• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Perkara Nomor : 4PDT.G2016PN.SLT (Studi terhadap Sengketa Obyek Jaminan) T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Perkara Nomor : 4PDT.G2016PN.SLT (Studi terhadap Sengketa Obyek Jaminan) T1 BAB II"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

PEMBAHASAN

A.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Hak Tanggungan

1.1Jaminan Hak Tanggungan

Sebelum membahas mengenai inti dari permasalahan, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu Jaminan. “Jaminan

merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerbeid atau cautie yang mencakup secara umum cara – cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya disamping pertanggungan jawab umum debitor terhadap barang – barangnya. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977, disimpulkan bahwa pengertian jaminan adalah „menjamin

dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda‟. Bahkan hukum jaminan adalah merupakan hukum benda“1

.

1

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia,

(2)

13

Menurut Hartono hadisoeprapto2 jaminan adalah “sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”. Adanya lembaga hak tanggungan dimaksudkan sebagai pengganti dari hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 masih diberlakukan walaupun telah lahir Undang – Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Nomor 4 Tahun 19963.

“Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor – kreditor lain. Dalam arti jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah

2

Hartono Hadisoeprapto, 1984, h. 50. Dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid., h. 26.

3

Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak

(3)

14

barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang Negara menurut ketentuan hukum yang berlaku”4

.

1.2Pembebanan Hak Tanggungan

Sebagai syarat pembebanan Hak Tanggungan mencakup dua hal berikut:

1.2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan5 (SKMHT)

Dalam Penjelasan Umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Dalam hal suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT, maka wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (disingkat SKMHT) yang berbentuk akta autentik.

Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaannya sampai pada wilayah Kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Isi dalam SKMHT harus memenuhi persyaratan berikut:6

a) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain diluar pembebanan Hak Tanggungan. b) Tidak memuat kuasa substitusi.

4Ibid.,

h. 5.

5

Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 60-61.

6

(4)

15

c) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.

Dalam Penjelasan Umum angka 7 UUHT dijelaskan kewenangan dari PPAT dalam membuat SKMHT yang di antaranya menyatakan:

(1) PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing–masing. Sebagai pejabat umum tersebut akta–akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta autentik.

(2) Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, juga ditugaskan kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan untuk memudahkan pelayanan kepada pihak–pihak yang memerlukan.

(5)

16

maka Surat Kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, artinya Surat Kuasa itu tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.7

Dalam SKMHT terdapat dua aspek yaitu: a. Pembatasan Isi / Muatan dalam SKMHT

Isi atau muatan yang terkandung di dalam SKMHT hanya boleh memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan, maka itu tidak diperbolehkan membuat kuasa – kuasa melakukan perbuatan hukum lain yang bermaksud mendukung tercapainya maksud pemberian jaminan yang bersangkutan, misalnya, tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek Hak Tanggungan, memperpanjang hak atas tanah atau untuk mengurus perpanjangan sertifikat, mengurus balik nama dan sebagainya. Jika memang dikehendaki, hal–hal semacam itu dapat dimuat di dalam APHT, namun bukan sebagai kuasa tetapi hanya berupa janji – janji antara pemberi Hak Tanggungan dengan pemegang Hak Tanggungan8

b. Pembatasan Jangka Waktu

Untuk mencegah berlarut – larutnya pemberian hak kuasa dan terjadinya penyalahgunaan serta demi tercapainya kepastian hukum, maka berlakunya SKMHT dibatasi jangka

7Ibid.,

h. 61.

8Yudo Paripumo, “Pengaturan dan Pelaksanaan Surat Kuasa Memasang Hipotik

(6)

17

waktunya. Untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat – lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan, tetapi hak atas tanah yang belum terdaftar harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan. Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Aturan tersebut sebenarnya menampakan suatu penyimpangan dari KUH Perdata Pasal 1813 KUH Perdata dimana pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si penerima kuasa melalui pemberitahuan penghentian kuasa karena meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan kuasa atau menerima kuasa9.

1.2.2 Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)

Suatu Akta Pembebanan Hak Tanggungan memuat substansi yang sifatnya wajib, yaitu berkenaan dengan10 :

a) nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan; b) domisili pihak – pihak yang bersangkutan;

c) penunjukan secara jelas utang atau utang – utang yang dijamin;

9

Ibid.

10

(7)

18 d) nilai tanggungan dan,

e) uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan.

Selain itu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan itu para pihak juga dapat mencantumkan janji – janji yang bersifat fakultatif, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Walaupun janji – janji tersebut sifatnya fakultatif, tetapi hal itu selalu dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Akta Pemberian Hak Tanggungan mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari debitur kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor–kreditor lain (kreditor konkuren)11.

Pembebanan Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu:12

a. didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang

11

Ibid.

12

(8)

19

tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. b.Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat

spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang–utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. c. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi persyaratan

publisitas melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kotamadya / Kabupaten). d.Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak

Tanggungan memuat title eksekutorial dengan kata–kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

e. Batal demi hukum jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji (wanprestasi).

(9)

20

penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan (Pasal 20 UUHT)13.

Untuk kepentingan kreditor dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yaitu Sertifikat Hak Tanggungan yang terdiri salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT. Akta pembebanan hak di daftarkan Kantor Pertanahan setempat sehingga memiliki kekuatan hukum yang pasti dan semua isi yang termuat dalam akta tersebut berlaku terhadap pihak ketiga. Demikian juga apabila debitur cidera janji, maka pihak kreditor memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung tanpa perlu lagi meminta persetujuan dari pihak debitur. Berpegang pada arti yang diberikan oleh doktrin terhadap hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji merupakan pelaksanaan hak eksekusi yang disederhanakan yang diberikan oleh undang – undang sendiri kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama dalam arti bahwa pelaksanaan hak seperti itu tidak usah melalui pengadilan dan tidak perlu diturut hukum acara, cara itu tampak seperti eksekusi yang selalu siap di tangan kalau dibutuhkan dan itulah sebabnya eksekusi yang demikian disebut parate eksekusi14.

