo yang tinggi untuk menjadi TKI

dan ditempatkan di luar negeri khususnya Malaysia. Minat yang tinggi ini

seharusnya diselaraskan dengan mekanisme perlindungan yang baik.

(32)

pengaduan yang efektif, regulasi yang efektif dari berbagai agensi yang terlibat

dalam proses perekrutan. Tentunya hal ini akan membantu dalam pemberdayaan

pekerja di luar negeri dan melindungi hak-hak mereka. Jika kembali melihat

permasalahan yang dihadapi TKI di Malaysia sesuai dengan tulisan Kaur (2004),

Elias (2013) dan Joseph (2013), kedua negara masih memiliki urgensi untuk

memperbaiki regulasi pekerja migrannya. Terlebih kedua negara masih saling

membutuhkan, Indonesia mendapat pasar tenaga kerja, dan Malaysia mendapat

pekerja migran yang sesuai kebutuhannya. Upaya kedua negara dalam mengatasi

persoalan dilihat dari adanya upaya perbaikan nota kesepahaman dari tahun 2004,

2006 dan paling terakhir 2011.

Beberapa penulis yang menyoroti nota kesepahaman Indonesia dan

Malaysia terkait TKI, yang pertama Arifianto (2009) menyoroti kesepakatan

bilateral yang dijalin pada tahun 2004 dengan menetapkan prosedur formal untuk

perekrutan Tenaga Kerja Indonesia dan memperhatikan kondisi minimum kerja.

Lalu berangkat dari nota kesepahaman 2004, muncul nota kesepahaman baru pada

tahun 2006 yang dipaparkan oleh Killias (2010), pada nota kesepahaman ini,

majikan wajib menandatangani kontrak dengan pekerja rumah tangga sehingga

majikan wajib memberi hak dasar pekerja rumah tangga, lalu nota kesepahaman

yang terakhir pada tahun 2011, dibahas oleh Nielsen (2013) pekerja rumah tangga

berhak memegang paspornya dan juga pemberian amnesti bagi para pekerja

ilegal. Ketiga penulis, Arifianto (2009), Killias (2010), dan Nielsen (2013), juga

turut menyoroti bagaimana nota kesepahaman yang ada masih memiliki

kekurangan, sehingga memiliki kecenderungan untuk merugikan salah satu pihak.

(33)

Universitas Pertamina - 21 dalam bentuk nota kesepahaman yang disepakati dua belah pihak, tulisan-tulisan

yang membahas nota kesepahaman memiliki relevansi dengan topik penelitian

yang dimana tulisan tersebut menjelaskan bagaimana dalam praktiknya nota

kesepahaman tersebut berjalan dan juga implikasi nya terhadap kondisi Tenaga

Kerja Indonesia di Malaysia, meskipun ketiga tulisan belum secara komprehensif

membahas mengenai pekerja migran yang berstatus ilegal.

Berdasarkan tinjauan literatur yang ditemukan oleh penulis, para akademisi

masih tergolong jarang yang menyoroti persoalan TKI ilegal di Malaysia dilihat

dari segi nota kesepahaman atau kesepakatan bilateral yang dijalin antara

Indonesia dengan Malaysia. Masih banyak yang berfokus pada fakta di lapangan.

Nota kesepahaman yang dijalin antara Indonesia dan Malaysia masih terbatas dari

tahun 2004, 2006 lalu 2011. Dimana nota kesepahaman tersebut berakhir masa

berlakunya pada tahun 2016. Namun kenyataannya nota kesepahaman yang

selama ini ada belum dapat mengakomodir perlindungan atau menyelesaikan

persoalan TKI ilegal di Malaysia. Penulis melihat beberapa literatur belum

menyoroti secara spesifik bagaimana nasib ataupun hak pekerja yang menyandang

status ilegal, padahal seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat

beberapa alasan yang mendasari Ppkerja migran berakhir menjadi ilegal di negara

penempatan, seperti sulitnya birokrasi dan ketidaktahuan informasi, membuat

mereka pada akhirnya tidak berdokumen resmi. Dalam nota kesepahaman yang

selama ini sudah berjalan, belum terlihat dimana letak perlindungan maupun hak

bagi para Tenaga Kerja Indonesia yang berstatus ilegal. Oleh sebab itu, penulis

mencoba menelaah pengaruh kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia

(34)

2018, terlebih dengan berakhirnya nota kesepahaman terkait TKI di Malaysia

pada tahun 2016 yang lalu.

