KERJA SAMA BILATERAL INDONESIA DAN
MALAYSIA TERKAIT PENANGANAN KASUS
TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) ILEGAL DI
MALAYSIA PADA KURUN WAKTU 2015-2018
LAPORAN TUGAS AKHIR
Oleh:
Anisa Rahmayuwati 106216007
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS PERTAMINA
2020
LEMBAR
PEBIYYATAAI\TDeqgar iai saya menyatakau bahwa tugas a}fiir berjudul
"Keril
Sama Bileterd Indorcrir dea Mdaysir Tertait Penengaau Karus Tcrage Kcrla Indonecia(TI(I)
tregrl dt Malaysia pade Kunrn Walrtu 2015-201E"ini
adalah benar-benEr merrryaka* hffiil kilr1la say* smdiri danti&k
maryau&rng mated ymg ditulis oleh orang lain kecuali telah dihttip sebagai referensi yang smbernyatslah dituli$lmn smara jelas eesuai deirgan kaidah pmlkan katye ilrniah.
Apabila dikemudian hari ditemukan
adanf
kecumngan dalam karla rnt, srya bers€dis merrerime $mksidri
Urivercias Pertanina seeuai de*grn pcnatur& yangberlaku.Demi
il-u
pemgetahum, saya menyettrjui mtuk me,mberikan kepfidr Universitas Pertamina hak bebas myalti noneksklustf (*on-wclusiveroyalty-free rtght) atas tugas al&ir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak
bebas
rolalti
nousksklusifini
Unive,rcitas Perfamina bertak mclryimpn,mengalih medialformat-kan, meugelola ilalam b€ofirk pangkatm data (database), me,rewat, dan me'ryftlikasikan tugas akhir saya selama tetry nrmmtumkan trarna eaya sebagai peuuliVpencipta dan sebagai pemilik hak crpta.
Demikian pernyataan ini sayabuat dengan sebeirrniya
Jakarta" 23 Dese,mber 2019
Yaug memburat pernyafaa
iv
ABSTRAK
Anisa Rahmayuwati. 106216007. Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia
Terkait Penanganan Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal di Malaysia Pada Kurun Waktu 2015-2018.
Penempatan TKI di luar negeri menjadi alternatif untuk mengurangi pengangguran bagi Pemerintah Indonesia. Malaysia merupakan negara penempatan yang paling banyak dipilih oleh TKI selama 3 tahun berturut-turut dari 2015 hingga 2018, selain itu jumlah TKI di Malaysia mengisi hampir setengah dari jumlah pekerja migran yang ada di Malaysia. Untuk menganalisis pergerakan TKI secara ilegal ke Malaysia, penulis menggunakan konsep interdependensi, serta kerja sama bilateral. Adanya faktor penarik dan faktor pendorong yang dapat menjelaskan munculnya interdependensi antara Indonesia dan Malaysia. Dalam kerangka kerja sama bilateral, Indonesia dan Malaysia memiliki insentif untuk berkoordinasi dalam mewujudkan regulasi yang mengatur perlindungan TKI. Bentuk implementasi kerja sama bilateral tersebut berupa MoU, koordinasi antar lembaga teknis, serta pembentukan Joint Task Force (JTF). Pada tahun 2016, MoU yang menjadi salah satu bentuk kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia terkait TKI sudah berakhir, hingga tahun 2018, belum ada kesepakatan baru yang dibuat. Oleh sebab itu, dalam menjalin kerja sama bilateral, Indonesia dan Malaysia menemui hambatan yang mempengaruhi optimalisasi implementasi kerja sama bilateral yang ada. Penulis menganalisis tulisan ini dengan tujuan untuk memahami serta menganalisis interaksi Indonesia dan Malaysia dalam upaya menangani permasalahan TKI ilegal serta hambatan yang ditemui. Penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif, dengan jenis data yang dianalisis adalah dokumen ataupun laporan dari lembaga resmi dan juga literatur terkait, serta in-depth interview dengan narasumber terkait.
Kata kunci: TKI Ilegal, Interdependensi, Kerja Sama Bilateral, Memorandum of Understanding (MoU).
ABSTRACT
Anisa Rahmayuwati. 106216007. Bilateral Cooperation Between Indonesia and
Malaysia in Handling Cases of Indonesian Illegal Migrant Workers (TKI) in Malaysia Between 2015-2018.
The placement of migrant workers abroad is an alternative to reducing unemployment problems for the Government of Indonesia. Malaysia is the most chosen placement country by TKI for 3 years from 2015 to 2018, besides that the number of TKI in Malaysia makes up almost half of the migrant workers in Malaysia. To analyze the movement of migrant workers illegally to Malaysia, the authors use the concept of interdependence, as well as bilateral cooperation. There are pull and push factors that can explain interdependence relations between Indonesia and Malaysia. In the framework of bilateral cooperation, Indonesia and Malaysia have incentives to coordinate in realizing regulations that regulate the protection of Indonesian migrant workers. Implementation of the bilateral cooperation it is, MoU, coordination between stakeholders, and establishment of Joint Task Force (JTF). In 2016, the MoU, which is a form of bilateral cooperation between Indonesia and Malaysia related to TKI, has ended, until 2018, no new agreements have been made. Therefore, in establishing bilateral cooperation, Indonesia and Malaysia encountered obstacles that influenced the optimization of the existing bilateral cooperation. The author analyzes this paper with the aim of understanding and analyzing the interactions of Indonesia and Malaysia in an effort to deal with the problems of illegal migrant workers and the obstacles encountered. The author uses qualitative research methodologies, with the type of data analyzed are documents or reports from official institutions and also related literature, as well as in-depth interviews with relevant sources.
Keywords: Indonesian Illegal Migrant Worker, Interdependence, Bilateral Cooperation, Memorandum of Understanding (MoU).
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini yang berjudul “Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia Terkait Penanganan Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal di Malaysia pada Kurun Waktu 2015-2018” merupakan salah satu syarat mencapai gelar S-1 Sarjana Hubungan Internasional, Universitas Pertamina.
Pemikiran penulis dalam menyusun skripsi ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih bagi literatur dibidang ilmu yang relevan, khususnya
bidang kerja sama bilateral, serta Hak Asasi Manusia (HAM), berikut dengan
bagaimana negara terkait merumuskan kebijakan pekerja migrannya yang menjadi
salah satu instrumen penting pembangunan bangsa. Selain itu, diharapkan skripsi
ini dapat mengisi celah kebaruan penelitian dibidang terkait, serta menjadi acuan
dan evaluasi bagi peneliti selanjutnya.
Penulis disatu sisi menyadari masih terdapat kekurangan dan kelemahan
yang ada selama penulisan skripsi ini, baik secara teknis maupun substansi. Atas
dasar ini penulis mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun dari
pembaca untuk semakin memperkaya keilmuan dari skripsi ini. Pada akhirnya,
penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
membacanya.
Jakarta, 23 Desember 2019
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR SINGKATAN ... x BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Tinjauan Pustaka ... 7 1.4 Kerangka Pemikiran ... 22 1.4.1 Interdependensi ... 22
1.4.2 Kerja Sama Bilateral ... 23
1.5 Metodologi ... 28
1.5.1 Desain Penelitian ... 28
1.5.2 Metode Pengumpulan Data ... 28
1.6 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 29
1.6.1 Tujuan Penelitian ... 29
1.6.2 Manfaat Penelitian ... 29
1.7 Sistematika Penulisan ... 30
BAB II PROBLEMATIKA TKI ILEGAL DI MALAYSIA ... 32
2.1 Problematika TKI Ilegal di Malaysia dari tahun 2015-2018 ... 32
2.2 Strategi Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan TKI periode 2015-2018 ... 47
BAB III KERJA SAMA INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM MENANGANI KASUS TKI ILEGAL DI MALAYSIA ... 59
3.1 Analisis Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia dalam Penanganan Kasus TKI Ilegal ... 59
3.2 Peranan kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia ... 76
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
viii
4.2 Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA ... 97 DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR SINGKATAN
Lambang/Singkatan Arti Keterangan
TKI Tenaga Kerja Indonesia
BNP2TKI Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
WNI Warga Negara Indonesia
BHI Badan Hukum Indonesia
MOU Memorandum of Understanding
PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
HAM Hak Asasi Manusia
JTF Joint Task Force
BP3TKI Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Universitas Pertamina - 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara,
Indonesia dan Malaysia juga melakukan hubungan bilateral yang mencakup
berbagai agenda yang disertakan skala prioritas tertentu. Hubungan bilateral yang
dijalin antara Indonesia dengan Malaysia juga mencakup bidang ketenagakerjaan.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sisi lain mampu memberikan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi negara. Dengan dihadapkan pada permasalahan
pengangguran, dan lapangan pekerjaan yang terbatas, menjadi TKI merupakan
pilihan agar bisa keluar dari jeratan pengangguran. Menjadi TKI di luar negeri
merupakan pilihan yang menarik bagi mereka yang ingin mencari penghidupan
yang lebih baik. Di sisi lain, untuk memperoleh pekerjaan secara layak di dalam
negeri belum dapat terpenuhi secara maksimal, karena kesempatan kerja yang
terbatas. Seiring berjalannya waktu peminat TKI yang ingin bekerja di luar negeri
semakin meningkat dan hal tersebut tentunya tidak terlepas dari para TKI yang
lebih memilih melalui jalur non prosedural atau ilegal agar bisa segera
mendapatkan pekerjaan.