1.3Dasar Hukum Pelaksanaan Eksekusi dan Lelang Obyek Hak

Tanggungan

13

Ibid., h. 73.

14

(10)

21

Pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan diatur di dalam pasal 20 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) yang memberikan pilihan eksekusi sebagai berikut:15 1. “Apabila debitor cidera janji maka:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUHT, atau

b. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) di mana obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului kreditor – kreditor lainnya.

2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan untuk penjualan obyek Hak Tanggungan dilaksanakan di bawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak.

3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak – pihak yang berkepentingan dan diumumkan

15

(11)

22

sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan / atau media massa setempat serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum.

5. Sampai saat pengumuman lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya –biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.”

2. Kewenangan Hakim dalam Peradilan

(12)

23

Kehakiman dijelaskan pula kewenangan Hakim yaitu “Hakim dan Hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh dari itu Hakim di dalam hubungan ini, pekerjaan Hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya seorang teknisi UU, tetapi juga mahluk sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak tetapi juga nuraninya16.

Hakim dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya diharapkan didasari dengan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak benar dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkaranya. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduknya perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru kemudian dikonstruir.

Dalam perspektif ideal dikatakan bahwa “optimam esse legem,

quae minimum relinquit arbitrio judicis ; id quod certitude ejus

praestat”, hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak memberikan peluang diskresi bagi hakim, guna mewujudkan ketertiban, menciptakan keadilan dan menjamin kepastian hukum dalam

16

(13)

24

masyarakat17. Peristiwa sebenarnya akan diketahui hakim dari pembuktian, jadi bukannya putusan itu lahir dalam proses secara a priori dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dahulu tentang terbukti tidaknya baru kemudian sampai pada putusan18.Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan soalnya kedua belah pihak. Maka dari itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak (Pasal 176 ayat 1 HIR dan Pasal 189 ayat 1 Rbg)19.

Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim kadang-kadang sukar untuk menemukan hukumnya, tetapi menerapkan ketentuan undang-undang pada peristiwa konkrit yang harus dibuktikan pada umumnya dapat dikatakan mudah. Hukum yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk menemukan hukum. Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang saat ini menjadi Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim harus memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus memberi putusan berdasar atas kenyataan sosial yang hidup dalam

17

Johnny Ibrahim, Op.Cit., h. 239.

18

Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 32.

19

(14)

25

masyarakat itu. dalam hal ini hakim dapat minta keterangan dari para ahli, kepala adat dan sebagainya20.

2.1Tugas Hakim

Tugas Hakim dalam mengemban tugas pokok peradilan adalah menerima, memeriksa, dan mengadili (menentukan) serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya baik perkara perdata dan perkara pidana yang rincinya diatur dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 16 ayat (1) serta Pasal 28 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Pokok–Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diganti dengan Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman21. Pada hakekatnya Hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya, tetapi hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersikap adil bagi para pihak yang berperkara dan menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku, karena hukum acara perdata pada asasnya bersifat mengikat22.

20

Supomo Menyebutkan Putusan Pengadilan yang Mendasarkan pada Ken yataan Sosial, Hukum Acara Perdata Negeri, Fasco, Jakarta, 1958, h. 128. dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 37-38.

21

Herowati Poesoko, Op.Cit., h. 93-94.

22

(15)

26

Maka oleh karena itu hakim sebagai stabilisator hukum23, harus sungguh–sungguh menguasai hukum acara perdata. Kurangnya pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya atau hukum acara perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara perdata merupakan salah satu faktor terhambatnya jalannya peradilan24, dan bahkan bukan hanya sebagai penghambat melainkan dapat merugikan para pihak yang berperkara25.

2.2Tahap-Tahap dalam Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata meliputi 3 (tiga) tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. sedangkan dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan putusan. Hukum acara perdata bukanlah sekedar merupakan pelengkap saja, tetapi mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil, yaitu sarana peraturan hukum yang memuat tentang hak dan kewajiban yang ditimbulkan hubungan hukum antar pribadi26.

2.3Asas dalam Peradilan

23

Sunaryati Hartono, Peranan Peradilan Dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, h. 8. dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid.

24

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi kedua, Liberty, Yogyakarta, 1985, h. 1-2. Dikutip dari Herowati Poesoko, Ibid.

25

Herowati Poesoko, Ibid.

26

(16)

27

Dalam menjalankan tugasnya Hakim mengacu pada Hukum Acara Perdata yang asas – asasnya adalah:

1) Asas Religiusitas Putusan yang Memuat Irah – Irah demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di mana irah – irah yang berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengandung arti bahwa setiap Hakim yang mengadili dan memutus perkara harus berlaku adil dengan mengingat tanggung jawabnya tidak hanya pada diri sendiri melainkan pula bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa27.

Setiap putusan Hakim harus dipertanggungjawabkan dan pertanggungjawaban seorang Hakim ternyata tidaklah berhenti pada kehidupan duniawi saja tetapi di dalamnya tercakup juga pertanggungjawaban ukhrawi (Arab:Akhirat)28.