1.4 Kerangka Pemikiran 1.4.1 Interdependensi

Interdependensi didefinisikan sebagai efek resiprokal antar aktor yang

dihasilkan dari perputaran transaksi internasional termasuk barang dan jasa yang

pergerakannya lintas batas negara (Keohane, 1989). Interdependensi juga

mengacu pada tingkat interaksi serta hasil interaksi, semakin intens tingkat

interaksi maka akan berdampak pada hasil interaksi yang menentukan

interdependensi (Keohane, 1989). Interdependensi yang terjadi antar negara dapat

semakin meningkatkan intensitas interaksi yang lebih kooperatif. Meningkatnya

interdependensi antar negara disebabkan adanya berbagai macam isu global yang

sifatnya semakin lintas batas negara. Interdependensi melibatkan hubungan yang

didalamnya terdapat preferensi dari masing-masing aktor (Folker, 2013). Adanya

interdependensi yang diserta kepentingan yang bersifat lintas batas negara

membuat interaksi antar negara semakin meningkat dan hal tersebut akan

memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara (Keohane,

1989). Interdependensi yang terjadi dapat digunakan untuk mengalisis politik

internasional dengan berupaya memahami keinginan negara untuk bekerja sama

dengan negara lain dibawah kondisi yang saling ketergenatungan (Keohane,

1989). Dengan adanya interdependensi maka memberikan insentif bagi negara

untuk terus bekerja sama satu sama lain (Keohane, 1984). Ketika negara saling

(35)

Universitas Pertamina - 23 kekuatan ataupun posisi tawar-menawar atas suatu permasalahan (Keohane,

1989).

Dalam hubungan yang saling ketergantungan, melibatkan interaksi yang

bersifat formal maupun informal antara elit pemerintah serta masyarakat

(Keohane, 1989). Interdependensi mendorong isu di area non-militer untuk masuk

ke dalam agenda penanganan bersifat penting antar negara. Hubungan

interdependensi yang terjadi antar negara direspon menggunakan kekuatan non

militer, karena dampak yang ditimbulkan dari pengerahan kekuatan milter akan

memakan biaya lebih mahal dan memiliki ketidakpastian yang tinggi (Keohane,

1989). Semenjak isu non militer menjadi penting bagi negara, interaksi yang

terjadi semakin meningkat dan mendorong hubungan yang interdependensi. Isu

area non militer memiliki potensi besar untuk dibahas dalam kerangka yang lebih

kooperatif diantara negara-negara (Keohane, 1984).

1.4.2 Kerja Sama Bilateral

Negara-negara memiliki kepentingan bersama dalam mengatasi suatu isu

atau permasalahan, tidak terkecuali terkait pekerja migran, seperti yang

dipaparkan sebelumnya bahwa isu low politics berpotensi untuk menjadi dasar

negara menjalin kerja sama yang lebih intens. Artinya, interdependensi yang

semakin meningkat di isu low politics dalam hal ini adalah pekerja migran,

menuntut adanya kerja sama antar negara yang saling berkepentingan. Atas dasar

interdependensi inilah, timbul kerja sama antar negara, tidak terkecuali yang

bersifat bilateral. Menurut William D. Coplin (1971) interaksi dari sebuah upaya

(36)

bilateral, negara-negara sepakat bahwa ada sebuah permasalahan bersama yang

dihadapi meskipun dimungkinkan masing-masing pihak terkait menawarkan

pemecahan masalah yang berbeda-beda dan dihadapkan dengan kepentingan yang

berbeda dari masing-masing pihak. Dengan adanya upaya pemecahan suatu

masalah secara kolektif hal ini juga mendorong adanya identifikasi suatu

permasalahan yang dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang. Dengan adanya

kerja sama bilateral, negara-negara berusaha memecahkan masalah yang berkaitan

dengan masalah sosial, ekonomi dan politik, termasuk dalam hal ini pekerja

migran.

Pekerja migran merupakan aspek penunjang bagi masing-masing negara,

baik negara tersebut penerima ataupun pengirim. Dengan adanya kondisi tersebut,

maka mendorong intensitas interaksi kerja sama bilateral antara kedua negara.