Malaysia merupakan negara tujuan terbanyak bagi para TKI berdasarkan
pada data BNP2TKI. Per Desember 2018, penempatan TKI berdasarkan negara,
sebanyak 90.671 memilih Malaysia sebagai tempat bekerja (BNP2TKI, 2018).
Pada tahun 2015, jumlah TKI yang ditempatkan di Malaysia mencapai 97.635
Malaysia, dan di tahun 2017, jumlah penempatan TKI di Malaysia juga
mengalami peningkatan dengan total jumlah 88.991 (BNP2TKI, 2017).
Dengan tingginya angka tersebut tentunya tidak lepas dari berbagai
persoalan yang ditimbulkan. Negara berkewajiban untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan ketika para TKI bekerja di luar negeri. Pemerintah Indonesia telah
berupaya untuk mengurangi jumlah kekerasan dan berbagai pelanggaran terkait
TKI. Pemberian perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) dan
Badan Hukum Indonesia (BHI) pada dasarnya telah diamanatkan oleh UUD 1945
yang ketentuannya tertuang dalam UU Nomor. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, bahwa negara berkewajiban
melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri. Kemudian
undang-undang tersebut telah direvisi dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2017
tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia. Perumusan undang-undang baru
ini mempertimbangkan ketentuan Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990), yang sudah disahkan
sebelumnya oleh Indonesia pada tahun 2012 (Indonesia’s NGO Coalition for
International Human Rights, 2018). Adanya berbagai peraturan
perundang-undangan tersebut, seharusnya perlindungan terhadap WNI dalam hal ini juga
TKI diharapkan dapat terjamin secara maksimal.
TKI ilegal menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi pemerintah Indonesia
dalam pengelolaan migrasi. Adanya kekurangan pengelolaan dalam sistem
perekrutan dan perlindungan TKI, menyebabkan para pencari kerja di Indonesia
memilih jalur non prosedural yang berlaku, dan berakhir menjadi TKI ilegal di
Universitas Pertamina - 3 Ketidaktahuan TKI tentang prosedur perekrutan yang benar juga turut menjadi
faktor maraknya jumlah TKI ilegal (IOM, 2010). TKI ilegal memiliki
kecenderungan mendapatkan perlakuan yang tidak berperikemanusiaan dalam
bekerja ditambah secara dokumen tidak memiliki dokumen resmi sehingga
berisiko tidak mendapatkan perlindungan dan pelayanan dari KBRI setempat. TKI
ilegal cenderung terisolasi dan membuat mereka rentan terhadap pelecehan fisik
dan seksual, menjadi korban kerja paksa, serta perdagangan manusia. Berbagai
upaya turut dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang terkait dengan TKI ilegal, dimulai dari proses perekrutan hingga
penempatan, pemerintah terus berusaha untuk mengoptimalkan perannya dalam
memberikan perlindungan kepada TKI (Firdausy, 2006).
Pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk segera melakukan
perundingan dengan Malaysia dalam menghadapi permasalahan TKI ilegal yang
terjadi. Perundingan masalah tersebut mendorong terjadinya kerja sama bilateral
antara Indonesia dan Malaysia, kerja sama bilateral dilakukan agar tercipta
koordinasi kebijakan antar pemerintah, maupun menghasilkan nota kesepahaman
yang kemudian mengikat kedua belah untuk mematuhinya. Indonesia dan
Malaysia sebelumnya sudah menandatangani perjanjian kerja sama atau
Memorandum of Understanding (MoU) penempatan TKI (MoU) pada tahun 2004
(Killias, 2010). Selain itu terdapat nota kesepahaman antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Malaysia yang ditandatangani di Bali pada tahun 2006,
mengenai perekrutan dan penempatan pekerja domestik Indonesia yang bertujuan
untuk mengembangkan kerja sama antara pihak-pihak pengguna jasa dan penata
Pekerja Rumah Tangga Republik Indonesia (Killias, 2010). Pada tahun 2011,
Indonesia dan Malaysia menandatangani MoU lanjutan dan Malaysia
berkomitmen untuk meningkatkan situasi kerja yang lebih positif dan menjamin
hari libur bagi para pekerja (Elias, 2013). Namun MoU pada tahun 2011 ini
merupakan MoU terakhir yang disepakati kedua negara, setelah MoU tersebut
berakhir di tahun 2016, kedua pemerintah belum mendiskusikan kembali terkait
perpanjangan atau membuat MoU baru hingga tahun 2018 berjalan.
MoU memainkan peranan untuk menomorsatukan perlindungan bagi TKI
yang dapat dilakukan melalui tindakan dan kesepakatan bilateral. Poin-poin dalam
nota kesepahaman yang dibahas adalah mengenai perlindungan dan penanganan
TKI yang tidak memiliki dokumen resmi atau dalam hal ini ilegal (Nielsen, 2013).
Kementerian Luar Negeri terus berupaya menegaskan kembali MoU sebagai
payung hukum untuk perlindungan WNI di negara dengan permasalahan kasus
TKI terbanyak yakni Malaysia (Kementerian Luar Negeri, 2018). Sehingga
negara wajib melakukan pengawasan terkait MoU tersebut agar perlindungan
terhadap TKI dapat berjalan maksimal. Kerja sama penempatan dan perlindungan
TKI di Malaysia tidak terlepas dari berbagai kendala terkait kondisi dan sistem
ketenagakerjaan kedua negara. Bentuk kerja sama apapun seharusnya memiliki
aturan yang jelas, sehingga kesepakatan yang telah disetujui tidak merugikan
salah satu pihak.
Berkaitan dengan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia,
tentunya perlu memperhatikan komponen pendukung dalam pembaruan nota
kesepahaman seperti memperhatikan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2017
Universitas Pertamina - 5 Tenaga Kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri seperti Malaysia.
Disadari bahwa kedua negara merupakan bagian dari ASEAN, maka pembaruan
nota kesepahaman selanjutnya juga mengacu pada prinsip-prinsip yang secara
tegas tercantum dalam ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers (ASEAN Secretariat, 2018). Dengan begitu, kedua
negara perlu berkolaborasi untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah
dan menyelesaikan segala kasus terkait keberdaan pekerja migran ilegal,
khususnya TKI yang memiliki aliran migran terbesar di Malaysia. Hal ini
ditujukan untuk menunjang keselamatan, kesejahteraan serta keadilan bagi para
pekerja migran. Dalam kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia terkait
TKI ilegal, perlunya perhatian terhadap agen atau pihak ketiga yang melakukan
perekrutan TKI dengan maksud menghilangkan jalur-jalur tidak berdokumen
resmi dan memastikan bahwa proses perekrutan mematuhi hukum, peraturan dan
kebijakan yang berlaku (Wong, 2006).
