• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran Berbangsa dan Bernegara dalam

Dalam dokumen Buku Guru PPKn SMALB Tunanetra (Halaman 19-200)

D. Karakteristik Siswa Tunanetra

Dalam melayani pembelajaran bagi siswa tunanetra, diperlukan kedewasaan dan keluasan cakrawala berpikir tentang manusia. Pada umumnya kita memandang mereka sebagai orang yang berkekurangan atau berketerbatasan. Dan oleh karenanya kita selalu menganggap mereka memiliki kemampuan di bawah manusia normal. Cara pandang inilah yang selama ini menjadi pola tindak kita dalam membelajarkan mereka.

Hakikat penciptaan manusia adalah bahwa setiap manusia memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Jika ada anak yang mengalami kekurangan di suatu sisi, pasti ada kelebihan di pihak lain. Tugas kita sebagai pelayan di bidang pendidikan adalah mengembangkan potensi yang tersimpan di balik keterbatasan fisik atau keterbatasan lain yang dimiliki oleh anak.

Pendidikan adalah pemberian layanan yang berkualitas kepada setiap anak, tanpa kecuali. Layanan yang berkualitas yang dimaksud adalah layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap siswa tunanetra. Dalam kaitanya ini, layanan pendidikan harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Artinya, sistem yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan setiap siswa tunanetra, bukan sebaliknya, kondisi anak yang menyesuaikan dengan sistem.

Diagnosa seperti yang diberikan di masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label yang mengakibatkan gurunya memfokuskan pada keterbatasan yang dapat disebabkan oleh kecacatannya. Ini dapat mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Oleh karena itu, guru harus dapat mengenal karakteristik yang ada pada siswa tunanetra diantaranya seperti berikut ini:

1. Karakteristik siswa tunanetra dalam Aspek Akademis. Tilman & Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara siswa tunanetra dan anak awas. a. Siswa tunanetra menyimpan

pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.

b. Siswa tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehention) dan persamaan. c. Kosa kata siswa tunanetra cenderung merupakan

kata-kata yang definitif.

2. Karakteristik Siswa tunanetra dalam Aspek Pribadi dan Sosial

a. Ketunanetraan tidak secara langsung menyebabkan timbulnya masalah kepribadian.

Masalah kepribadian cenderung diakibatkan oleh sikap negatif yang diterima siswa tunanetra dari lingkungan sosialnya.

b. Siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam menguasai keterampilan sosial, karena keterampilan tersebut biasanya diperoleh individu melalui model atau contoh perilaku dan umpan balik melalui penglihatan.

c. Beberapa karakteristik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya, adalah curiga terhadap orang lain, mudah tersinggung, dan ketergantungan pada orang lain. 3. Karakteristik Siswa tunanetra dalam Aspek

Fisik/Indera dan Motorik/Perilaku

a. Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra.

b. Hal itu dapat dilihat dari kondisi matanya yang berbeda dengan mata orang awas dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku.

c. Siswa tunanetra pada umumnya menunjukkan kepekaan yang lebih baik pada indera pendengaran dan perabaan dibandingkan dengan anak awas. d. Dalam aspek motorik/perilaku, gerakan siswa

tunanetra terlihat agak kaku dan kurang fleksibel, serta sering melakukan perilaku stereotif, seperti menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk tangan.

Berdasarkan karakteristik siswa tunanetra tersebut di atas, maka dibutuhkan metoda dan pemilihan bahan ajar yang tepat bagi siswa-siswi SMALB/A (siswa tunanetra).

Ada beberapa kebutuhan lain yang juga diperlukan oleh siswa tunanetra berkaitan dengan permasalahan yang terjadi akibat masalah fisik dan gangguan lain yang dialami, yaitu (Ahmad Toha Muslim dan M. Sugiarmin): 1) kebutuhan komunikasi; 2) kebutuhan mobilisasi; 3) kebutuhan memelihara diri sendiri; 4) kebutuhan sosial; 5) kebutuhan psikologis; 6) kebutuhan pendidikan; dan 7) kebutuhan kekaryaan.

E. Karakteristik Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

1. Pengertian

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berupaya mengantarkan warga negara Indonesia menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; menjadi warga negara demokratis yang berkeadaban; yang memiliki daya saing; berdisiplin; dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi

baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (Zamroni dalam Darmadi, 2013).

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan ini menggemblengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politik, sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jati diri dan identitas bangsa (Kymlicka dalam Darmadi, 2013).