Kerja sama bilateral yang dalam kesepakatannya dapat menghasilkan suatu

peraturan memungkinkan adanya penyatuan sumber daya dari pihak-pihak terkait

guna memecahkan masalah bersama tersebut, dan hal ini dapat meningkatkan

efisiensi dari sebuah kerja sama dalam praktiknya. Mengingat kondisi sumber

daya negara tidaklah sama, maka kekurangan dalam hal sumber daya dapat diatasi

dengan tindakan kolektif berupa kerja sama bilateral. Dalam tulisan William D.

Coplin jika kerja sama dijalin secara bilateral, maka dalam prosesnya akan

melibatkan policy influencers dan para pengambil keputusan utama di kedua

negara dalam mengidentifikasi masalah bersama yang sifatnya spesifik. Dalam

meningkatkan urgensi kasus pekerja migran ilegal agar dibawa ke level negara,

policy influencers memiliki pengaruh dalam proses pembuatan kesepakatan

(37)

Universitas Pertamina - 25 memecahkan masalah bersama tersebut. Serta pengambil keputusan utama di titik

beratkan pada kepala negara yang tentunya turut mengidentifikasi permasalahan

terkait pekerja migran ilegal.

Kerja sama juga menuntut koordinasi kebijakan masing-masing negara yang

bekerja sama, hal ini ditujukan untuk mengurangi ketidakefektifan dari suatu kerja

sama. Dalam hal pekerja migran, hal ini tentunya menuntut adanya upaya kerja

sama yang intensif antara negara penerima dan negara pengirim untuk mencegah

penyalahgunaan pekerja migran menjadi kejahatan lintas negara seperti

perdagangan manusia. Dalam tulisan K.J Holsti turut dipaparkan objektif suatu

negara dalam melakukan kerja sama yang sifatnya lintas negara:

“Governments cooperate for the primary and essential reason of

reducing costs, coordinating and regulating common threats or problems, policy harmonization, and increase communication to develop means of conducting predictably peaceful relationships” (Holsti, K. J, 1995).

Berangkat dari tulisan tersebut, maka kerja sama yang terjadi antar aktor

ditujukan untuk bisa merealisasi tujuan masing-masing negara yang bersangkutan

dalam menyelesaikan masalah bersama, meningkatkan komunikasi sehingga

mampu menjaga hubungan dan persahabatan antar negara melalui upaya

koordinasi kebijakan. Keputusan yang dihasilkan melalui negosiasi dalam

hubungan kerja sama dibuat dengan mempertimbangkan kondisi domestik

masing-masing pihak yang terlibat.

Kerja sama muncul karena adanya kebutuhan masing-masing negara yang

hendak diwujudkan. Kerja sama di sisi lain juga butuh untuk dipelihara oleh

negara-negara dan dilakukan sebuah pengaturan regulasi yang jelas, agar kerja

(38)

menuliskan bahwasanya kerja sama internasional merupakan sebuah kesepakatan

akan suatu masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka membantu

negara mencapai kepentingannya. Kerja sama internasional dibutuhkan mengingat

adanya hubungan antarnegara yang bersifat interdependensi dan membutuhkan

sebuah wadah pengaturan dalam menjalankannya.

Oleh sebab itu penulis menggunakan konsep kerja sama bilateral dalam

mengidentifikasi interaksi antara dua negara, dalam menangani permasalahan

pekerja migran ilegal. Mengingat urgensi persoalan pekerja migran yang semakin

rentan maka perlunya komitmen kedua negara untuk meminimalisir efek negatif

dari persoalan pekerja migran dan mencegah persoalan tersebut berdampak ke

hubungan diplomatik dan persahabatan antar negara tetangga.

Adanya landasan pemikiran yang mendorong meningkatnya intensitas

interaksi yang bersifat interdependensi menjadikan motivasi bagi negara untuk

membahas suatu permasalahan dalam kerangka kerja sama yang dijalin secara

bilateral. Kerja sama antar negara yang dijalin secara bilateral antara Indonesia

dan Malaysia dalam konteks pembahasan isu pekerja migran ilegal salah satu

tujuannya adalah untuk mengakomodir hak TKI sebagai pekerja migran dan tidak

hanya berfokus pada upaya menjaga kepentingan nasional masing-masing.