Beberapa kasus yang menjadi perhatian penulis adalah kasus Adelina Lisao,
TKI asal Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang meninggal di Penang pada
tahun 2018 akibat dugaan tindakan majikannya yang diluar perikemanusiaan
(CNN Indonesia, 2018). Selain itu kasus pada tahun 2017 yang merupakan masa
transisi pasca berakhirnya Memorandum of Understanding (MoU) yang
disepakati kedua negara, masih timbul kasus penganiayaan TKI. TKI asal Cirebon
Jubaedah, diduga kuat meninggal karena mengalami trauma fisik akibat
penganiayaan berat oleh majikannya di Malaysia (KOMPAS, 2017). Pada
Desember 2016, kasus TKI Suyanti asal Sumatera Utara mencuat lantaran Suyanti
lebam di kedua matanya (VOA, 2018) Suyanti masuk melalui jalur ilegal di Port
Klang yang merupakan jalur masuk utama melalui laut wilayah Malaysia. Tahun
2015, TKI asal Kalimantan Barat, Nurjanah, menjadi korban penyiksaan majikan,
salah satu perlakuan yang diterima oleh Nurjanah adalah kedua matanya ditusuk
menggunakan jari tangan dan cabai, Nurjanah juga tidak mendapatkan gaji
(Liputan 6, 2015).
Oleh sebab itu, dihadapkan dengan berbagai kondisi TKI Indonesia di
Malaysia, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kerja sama dengan
pemangku kebijakan di dalam negeri maupun di negara tujuan dan juga
memperketat pengawasan serta evaluasi di setiap tahapan dimulai dari perekrutan,
penempatan dan pelaksanaan. Selain itu pentingnya evaluasi dari kerja sama
bilateral yang sudah dijalin agar regulasi atau nota kesepahaman yang sudah
dibuat, dapat diterapkan secara maksimal dan meminimalisir terjadinya
kasus-kasus penganiayaan yang menimpa TKI ilegal di Malaysia. Pemerintah melalui
lembaga-lembaga yang berwenang, dan juga perwakilan negara di berbagai
negara tujuan khususnya Malaysia, berfokus pada upaya diplomasi dan membahas
secara bilateral terkait persoalan-persoalan TKI, dengan melibatkan berbagai
entitas selain pemerintahan di Malaysia, juga dengan diaspora Indonesia yang ada
di Malaysia agar penanganan kasus-kasus terkait TKI ilegal tidak kembali
terulang.
Penulis mengangkat topik ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana
pengaruh kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia yang sudah dijalin dalam
menangani permasalahan TKI ilegal yang terjadi di Malaysia khususnya pada
Universitas Pertamina - 7 perlindungan hak TKI sudah berakhir dan belum diperpanjang lagi hingga tahun
2018. Berkaitan dengan nota kesepahaman yang berakhir tersebut maka akan
berdampak pada penempatan TKI dan hal lainnya yang menunjang keberadaan
TKI di Malaysia. Selanjutnya topik yang diangkat penulis diharapkan
memberikan gambaran terkait permasalahan TKI ilegal di Malaysia dan
mengevaluasi kerja sama bilateral yang sudah dijalankan Indonesia-Malaysia
dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Diharapkan upaya pemerintah
Indonesia sebagai otoritas yang wajib memberikan perlindungan bagi warga
negaranya dapat berjalan dengan maksimal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan pertanyaan
penelitian: Bagaimana pengaruh kerja sama bilateral Indonesia dan Malaysia
terkait penanganan kasus TKI ilegal di Malaysia pada kurun waktu 2015-2018?
1.3 Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa akademisi yang membuat tulisan mengenai pekerja
migran, dan juga beberapa diantaranya membahas secara spesifik mengenai
Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia. Pada studi pustaka ini,
peneliti menemukan banyak tulisan yang membahas bagaimana pekerja migran,
khususnya Tenaga Kerja Indonesia menjadi salah satu aspek penting bagi negara,
dan tidak sedikit tulisan yang membahas permasalahan TKI yang ditempatkan di
berbagai negara lain, termasuk Malaysia, serta bagaimana kedua negara
Pekerja migran dikategorikan menjadi dua jenis, yang pertama pekeja
migran dengan keterampilan tinggi, dan yang kedua merupakan pekerja migran
yang berketerampilan rendah. Jurnal yang ditulis oleh Amarjit Kaur (2004)
berjudul The Global Labour Market: International Labour Migration in Southeast
Asia Since the 1980s, menjelaskan bahwa untuk pekerja migran yang tergolong
berketerampilan rendah, cenderung ditempatkan di sektorn gra-sektor domestik
sepeti Pembantu Rumah Tangga (PRT). Sehingga jika dikaitkan dengan topik
penulis, Indonesia sebagai negara berkembang masih didominasi oleh golongan
pekerja migran dengan keterampilan rendah. Hal tersebut tidak lepas dari kondisi
Indonesia yang masih dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang belum
stabil, mendorong masyarakatnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Brown (1994) dalam bukunya yang berjudul Introduction: Migration - The Asian
Experience menjelaskan bahwa migrasi yang terjadi di Asia menjadi sebuah
momentum penting bagi negara-negara di Asia terlebih dalam pembangunan
ekonominya. Melalui pendapat Brown dapat dilihat bahwa latar belakang
ekonomi menjadi salah satu pendorong migrasi di Asia sehingga seseorang
memilih menjadi pekerja migran yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Migran yang berstatus ilegal menduduki dasar hierarki dari perlindungan
hak asasi manusia. Negara-negara berusaha membuat kebijakan migrasi bagi para
migran ilegal, hal ini ditujukan untuk menekan jumlah migran ilegal yang masuk
ke negara dan berakhir menjadi beban bagi anggaran perekonomian negara.
Morris (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Changing Border Control Regimes
and their Impact on Migration in Asia, melihat bahwa migran ilegal merupakan
Universitas Pertamina - 9 kesejahteraan, minim terdengar sauaranya dan mereka dapat dideportasi kapan
saja. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pekerja migran ilegal
tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja migran, di sisi lain negara-negara
terus berupaya membatasi jumlah pekerja migran ilegal. Hal ini memiliki
relevansi dengan topik penulis, dengan melihat kondisi pekerja migran ilegal yang
jarang tersuarakan hak nya serta rentan tidak mendapatkan perlindungan HAM,
memerlukan upaya dari negara untuk mengatasi kondisi ini.
Pekerja migran tentu erat kaitannya dengan kebijakan luar negeri sehingga
penting bagi negara untuk mempertimbangkan isu – isu sosial termasuk isu
perempuan yang kerap menjadi korban dari pekerja migran ilegal dan lebih lanjut
lagi menjadi korban perdagangan manusia. Tentunya keberadaan pekerja migran
ini tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah, akan tetapi NGO atau
Lembaga Swadaya Masyarakat bisa terlibat dalam rangka merespons kondisi yang
dialami oleh pekerja migran khususnya yang ditempatkan di luar negeri.
Seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja migran tentunya dengan harapan
untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dalam proses menjadi pekerja
migran, seseorang harus mengikuti prosedur yang ada sejak proses perekrutan
hingga penempatan.
Pekerja migran sering tidak terdengar suaranya, hal ini dikarenakan
beberapa alasan. Mereka tidak tahu hak mereka di negara asing; mereka tidak
berbicara bahasa negara itu untuk secara efektif membawa kasus mereka ke pihak
berwenang; mereka takut untuk maju karena takut ada ancaman yang lebih keras
dari pihak pengguna jasa mereka dan, mereka memiliki ketakutan lebih jika hak
memberikan advokasi. Menurut Battistella (1993) advokasi berarti menyuarakan
hak-hak pekerja migran dan membuat persoalan pekerja migran menjadi sesuatu
yang terlihat dan menjadi perhatian global. Seperti apa yang disampaikan
Battistella (1993) dalam jurnalnya yang berjudul The Human Rights of Migrant
Workers: Agenda for NGOs, maka fungsi NGO ini yang kemudian berusaha
menyuarakan hak-hak pekerja migran. Dalam memperjuangkan hak-hak pekerja
migran, akan lebih baik jika kerangka internasional dalam hal ini konvensi ILO
misal, dilibatkan dalam proses mereka menyuarakan hak pekerja migran. Dalam
topik ini penulis melihat sebuah keterkaitan, dimana pekerja migran merupakan
bidang ketenagakerjaan yang dapat melibatkan berbagai macam aktor dalam
praktiknya.
