BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
A. Hepar
2. Kerusakan hepar
Kondisi toksisitas hepar dipersulit oleh berbagai kerusakan hepar dan
mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hepar sering menjadi organ
sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui
sistem gastrointestinal dan setelah toksikan diserap lalu dibawa oleh vena porta ke
Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti jenis zat kimia, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut
seperti akut, subkronik atau kronik. Semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa
yang diberikan maka respon toksik yang ditimbulkan semakin besar. Kerusakan
hepar dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya
disfungsi hepar secara perlahan-lahan (Amalina, 2009).
Hepatotoksisitas akibat senyawa kimia merupakan komplikasi potensial
yang hampir selalu ada pada setiap senyawa kimia yang diberikan karena hepar
merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan bahan asing yang
masuk. Sebagaimana yang dinyatakan Robins and Kumar (1992) bahwa
kerusakan sel hepar jarang disebabkan oleh suatu substansi secara langsung,
melainkan seringkali oleh metabolit toksik dari substansi yang bersangkutan.
Hepar merupakan organ paling sering rusak (Lu, 1995). Karena
metabolisme obat/ berbagai senyawa terutama terjadi dalam hepar, sehingga
kemungkinan terjadinya kerusakan organ ini menjadi sangat besar (Powell and
Piper, 1989). Apabila proses metabolisme tidak berjalan dengan normal, maka
akan menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit yang terjadi
di hepar. Sel-sel yang terdapat di hepar akan terdeposit sehingga akan mengalami
perubahan (Sherwood, 2001). Selain itu, hepar juga mempunyai kemampuan
untuk mengeluarkan toksikan dengan kapasitasnya yang lebih tinggi dalam proses
biotransformasi toksikan. Akan tetapi paparan oleh berbagai bahan toksik secara
Kerusakan hepar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kerusakan hepar akut
dan kerusakan hepar kronis. Kerusakan hepar akut disebabkan karena virus, obat-
obatan, alkohol dan keadaan iskemik. Kerusakan hepar akut ditandai dengan
adanya penyakit kuning, hipoglikemia, gangguan elektrolit dan asam-basa,
ensefalopati hepar, dan kenaikan serum enzim yang berhubungan dengan kasus
nekrosis hepar. Kerusakan hepar akut memiliki angka kematian yang tinggi.
Sedangkan kerusakan hepar kronis yaitu hepatitis kronis, sirosis hepar dan
hepatoma (Chandrasoma and Taylor, 1995). Mekanisme kerusakan sel hepar
karena obat (Gambar 3) :
1. Apabila reaksi energi tinggi melibatkan enzim sitokrom p-450
menyebabkan ikatan kovalen obat dengan protein intrasel, maka akan terjadi
disfungsi intraseluler berupa hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP,
dan disrupsi aktin pada permukaan hepatosit yang menyebabkan
pembengkakan sel.
2. Disrupsi aktin pada membran kanalikuli dapat menghalangi aliran bilier
menyebabkan kolestasis. Kolestasis bersama dengan proses kerusakan
intrasel akan menyebabkan akumulasi asam empedu sehingga menyebabkan
kerusakan hepatosit lebih lanjut.
3. Reaksi hepatoseluler yang melibatkan senyawa besi heme akan
menyebabkan timbulnya ikatan kovalen antara enzim dengan obat sehingga
reaksi enzimatik tidak bekerja.
4. Obat dengan molekul kecil berfungsi sebagai hapten membentuk kompleks
menginduksi sel T untuk membentuk antibodi atau menginduksi respon
sitotoksik sel T dan sitokin.
5. Obat yang bersifat imunogenik dapat mengaktifasi Tumor Necrosis Factor- α (TNF-α) sehingga memicu terjadinya apoptosis.