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkontiribusi penting menunjang tujuan bernegara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pendidikan ini merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra dalam Darmadi, 2013). Kehadiran kurikulum PPKn berupaya menanamkan sikap kepada warga negara Indonesia umumnya dan generasi muda khususnya agar:

a. Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara;

b. Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional;

c. Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara Indonesia yang cerdas, trampil dan berkarakter; d. Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap

hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara Indonesia secara adil dan tidak diskriminatif;

e. Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi yang bersumber pada Pancasila;

f. Memiliki pola sikap, pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional Indonesia serta mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

2. Tujuan

Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas X SMALB-A bertujuan agar siswa tunanetra memiliki kemampuan:

a. Menghayati nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Menghayati isi dan makna pasal 28E dan 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Menghayati nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

d. Mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

e. Menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam berbagai aspek kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta hukum. f. Mengamalkan sikap toleransi antar umat beragama

dan kepercayaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Mengamalkan perilaku toleransi dan harmoni keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.

h. Mengamalkan nilai dan budaya demokrasi dengan mengutamakan prinsip musyawarah mufakat

dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

F. Integrasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi siswa. Budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan pengertian karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Pendidikan budaya karakter bangsa dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi siswa agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Nilai-nilai yang dikembangan dalam pendidikan budaya karakter bangsa:

1. Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, serta toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat

dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan suku, agama, etnis, pendapat, sikap, tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin, tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja keras, perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif, berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri, sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis, cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari yang dipelajari, dilihat, dan didengar. 10. Semangat kebangsaan, cara berpikir, bertindak

dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

11. Cinta tanah air, cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulia, dan penghargaan yang tinggi tehadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/komunikatif, tindakan yang

memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.

14. Cinta damai, sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar membaca, kebiasaan menyediakan waktu luang untuk membaca berbagai bacaan-bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk Melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang

seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

BAB II

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN A. Model Pembelajaran Langsung

Model pembelajaran langsung merupakan sebuah model pembelajaran yang bersifat teacher centered

(berpusat pada guru). Saat melaksanakan model pembelajaran ini, guru harus mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa, selangkah demi selangkah. Guru sebagai pusat perhatian memiliki peran yang sangat dominan dan harus bisa menjadi model yang menarik.

Praktiknya di dalam kelas, direct instruction (model pembelajaran langsung) ini sangat erat berkaitan dengan metode ceramah, metode kuliah, dan resitasi, walaupun sebenarnya tidaklah sama (tidak sinomim). Model ini menuntut siswa mempelajari suatu keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah.

Karakteristik atau ciri-ciri model pembelajaran langsung menurut Faiq (2013) adalah sebagai berikut:

1. Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian hasil belajar.

2. Adanya sintaks atau pola keseluruhan kegiatan pembelajaran.

3. Adanya sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan siswa agar kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan sangat baik.

Tujuan-tujuan pembelajaran pada mata pelajaran PPKn dapat dicapai melalui implementasi Direct

Instruction (Model Pengajaran Langsung). Umumnya, para

ahli teori pembelajaran membedakan pengetahuan ke dalam dua (2) jenis, yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.

1. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan ‘mengenai sesuatu’ dan dapat diungkapkan dengan kata-kata. Contoh pengetahuan deklaratif misalnya bahwa: ‘presiden RI dipilih melalui pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.’

2. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang ‘bagaimana melakukan sesuatu’. Contoh pengetahuan prosedural misalnya, ‘bagaimana tata cara dan langkah-langkah pelaksanaan pemilu di Indonesia’. Model pembelajaran ini dirancang khusus untuk mengembangkan pembelajaran siswa baik yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural maupun pengetahuan deklaratif. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Langsung menurut Rusman (2012) adalah:

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan

mempersiapkan siswa

Fase ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus, memberi informasi tentang latar belakang

pembelajaran, memberikan informasi mengapa pembelajaran itu penting, dan mempersiapkan siswa baik secara fisik maupun mental untuk mulai pembelajaran secara utuh.

2. Mendemostrasikan pengetahuan atau keterampilan

Pada fase kedua ini guru berperan sebagai model dengan mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan secara benar. Guru harus memiliki kemampuan untuk menyajikan informasi secara bertahap selangkah demi selangkah sesuai struktur dan urutan yang benar.

3. Membimbing pelatihan

Pada fase ketiga guru harus memiliki kemampuan untuk memberikan bimbingan dan pelatihan awal agar siswa dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sedang diajarkan.

4. Mencek pemahaman dan memberikan balikan (umpan balik)

Pada fase keempat ini guru melakukan pengecekan apakah siswa dapat melakukan tugas dengan baik, apakah mereka telah menguasai pengetahuan atau keterampilan, dan selanjutnya memberi umpan balik yang tepat.

5. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan

Pada fase terakhir (kelima) ini guru kemudian menyediakan kesempatan kepada semua siswa untuk melakukan latihan lanjutan, dengan perhatian

khusus pada penerapan kepada situasi yang lebih kompleks atau penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

B. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Keterampilan kooperatif yang harus dikuasai siswa berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja, dan tugas. Pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya (2010) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Untuk memuntaskan materi, siswa belajar dalam kelompok dan bekerja sama.

2. Kelompok dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

3. Jika dalam kelas terdapat siswa yang heterogen ras, suku, budaya, dan jenis kelamin, maka diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenan tersebut.

4. Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.

Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. Menurut Rusman (2012: 209), “Model pembelajaran kooperatif

dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial”.

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, sering kali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya, siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan untuk siswa tunanetra menurut Rusman (2012: 211) adalah:

Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Tahap Indikator Tingkah Laku Guru

1. Menyampaikan tujuan dan

memotivasi

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran

siswa tersebut dan memotivasi siswa.

2. Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. 3. Mengorganisasi kan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap

kelompok agar melakukan transisi efisien.

4. Membimbing kelompok

bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mengerjakan tugas.

5. Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya.

6. Memberikan penghargaan

Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar siswa baik individu maupun kelompok.

C. Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada siswa, sebelum siswa mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan.

Terdapat lima strategi penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning

(PBL), yaitu:

1. Permasalahan sebagai kajian.

2. Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman. 3. Permasalahan sebagai contoh.

4. Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses.

5. Permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik. Peran guru, siswa dan masalah dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning

1. Peran Guru sebagai Pelatih a. Bertanya tentang pemikiran. b. Memonitor pembelajaran.

c. Menantang siswa untuk berpikir. d. Menjaga agar siswa terlibat. e. Mengatur dinamika kelompok. f. Menjaga berlangsungnya proses. 2. Peran Siswa sebagai Problem Solver

a. Peserta yang aktif.

b. Terlibat langsung dalam pembelajaran. c. Membangun pembelajaran.

3. Peran Masalah sebagai Awal Tantangan dan Motivasi a. Menarik untuk dipecahkan.

b. Menyediakan kebutuhan yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dipelajari.

Masalah yang disajikan dalam pembelajaran berbasis masalah tidak perlu berupa penyelesaian masalah

(problem solving) sebagaimana biasanya, tetapi

pembentukan masalah (problem posing) yang kemudian diselesaikan. Melalui pendekatan PBM siswa mempresentasikan gagasannya.

Siswa terlatih merefleksikan persepsinya, berargumentasi dan mengomunikasikan ke pihak lain, sehingga guru pun memahami proses berpikir siswa. Guru dapat membimbing serta mengintervensikan ide baru berupa konsep dan prinsip. Dengan demikian, pembelajaran berlangsung sesuai dengan kemampuan siswa, sehingga interaksi antara guru dan siswa, serta

siswa dengan siswa menjadi terkondisi dan terkendali. Rusman (2012: 243) mencantumkan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah sebagaimana tercantum dalam tabel 2.2 di atas.

Tabel 2.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Tahap Indikator Tingkah Laku Guru

1. Orientasi siswa pada masalah

Menjelaskan tujuan

pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.

2. Mengorganis asi siswa untuk belajar Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

3. Membimbing pengalaman individu/kelo mpok

Mendorong siswa untuk

mengumpulkann informasi yang sesuai, Melaksanakan

eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4. Mengembang kan dan menyajikan

Membantu siswa dalam

merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti

hasil karya laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau

evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.

D. Strategi Pembelajaran Kontekstual Dalam Pembelajaran

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and

Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang

holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya.

CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran

diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi.

Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual

(Contextual Teaching and Learning), yaitu relating,

experiencing, applying, cooperating, dan transfering

diharapkan siswa mampu mencapai kompetensi secara maksimal. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi.

Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and

Learning) adalah "konsep belajar yang membantu guru

mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidu-pan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen

utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme

(constructivism), bertanya (questioning), menemukan

(inquiri), masyarakat belajar (learning community),

pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment)".

CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Karakteristik pembelajaran CTL sebagaimana dikutip Rusman (2012: 198) adalah:

1) Kerjasama; 2) Saling menunjang; 3) Menyenangkan, tidak membosankan; 4) Belajar dengan bergairah; 5) Pembelajaran terintegrasi; 6) Menggunakan berbagai sumber; 7) Siswa aktif; 8) Sharing dengan teman; 9) Siswa kritis guru kreatif; 10) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain; dan 11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.

Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh

Dalam dokumen Buku Guru PPKn SMALB Tunanetra (Halaman 19-200)

Dokumen terkait