Keberadaan pekerja migran ilegal di Asia dalam hal ini di Jepang misal,
menjadi fokus tersendiri bagi pemerintah negaranya untuk mengkonsolidasikan
upaya-upaya yang melibatkan pemerintahan lainnya, Morris (2006) memaparkan
bahwa Jepang membuat kebijakan migrasi ilegal dengan salah satu contoh
upayanya membangun kerja sama bilateral dengan negara-negara di perbatasan
untuk menekan angka pekerja migran ilegal yang masuk ke Jepang. Jika
dikorelasikan dengan kondisi yang dihadapi Indonesia sesuai dengan topik
penulis, penulis melihat perlunya memperkuat hubungan antar negara yang
berbatasan langsung demi menekan angka pekerja migran ilegal yang masuk ke
masing-masing negara. Karena kebijakan dari masing-masing negara yang dapat
menjadi kerangka perlindungan bagi pekerja migran.
Berdasarkan kategori pekerja migran yang dipaparkan oleh Kaur (2004),
Universitas Pertamina - 11 kategori less skilled workers, yang kemudian memosisikan Pekerja Migran
Indonesia bekerja di sektor domestik khususnya Pembantu Rumah Tangga (PRT).
pekerja migran ilegal yang dijelaskan oleh Morris (2006) masih dalam kondisi
yang rentan, dengan kecenderungan perlakuan tidak manusiawi yang diterima
oleh para pekerja migran ilegal, menuntut adanya konsolidasi antar aktor, baik
aktor non negara maupun aktor negara. Aktor non negara dalam hal ini menurut
Battistella, dapat berperan dalam memberikan advokasi sehingga pekerja migran
dapat melalui proses rekrutmen yang sesuai aturan dan memahami hak-hak nya.
Negara berperan menjalin kerja sama dengan pemerintahan lain untuk menekan
arus pekerja migran ilegal. Tulisan Kaur (2004), Morris (2006), Battistella (1993),
dan Brown (1994) membantu penulis dalam melihat kondisi pekerja migran di
Asia meskipun tidak semua tulisan membahas secara spesifik mengenai pekerja
migran ilegal.
Di Asia Tenggara, pekerja migran dari negara berkembang memiliki insentif
yang kuat untuk bermigrasi ke negara yang berpenghasilan lebih tinggi, hal ini
dipaparkan oleh Kaur (2004). Sejalan dengan tulisan ini, Indonesia sebagai negara
berkembang memiki jumlah pekerja migran yang tinggi khususnya yang masuk
ke Malaysia. Namun tingginya biaya administrasi migrasi termasuk pembayaran
ke perantara dan agen tenaga kerja dan adanya kuota bagi tenaga kerja
berketerampilan rendah mengakibatkan banyak Pekerja Migran Indonesia masuk
ke jalur ilegal untuk dapat ditempatkan di negara tujuan. Indonesia yang juga
mendominasi arus pekerja migran di Asia Tenggara menjadi sorotan tersendiri.
Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi penopang
yang berjudul Foreign Policy and the Domestic Worker, ini merefleksikan
cadangan devisa yang masuk ke dalam negeri yang dibawa oleh para Pekerja
Migran Indonesia. Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dan, bahkan
sebelum kondisinya diperparah oleh krisis yang terjadi di Asia pada pertengahan
1997, Indonesia adalah salah satu negara dengan surplus tenaga kerja terbesar di
dunia (Hugo, 2006). Dengan surplus tenaga kerja terbesar, Indonesia menjadi
salah satu negara dengan pekerja kontrak luar negeri tersebut. Elias (2013) dan
Hugo (2006) sepakat bahwa aliran Pekerja Migran Indonesia mendominasi aliran
tenaga kerja ke Malaysia. Hal ini kemudian relevan dengan topik penulis, dengan
melihat tingginya arus TKI yang berada di Malaysia namun tulisan tersebut lebih
berfokus pada fakta di lapangan dan tidak secara spesifik membahas kerangka
kerja sama bilateral kedua negara dalam menangani permasalahan TKI di
Malaysia sebagai dampak aliran Pekerja Migran Indonesia ke Malaysia.
Penulis menyoroti adanya beberapa alasan mengapa terjadi aliran Pekerja
Migran Indonesia ke Malaysia. Hugo (2006) dalam jurnalnya yang berjudul
Forced Migration in Indonesia: Historical Perspectives, memaparkan adanya
jaringan informal dari migrasi spontan yang menghubungkan Malaysia dan
Indonesia yang sudah ada sebelum tahun 1970-an. Hal ini menyebabkan
timbulnya hubungan historis dan budaya ini memainkan peran penting dalam
memfasilitasi migrasi dari Indonesia ke Malaysia. Selain faktor historis, Kaur
(2004) juga memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada
permintaan tenaga kerja yang meningkat, sehingga mengambil tenaga kerja dari
luar negeri merupakan pilihan dalam mengatasi permasalahan tersebut, hal ini
Universitas Pertamina - 13 pekerja migran. Penulis melihat korelasi faktor tersebut karena peningkatan akan
kebutuhan tenaga kerja di Malaysia dianggap sebagai sebuah peluang bagi
Indonesia, sehingga yang terjadi adalah arus migrasi semakin masif. Killias
(2010) dalam tulisannya yang berjudul ‘Illegal’ Migration as Resistance:
Legality, Morality and Coercion in Indonesian Domestic Worker Migration to Malaysia, turut memaparkan bahwa sebagian besar TKI yang ingin bekerja di luar
negeri masih memilih Malaysia sebagai negara penempatan hal ini karena
memiliki kedekatan dengan Indonesia, dari segi bahasa masih tergolong mirip
(Melayu), dan persyaratan yang relatif rendah dalam hal pendidikan, usia dan
penampilan fisik. Ketiga penulis Hugo (2006), Kaur (2004), dan Killias (2010)
menelaah beberapa faktor yang mendasari terjadinya aliran Pekerja Migran
Indonesia khususnya ke Malaysia, mulai dari faktor historis, kesamaan budaya,
kemudahan persyaratan, kedekatan geografis dan tingginya permintaan tenaga
kerja di Malaysia yang meningkat menjadi beberapa faktor yang kemudian dapat
memiliki signifikansi terhadap topik penelitian penulis dalam membahas
pergerakan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia.
Jika melihat Pekerja Migran Indonesia yang berada di Malaysia, menurut
Hugo (2006) menyatakan bahwa perempuan masih mendominasi beberapa aliran
tidak berdokumen atau ilegal. Baik laki-laki maupun perempuan, pada faktanya
Pekerja Migran Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan. Secara garis
besar, menurut Kaur (2004) terdapat 2 hal yang menjadi permasalahan, pertama
sistem perekrutan TKI yang akan ditempatkan di luar negeri banyak dihindari
oleh calon pekerja karena dianggap terlalu memakan waktu, rumit, mahal dan
proses yang berlapis. Kedua, TKI yang berada di luar negeri mengalami tindakan
kekerasan yang lebih tinggi dibanding banyak negara pengirim lainnya. Tindakan
kekerasan yang dialami berupa kekerasan fisik maupun seksual.
Dari kedua permasalahan yang dipaparkan Kaur (2004) tersebut dapat
dilihat bahwa rumitnya proses perekrutan TKI yang akan ditempatkan di luar
negeri membuat tingginya angka tenaga kerja ke luar negeri yang tidak
berdokumen. Pemerintah Indonesia perlu langkah tegas dalam menghadapi
masalah TKI ini, penulis melihat bahwa dari permasalahan yang dihadapi TKI
khususnya di Malaysia juga diakibatkan oleh kurangnya informasi yang akurat
tentang proses dan kondisi migran di negara tujuan. Pekerja rumah tangga
Indonesia khususnya yang berada di Malaysia mengalami perlakuan yang tidak
wajar, dalam buku Elias (2013) pemerintah Indonesia melakukan embargo
sebagai respon kemarahan domestik menanggapi berbagai kasus tindak kekerasan
yang diterima PRT Indonesia di Malaysia. Berangkat dari hal tersebut, penulis
melihat bahwa secara signifikan pekerja migran muncul sebagai masalah
kebijakan luar negeri yang urgensi untuk dibahas antara para pembuat kebijakan
luar negeri dan mengevaluasi kerja dari perwakilan diplomatik negara.