Meskipun masing-masing negara memiliki preferensi dalam menjalin kerja sama,

namun dalam menyelesaikan persoalan pekerja migran, negara dalam hal ini

mempunyai peran vital dalam menghadirkan berbagai upaya perlindungan bagi

(39)

Universitas Pertamina - 27

 Skema Kerangka Pemikiran

Dalam menyusun skema pemikiran di atas, Indonesia dan Malaysia

melakukan kerja sama diawali dengan adanya interdependensi dari kedua negara

yang didukung oleh faktor penarik dan faktor pendorong yang datang dari

masing-masing domestik. Kemudian kedua negara berupaya untuk

mengidentifikasi permasalahan mengenai TKI ilegal yang banyak menjadi korban

penganiayaan di Malaysia. Berangkat dari identifikasi permasalahan tersebut,

Indonesia dan Malaysia berunding terkait solusi yang hendak diambil atas

permasalahan TKI ilegal di Malaysia, perundingan terkait masalah tersebut

dilakukan dalam kerangka sama antar negara yang sifatnya bilateral dengan

bentuk implementasi kerja sama bilateral berupa memorandum of understanding

sebagai instrumen hukum formal yang mengikat kedua belah pihak, kemudian

menjalin koordinasi antar lembaga teknis di wilayah perbatasan yang rentan akan

pergerakan TKI ilegal, dan kemudian membentuk Joint Task Force (JTF).

Masing-masing bentuk kerja sama bilateral tersebut digunakan untuk

Indonesia Malaysia

Problems: Illegal Migrant Workers

Action: Bilateral cooperation

Interdependensi

Implementation of bilateral cooperation: Memorandum of Understanding Coordination between stakeholders Joint Task Force

(40)

menganalisis upaya kedua negara sebagai pihak yang saling interdependensi

untuk tetap memenuhi kepentingannya sebagai negara pengirim dan negara

penerima TKI. Dalam menjalin kerja sama bilateral, ditemui beberapa hambatan

yang dapat mengurangi optimalisasi kerja sama bilateral, namun selain itu, kerja

sama bilateral tetap dilakukan kedua negara untuk menjaga hubungan yang

harmoni dan merealisasi tujuan-tujuan yang telah disepakati. Penulis berfokus

pada analisis implementasi kerja sama bilateral yang dijalin kedua negara serta

keterkaitannya dengan kasus TKI ilegal khususnya pada tahun 2015 hingga 2018 ,

serta faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hubungan yang bersifat

interdependensi antar kedua negara.

1.5 Metodologi 1.5.1 Desain Penelitian

Dalam meneliti topik penelitian penulis, penulis menggunakan metodologi

penelitian kualitatif. Menurut Cresswell (2013), penelitian kualitatif merupakan

sebuah pendekatan untuk mengekspolorasi dan memahami makna yang berkaitan

dengan fenomena sosial. Tujuan penelitian kualititatif ialah berusaha untuk

menemukan makna, proses dan konteks suatu peristiwa sosial yang sedang

diamati. Penelitian kualitatif lebih bersifat eksploratif, sehingga tujuan penulis

menggunakan metode ini adalah untuk dapat memberikan penjelasan secara rinci

dan lengkap terhadap topik penelitian.

1.5.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam topik penelitian ‘Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia terhadap Penanganan Kasus TKI Ilegal di Malaysia pada Kurun Waktu

(41)

2015-Universitas Pertamina - 29 2018’ metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah bersumber dari dokumen, arsip, laporan, dan informan. Kemudian teknik pengumpulan data

yang dilakukan oleh penulis adalah studi pustaka dengan menganalisis buku,

jurnal, artikel penelitian terkait, serta wawancara dengan narasumber yang relevan

dalam hal ini BNP2TKI. Penelitian penulis akan berfokus pada permasalahan TKI

ilegal dengan wilayah penempatan di Malaysia khususnya pada kurun waktu 2015

hingga 2018. Lokasi penelitian penulis akan dilaksanakan salah satunya di

BNP2TKI, serta Kementerian Luar Negeri yang berkaitan dengan penempatan

dan perlindungan TKI, hal ini penulis lakukan untuk memberikan batasan pada

penelitian penulis, sehingga penelitian akan memiliki analisis yang tajam.