6. Obat yang menghambat proses oksidasi dan sistem respirasi mitokondria,
akan menyebabkan penumpukan Reactive Oxygen Species/Reactive Ntrogen Species (ROS/RNS), gangguan sintesis ATP. Selama sel tidak mendapat energi dari proses oksidatif, maka akan terjadi glikolisis anaerob yang
memproduksi ATP dan energi. Akibatnya, produksi asam laktat meningkat
menyebabkan DNA inti memadat, sehingga sintesis RNA baru dan protein
akan terhenti. Selain itu, akumulasi ROS/RNS yang berlebihan dapat
memacu proses apopotosis (Lee, 2003).
Jenis-jenis kerusakan hepar yang dapat timbul dari berbagai jenis
senyawa toksik :
1. Steatosis (Perlemakan hepar)
Perlemakan hepar adalah keadaan dimana lemak yang terdapat di hepar
melebihi 5% dari berat hepar normal (Soemarto, 1996). Secara teoritis lemak
dapat mengalami akumulasi di hepar melalui beberapa mekanisme (Gambar 4)
yaitu,
a. Peningkatan transfer lemak atau asam lemak dari usus ke hepar. Makanan
berlemak dikirim melalui sirkulasi terutama dalam bentuk kilomikron.
Lipolisis pada jaringan adiposa melepaskan asam lemak kemudian
bergabung dengan trigliserida di dalam adiposit, tetapi beberapa asam lemak
dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diambil oleh hepar, sisa kilomikron juga
dikirim ke hepar.
b. Peningkatan sintesis asam lemak atau pengurangan oksidasi di mitokondria,
keduanya akan meningkatkan sintesis trigliserida melalui proses esterifikasi.
c. Gangguan pengeluaran trigliserida keluar dari sel hepar. Pengeluaran
trigliserida dari sel hepar tergantung ikatannya dengan apoprotein, fosfolipid
dan kolesterol untuk membentuk very low density lipoprotein (VLDL). d. Kelebihan karbohidrat yang dikirim ke hepar dapat dirubah menjadi asam
Gambar 4 : Patogenesis perlemakan hepar (Zivkovic, German, and Sanyal 2007).
2. Nekrosis Hepar
Nekrosis hepar merupakan kematian hepatosit dan merupakan kerusakan
hepar akut. Beberapa zat kimia dapat menyebabkan nekrosis akut (Lu, 1995).
Nekrosis ditandai dengan pembengkakan sel, kebocoran, disintegrasi nukleus, dan
adanya sel-sel inflamasi. Nekrosis sel hepar fokal adalah nekrosis yang terjadi
secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-
lobulus hepar. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik
(councilman) yang merupakan sel hepar nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga
pada daerah lisis sel hepar yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hepar adalah nekrosis sel hepar yang terjadi pada regio-
regio yang identik disemua lobulus hepar, sedangkan nekrosis submasif
merupakan nekrosis sel hepar yang meluas melewati batas lobulus, sering
(Chandrasoma and Taylor, 2005). Nekrosis dapat dideteksi dengan pengujian
biokimia plasma (atau serum) untuk enzim yang dihasilkan di sitosol, aktivitas
enzim alanin aminotransferase (ALT) yang mendominasi enzim di hepatosit dan
aktivitas enzim LDH yang terdapat di berbagai jaringan (Gregus and Klaaseen,
2001).
3. Kolestasis
Kegagalan produksi atau pengeluaran empedu merupakan definisi dari
kolestasis. Kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak, vitamin
dan juga terjadi penumpukan asam empedu, bilirubin, dan kolesterol di hepar
(Depkes RI, 2007).
4. Sirosis Hepar
Sirosis hepar adalah penyakit hepar menahun yang ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hepar yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan
jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan
stadium terakhir dari penyakit hepar kronis dan terjadinya pengerasan dari hepar
yang akan menyebabkan penurunan fungsi hepar dan bentuk hepar yang normal
akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
portal. Pada sirosis dini biasanya hepar membesar, kenyal, tepi tumpul, dan terasa
nyeri bila ditekan.