Walaupun sesungguhnya seluruh kehidupan manusia memang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat, namun terhadap jabatan Hakim dalam berbagai agama diatur secara lex spesialis, di mana hal ini menunjukkan demikian pentingnya jabatan ini karena jabatan inilah yang

27

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, h. 152. dikutip dari H. Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 27.

28

(17)

28

menyelamatkan pergaulan hidup dan peradaban umat manusia29.

2) Asas Peradilan Diselenggarakan Secara Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.

Salah satu asas dalam sistem peradilan di Indonesia sebagaimana di amanatkan oleh kententuan Pasal 2 ayat (4) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan tersebut dicantumkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan agar para pencari keadilan dalam mempertahankan hak, kapan dapat memperoleh hak tersebut serta berapa biaya yang harus dikeluarkan guna memperoleh hak tersebut30.

3) Asas Hakim Pasif

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan ditentukan oleh hakim dan para pihak secara bebas sewaktu – waktu sesuai dengan kehendaknya dapat mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka persidangan pengadilan. Bilamana para pihak yang bersengketa di persidangan tersebut sudah memutuskan untuk mengakhiri

29

Ibid.

30

(18)

29

persengketaannya dan tidak menginginkan pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung diteruskan maka hakim tidak dapat menghalang – halanginya karena inisiatif maupun luas pokok sengketa sepenuhnya ada pada pihak yang bersengketa dan hakim hanya mencari kebenaran formil31.

4) Asas Ultra Petitum Partium

Sistem hukum acara perdata yang terdapat pada HIR/RGB adalah menyerahkan kepada hakim agar berperan untuk memimpin persidangan mulai dari permulaan proses berperkara sampai dengan berakhirnya proses perkara tersebut. Hakim dalam memimpin persidangan dapat melakukan beberapa tindakan yang terkait pemanggilan para pihak yang bersengketa dan menentukan hari dan tanggal persidangannya untuk mendengar kedua belah pihak yang berperkara dan berusaha untuk mendamaikan serta memerintahkan para pihak yang berperkara untuk membawa dan menunjukkan bukti – bukti yang dimilikinya ke persidangan32.

Sistem hukum acara acara yang menyerahkan pimpinan proses kepada hakim adalah sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia yang mengutamakan kepentingan masyarakat yang menghendaki bahwa sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, negara wajib menyelesaikan perkara

31

Ibid., h. 34.

32

(19)

30

tersebut sedemikian rupa sehingga hukum dipulihkan kembali (Rechtsherstel) dan perkara dapat berakhir secara mutlak33. 5) Asas Ex Aequo Et Bono (Putusan Yang Adil)

Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan penggugat dan agar tuntutan itu dikabulkan oleh hakim. Hakim akan menjawab petitum penggugat tersebut di dalam putusannya setelah hakim mendengar kedua belah pihak yang berperkara dan setelah hakim memeriksa dan mempertimbangkan bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak di persidangan34.

Menurut Harifin A Tumpa, dalam praktek hukum acara perdata di pengadilan, petitum penggugat dalam surat gugatan dapat berbentuk:

1. Petitum tunggal dengan perincian apa yang dituntut; 2. Petitum yang berbentuk subsidaritas yang terdiri dari:

a. Primair dan subsidair masing–masing diperinci satu persatu.

b.Primairnya diperinci satu per satu sedangkan petitum subsidair tidak diperinci dan hanya dirumuskan dalam kalimat ex aequo et bono atau mohon keadilan35.

33

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. 12, 1993, h. 19. dikutip dari H. Sunarto, Ibid.

34

H. Sunarto, Ibid., h. 41.

35

(20)

31

6) Asas Tidak Berpihak (Imparsialitas)

Asas imparsialitas (tidak memihak) ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda –bedakan orang”. Dengan adanya asas imparsialitas, hakim di dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus obyektif dan netral serta tidak berpihak kepada siapa pun kecuali kepada hukum dan keadilan sehingga para pihak yang berperkara di pengadilan akan percaya sepenuhnya bahwa apa yang akan diputuskan oleh hakim nantinya putusannya akan sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan yang diinginkan36.

7) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

Pasal 13 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur perihal atas sidang terbuka untuk umum sehingga hakim ketika memeriksa dan mengadili suatu perkara tidak diperkenankan dilakukan dalam persidangan yang tertutup untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Asas tersebut menjadi syarat sahnya suatu putusan hakim karena putusan hakim tidak akan sah dan

Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005. h. 70. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 41.

36

(21)

32

mempunyai kekuatan hukum bila diucapkan dalam persidangan untuk umum37.

8) Asas Audi Et ALteram Partem (Mendengar Kedua Belah Pihak)

Pasal 4 ayat (1) Undang–Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan keberadaan dari asas audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak) ini dengan menyebutkan bahwa “Pengadilan mengadili menurut

hukum dengan tidak membeda – bedakan orang”38.

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama – sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama adil serta masing – masing diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya39.

9) Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, namun ada yang masih skeptis terhadap eksistensi asas kemandirian kekuasaan Kehakiman itu dengan mengatakan “It is easy to believe in judicial independence but

it seems much harder to appreciate independent judges.

37Ibid.

, h. 48.

38Ibid.

, h. 50.

39

(22)

33

Judicial independence is a fragile concept”40. Setiap negara hukum minimal memiliki tiga ciri pokok yaitu:

1. Adanya asas legalitas.

2. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

3. Adanya peradilan yang bebas41.

“Kekuasaan Kehakiman yang merdeka merupakan salah

satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan Kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan42.