1.6 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.6.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai kerja sama bilateral

yang dijalin Indonesia dan Malaysia dalam mengatur dan mengelola keberadaan

TKI khususnya TKI ilegal serta mengetahui solusi yang diambil sebagai jalan

tengah kepentingan Indonesia dan Malaysia dalam menangani kasus-kasus TKI

ilegal yang berada di Malaysia.

1.6.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan tambahan untuk

melakukan evaluasi di bidang perlindungan dan penempatan TKI di Malaysia,

(42)

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai

berikut

BAB I: PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka,

kerangka pemikiran, metodologi dan tujuan serta manfaat penelitian.

BAB II: PROBLEMATIKA TKI ILEGAL DI MALAYSIA 2.1 Problematika TKI di Malaysia dari tahun 2015-2018

Subbab ini akan diawali dengan membahas gambaran umum mengenai

mekanisme perekrutan TKI, faktor TKI memilih Malaysia, menelaah faktor yang

mendorong terjadinya pergerakan TKI ilegal ke Malaysia, serta menjabarkan

kerentanan dan kasus TKI ilegal yang berada di Malaysia.

2.2 Strategi Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan TKI periode

2015-2018

Subbab ini berisi tentang upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi

TKI dari segi hukum normatif.

BAB III: KERJA SAMA INDONESIA MALAYSIA DALAM MENANGANI KASUS TKI ILEGAL DI MALAYSIA

3.1 Analisis Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia dalam Menangani TKI

Ilegal

Dalam subbab ini dibahas bentuk kerja sama bilateral kedua negara terkait

TKI yakni nota kesepahaman terkait perlindungan TKI di Malaysia. Lalu

membahas kondisi TKI ilegal di Malaysia pada tahun 2015 hingga 2018.

(43)

Universitas Pertamina - 31 Dalam subbab ini membahas implementasi kerja sama bilateral Indonesia

dan Malaysia serta hambatan yang ditemui selama menjalin kerja sama bilateral.

BAB IV: PENUTUP

Bab ini menjadi akhir dari bagian skripsi, yang berisi kesimpulan dari topik

(44)
(45)

Universitas Pertamina - 32

BAB II

PROBLEMATIKA TKI ILEGAL DI MALAYSIA

2.1 Problematika TKI Ilegal di Malaysia dari tahun 2015-2018

Permasalahan mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak luput dari

pekerjaan rumah Pemerintah Indonesia. Keberadaan Tenaga Kerja Indonesia

(TKI) yang bermigrasi ke luar negeri telah diatur oleh pemerintah melalui

kebijakan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di dalam dan ke luar negeri

oleh Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, dengan Nomor:

KEP/204/MEN/1999. Penempatan TKI ke luar negeri merupakan upaya alternatif

bagi negara untuk mengatasi masalah pengangguran dan minimnya lapangan kerja

di dalam negeri. Penempatan TKI di luar negeri diatur mekanismenya oleh

pemerintah ke negara tujuan dengan ketentuan yang tertuang di dalam pasal 3

KEP/204/MEN/1999:

a. negara tujuan memiliki peraturan perlindungan tenaga kerja asing,

b. negara tujuan membuka kerja sama bilateral dengan negara Indonesia di

bidang penempatan TKI

c. keadaan di negara tujuan tidak membahayakan keselamatan TKI

Langkah pemerintah melalui kebijakan ini ditujukan untuk dapat

mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta

meningkatkan devisa negara. Dalam regulasi yang sudah dibuat tersebut,

penempatan TKI dilakukan oleh lembaga pelaksana, antara lain Perusahaan Jasa

(46)

KEP/204/MEN/1999, diwajibkan dalam melakukan kegiatan penempatan TKI

untuk memiliki:

a. perjanjian kerja sama penempatan;

b. surat permintaan nyata TKI (job order) atas nama PJTKI yang

bersangkutan;

c. perjanjian penempatan TKI

d. perjanjian kerja

Dalam perjanjian kerja dengan TKI yang dimaksud diwajibkan memuat

jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan serta kondisi dan syarat kerja yang

meliputi antara lain; jam kerja, upah dan cara pembayarannya upah lembur, cuti

dan waktu istirahat, serta jaminan sosial.