Secara fungsional sirosis hepar dibagi menjadi:
a. Sirosis hepar kompensata atau sirosis hepar laten, yang berarti belum
adanya gejala klinis yang spesifik. Skrining adalah cara untuk mengetahui
penyakit ini.
b. Sirosis hepar dekompensata atau Active Liver Cirrhosis, dimana terdapat gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat
perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar
(Nurdjanah, 2007).
Secara morfologi sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu:
a. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal, besarnya
bervariasi dan terdapat nodul besar di dalamnya sehingga terjadi regenerasi
parenkim (Lawrence, 2005).
b. Mikronodular
Sirosis mikronodular ditandai dengan terbentuk septa tebal teratur yang
terdapat dalam parenkim hepar, mengandung nodul halus dan kecil tersebar
diseluruh lobul
(Lawrence, 2005).
c. Kombinasi antara bentuk makronodular dan mikronodular
Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis
hepar atas:
a. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronodular atau
subacute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrosis.
b. Nutritional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronodular, sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita hepatitis (Nurdjanah, 2007).
5. Kanker Hepar
Kanker pada hepar yang banyak terjadi yaitu Hepatocellular carcinoma
(HCC) yang merupakan komplikasi dari hepatis kronis yang serius terutama
karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis (Lu, 1995).
B. Laktat Dehidrogenase
LDH adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel
yang bermetabolisme dan jika sel rusak maka ditemukan peningkatan kadar LDH
dalam serum. LDH serum total tidak spesifik terhadap suatu jaringan tertentu,
melainkan isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH 1 hingga LDH 5 yang spesifik
terhadap jaringan tertentu(Gavaghan, 1999).
Ada 5 tipe LDH atau isoenzim dengan konsentrasi yang berbeda pada
darah merah, LDH 2 terdapat pada sel darah putih, LDH 3 terdapat pada paru-
paru, LDH 4 terdapat pada ginjal, plasenta, dan pankreas, LDH 5 terdapat pada
hepar dan otot rangka (Rahaju, 2003) (Gambar 5).
Gambar 5: Isoenzim LDH (Berg, Tymoczko and Stryer, 2002)
Nilai normal LDH berdasarkan umur yaitu umur 1-3 hari sebesar 135-
750 U/L; 31 hari- 11 bulan sebesar 180-435 U/L; 1-3 tahun sebesar 160-370 U/L;
4-6 tahun sebesar 145-345 U/L; 7-9 tahun sebesar 143-290 U/L; 10-12 tahun
sebesar 120-293 U/L; 13-15 tahun sebesar 110-283 U/L; 16-17 tahun sebesar 105-
233 U/L; lebih besar sama dengan 18 tahun sebesar 122-222 (Burtis and
Ashwood, 2006).
Pengukuran isoenzim dilakukan apabila terjadi peningkatan LDH.
Presentasi kadar normal isoenzim pada dewasa yaitu, LDH 1 sebesar 17-27%;
LDH 2 sebesar 27-37%; LDH 3 sebesar 18-25%; LDH 4 sebesar 3-8%; LDH 5
sebesar 0-5%. Peningkatan LDH 5 menandakan bahwa terjadi kerusakan pada
hepar atau penyakit hepar (Marianne, 2015).
Laktat dehidrogenase mengkatalisis proses reduksi piruvat menjadi laktat
menghasilkan NADH. Reaksi ini berlangsung di sitosol. Asam laktat atau laktat
laktat diproduksi setiap hari. Semua jaringan dapat memproduksi laktat dan asam
piruvat dari glukosa (Luft, 2001).