Atas dasar itu pula maka penilaian apakah putusan yang dibuat oleh hakim itu bertanggung jawab dapat dicocokkan dengan tingkatan kepuasan masyarakat selaku pemberi kebebasan sosial, dengan menilai apakah putusan itu telah memenuhi rasa keadilan atas kebebasan sosial yang dilanggar oleh orang yang dikenai putusan hakim. Dan seorang hakim akan mampu memuaskan tuntutan itu sejauh ia menggunakan

40

Steven Lubet, Judicial Independence And Independence Judges, Hofstra Law Review, Vol. 25, 1997, h. 745. dikutip dari H. Sunarto, Ibid., h. 52.

41

Purwoto S. Ganda Subrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Cetakan 1, Jakarta, h. 93. dikutip dari, H. Sunarto, Ibid.

42

(23)

34

kebebasan eksistensialnya dalam membuat keputusan memperhitungkan objektivitas tindakan43.

2.4Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Putusan Hakim

2.4.1 Faktor Struktur Organisasi

Faktor struktur organisasi akan berpengaruh ketika struktur itu bukan sebagai lembaga otonom yang merdeka, melainkan sebagai struktur yang tergantung di bawah kekuasaan struktur lain. Ketika sebuah struktur atau institusi menjadi subordinasi dengan struktur lain44 maka struktur yang tersubordinasi akan menjadi penyebab lembaga itu tidak bebas dan mandiri. Demikian yang terjadi pada lembaga pengadilan selama ini, di mana struktur organisasinya menjadi bagian dan tidak terpisahkan dengan lembaga eksekutif45.

Jaminan untuk tidak tersubordinasi kepada kekuasaan lain adalah syarat mutlak bagi suatu lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu perkara-perkara, namun pada kenyataannya peradilan di Indonesia telah menjadi subordinasi dari lembaga lain. Promosi dan mutasi nasib serta kesejahteraan hakim-hakim berada di tangan departemen-depatemen eksekutif yang secara psikologis hakim harus tunduk atas perintah eksekutif yang dapat mempengaruhi pengembangan kebebasan hakim dalam

43

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Cetakan I, Jakarta, 2012, h. 173.

44

Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeha rto,ELSAM, Cetakan I, Jakarta, 2004, h. 128. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 248.

45

(24)

35

menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman secara bebas dan mandiri46 yang kemudian mempengaruhi putusan hakim dalam penyelesaian sebuah perkara yang ditanganinya.

2.4.2 Faktor Pemahaman

Perasaan ewoh pakewoh terhadap atasan menjadikan hakim tidak berani mengambil sikap sendiri dalam menjatuhkan putusan, semuanya diserahkan kepada atasan, sikap seperti ini adalah bagian dari budaya paternalistis yang ternyata masih menjadi bagian dari kehidupan beberapa hakim. Sepanjang budaya paternalistis ini tetap di pertahankan, sepanjang itu pula kebebasan hakim tidak akan berkembang baik47.

Integritas moral para hakim adalah persoalan utama dan faktor penting bagi pembinaan kebebasan hakim dan kemandirian lembaga peradilan. Bukan rahasia lagi bahkan selalu menjadi pembicaraan bahwa moralitas para hakim telah berada pada titik rendah. Rendahnya moral para hakim sering dikaitkan dengan baik buruknya citra lembaga peradilan48.

Sebuah gejala yang mengkhawatirkan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, adalah keadilan hukum negara yang tidak sejalan dengan keadilan moral dan keadilan masyarakat. Dengan kata lain adanya putusan pengadilan yang tidak sejalan dengan

46Ibid.

, h. 250-251.

47Ibid.

, h. 251-252.

48Rifyal Ka‟Bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004,

(25)

36

nilai ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Dampak langsung gejala ini pertama adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada keadilan hukum, dan timbulnya inisiatif masyarakat untuk membuat pengadilan sendiri yang disebut sebagai main hakim sendiri49.

2.4.3 Faktor Peraturan Perundangan

Menempatkan peraturan hukum sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian lembaga peradilan seperti agak aneh dan tidak masuk akal tapi pada kenyataannya demikian karena ternyata dari peraturan hukumlah menjadikan lembaga peradilan itu menjadi tidak mandiri dan sebaliknya dari peraturan hukum itu pulalah kemandirian lembaga peradilan terwujud. Memang peraturan hukum tidak selamanya mengandung nilai-nilai positif bagi kehidupan manusia, melainkan pula mengandung nilai-nilai negatif50. Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai positivisme menganggap hukum sebagai sebuah bangunan atau tatanan logis-rasional, yakni membuat rumusan-rumusan atau definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan, mensistematisir, diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan demikian hukum hanya benar-benar menjadi wilayah esotetris bagi praktisi hukum. Cara tersebut hukum dipisahkan dari realitasnya yang penuh, dan jauh dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang

49

Ahmad Kamil, Ibid., h. 252.

50

(26)

37

dalam sosialnya51. Cara memahami dan menerapkan hukum seperti itu jelas bertentangan dengan amanat undang-undang kekuasaan kehakiman yang mendorong agar para hakim dalam menerapkan hukum dan keadilan harus mendasar pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 194552.

Pikiran legistik, formalistik seperti tersebut telah menjadikan kebekuan pola pikir hakim, sehingga hakim merasa bangga sebagai corong undang-undang semata dengan mengabaikan hati nuraninya sebagai manusia, hal ini menjadi kendala besar dalam proses pengembalian pola pikir kebebasan hakim dalam menemukan hukum yang adil, dan hukum yang bermoral dalam kasus konkret53.