Tujuan pembentukan kebijakan tersebut antara lain untuk meningkatkan

perlindungan kepada para calon TKI yang hendak bermigrasi ke luar negeri

dengan menggunakan jalur yang resmi (legal).

Penggunaan jalur resmi telah digencarkan promosinya oleh pemerintah

kepada para calon TKI yang akan bekerja di luar negeri. Digencarkannya promosi

menggunakan jalur resmi dapat berdampak pada keberadaan TKI di negara

penempatan yang akan memiliki kepastian hukum serta meminimalisir dampak

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang merugikan calon TKI.

Berdasarkan pada UU No. 39 Tahun 2004, pemerintah merilis tata

pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri. Pada bab V undang-undang tersebut

memuat mekanisme penempatan TKI di luar negeri dijelaskan bahwa,

penempatan TKI di luar negeri dapat dilakukan ke negara tujuan yang

(47)

Universitas Pertamina - 34

selain itu ditegaskan pada pasal 29, bahwa penempatan calon TKI dilaksanakan

dengan memperhatikan HAM, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan

kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional.

Berdasarkan hal tersebut maka perundang-undangan penempatan TKI di luar

negeri pada dasarnya diharuskan untuk memperhatikan nilai kemanusiaan (Pusat

Informasi Hukum Kementerian Luar Negeri, 2004). Mekanisme penempatan TKI

berdasarkan UU No.39 Tahun 2004 dimulai dari:

1. Pra penempatan TKI

Pra penempatan TKI meliputi proses pengurusan surat izin yang wajib

dimiliki oleh PJTKI meliputi; a. perjanjian kerjasama penempatan; b.

surat permintaan TKI dari pengguna; c. rancangan perjanjian

penempatan; dan d. rancangan perjanjian kerja.

2. Perekrutan dan seleksi

Proses ini diawali dengan memberikan informasi kepada calon TKI

terkait dokumen yang diperlukan, hak dan kewajiban calon TKI, situasi

dan kondisi di negara tujuan serta tata cara perlindungan bagi TKI. Para

pencari kerja yang berminat ke luar negeri harus terdaftar pada instansi

pemerintah daerah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

3. Pendidikan dan pelatihan kerja

Setelah melalui proses perekrutan, calon TKI wajib memiliki sertifikat

kompetensi kerja, oleh sebab itu calon TKI berhak mendapatkan

pendidikan dan pelatihan kerja yang berisi pembekalan, memberi

pengetahuan terkait kondisi, situasi, budaya kerja, dan risiko kerja di

Gambar

Tabel 3.1 Data Kepulangan TKI ilegal 2015-2018 ..............................................

Referensi

Dokumen terkait

Hotel menu ini menunjukan beberapa hotel yang ada baik di kota Malang dan kota Batu, Data hotel yang ditampilkan juga sangat lengkap terdiri dari foto-foto hotel,

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk membuat model simulasi percepatan penjadwalan pengerjaan proyek pembangunan Hull Construction kapal LCU dengan

Penyajian materi di dalam aplikasi permainan yang mengenalkan tentang permainan tradisional panjat pinang telah berhasil dibuat dan berjalan sesuai dengan

Selain kepribadian yang kuat dan darah biru yang mengalir ditubuhnya, menjadi kekuatan untuk menanamkan kepercayaan dan memperluas pengaruh sebagai pemersatu, Pangeran

Terdapat beberapa faktor pencetus migren misalnya genetik, diet, hormonal, lingkungan dan stres.Salah satu faktor yang penting adalah stres.Ini dapat terjadi melalui hasil

Hasil uji hiptesis F menunjukkan bahwa secara simultan tidak terdapat pengaruh antara variable kepemimpinan transaksional dan motivasi terhadap kinerja dengan ukuran F

Kata dalam teks berita tersebut memiliki kesamaan makna atau penanda yaitu, merupakan tindak kejahatan kekerasan seksual yang berarti memiliki pertanda bahwa

Dari berbagai paparan di atas, jelas bahwa sumber daya manusia merupakan aset yang penting bagi organisasi atau lembaga pendidikan sehingga dibutuhkan pengelolaan