Jalur metabolisme glikolisis merupakan langkah awal metabolisme
glukosa dan terjadi pada sitoplasma sel. Produk akhir dari proses ini adalah
piruvat, yang selanjutnya berdifusi ke dalam mitokondria dan dimetabolisme
menjadi karbon dioksida melalui siklus kreb. Metabolisme glukosa menjadi
piruvat juga terjadi sebagai akibat reduksi dari kofaktor enzim yang
mengoksigenasi bentuk nicotinic acid dehydrogenase (NAD+) menjadi nicotinic acid dehydrogenase (NADH), bentuk tereduksi (Murray, Granner, and Mayes, 1995).
NADH/NAD+ merupakan kofaktor pertukaran atom hidrogen yang
dilepaskan atau yang dipakai. Oleh karena itu, rasio laktat/piruvat selalu
sebanding dengan rasio NADH/NAD+ di sitosol. Konsentrasi laktat yang tinggi
juga disertai dengan konsentrasi yang tinggi dari piruvat atau NADH di sitosol,
atau keduanya. Sintesis laktat meningkat bila pembentukan piruvat di sitosol
melebihi penggunaannya oleh mitokondria. Sintesis laktat juga dapat terjadi bila
metabolisme glukosa melebihi kapasitas oksidatif mitokondria (Luft, 2001).
Laktat berdifusi keluar dari sel dan dikonversi menjadi piruvat dan
selanjutnya dimetabolisme secara aerob menjadi karbondioksida dan ATP.
Jantung, hepar, dan ginjal menggunakan laktat dengan cara ini. Sebagai alternatif,
jaringan hepar dan ginjal dapat menggunakan laktat untuk menghasilkan glukosa
dan eritrosit. Laktat dimetabolisme oleh hepar, ginjal, dan jantung (Gambar 6)
(Duke, 1999).
Glucose Mitochondrial pO2 (mmHg)
Pyruvic acid 10
Oxidation by Krebs cycle 36 molecules of ATP (1270 kJ energy)
Metabolic adaption: Liver glycogen
Recruitment of redox component 4
of electron transport 1 Glucose Cori cycle
changes in phosphorylation state Pyruvic acid ATP
requiring
DYSOXIA 2 molecules of ATP + lactate
(67 kJ energy)
Membrane transport Increased intra-
Cell consumption cellular lactate
Microcirculatory blood flow
Increased blood
ATP production lactate
Unable to match demand
Sepsis Clearance by liver,
Alkalosis Kidney, GI tact,
Regional blood flow Decreased Muscle
Liver function Intracellular pH
Disruption of Transport proteins, Cell membrane synthesis and Specialized cell function
C. Hepatotoksin
Hepatotoksin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada
jaringan hepar (Robbins and Kumar, 1995). Hepatotoksin juga merupakan zat
yang mempunyai efek toksik pada hepar dengan dosis berlebih atau dalam jangka
waktu yang lama (Watt and Zimmerman, 1978). Berdasarkan mekanisme
kerusakan hepar, hepatotoksin dibagi menjadi dua macam :
a. Hepatotoksin intrinsik
Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi,
tergantung dosis dan melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat
dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan timbulnya kerusakan
hepar sangat bervariasi (dari beberapa jam sampai beberapa minggu). Contoh obat
dari hepatotoksin tipe ini antara lain tetrasiklin, parasetamol, karbon tetraklorida,
dan salisilat (Aslam, Tan dan Prayitno, 2003).
b. Hepatotoksin idiosinkratik
Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat
diprediksi. Hepatotoksin ini terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan
metabolisme. Respon dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak
tergantung pada dosis pemberian. Contoh obat dari hepatotoksin tipe ini antara
D. Karbon Tetraklorida
Gambar 7. Struktur Karbon Tetraklorida (Dirjen POM, 1995).
CCl4 (Gambar 7) merupakan cairan jernih, tak berwarna, tidak larut
dalam air, mudah menguap dan mempunyai bau khas. Berat Molekul CCl4 yaitu
153,82 (Dirjen POM, 1995). CCl4 merupakan cairan yang tidak mudah terbakar
dan larut dalam etanol, aseton, benzene, dan karbon disulfida. CCl4 digunakan
dalamindustri sebagai pelarut organik. (Oehha, 2000).