Berkaitan dengan topik yang penulis ambil, kemudian penulis menyoroti
kebijakan Malaysia mengenai pekerja migran. Menurut Wong (2006) dalam
tulisannya yang berjudul The Recruitment of Foreign Labour in Malaysia: From
Migration System to Guest Worker Regime, Malaysia sebagai negara yang
bergantung akan Tenaga Kerja Indonesia masih memiliki masalah dalam
merekonsiliasi kebutuhannya akan pekerja migran dengan kebijakan dalam
Universitas Pertamina - 15 ketenagakerjaan masih tergolong lemah yang berimplikasi pada kerentanan bagi
para pekerja migran berketerampilan rendah. Berangkat dari hal ini, penulis
melihat bahwa kebijakan yang dimiliki Malaysia memungkinkan para pekerja
asing untuk kehilangan status mereka secara hukum dan kebebasan mereka pun
turut dibatasi. Tulisan Wong (2006) memberikan gambaran bagi penulis
mengenai tata kelola kebijakan pekerja migran disana, yang secara kerangka
hukum masih cenderung merugikan negara pengirim. Meskipun tulisan Wong
(2006) belum secara spesifik menggambarkan upaya bilateral yang dilakukan oleh
Malaysia dengan negara pengirim pekerja migran.
Elias (2013) dan Joseph (2013) dalam tulisannya yang berjudul
Globalization, Social Justice, and Migration: Indonesian Domestic Migrant Workers in Malaysia, memaparkan bahwa para Pekerja Migran Indonesia yang
bekerja di Malaysia telah diakui sebagai tenaga kerja yang ‘murah’, mampu berkomunikasi dalam bahasa Malaysia, serta tersedia (bisa diminta bekerja) kapan
saja. Sehingga penulis melihat signifikansi dari keberadaan TKI ini memerlukan
koordinasi antara Malaysia dan Indonesia dalam pengambilan tindakan khusus,
sehingga kemudian dapat mendukung keberhasilan upaya kedua pemerintahan
dalam menyelesaikan kasus-kasus TKI khususnya TKI yang berstatus ilegal, agar
kepentingan dua negara ini bisa sama-sama tercapai.
Kondisi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia pada tahun 2002 yang
dipaparkan dalam tulisan Firdausy (2006) yang berjudul Indonesian Labour
Migration after the 1997–98 Asian Economic and Financial Crisis, menunjukkan
kondisi yang memprihatinkan terlebih dengan terjadinya deportasi massal sekitar
kemanusiaan yang memprihatinkan ketika mereka kembali ke daerah
masing-masing dengan kondisi fisik dan psikis yang tak berdaya serta perbekalan yang
tidak memadai akibat dari kebijakan Hire Indonesians Last yang dikeluarkan oleh
Malaysia. Penulis melihat, kebijakan seperti ini tentunya akan memengaruhi
kondisi TKI dan akan menimbulkan respons dari Indonesia terkait kebijakan yang
berujung merugikan Indonesia, seperti yang dipaparkan oleh Hugo (2006), penulis
sepakat bahwa kebijakan seperti ini tentunya mendiskriminasi pekerja Indonesia.
Dan kondisi-kondisi seperti ini perlu tindak lanjut dari kedua pemerintahan.
Tulisan-tulisan yang dibuat oleh Kaur (2004), Elias (2013), Wong (2006),
Joseph (2013), Hugo (2006), dan Firdausy (2006) memiliki signifikansi dengan
topik yang penulis angkat, khususnya ketika membahas kondisi Pekerja Migran
Indonesia yang tersebar di negara penempatan khususnya Malaysia, mulai dari
latar belakang yang mendorong munculnya masalah Pekerja Migran Indonesia
hingga keadaan yang dialami para TKI disana. Pekerja Migran Indonesia secara
garis besar seperti apa yang dipaparkan oleh Kaur (2004) menemui dua
permasalahan, yang pertama sistem perekrutan TKI yang cenderung rumit dan
memakan biaya serta waktu yang lebih menjadikan TKI banyak yang memilih
jalur ilegal agar bisa cepat bekerja, lalu permasalahan kedua adalah TKI menjadi
pekerja migran yang menerima kekerasan dengan angka yang lebih tinggi
dibanding negara pengirim lainnya. Selain permasalahan tersebut, Indonesia
masih perlu berbenah dalam memberikan informasi dan mengedukasi calon TKI
yang hendak ditempatkan, faktanya menurut tulisan Elias (2013) pemerintah
Indonesia pernah melakukan embargo TKI ke Malaysia yang dikarenakan adanya
Universitas Pertamina - 17 Menjadi penting bagi penulis untuk melihat kondisi Pekerja Migran Indonesia
yang berada di Malaysia khususnya. Kaur (2004) memaparkan bahwa Pekerja
Migran Indonesia masih menjadi sumber pekerja asing bagi beberapa negara
seperti Malaysia, Singapura dan Thailand, yang kemudian penulis berfokus pada
Malaysia sebagai topik penelitian.
Melihat dari sisi Malaysia, Malaysia secara domestik masih memiliki
masalah dalam mengatur kebijakan ketenagakerjaannya, hal ini dibenarkan oleh
Wong (2006), dalam tulisannya kebijakan ketenagakerjaan Malaysia bagi pekerja
migran masih tergolong lemah dan hal ini berdampak pada kondisi TKI disana
yang rentan tindak kekerasan dan pelecehan. Secara kerangka hukum, Wong
(2006) memaparkan bagaimana kebijakan rekrutmen pekerja migran di Malaysia
yang bisa membantu penulis dalam memberikan gambaran, namun di sisi lain
tulisan tersebut belum secara komprehensif membahas upaya bilateral antar
negara. Terlepas dari berbagai faktor yang ditulis oleh Elias (2013) dan Joseph
(2013) yang pada akhirnya membuat Pekerja Migran Indonesia masih dibutuhkan
oleh Malaysia, kondisi Pekerja Migran Indonesia disana masih memprihatinkan,
ditambah pada tahun 2002, menurut tulisan Firdausy (2006) TKI mengalami krisis
kemanusiaan akibat adanya deportasi massal di Malaysia bagi para TKI, hal
tersebut selaras dengan tulisan Hugo (2006) yang masih menyoroti adanya
kebijakan Malaysia yang cenderung merugikan Indonesia dan mendiskriminasi
TKI.
Berbicara mengenai kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia
terkait TKI yang menjadi topik penulis, Indonesia menjalin beberapa kesepakatan
Arifianto (2009) yang berjudul The Securitization of Transnational Labor
Migration: The Case of Malaysia and Indonesia, perjanjian bilateral berupa antara
Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 merombak perjanjian sebelumnya yang
diadakan di Medan, dengan menetapkan prosedur formal untuk perekrutan Tenaga
Kerja Indonesia dan memperhatikan kondisi minimum kerja. Namun penulis
melihat dalam tulisan tersebut, perjanjian bilateral tidak mencakup sektor
domestik padahal sektor domestik kerap menerima kekerasan yang lebih parah
dan jarang mendapatkan perlindungan. Hal tersebut didukung dengan belum
dihapuskannya kebijakan mengenai hak majikan yang berhak memegang paspor
pekerja dan membatasi mereka berinteraksi dengan dunia luar termasuk serikat
pekerja. Berangkat dari perjanjian bilateral pada tahun 2004 tersebut, penulis
menyoroti beberapa tulisan yang membahas perjanjian bilateral setelahnya. Yang
pertama tulisan Killias (2010), tulisan tersebut mengatakan bahwa nota
kesepahaman yang ditandatangani pada tahun 2006 mensyaratkan majikan
Malaysia untuk menandatangani kontrak hukum dengan pekerja rumah tangga
Indonesia mereka, dan kontrak ini memberikan hak dasar kepada TKI yang berada
disana. Menurut penulis, dalam tulisan yang dipaparkan Killias (2010) tersebut,
nota kesepahaman pada tahun 2006 belum memberikan dampak yang positif
terhadap kondisi TKI di sana, hal ini dilihat dari upah standar yang tidak
menguntungkan dan sifatnya tidak dapat dinegosiasikan kembali.