2.4.4 Faktor Kekuasaan

Intervensi kekuasaan dapat terjadi dari dalam kekuasaan kehakiman sendiri. Lembaga pengawasan yang dijalankan oleh Mahkamah Agung atau lapisan stuktur yang lebih tinggi juga berpotensi merusak pengembangan kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Untuk menghindari ikut campurnya lembaga kekuasaan dalam organisasi kekuasaan kehakiman terhadap kebebasan hakim, maka Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 ayat (4) secara tegas dinyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dijalankan oleh

51

Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 17. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 255.

52

Ahmad Kamil, Ibid., h. 255.

53

(27)

38

internal Mahkamah Agung tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara54.

2.4.5 Faktor Politik

Faktor politik juga merupakan faktor yang dapat memengaruhi lemah dan kuatnya kebebasan hakim dalam membangun kemandirian lembaga peradilan. Dalam kajian-kajian sosio-politik dan sosio-yuridis, terkadang politik dijadikan sebagai variable yang berpengaruh. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) sedangkan politik diletakkan sebagai variabel terpengaruh. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya55.

2.4.6 Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat adalah faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian lembaga peradilan. Bilamana kondisi kesadaran hukum masyarakat tinggi akan mendukung pula tingginya kesadaran hukum masyarakat56.

3 Legal Reasoning

54Ibid

., h. 256-257.

55

Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, h. 4. dikutip dari Ahmad Kamil, Ibid., h. 258.

56

(28)

39

Penalaran Hukum (legal reasoning) merupakan salah satu unsur utama yang harus dipahami oleh seorang peneliti hukum. Tanpa pemahaman terhadap penalaran hukum, maka seorang peneliti akan kehilangan arah dan bahkan menemui kesulitan besar dalam menyistematisasi bahan hukum yang menjadi topik, serta memengaruhi kualitas ilmiah kesimpulan penelitiannya57. Hakim menggunakan legal reasoning ini sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara guna mendapatkan putusan yang benar dan adil. Selain itu dalam menjatuhkan suatu keputusan terhadap suatu perkara yang diajukkan kepadanya, hakim mempertimbangkan berdasarkan hukum dan peristiwa hukum yang saling berkaitan.

Penulis membandingkan legal reasoning yang dipakai oleh hakim Pengadilan Negeri Salatiga dengan teori Eksaminasi Publik yang diamanatkan di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengamanatkan adanya sebuah pengawasan di lembaga tersebut. Pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan dan perilaku Hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman58.

3.1Eksaminasi Publik

57

Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan kedua, Bayumedia Publishing, Jakarta, 2006, h. 239.

58

(29)

40

Pengawasan terhadap peradilan terdiri dari pemantauan internal yang selama ini sudah dilaksanakan oleh institusi hukum yang ada, sedangkan pemantauan eksternal lebih dikenal dengan pemantauan masyarakat, yaitu dengan melakukan pengawasan dengan cara pengkritisan atau pengujian terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan (Eksaminasi) yang selama ini dikenal dengan istilah Eksaminasi Publik. Eksaminasi Publik atau pengujian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap putusan peradilan tidak terlepas dari kerangka pemantauan atau pengawasan peradilan secara umum. Pemahaman ini perlu dibangun karena eksaminasi hanya merupakan salah satu bagian dari proses publik dalam mengawasi lembaga peradilan59.

Penambahan kata “publik” setelah kata eksaminasi lebih

dimaksudkan untuk membedakan dengan eksaminasi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Pengadilan. Tambahan istilah public pada eksaminasi lebih bernuansa memberikan aksentuasi distingsi antara latar belakang pemikiran eksaminasi internal dan eksternal sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, hal ini juga dapat dimaknai sebagai aktivitas, yang sejak dari inisiasi, proses, sampai finalisasinya, diasumsikan untuk dihajatkan untuk kepentingan masyarakat (rasa keadilan hukum masyarakat) – jadi bukan semata-mata untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari pihak yang bersengketa di pengadilan ¾ dan oleh sebab itu akuntabilitas

59

(30)

41

kinerjanya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dinilai dan diukur oleh masyarakat60.

Essensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) maupun produk hukum yang dibuat oleh pejabat publik, apakah pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip kehakiman, apakah prosedur hukumnya telah sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat61. Faktor utama yang mendasari eksaminasi publik ini adalah untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi masyarakat agar dapat terlibat lebih jauh dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan putusan atas perkara itu yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan membiasakan publik terutama kalangan akademis dan profesi hukum melakukan penilaian dan pengujian terhadap proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan atau keputusan-keputusan lembaga penegak hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka hal yang selanjutnya ingin dicapai setelah masyarakat mampu melakukan

60

Hasrul Halili:2005, dikutip dari Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, ed., Panduan Eksaminasi Publik(Edisi Revisi), Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2011, h. 27.

61

(31)

42

eksaminasi ini, adalah tersosialisasikan lembaga eksaminasi secara luas62.

Eksaminasi juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi MA dan Kejaksaan Agung dalam melakukan koreksi terhadap hakim dan jaksa. Bukan hanya dalam bentuk sanksi administrasi tetapi kepada proses hukum lebih lanjut. Hasil eksaminasi tidak bermaksud untuk melakukan intervensi terhadap proses hukum di MA, tapi hanya sumbangan pemikiran dari komunitas masyarakat hukum. Namun eksaminasi terhadap putusan-putusan atau produk hukum yang dianggap menyimpang lebih merupakan sebagai ruang publik yang harus mulai dibangun agar lembaga-lembaga negara tidak lepas dari kontrol masyarakat63.