CCl4 merupakan senyawa kimia yang sudah terbukti bersifat
karsinogenik. Pada penelitian Haki (2009) telah dilakukan penelitian
menggunakan hepatotoksin CCl4. Panjaitan, Handharyani, Chairul, Masriani,
Zakiah, dan Manalu (2007) melaporkan bahwa sekelompok tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi karbon tetraklorida mengalami steatosis pada sel-sel hepar tikus dan kerusakan yang diakibatkan oleh CCl4 sebanding dengan dosis yang
diinduksikan. Rosnalini (1995) melakukan penelitian mengenai hepatotoksin CCl4
dengan menggunakan senyawa hepatoprotektif kurkuminoid. CCl4 dapat melalui
membran sel dan CCl4 yangtertelan akan didistribusikan ke semua organ, tetapi
Gambar 8: Mekanisme CCl4 merusak hepar (Fausto, 2006)
Hepar menjadi target utama karena senyawa ini bergantung pada
aktivasi metabolisme sitokrom P-450 (CYP2E1). Dosis rendah karbon tetraklorida
dapat menyebabkan perlemakan hepar dan destruksi CYP2E1. Destruksi CYP2E1
terjadi terutama di sentrilobular dan daerah tengah hepar. Senyawa ini selektif
untuk isoenzim tertentu, pada tikus diketahui selektif untuk CYP2E1, sedangkan
pada isoenzim lain seperti CYP1A1 tidak mempengaruhi (Timbrell, 2008).
CCl4 merupakan xenobiotik yang lazim digunakan untuk menginduksi
peroksidasi lipid dan keracunan. Dalam endoplasmik retikulum hepar CCl4
dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas
triklorometil (CCl3*) (Jeon, Hwang, Park, Shin, Choi, Park, 2003). Triklorometil
dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi yang dapat
menyerang lipid membran endoplasmik retikulum dengan kecepatan yang
melebihi radikal bebas triklorometil. Selanjutnya triklorometilperoksi
akhirnya menyebabkan kematian sel (Shanmugasundaram and Venkataraman,
2006).
Penyusun utama membran sel adalah lipid, protein, dan karbohidrat.
Lipid yang menyusun membran adalah fosfolipid. Fosfolipid merupakan molekul
yang bersifat amfipatik, artinya memiliki daerah hidrofilik dan hidrofobik.
Keberadaan dua lapis fosfolipid mengakibatkan membran memiliki permeabilitas
selektif, tetapi protein juga ikut menentukan sebagian besar fungsi spesifik
membran. Membran plasma dan membran organel memiliki ragam protein yang
spesifik. Molekul lipid dan molekul protein pada membran tidak terikat secara
kovalen, melainkan melalui interaksi nonkovalen yang kooperatif (Delgado and
Remers, 1991).
Asam lemak penyusun membran sel khususnya asam lemak rantai
panjang tak jenuh (PUFAs) amat rentan terhadap radikal bebas. Menurut Jeon et al. (2003) jumlah PUFAs dalam fosfolipid membran endoplasmik retikulum akan berkurang sebanding dengan jumlah CCl4 yang diinduksikan. Pemberian CCl4
dalam dosis tinggi dapat merusak endoplasmik retikulum, mengakumulasi lipid,
mengurangi sintesis protein, mengacaukan proses oksidasi, menurunkan bobot
badan, menyebabkan pembengkakan hepar sehingga bobot hepar menjadi
bertambah, dan pemberian jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis
Gambar 9: Mekanisme CCl4 terhadap akumulasi lemak di hepar (Fausto, 2006)
