• Tidak ada hasil yang ditemukan

tanggal 23 April 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

2. Kesalahan-Kesalahan Majelis Hakim

Penulis tidak setuju dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga yang memutuskan perkara hanya berdasar kepada nilai-nilai yang bersifat formal dan subyektif, tidak melihat pula pada sisi nilai nonformal dan obyektif. Kesalahan-kesalahan Majelis Hakim adalah tidak memandang pada hal-hal berikut ini :

2.1Nilai Limit Lelang

Hakim tidak memperhatikan prosedur lelang yang baik terkait dengan harga yang diajukkan oleh Tergugat-II, sangat jauh dari harga pasaran dari obyek jaminan yang pada saat penulis menulis karya ilmiah ini ditaksir telah mencapai Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah), karena berada pada lokasi yang sangat strategis. Sedangkan

70

harga limit lelang yang diajukkan oleh Tergugat-II adalah Rp. 109.800.000 (seratus Sembilan juta delapan ratus ribu rupiah), yang mana hal ini jelas merugikan bagi pihak Penggugat karena harga yang ditetapkan sangat rendah dari harga pasar saat ini. Namun, pihak Tergugat-II memberikan tanggapan mengenai harga lelang yang ditetapkan telah sesuai dengan metode yang dapat dipertanggung jawabkan oleh tim penaksir yang diberi kepercayaan oleh Tergugat-II, dengan memperhatikan nilai pasar dan risiko penjualan lelang, seperti bea lelang, penguasaan dan penyusutan. Penulis tidak setuju terhadap tanggapan Tergugat-II akan hal ini, karena dalam rangka menciptakan keadilan bagi para pihak seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan terhadap penetapan nilai lelang obyek jaminan yang diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) harus menggunakan Apraiser Independen, yaitu perusahaan penilai yang tidak terikat dengan bank dan debitur untuk melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilaian Indonesia, serta ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh Dewan Penilai Indonesia, yang memiliki izin usaha dari instansi berwenang78. Penilaian dari Apraiser Independen setidaknya adalah 80% (delapan puluh persen) dari harga pasar obyek jaminan.

78

71 2.2Peningkatan SKMHT ke APHT

Peningkatan SKMHT ke APHT harus memperhatikan pula pada ketentuan jangka waktu diperbolehkan, yaitu apabila hak atas tanah belum terdaftar maka harus dipenuhi dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, atau dalam masa 90 (Sembilan puluh) hari dan apabila sudah terdaftar harus dipenuhi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, atau dalam masa 30 (tiga puluh) hari79. Namun fakta dalam persidangan, peningkatan SKMHT yang dibuat oleh Penggugat Budi Kabul (melalui marketing Bank Danamon Salatiga) dipenuhi dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun dengan dibuktikan pada Sertifikat Hak Tanggungan No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015 atas nama PT Bank Danamon Indonesia80.

2.3Penilaian Hakim

Mengenai cara pandang dan penilaian hakim, menurut penulis penilaian hakim dalam memberikan penilaian terhadap permasalahan ini sangat jauh dari hukum progresif dan keadilan substansial. Hukum progresif itu sendiri menurut Guru Besar Ilmu Hukum UGM Yogyakarta yang juga Wakil Menteri Hukum dan Ham periode 19 Oktober 2011-20 Oktober 2014, Denny Indrayana mengkolaborasikannya ke dalam 13 (tiga belas) karakter yang antara lain hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum progresif mendudukan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam

79

Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

80

72

satu garis. Hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil. Hukum progresif bukan hanya taat pada formal procedural, tetapi juga pada material-substantif81. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD memberikan pendapat mengenai hukum progresif bagi seorang hakim, adalah hukum yang bertumpu pada keyakinan hakim, dimana hakim tidak terbelenggu pada rumusan undang-undang. Dengan hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan melanggar undang-undang, apalagi tak selamanya undang-undang itu adil82. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut, penulis melakukan analisis keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga dengan hukum progresif dan keadilan substansi, maka penulis berkesimpulan bahwa putusan dan penilaian hakim tersebut belum menunjukkan adanya penerapan hukum progresif dan keadilan yang substansial (berkaitan dengan hukum materil). Oleh sebab itu menurut penulis, hakim belum dapat memberikan penilaian yang tepat, karena tidak dapat menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

2.4Penerapan Asas Dalam Peradilan

Majelis Hakim dalam pelaksanaan peradilan menurut pandangan penulis belum sepenuhnya memenuhi asas-asas hakim dalam peradilan. Berikut adalah beberapa asas yang tidak didasarkan oleh hakim dalam mengambil keputusan :

81

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt529c62a965ce3/menggali-karakter-hukum-progresif dikunjungi pada tanggal 24 Agustus 2017 pukul 15.53.

82

73

a. Asas Tidak Berpihak (Imparsialitas)

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa Pengadilan seharusnya mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus berlaku obyektif dan netral. Namun dalam hal ini Majelis Hakim tidak berlaku obyektif. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan mengenai harga pasar yang sebenarnya dengan harga limit lelang yang diajukkan Tergugat-II Bank Danamon Salatiga yang terlalu rendah dari harga pasar dan menyebabkan ketidak adilan bagi Penggugat Budi Kabul.

b. Asas Ex Aequo Et Bono (Putusan Yang Adil)

Putusan yang adil bagi kedua belah pihak yang berperkara harus di dasarkan dengan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak. Hakim dalam melakukan penilaian harus mempertimbangkan hal-hal yang prosedural dan substansial secara seimbang. Apabila hanya menerapkan salah satu di antara kedua hal tersebut maka dapat dipastikan aka nada keadilan yang tidak tercapai dalam putusan yang diambil oleh seorang hakim. Berdasarkan analisis penulis bahwa hakim hanya mempertimbangkan dari hal-hal yang bersifat procedural saja, akibatnya ada hak dan keadilan bagi salah satu pihak yang dirugikkan, yaitu hak bagi Penggugat untuk memperoleh harga jual obyek jaminan yang dirasa patut dan pantas, dengan berdasarkan pada nilai obyektif.

74

c. Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Negara menjamin adanya kebebasan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan maksud agar terbebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan lain di luar kehakiman, kecuali terhadap hukum dan keadilan. Namun pada kenyataannya peradilan di Indonesia menjadi subordinasi dari lembaga lainnya. Promosi dan mutasi nasib serta kesejahteraan para hakim berada di tangan departemen-departemen eksekutif yang secara psikologis, hakim harus tunduk atas perintah eksekutif83. Hal ini menyebabkan hakim tidak berani mengambil keputusan yang keluar dari subyektif dan bunyi hukumnya. Hal ini pula yang ada dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga, yang hanya bertumpu pada bunyi hukumnya saja, tidak pada keadilannya.

Dokumen terkait