Kegiatan eksaminasi publik dapat dilakukan atas permintaan masyarakat atau tidak. Putusan pengadilan yang dieksaminasi adalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengandung indikasi awal bahwa :

1. Tahapan proses pengadilan terdapat kejanggalan atau cacat hukum;

2. Hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan benar atau bertentangan dengan asas-asas penerapan hukum; 3. Ada indikasi KKN (judicial corruption), penyalahgunaan wewenang, atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya yang

62

Ibid., h. 29.

63

(32)

43

menyebabkan hukum tidak diterapkan secara baik dan benar; dan;

4. Putusan tersebut menjadi perhatian masyarakat atau membawa dampak terhadap kehidupan hukum dalam masyarakat64.

3.2Bagian-Bagian Yang Dieksaminasi65

3.2.1 Administrasi Perkara :

- Gugatan/permohonan yang meliputi : identitas para pihak, posisi para pihak, posita gugatan (kejadian dan hukumnya), petitum dan hubungannya dengan posita, tanda tangan surat gugatan/permohonan.

- Format PHS yang disertai sita jaminan, nomor, hari sidang pertama dan tenggang waktunya, ketua majelis dan masing-masing hakim. - Penunjukkan panitera.

- Penunjukkan juru sita/JSP.

- Administrasi lainnya yaitu : registrasi perkara, jurnal keuangan, pelaporan dan pengarsipan perkara.

- Eksekusi putusan meliputi : sita eksekusi, aanmaning serta berita acaranya, pelaksanaan putusan (eksekusi).

3.2.2 Administrasi Persidangan :

- Pemanggilan para pihak meliputi : nomor, nama para pihak, waktu pemanggilan, panggilan saksi/saksi ahli (jika ada), keterangan pihak

64

Susanti Adi Nugroho, et.al., Eksaminasi Publik: Partisipasi Masyarakat Menga wasi Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2003, h. 100-101.

65

Pedoman Dasar Eksaminasi Putusan, sesuai SK Dirjen Badilag No.

(33)

44

yang dipanggil (misalnya, bertemu dan berbicara kepada tergugat), nama dan tanda tangan pihak lurah atau kepala desa dan capnya (dalam hal tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil), pengumuman/ penempelan surat panggilan (jika ada), tanda tangan JS/JSP, pemberitahuan isi putusan (PBT)

- Berita Acara Sidang (BAS) meliputi : tempat/waktu sidang, posisi para pihak, susunan majelis yang bersidang, kehadiran atau tidak hadirnya para pihak, mediasi serta laporannya, pernyataan sidang terbuka untuk umum, upaya perdamaian oleh majelis, pembacaan surat gugatan/permohonan, perubahan surat gugatan/permohonan (jika ada), pernyataan sidang tertutup untuk umum, penundaan sidang yang terbuka untuk umum, pemeriksaan/tanggapan pihak-pihak, pemeriksaan bukti (surat dan saksi), pembacaan putusan yang terbuka untuk umum, rumusan amar putusan pada BAS, renvoi pada BAS (termasuk pada jawaban, replik dan duplik serta kesimpulan tertulis yang diajukan), pemberian nomor BAS yang berkelanjutan, dan penanda tanganan BAS.

3.2.3 Putusan/Penetapan :

- Kepala dan identitas putusan/penetapan yang meliputi : nomor putusan/penetapan, irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak serta posisinya

(termasuk kuasa hukumnya jika ada), konsiderans selengkapnya; - Tentang duduk perkaranya yang meliputi : isi gugatan, pernyataan

(34)

45

mediasi, pembacaan surat gugatan, perubahan gugatan (jika ada), jawaban pihak tergugat, replik pihak penggugat (jika ada), duplik tergugat (jika ada), sita jaminan (jika ada), pembuktian dari penggugat, pembuktian dari tergugat, pemeriksaan setempat (discente), kesimpulan dari para pihak serta pernyataan para pihak tidak akan mengajukan sesuatu lagi dan mohon putusan;

- Tentang hukumnya meliputi : pertimbangan hukum telah dilakukannya upaya perdamaian, pelaksanaan mediasi, substansi dalil/jawab menjawab para pihak (hal-hal yang diakui dan disanggah oleh tergugat), perumusan pokok masalah (dari yang disangkal atau tidak diakui, bisa dalam bentuk kalimat tanya atau pernyataan), analisa pembuktian dari masing-masing pihak (meliputi syarat formal dan syarat materiil serta dengan metode analisis yang tepat), fakta hukum yang dirumuskan dari hasil analisis terhadap bukti-bukti yang ada, penemuan hukum beberapa sumber hukum yang relevan (peraturan perundang-undangan, kaidah, yurisprudensi) serta pertimbangan mengenai biaya perkara; - Amar putusan/penetapan atau penerapan hukumnya yang meliputi :

(35)

46

majelis hakim dan panitera sidang, rincian biaya perkara, dan nomor halaman putusan/penetapan (harus ditulis pada bagian kanan bawah dengan kalimat misalnya : halaman 1 dari 20” dst).

B. HASIL PENELITIAN

1. Duduk Persoalan Dalam Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt

1.1Berdasarkan Versi Penggugat-Budi Kabul :

(36)

47

rupiah) dan terjual seharga Rp. 110.200.000,- (seratus sepuluh juta dua ratus ribu rupiah) yang dimenangkan oleh Tergugat-III (Sdr.Adi Subkhan Ifana).

Yang membuat Penggugat-Budi Kabul merasa keberatan karena harga limit yang diberikan sangatlah rendah dan tidak sesuai dengan harga pasar dari tanah dan bangunan yang saat ini ditaksir sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) per meter perseginya. Apabila dijual ditaksir mencapai sekitar Rp. 732.000.000 (tujuh ratus tiga puluh dua juta rupiah). Disamping itu rumah yang selama ini menjadi obyek hak tanggungan tersebut adalah rumah tinggal satu–satunya yang dihuni oleh Penggugat-Budi Kabul beserta Istri dan kedua anaknya.

1.2Berdasarkan Versi Tergugat-II Bank Danamon Cabang Salatiga :

Pada tanggal 8 November 2004 Penggugat-Budi Kabul selaku Debitur dan Tergugat-II Bank Danamon Salatiga selaku kreditur telah bersepakat mengenai perjanjian kredit dengan Nomor: DSP/0021/547/1104 tertanggal 8 November 200466 yang nilai atau plafon kreditnya sebesar Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) untuk jangka waktu selama 36 (tiga puluh enam) bulan dengan cicilan sebesar Rp. 2.150.000,- (dua juta seratus lima puluh ribu rupiah) per bulan dengan memberikan jaminan piutang yang akan dilunasi oleh Budi Kabul, maka berdasarkan persetujuan dari Yuni Restiyowati selaku istri Penggugat-Budi Kabul memberikan agunan

66

(37)

48

jaminan pelunasan utang yaitu sebidang tanah dan bangunan seluas 366 m2 berdasarkan SHM No. 164467 atas nama Penggugat-Budi Kabul berdasarkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) No. 835/SDR/2004 tertanggal 8 November 2004 dan ditandatangani Budi Kabul beserta istrinya diatas materai Rp. 6000,- (enam ribu rupiah). Berdasarkan pemberian jaminan tersebut maka terbitlah Sertifikat Hak Tanggungan No. 09/2005 tertanggal 11 Januari 200568 atas nama PT Bank Danamon Indonesia. Menurut Tergugat-II Bank Danamon Salatiga seiring berjalannya waktu Penggugat-Budi Kabul mulai berhenti membayar (menunggak) terhitung sejak tanggal 8 April 2005, dimana untuk menanggulangi permasalahan tersebut Penggugat-Budi Kabul meminta kepada Bank Danamon Salatiga untuk dilakukan Restrukturisasi kredit dengan alasan usaha yang dijalankan saat ini sedang mengalami penurunan omset dan hanya mampu membayar perbulan Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk saat ini. Namun restrukturisasi tidak dapat diproses karena Penggugat-Budi Kabul telah cukup lama menunggak pembayaran. Sejak menunggak di bulan April 2005 sampai dengan bulan Mei 2015 Penggugat-Budi Kabul tidak mempunyai itikad baik untuk melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya, maka menindaklanjuti hal tersebut, Tergugat-II Bank Danamon Salatiga memberikan Surat Peringatan I tertanggal 3 Mei 201569, Surat Peringatan II Tertanggal 18 Mei 201570, dan Surat

67

Diberi tanda T.II-3, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.

68

Diberi tanda T.II-5, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.

69

Diberi tanda T.II-6, dikutip dari surat Putusan Nomor : 4/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 32.

70

(38)

49

Peringatan III Tertanggal 2 Juli 201571. Maka dari itu Tergugat-II Bank Danamon Salatiga menyatakan bahwa pelelangan terhadap obyek Hak Tanggungan pada tanggal 23 September 2015 dengan hasil bersih lelang sebesar Rp.103.037.000 (seratus tiga juta tiga puluh tujuh ribu rupiah) adalah sah dan sudah menjadi haknya (berdasarkan SHT No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015), serta menolak secara tegas mengenai dalil–dalil Penggugat-Budi Kabul yang dinilai sangat mengada–ada yaitu menyatakan bahwa harga limit yang diberikan sangat rendah dan tidak sesuai dengan harga pasar. Tergugat-II memberikan bantahan dengan memberikan pertanyaan kepada Penggugat-Budi Kabul yang mana apabila harga pasaran tanah dan rumah Penggugat-Budi Kabul adalah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) per meter perseginya dan nilai dari pada obyek hak tanggungan sebesar Rp. 732.000.000,- (tujuh ratus tiga puluh dua juta rupiah), mengapa selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir tidak mengajukan penjualan di bawah tangan agar didapati nilai penjualan yang terbaik. Selain itu Tergugat-II Bank Danamon Salatiga menyatakan bahwa telah melaksanakan prosedur pelelangan yang sah dan sesuai dengan peraturan lelang yang berlaku. Mengenai pemberian janji kepada Budi Kabul apabila hanya dengan melakukan pelunasan utang sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) karena Tergugat-II Bank Danamon Cabang Salatiga sedang mengadakan promosi terkait usaha mikro dibantah oleh pihaknya dan menyatakan bahwa dalil tersebut

71

(39)

50

sangat mengada-ada. Selain itu pihak Tergugat-II Bank Danamon Salatiga mengkalkulasikan tunggakan pinjaman yang mulai menunggak dari tahun 2005 hingga tahun 2015, maka total tunggakan yang telah mencapai 10 tahun tersebut adalah sebesar Rp. 404.782.985,- (empat ratus empat juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu Sembilan ratus delapan puluh lima rupiah).

2. Perincian Ganti Kerugian72

Dalam Surat Gugatan Penggugat-Budi Kabul sebanyak 9 (sembilan) point gugatan, yang pada pokoknya yaitu :

Penggugat merasa sangat tertipu dan mengalami kerugian dengan tindakan yang dilakukan Tergugat-I (Kosidi) yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengembalikan sertifikat milik Penggugat-Budi Kabul. Tergugat-II (Bank Danamon Cab. Salatiga) dan Tergugat-IV (KPKLN Semarang) telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan pelelangan yang tidak wajar dan tidak sah dengan harga di bawah rata-rata dan menguasai Sertifikat Hak Milik Penggugat No. 1644 tanpa alas hak. Tergugat-III (Adi Subkhan Ifana) telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menguasai sertifikat milik Penggugat tanpa alas hak.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Sertifikat Hak Milik No. 1644 dengan luas ± 366 M2 dengan batas-batas :

 Sebelah utara : Tanah milik Bapak Samet

72

(40)

51

 Sebelah Timur : Jalan Raya

 Sebelah Selatan : Tanah milik Bapak Sumarjono

 Sebelah Barat : Tanah milik Sdr. Sulasmi

Rincian ganti kerugian yang dialami Penggugat yang harus ditanggung oleh Para Tergugat secara tanggung renteng secara tunai dan sekaligus adalah sebagai berikut :

a. Kerugian Materiil

Harga pasar tanah Rp. 2.000.000,- per meter perseginya Rp. 2.000.000,- x 366 m2 : Rp.

732.000.000,-b. Kerugian Immateriil : Rp. 50.000.000,-

Jumlah Rp. 782.000.000,- (tujuh ratus delapan puluh dua juta rupiah)

3. Keterangan Saksi-Saksi Penggugat

Terhadap dalil-dalil Penggugat-Budi Kabul yang merasa dan menyatakan keberatan dengan harga lelang yang diberikan oleh Tergugat-II Bank Danamon Cabang Salatiga sangat rendah dan tidak sesuai dengan harga pasaran saat ini. Penggugat menghadirkan Saksi-Saksi yang telah disumpah sesuai dengan agamanya untuk menyampaikan keterangan yang diharapkan dapat menguatkan dalil-dalil Penggugat sebagai berikut :

3.1Saksi-I : Sukartono

(41)

52

adalah tetangga Penggugat dan kapasitasnya juga sebagai Ketua RW di desa tersebut.

 Saksi tahu Tergugat-I Kosidi meminjam Sertifikat Penggugat-Budi Kabul untuk jaminan pinjaman uang di Bank Danamon dengan nilai pinjaman Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah). Sertifikat tersebut dipinjamkan oleh Penggugat-Budi Kabul untuk menolong Tergugat-I Kosidi yang kesulitan modal dan butuh tambahan modal usaha jok motor berdasarkan cerita Penggugat kepada Saksi.

 Penggugat datang kepada Saksi untuk meminjam uang kas RW sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) karena uang Penggugat kurang untuk membayar hutang ke Bank Danamon sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Pada pertengahan Agustus 2015 Penggugat-Budi Kabul datang ke rumah Saksi dan diminta mendampingi Penggugat ke Bank Danamon Salatiga untuk melunasi hutang sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) ke Bank Danamon Salatiga.

 Penggugat beserta Saksi bertemu Kepala Unitnya, dan disuruh ke Semarang. Setelah di Semarang, Penggugat-Budi Kabul beserta Saksi diminta kembali lagi ke Bank Danamon Salatiga menunggu keputusannya.

(42)

53

 Saksi mengetahui bahwa sekarang status tanah tersebut sudah ada pemenang lelang dan sudah mendaftar Eksekusi ke Pengadilan Negeri.

 Saksi juga mengetahui bahwa cicilan kredit di Bank Danamon sudah dibayar sebanyak 7 (tujuh) kali, serta harga tanah di tempat Penggugat tinggal bersama isteri dan 2 (dua) anaknya saat ini per meternya Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

 Berdasarkan cerita Penggugat kepada Saksi, Penggugat belum pernah mendapatkan surat peringatan dari Bank Danamon maupun Kantor Lelang.

 Saksi tidak mengetahui kapan Penggugat meminjam uang di Bank Danamon dan kapan Penggugat mulai menunggak pembayaran.

3.2Saksi II : Supoyo

 Keterangan Saksi-II dalam persidangan pada pokoknya menerangkan bahwa Saksi-II kenal dengan Penggugat dan Tergugat-I karena Saksi adalah tetangga Tergugat I dan Pengugat.

 Saksi mengetahui Penggugat mengajukan gugatan karena sertifikat Penggugat dipinjam oleh Tergugat-I sekitar 10 (sepuluh) atau 12 (dua belas) tahun yang lalu, untuk tambahan modal usaha jok motor Tergugat-I dan sertifikat tersebut dijaminkan di Bank Danamon Salatiga.

(43)

54

karena Tergugat-I pergi. Sejak pergi 2 (dua) tahun kemudian datang Bank Danamon pada tahun 2014 karena cicilan tersebut macet dan baru dibayar/diangsur sebanyak 7 (tujuh) kali.

 Saksi mengetahui batas-batas tanah milik Penggugat yang menjadi sengketa yaitu Timur : Depan jalan raya Fatmawati, Barat : Tanah Kosong, Utara : tidak tahu, Selatan : Tanah Pak Sunarjo.

 Saksi tidak mengetahui siapa yang meminjam uang di Bank Danamon, tetapi Saksi mengetahui yang memakai uang pinjaman adalah Tergugat I dan saksi mengetahui Bank Danamon pernah datang sebanyak 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali kira-kira 2 (dua) tahun terakhir.

 Saksi mengetahui bahwa Penggugat minta ditemani Saksi-I Pak RW ke Bank Danamon Salatiga lalu disuruh ke Semarang dan disuruh kembali lagi dan menunggu namun akhirnya tanah dan rumah Penggugat yang ditinggali oleh isteri dan kedua anaknya itu disita dan dilelang Bank dengan harga Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah).

 Saksi mengetahui kini pemilik baru Tanah dan Bangunan milik Penggugat adalah Tergugat-III Pak Adi. