• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN

C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan

9. Kerjasama antar unit di rumah sakit

unit ke unit lain

62% 68%

Berdasarkan tabel 5.3. diatas dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif tertinggi di Rumah Sakit X terdapat pada tindakan promotif keselamatan oleh manajer sebesar 76%. Sedangkan respon positif terendah didapatkan pada dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unut rumah sakit staf yakni sebesar 61%.

Sedangkan dimensi budaya keselamatan di Rumah Sakit Y yang memiliki respon positif tertinggi adalah dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan sebesar 91%. Sedangkan respon positif terendah didapatkan pada dimensi penyusunan staf yakni sebesar 52%.

C. Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui korelasi dimensi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun 2015 dilakukan dengan uji korelasi Spearman karena data tidak terdistribusi normal. Tingkat kepercayaan yang ditetapkan adalah 95%.

Secara umum korelasi seluruh dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis diringkas dalam tabel berikut.

Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis

oleh tenaga kesehatan tahun 2015

No Variabel RS X (N = 101) RS Y (N = 91) r p value r p value 1 Tindakan Promotif

Keselamatan Oleh Manajer 0,388 0,000* 0,217 0,039* 2 Organizational

learning-Perbaikan Berkelanjutan 0,496 0,000* 0,073 0,493 3 Kerjasama dalam unit 0,327 0,001* 0,184 0,081 4 Keterbukaan komunikasi 0,582 0,000* 0,264 0,012* 5 Umpan balik dan komunikasi

tentang kesalahan medis yang terjadi

0,197 0,048* 0,286 0,006* 6 Respon yang tidak

menyalahkan 0,419 0,000* 0,217 0,039*

7 Penyusunan staf 0,039 0,701 -0,165 0,118 8 Dukungan manajemen

terhadap upaya keselamatan pasien

0,112 0,266 0,157 0,137 9 Kerjasama antar unit 0,176 0,078 0,203 0,054 10 Serah terima dan transisi

pasien 0,016 0,870 0,098 0,357

*terbukti berkorelasi secara signifikan melalui uji statistik

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa terdapat 6 dimensi budaya keselamatan pasien yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan

medis di Rumah Sakit X dan terdapat 4 dimensi budaya keselamatan pasien yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Adapun hasil analisis korelasi tiap variabel yang lebih spesifik adalah sebagai berikut. 1. Korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer

dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah Sakit X adalah sebesar 0,388 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik yang dilakukan di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,217 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,039 pada tingkat kemaknaan 95%

sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama berkorelasi di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.

2. Korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.6. diatas diketahui hasil uji statistik menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah Sakit X adalah sebesar 0,496 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,073 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris tidak ada korelasi. Sedangkan nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,493 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Variabel dimensi organizational learning dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi bermakna di Rumah Sakit Y.

3. Korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4., diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,327 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,001 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,184 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,081 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi kerjasama dalam unit dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y. 4. Korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.sebelumnya, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,582 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan kuat. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,264 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,012 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel juga dikatakan sebagai korelasi yang bermakna dan signifikan di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi keterbukaan komunikasi dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.

5. Korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4. diatas, diketahui hasil uji

statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,197 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,048 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,286 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,006 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna dan signifikan.

Variabel dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah Sakit Y.

6. Korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel

adalah sebesar 0,419 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,201 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,057 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Variabel dimensi respon yang tidak meyalahkan dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y.

7. Korelasi antara dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,039 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan hampir tidak ada. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,701 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi

kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar -0,165 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,118 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan sama-sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.

8. Korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,112 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,266 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,157 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,137 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.

9. Korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 1,176 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,078 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,203 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,054 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi kerjasama antar unit dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.

10.Korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,016 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan yang sangat lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,870 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,098 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris tidak ada. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,357 pada tingkat kemaknaan 95%

sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain sama-sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.

BAB VI

PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini terdapat keterbatasan penelitian dimana penelitian ini hanya menilai persepsi pelaporan kesalahan medis sehingga belum bisa digunakan untuk menilai perilaku sebenarnya seluruh tenaga kesehatan secara nyata terutama perilaku tenaga kesehatan dalam melaporkan kesalahan medis yang terjadi.