Berdasarkan dua nota kesepahaman yang ditandatangani antara Indonesia
dan Malaysia pada tahun 2004 dan 2006, penulis melihat bahwa masih adanya
kesepakatan yang merugikan salah satu pihak dalam hal ini Indonesia. Sebagai
Universitas Pertamina - 19 melakukan moratorium TKI ke Malaysia pada tahun 2009. Diakibatkan
kurangnya kesepakatan yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak,
kasus-kasus pun terus terjadi tanpa etikat untuk memperbaiki atau menanggulangi
kasus yang berhubungan antara TKI dan pihak pengguna jasa. Oleh sebab itu,
Indonesia dan Malaysia berusaha melakukan negosiasi dan mendorong
kesepakatan dalam nota kesepahaman pada tahun 2011. Dalam tulisan Nielsen
(2013) yang berjudul Wellbeing Among Indonesian Labour Migrants to Malaysia:
Implications of the 2011 Memorandum of Understanding, Malaysia berniat untuk
menerapkan amnesti bagi para Pekerja Migran Indonesia yang ilegal, selain itu
pekerja rumah tangga memiliki hak untuk menyimpan paspor mereka daripada
harus menyerahkannya kepada majikan mereka, dan itu menjamin mereka
mendapat libur mingguan. Namun yang menjadi sorotan penulis, terlepas dari
adanya perubahan arah kesepakatan yang menjadi lebih memberikan hak kepada
para pekerja, nota kesepahaman tersebut tidak menetapkan upah minimum dan
tetap membebankan biaya rekrutmen yang membuat pekerja semakin kesulitan
dalam membagi pendapatannya.
Sebagai negara yang memiliki surplus tenaga kerja, Indonesia perlu
memanfaatkan momentum ini secara bijak. Dengan adanya migrasi Tenaga Kerja
Indonesia ke luar negeri memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengurangi
pengangguran dan meningkatkan devisa dari valuta asing yang dibawa oleh para
TKI. Masyarakat Indonesia masih memiliki animo yang tinggi untuk menjadi TKI
dan ditempatkan di luar negeri khususnya Malaysia. Minat yang tinggi ini
seharusnya diselaraskan dengan mekanisme perlindungan yang baik.
pengaduan yang efektif, regulasi yang efektif dari berbagai agensi yang terlibat
dalam proses perekrutan. Tentunya hal ini akan membantu dalam pemberdayaan
pekerja di luar negeri dan melindungi hak-hak mereka. Jika kembali melihat
permasalahan yang dihadapi TKI di Malaysia sesuai dengan tulisan Kaur (2004),
Elias (2013) dan Joseph (2013), kedua negara masih memiliki urgensi untuk
memperbaiki regulasi pekerja migrannya. Terlebih kedua negara masih saling
membutuhkan, Indonesia mendapat pasar tenaga kerja, dan Malaysia mendapat
pekerja migran yang sesuai kebutuhannya. Upaya kedua negara dalam mengatasi
persoalan dilihat dari adanya upaya perbaikan nota kesepahaman dari tahun 2004,
2006 dan paling terakhir 2011.
Beberapa penulis yang menyoroti nota kesepahaman Indonesia dan
Malaysia terkait TKI, yang pertama Arifianto (2009) menyoroti kesepakatan
bilateral yang dijalin pada tahun 2004 dengan menetapkan prosedur formal untuk
perekrutan Tenaga Kerja Indonesia dan memperhatikan kondisi minimum kerja.
Lalu berangkat dari nota kesepahaman 2004, muncul nota kesepahaman baru pada
tahun 2006 yang dipaparkan oleh Killias (2010), pada nota kesepahaman ini,
majikan wajib menandatangani kontrak dengan pekerja rumah tangga sehingga
majikan wajib memberi hak dasar pekerja rumah tangga, lalu nota kesepahaman
yang terakhir pada tahun 2011, dibahas oleh Nielsen (2013) pekerja rumah tangga
berhak memegang paspornya dan juga pemberian amnesti bagi para pekerja
ilegal. Ketiga penulis, Arifianto (2009), Killias (2010), dan Nielsen (2013), juga
turut menyoroti bagaimana nota kesepahaman yang ada masih memiliki
kekurangan, sehingga memiliki kecenderungan untuk merugikan salah satu pihak.
Universitas Pertamina - 21 dalam bentuk nota kesepahaman yang disepakati dua belah pihak, tulisan-tulisan
yang membahas nota kesepahaman memiliki relevansi dengan topik penelitian
yang dimana tulisan tersebut menjelaskan bagaimana dalam praktiknya nota
kesepahaman tersebut berjalan dan juga implikasi nya terhadap kondisi Tenaga
Kerja Indonesia di Malaysia, meskipun ketiga tulisan belum secara komprehensif
membahas mengenai pekerja migran yang berstatus ilegal.
Berdasarkan tinjauan literatur yang ditemukan oleh penulis, para akademisi
masih tergolong jarang yang menyoroti persoalan TKI ilegal di Malaysia dilihat
dari segi nota kesepahaman atau kesepakatan bilateral yang dijalin antara
Indonesia dengan Malaysia. Masih banyak yang berfokus pada fakta di lapangan.
Nota kesepahaman yang dijalin antara Indonesia dan Malaysia masih terbatas dari
tahun 2004, 2006 lalu 2011. Dimana nota kesepahaman tersebut berakhir masa
berlakunya pada tahun 2016. Namun kenyataannya nota kesepahaman yang
selama ini ada belum dapat mengakomodir perlindungan atau menyelesaikan
persoalan TKI ilegal di Malaysia. Penulis melihat beberapa literatur belum
menyoroti secara spesifik bagaimana nasib ataupun hak pekerja yang menyandang
status ilegal, padahal seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat
beberapa alasan yang mendasari Ppkerja migran berakhir menjadi ilegal di negara
penempatan, seperti sulitnya birokrasi dan ketidaktahuan informasi, membuat
mereka pada akhirnya tidak berdokumen resmi. Dalam nota kesepahaman yang
selama ini sudah berjalan, belum terlihat dimana letak perlindungan maupun hak
bagi para Tenaga Kerja Indonesia yang berstatus ilegal. Oleh sebab itu, penulis
mencoba menelaah pengaruh kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia
2018, terlebih dengan berakhirnya nota kesepahaman terkait TKI di Malaysia
pada tahun 2016 yang lalu.
1.4 Kerangka Pemikiran 1.4.1 Interdependensi
Interdependensi didefinisikan sebagai efek resiprokal antar aktor yang
dihasilkan dari perputaran transaksi internasional termasuk barang dan jasa yang
pergerakannya lintas batas negara (Keohane, 1989). Interdependensi juga
mengacu pada tingkat interaksi serta hasil interaksi, semakin intens tingkat
interaksi maka akan berdampak pada hasil interaksi yang menentukan
interdependensi (Keohane, 1989). Interdependensi yang terjadi antar negara dapat
semakin meningkatkan intensitas interaksi yang lebih kooperatif. Meningkatnya
interdependensi antar negara disebabkan adanya berbagai macam isu global yang
sifatnya semakin lintas batas negara. Interdependensi melibatkan hubungan yang
didalamnya terdapat preferensi dari masing-masing aktor (Folker, 2013). Adanya
interdependensi yang diserta kepentingan yang bersifat lintas batas negara
membuat interaksi antar negara semakin meningkat dan hal tersebut akan
memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara (Keohane,
1989). Interdependensi yang terjadi dapat digunakan untuk mengalisis politik
internasional dengan berupaya memahami keinginan negara untuk bekerja sama
dengan negara lain dibawah kondisi yang saling ketergenatungan (Keohane,
1989). Dengan adanya interdependensi maka memberikan insentif bagi negara
untuk terus bekerja sama satu sama lain (Keohane, 1984). Ketika negara saling
Universitas Pertamina - 23 kekuatan ataupun posisi tawar-menawar atas suatu permasalahan (Keohane,
1989).
Dalam hubungan yang saling ketergantungan, melibatkan interaksi yang
bersifat formal maupun informal antara elit pemerintah serta masyarakat
(Keohane, 1989). Interdependensi mendorong isu di area non-militer untuk masuk
ke dalam agenda penanganan bersifat penting antar negara. Hubungan
interdependensi yang terjadi antar negara direspon menggunakan kekuatan non
militer, karena dampak yang ditimbulkan dari pengerahan kekuatan milter akan
memakan biaya lebih mahal dan memiliki ketidakpastian yang tinggi (Keohane,
1989). Semenjak isu non militer menjadi penting bagi negara, interaksi yang
terjadi semakin meningkat dan mendorong hubungan yang interdependensi. Isu
area non militer memiliki potensi besar untuk dibahas dalam kerangka yang lebih
kooperatif diantara negara-negara (Keohane, 1984).
1.4.2 Kerja Sama Bilateral
Negara-negara memiliki kepentingan bersama dalam mengatasi suatu isu
atau permasalahan, tidak terkecuali terkait pekerja migran, seperti yang
dipaparkan sebelumnya bahwa isu low politics berpotensi untuk menjadi dasar
negara menjalin kerja sama yang lebih intens. Artinya, interdependensi yang
semakin meningkat di isu low politics dalam hal ini adalah pekerja migran,
menuntut adanya kerja sama antar negara yang saling berkepentingan. Atas dasar
interdependensi inilah, timbul kerja sama antar negara, tidak terkecuali yang
bersifat bilateral. Menurut William D. Coplin (1971) interaksi dari sebuah upaya
bilateral, negara-negara sepakat bahwa ada sebuah permasalahan bersama yang
dihadapi meskipun dimungkinkan masing-masing pihak terkait menawarkan
pemecahan masalah yang berbeda-beda dan dihadapkan dengan kepentingan yang
berbeda dari masing-masing pihak. Dengan adanya upaya pemecahan suatu
masalah secara kolektif hal ini juga mendorong adanya identifikasi suatu
permasalahan yang dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang. Dengan adanya
kerja sama bilateral, negara-negara berusaha memecahkan masalah yang berkaitan
dengan masalah sosial, ekonomi dan politik, termasuk dalam hal ini pekerja
migran.
Pekerja migran merupakan aspek penunjang bagi masing-masing negara,
baik negara tersebut penerima ataupun pengirim. Dengan adanya kondisi tersebut,
maka mendorong intensitas interaksi kerja sama bilateral antara kedua negara.
Kerja sama bilateral yang dalam kesepakatannya dapat menghasilkan suatu
peraturan memungkinkan adanya penyatuan sumber daya dari pihak-pihak terkait
guna memecahkan masalah bersama tersebut, dan hal ini dapat meningkatkan
efisiensi dari sebuah kerja sama dalam praktiknya. Mengingat kondisi sumber
daya negara tidaklah sama, maka kekurangan dalam hal sumber daya dapat diatasi
dengan tindakan kolektif berupa kerja sama bilateral. Dalam tulisan William D.
Coplin jika kerja sama dijalin secara bilateral, maka dalam prosesnya akan
melibatkan policy influencers dan para pengambil keputusan utama di kedua
negara dalam mengidentifikasi masalah bersama yang sifatnya spesifik. Dalam
meningkatkan urgensi kasus pekerja migran ilegal agar dibawa ke level negara,
policy influencers memiliki pengaruh dalam proses pembuatan kesepakatan
Universitas Pertamina - 25 memecahkan masalah bersama tersebut. Serta pengambil keputusan utama di titik
beratkan pada kepala negara yang tentunya turut mengidentifikasi permasalahan
terkait pekerja migran ilegal.
Kerja sama juga menuntut koordinasi kebijakan masing-masing negara yang
bekerja sama, hal ini ditujukan untuk mengurangi ketidakefektifan dari suatu kerja
sama. Dalam hal pekerja migran, hal ini tentunya menuntut adanya upaya kerja
sama yang intensif antara negara penerima dan negara pengirim untuk mencegah
penyalahgunaan pekerja migran menjadi kejahatan lintas negara seperti
perdagangan manusia. Dalam tulisan K.J Holsti turut dipaparkan objektif suatu
negara dalam melakukan kerja sama yang sifatnya lintas negara:
“Governments cooperate for the primary and essential reason of
reducing costs, coordinating and regulating common threats or problems, policy harmonization, and increase communication to develop means of conducting predictably peaceful relationships” (Holsti, K. J, 1995).
Berangkat dari tulisan tersebut, maka kerja sama yang terjadi antar aktor
ditujukan untuk bisa merealisasi tujuan masing-masing negara yang bersangkutan
dalam menyelesaikan masalah bersama, meningkatkan komunikasi sehingga
mampu menjaga hubungan dan persahabatan antar negara melalui upaya
koordinasi kebijakan. Keputusan yang dihasilkan melalui negosiasi dalam
hubungan kerja sama dibuat dengan mempertimbangkan kondisi domestik
masing-masing pihak yang terlibat.
Kerja sama muncul karena adanya kebutuhan masing-masing negara yang
hendak diwujudkan. Kerja sama di sisi lain juga butuh untuk dipelihara oleh
negara-negara dan dilakukan sebuah pengaturan regulasi yang jelas, agar kerja
menuliskan bahwasanya kerja sama internasional merupakan sebuah kesepakatan
akan suatu masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka membantu
negara mencapai kepentingannya. Kerja sama internasional dibutuhkan mengingat
adanya hubungan antarnegara yang bersifat interdependensi dan membutuhkan
sebuah wadah pengaturan dalam menjalankannya.
Oleh sebab itu penulis menggunakan konsep kerja sama bilateral dalam
mengidentifikasi interaksi antara dua negara, dalam menangani permasalahan
pekerja migran ilegal. Mengingat urgensi persoalan pekerja migran yang semakin
rentan maka perlunya komitmen kedua negara untuk meminimalisir efek negatif
dari persoalan pekerja migran dan mencegah persoalan tersebut berdampak ke
hubungan diplomatik dan persahabatan antar negara tetangga.
Adanya landasan pemikiran yang mendorong meningkatnya intensitas
interaksi yang bersifat interdependensi menjadikan motivasi bagi negara untuk
membahas suatu permasalahan dalam kerangka kerja sama yang dijalin secara
bilateral. Kerja sama antar negara yang dijalin secara bilateral antara Indonesia
dan Malaysia dalam konteks pembahasan isu pekerja migran ilegal salah satu
tujuannya adalah untuk mengakomodir hak TKI sebagai pekerja migran dan tidak
hanya berfokus pada upaya menjaga kepentingan nasional masing-masing.
Meskipun masing-masing negara memiliki preferensi dalam menjalin kerja sama,
namun dalam menyelesaikan persoalan pekerja migran, negara dalam hal ini
mempunyai peran vital dalam menghadirkan berbagai upaya perlindungan bagi
Universitas Pertamina - 27
Skema Kerangka Pemikiran
Dalam menyusun skema pemikiran di atas, Indonesia dan Malaysia
melakukan kerja sama diawali dengan adanya interdependensi dari kedua negara
yang didukung oleh faktor penarik dan faktor pendorong yang datang dari
masing-masing domestik. Kemudian kedua negara berupaya untuk
mengidentifikasi permasalahan mengenai TKI ilegal yang banyak menjadi korban
penganiayaan di Malaysia. Berangkat dari identifikasi permasalahan tersebut,
Indonesia dan Malaysia berunding terkait solusi yang hendak diambil atas
permasalahan TKI ilegal di Malaysia, perundingan terkait masalah tersebut
dilakukan dalam kerangka sama antar negara yang sifatnya bilateral dengan
bentuk implementasi kerja sama bilateral berupa memorandum of understanding
sebagai instrumen hukum formal yang mengikat kedua belah pihak, kemudian
menjalin koordinasi antar lembaga teknis di wilayah perbatasan yang rentan akan
pergerakan TKI ilegal, dan kemudian membentuk Joint Task Force (JTF).
Masing-masing bentuk kerja sama bilateral tersebut digunakan untuk
Indonesia Malaysia
Problems: Illegal Migrant Workers
Action: Bilateral cooperation
Interdependensi
Implementation of bilateral cooperation: Memorandum of Understanding Coordination between stakeholders Joint Task Force
menganalisis upaya kedua negara sebagai pihak yang saling interdependensi
untuk tetap memenuhi kepentingannya sebagai negara pengirim dan negara
penerima TKI. Dalam menjalin kerja sama bilateral, ditemui beberapa hambatan
yang dapat mengurangi optimalisasi kerja sama bilateral, namun selain itu, kerja
sama bilateral tetap dilakukan kedua negara untuk menjaga hubungan yang
harmoni dan merealisasi tujuan-tujuan yang telah disepakati. Penulis berfokus
pada analisis implementasi kerja sama bilateral yang dijalin kedua negara serta
keterkaitannya dengan kasus TKI ilegal khususnya pada tahun 2015 hingga 2018 ,
serta faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hubungan yang bersifat
interdependensi antar kedua negara.