E. Macaranga tanarius L.
Hepatoprotektor merupakan senyawa atau zat berkhasiat yang dapat
melindungi sel-sel hepar terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel
hepar. Mekanisme senyawa hepatoprotektif antara lain dengan cara detoksifikasi
senyawa racun baik yang masuk dari luar (eksogen) maupun yang terbentuk
dalam tubuh (endogen) pada proses metabolisme, meningkatkan regenerasi hepar
yang rusak, antiradang, dan sebagai imunostimulator (Dalimarta, 2000). Hepar
berfungsi sebagai pertahanan tubuh tentunya juga memiliki sistem antioksidan
yang cukup baik. Tetapi bila hepar telah rusak karena bahan toksik, maka perlu
diberi tambahan antioksidan dari luar. Pada penelitian ini, M. tanarius dipilih sebagai senyawa yang mempunyai fungsi hepatoprotektif terhadap kerusakan
yang diinduksi oleh CCl4.
1. Sinonim
Macaranga molliuscula Kurz., Macaranga tomentosa Druce, dan Mappa tanarius Blume (World Agroforestry Centre, 2002).
2. Nama lain
Inggris : hairy mahang
Filipina : binunga, himindan, kuyonon
Indonesia : hanuwa, mapu, mara, tutup ancur
Malaysia : ka-lo, kundoh, mahang puteh, tampu
Thailand : hu chang lek, ka-lo, lo khao, mek, paang
Vietnam : hach dâu-nam
(World Agroforestry Centre, 2002)
3. Taksonomi Kerajaan : Plantae Subkerajaan : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Macaranga
Spesies : Macaranga tanarius L. (Mus, 2008).
4. Morfologi
Tinggi pohon tanaman M. tanarius mencapai 20 meter. Daun berwarna hijau, berbentuk jantung dan pangkalnya berbentuk bulat dengan ukuran daun
tebal dan berwarna hijau keabu-abuan. Buah tanaman berbentuk kapsul biccocus
dengan panjang 1 cm, berwarna kekuningan. Biji tanaman berbentuk bulat dengan
ukuran 5 mm (World Agroforestry Centre, 2002).
5. Kandungan
M. tanarius memiliki berbagai macam kandungan kimia. Daun M. tanarius mempunyai kandungan senyawa lauroside E, metil brevifolin karboksilat, isoquercitrin, hiperin, mallophenol B, macarangioside A,
macarangioside B, macarangioside C, macarangioside D yang diisolasi dari ekstrak metanol (Gambar 10) (Matsunami, Ichiko, Takakazu, Mitsunori,
Kazunari, Hideaki, et al., 2006).
Gambar 10 : Kandungan senyawa ekstrak metanol M. tanarius(Matsunami et al., 2006)
Kumazawa et al. (2013) menganalisis mengenai kandungan senyawa antioksidan dari ekstrak etanol M. tanarius yaitu nymphaeol A, nymphaeol B,
Gambar 11 : Kandungan senyawa ekstrak etanol M. tanarius (Kumazawa et al., 2013)
Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) terdapat tiga kandungan senyawa baru ekstrak n-heksan dan kloroform daun M. tanarius yaitu tanarifuranonol, tanariflavanone C, dan tanariflavanone D (Gambar 12) beserta tujuh kandungan yang telah diketahui yaitu nymphaeol A, nymphaeol B,
nymphaeol C, tanariflavanone B, blumenol A (vomifoliol), blumenol B (7,8
dihydrovomifoliol dan annuionone)
Gambar 12 : Tiga senyawa baru dari M. tanarius: tanarifuranonol (1)
tanariflavanone C (2) tanariflavanone D (3) (Phommart et al., 2005)
Puteri dan Kawabata (2010) menganalisis kandungan senyawa
antioksidan dari ekstrak etil asetat daun M. tanarius yaitu mallotinic acid,
Gambar 13: Kandungan senyawa ekstrak etil asetat M. tanarius: mallotinic acid
(1), corilagin (2), macatannin A (3), chebulagic acid (4) dan macatannin B (5) (Puteri dan Kawabata, 2010)