Selain itu penelitian ini juga tidak membandingkan dua rumah sakit yang sama klasifikasinya dimana Rumah Sakit X merupakan rumah sakit umum kelas B sedangkan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus kelas A. Sehingga ada kemungkinan kondisi yang berbeda di kedua rumah sakit.

B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan Pelaporan digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam memperbaiki sistem pelayanan terutama dalam mencegah pengulangan kesalahan medis yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley, 2007). Meskipun kesalahan medis tidak secara esensial membahayakan pasien namun kesalahan medis dengan tingkat risiko yang tinggi dapat berujung pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis insiden keselamatan lainnya (Ghazal dkk., 2014). Ada atau tidaknya efek negatif dari kesalahan medis yang terjadi tidak mengalihkan fokus utama bahwa hal tersebut adalah

kesalahan medis. Karena pada dasarnya setiap pelaporan yang dibuat baik itu menimbulkan bahaya atau baru berupa near miss menjadi upaya fundamental untuk memperbaiki keselamatan di industri manapun (Wolf dan Hughes, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X ataupun Rumah Sakit Y berada pada kategori sedang (Beginta, 2012). Pelaporan dan pengungkapan kesalahan medis sendiri masih tergolong baru di dalam dunia kesehatan. Sebelumnya praktik pelayanan kesehatan oleh profesional tenaga kesehatan akan menuntut tenaga kesehatan untuk diam atau membatasi diskusi saat terjadi kesalahan medis. Tenaga kesehatan terutama dokter akan dituntut untuk membicarakan masalah tersebut hanya pada pihak manajemen rumah sakit atau pengacara mereka (Eaves-Leanos dan Dunn, 2012). Namun kini pelaporan dan pengungkapan kesalahan medis dipandang sebagai upaya fundamental dalam perbaikan sistem pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit (Waters dkk., 2012). Lebih jauh lagi, apabila sistem pelaporan dapat menerangkan tentang faktor manusia yang terlibat dalam proses terjadinya kesalahan medis maka dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan re-desain atau penyusunan ulang sistem dan proses keselamatan dan kesehatan yang ada serta meningkatkan aspek keselamatan di rumah sakit tersebut (Carayon dkk., 2014).

Berdasarkan observasi dan peninjauan dokumen di kedua rumah sakit, sistem pelaporan di kedua rumah sakit sudah berjalan namun belum optimal

karena masih banyak kesalahan medis yang tidak terlaporkan. Hal ini terjadi karena persepsi yang umumnya masih dianut oleh tenaga kesehatan bahwa adanya laporan kesalahan medis akan membawa citra buruk kepada pelaku, kolega dan juga unit tempatnya bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014) yang dilakukan pada perawat di 3 kota di Norwegia. Ketika melakukan pelaporan, hal yang ditakutkan perawat adalah adanya tekanan dari teman sejawat. Mereka mengaku kesulitan untuk melaporkan kesalahan medis yang terjadi baik yang ia lakukan maupun yang dilakukan teman sejawatnya. Uribe dalam Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa ketakutan terhadap outcome negatif yang muncul menjadi salah satu penghalang perawat dan dokter untuk melaporkan kesalahan medis yang terjadi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Waters dkk. (2012) di salah satu provinsi di Inggris mengemukakan bahwa perawat dan bidan selalu menghubungkan antara pelaporan dengan risiko tuduhan malpraktik dan proses pengadilan sehingga baik perawat maupun bidan memilih untuk tidak melapor apabila terjadi kesalahan medis.

Tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y juga jarang melaporkan kesalahan medis apabila kesalahan medis tidak sampai menciderai pasien. Hal ini selaras dengan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Espin dkk. (2010) pada perawat ICU dari 3 rumah sakit di Kanada yang menyatakan bahwa perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan medis yang terjadi apabila pasien tidak mengalami cidera.