1.5 Metodologi 1.5.1 Desain Penelitian
Dalam meneliti topik penelitian penulis, penulis menggunakan metodologi
penelitian kualitatif. Menurut Cresswell (2013), penelitian kualitatif merupakan
sebuah pendekatan untuk mengekspolorasi dan memahami makna yang berkaitan
dengan fenomena sosial. Tujuan penelitian kualititatif ialah berusaha untuk
menemukan makna, proses dan konteks suatu peristiwa sosial yang sedang
diamati. Penelitian kualitatif lebih bersifat eksploratif, sehingga tujuan penulis
menggunakan metode ini adalah untuk dapat memberikan penjelasan secara rinci
dan lengkap terhadap topik penelitian.
1.5.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam topik penelitian ‘Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia terhadap Penanganan Kasus TKI Ilegal di Malaysia pada Kurun Waktu
2015-Universitas Pertamina - 29 2018’ metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah bersumber dari dokumen, arsip, laporan, dan informan. Kemudian teknik pengumpulan data
yang dilakukan oleh penulis adalah studi pustaka dengan menganalisis buku,
jurnal, artikel penelitian terkait, serta wawancara dengan narasumber yang relevan
dalam hal ini BNP2TKI. Penelitian penulis akan berfokus pada permasalahan TKI
ilegal dengan wilayah penempatan di Malaysia khususnya pada kurun waktu 2015
hingga 2018. Lokasi penelitian penulis akan dilaksanakan salah satunya di
BNP2TKI, serta Kementerian Luar Negeri yang berkaitan dengan penempatan
dan perlindungan TKI, hal ini penulis lakukan untuk memberikan batasan pada
penelitian penulis, sehingga penelitian akan memiliki analisis yang tajam.
1.6 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.6.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai kerja sama bilateral
yang dijalin Indonesia dan Malaysia dalam mengatur dan mengelola keberadaan
TKI khususnya TKI ilegal serta mengetahui solusi yang diambil sebagai jalan
tengah kepentingan Indonesia dan Malaysia dalam menangani kasus-kasus TKI
ilegal yang berada di Malaysia.
1.6.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan tambahan untuk
melakukan evaluasi di bidang perlindungan dan penempatan TKI di Malaysia,
1.7 Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai
berikut
BAB I: PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka,
kerangka pemikiran, metodologi dan tujuan serta manfaat penelitian.
BAB II: PROBLEMATIKA TKI ILEGAL DI MALAYSIA 2.1 Problematika TKI di Malaysia dari tahun 2015-2018
Subbab ini akan diawali dengan membahas gambaran umum mengenai
mekanisme perekrutan TKI, faktor TKI memilih Malaysia, menelaah faktor yang
mendorong terjadinya pergerakan TKI ilegal ke Malaysia, serta menjabarkan
kerentanan dan kasus TKI ilegal yang berada di Malaysia.
2.2 Strategi Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan TKI periode
2015-2018
Subbab ini berisi tentang upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi
TKI dari segi hukum normatif.
BAB III: KERJA SAMA INDONESIA MALAYSIA DALAM MENANGANI KASUS TKI ILEGAL DI MALAYSIA
3.1 Analisis Kerja Sama Bilateral Indonesia dan Malaysia dalam Menangani TKI
Ilegal
Dalam subbab ini dibahas bentuk kerja sama bilateral kedua negara terkait
TKI yakni nota kesepahaman terkait perlindungan TKI di Malaysia. Lalu
membahas kondisi TKI ilegal di Malaysia pada tahun 2015 hingga 2018.
Universitas Pertamina - 31 Dalam subbab ini membahas implementasi kerja sama bilateral Indonesia
dan Malaysia serta hambatan yang ditemui selama menjalin kerja sama bilateral.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini menjadi akhir dari bagian skripsi, yang berisi kesimpulan dari topik
Universitas Pertamina - 32
BAB II
PROBLEMATIKA TKI ILEGAL DI MALAYSIA
2.1 Problematika TKI Ilegal di Malaysia dari tahun 2015-2018
Permasalahan mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak luput dari
pekerjaan rumah Pemerintah Indonesia. Keberadaan Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang bermigrasi ke luar negeri telah diatur oleh pemerintah melalui
kebijakan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di dalam dan ke luar negeri
oleh Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, dengan Nomor:
KEP/204/MEN/1999. Penempatan TKI ke luar negeri merupakan upaya alternatif
bagi negara untuk mengatasi masalah pengangguran dan minimnya lapangan kerja
di dalam negeri. Penempatan TKI di luar negeri diatur mekanismenya oleh
pemerintah ke negara tujuan dengan ketentuan yang tertuang di dalam pasal 3
KEP/204/MEN/1999:
a. negara tujuan memiliki peraturan perlindungan tenaga kerja asing,
b. negara tujuan membuka kerja sama bilateral dengan negara Indonesia di
bidang penempatan TKI
c. keadaan di negara tujuan tidak membahayakan keselamatan TKI
Langkah pemerintah melalui kebijakan ini ditujukan untuk dapat
mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta
meningkatkan devisa negara. Dalam regulasi yang sudah dibuat tersebut,
penempatan TKI dilakukan oleh lembaga pelaksana, antara lain Perusahaan Jasa
KEP/204/MEN/1999, diwajibkan dalam melakukan kegiatan penempatan TKI
untuk memiliki:
a. perjanjian kerja sama penempatan;
b. surat permintaan nyata TKI (job order) atas nama PJTKI yang
bersangkutan;
c. perjanjian penempatan TKI
d. perjanjian kerja
Dalam perjanjian kerja dengan TKI yang dimaksud diwajibkan memuat
jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan serta kondisi dan syarat kerja yang
meliputi antara lain; jam kerja, upah dan cara pembayarannya upah lembur, cuti
dan waktu istirahat, serta jaminan sosial.
Tujuan pembentukan kebijakan tersebut antara lain untuk meningkatkan
perlindungan kepada para calon TKI yang hendak bermigrasi ke luar negeri
dengan menggunakan jalur yang resmi (legal).
Penggunaan jalur resmi telah digencarkan promosinya oleh pemerintah
kepada para calon TKI yang akan bekerja di luar negeri. Digencarkannya promosi
menggunakan jalur resmi dapat berdampak pada keberadaan TKI di negara
penempatan yang akan memiliki kepastian hukum serta meminimalisir dampak
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang merugikan calon TKI.
Berdasarkan pada UU No. 39 Tahun 2004, pemerintah merilis tata
pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri. Pada bab V undang-undang tersebut
memuat mekanisme penempatan TKI di luar negeri dijelaskan bahwa,
penempatan TKI di luar negeri dapat dilakukan ke negara tujuan yang
Universitas Pertamina - 34
selain itu ditegaskan pada pasal 29, bahwa penempatan calon TKI dilaksanakan
dengan memperhatikan HAM, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan
kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Berdasarkan hal tersebut maka perundang-undangan penempatan TKI di luar
negeri pada dasarnya diharuskan untuk memperhatikan nilai kemanusiaan (Pusat
Informasi Hukum Kementerian Luar Negeri, 2004). Mekanisme penempatan TKI
berdasarkan UU No.39 Tahun 2004 dimulai dari:
1. Pra penempatan TKI
Pra penempatan TKI meliputi proses pengurusan surat izin yang wajib
dimiliki oleh PJTKI meliputi; a. perjanjian kerjasama penempatan; b.
surat permintaan TKI dari pengguna; c. rancangan perjanjian
penempatan; dan d. rancangan perjanjian kerja.
2. Perekrutan dan seleksi
Proses ini diawali dengan memberikan informasi kepada calon TKI
terkait dokumen yang diperlukan, hak dan kewajiban calon TKI, situasi
dan kondisi di negara tujuan serta tata cara perlindungan bagi TKI. Para
pencari kerja yang berminat ke luar negeri harus terdaftar pada instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
3. Pendidikan dan pelatihan kerja
Setelah melalui proses perekrutan, calon TKI wajib memiliki sertifikat
kompetensi kerja, oleh sebab itu calon TKI berhak mendapatkan
pendidikan dan pelatihan kerja yang berisi pembekalan, memberi
pengetahuan terkait kondisi, situasi, budaya kerja, dan risiko kerja di