Terdapat banyak barrier pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan yang mengurangi persepsi positif tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Espin dkk. (2007) menyatakan bahwa umumnya barrier tersebut mencakup adanya penyalahan diri, kurangnya kerahasiaan,

kurangnya waktu untuk melakukan pelaporan serta feedback yang minim. Sebelumnya Espin dkk. (2006) juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan juga masih jarang yang melaporkan kesalahan medis apabila itu bukan merupakan daerah kewenangannya meskipun ia melihat sendiri kesalahan medis yang terjadi. Dan pada kenyataannya berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit, barrier tersebut masih sangat banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari di

kedua rumah sakit.

IOM dalam Wolf dan Hughes (2005) sendiri membedakan antara pelaporan sukarela dan wajib pada praktik pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelaporan kesalahan medis yang bersifat sukarela berlaku saat tenaga kesehatan mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan medis yang belum atau tidak menimbulkan efek negatif. Sedangkan pelaporan yang bersifat wajib berlaku ketika terjadi kejadian serius seperti kejadian sentinel atau kejadian tidak diharapkan yang sampai mengakibatkan kematian atau cidera berat pada pasien. Penerapan pelaporan sukarela yang diterapkan di rumah sakit nantinya akan memberikan persepsi positif terhadap pelaporan dan membiasakan seluruh tenaga kesehatan untuk sadar lapor saat terjadi kejadian tidak diharapkan.

C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis

Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen keselamatan dan kesehatan organisasi (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations, 1993). Heni (2011)

menyatakan bahwa masih banyak industri yang memandang sebelah mata aspek keselamatan di dalam ruang lingkupnya hanya demi kepentingan efisiensi. Begitu pula yang terjadi di rumah sakit, untuk menyadarkan manajemen akan pentingnya keselamatan kadang diperlukan satu kejadian atau kesalahan medis yang menimbulkan outcome negatif terlebih dahulu.

Heni (2011) juga menyatakan bahwa untuk mencapai praktik pelayanan kesehatan yang selamat baik bagi pekerja maupun pasien, diperlukan budaya keselamatan yang kuat. Mengingat budaya keselamatan erat kaitannya dengan sifat, sikap dan perilaku individu serta organisasi terhadap pentingnya keselamatan maka upaya peningkatan budaya keselamatan berarti juga upaya perbaikan sikap dan perilaku selamat. AHRQ dalam Sorra dan Nieva (2004) sendiri mendefinisikan budaya keselamatan pasien menjadi 10 dimensi berbeda pada tingkat unit dan rumah sakit untuk nantinya dapat menjadi dimensi yang dapat diintervensi dalam rangka perbaikan budaya keselamatan.

1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer

Dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan bahwa manajer mempertimbangkan saran dari stafnya yang bertujuan untuk perbaikan keselamatan pasien, menghargai stafnya ketika mereka mengikuti prosedur keselamatan pasien dan tidak mengabaikan masalah keselamatan pasien (Robb dan Seddon, 2010). Dalam dimensi ini yang dimaksud sebagai manajer adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan baik secara fungsional maupun struktural di unit tempatnya bertugas.

Berdasarkan hasil penelitian, respon positif dari dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X adalah sebesar 76% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 65%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada item B1, B2, B3 dan B4 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini di Rumah Sakit X cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sistem yang lebih komprehensif yang berlaku di Rumah Sakit X.

Sistem komprehensif di Rumah Sakit X yang dimaksudkan disini adalah karena memiliki safety officer pada tiap unit yang merupakan representatif dari unit masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya proses integrasi yang baik antara unit yang menangani keselamatan rumah sakit dengan seluruh unit di rumah sakit. Sedangkan di Rumah Sakit Y, unit yang bertanggungjawab terhadap masalah keselamatan pasien dipisahkan dengan K3 rumah sakit. Sehingga koordinasi terkait keselamatan pasien dan

komitmen yang tercipta pada manajer di Rumah Sakit Y tidak sebaik di Rumah Sakit X Jakarta Timur.

Keselamatan dan kepemimpinan sendiri berkorelasi sangat erat.

Dokumen terkait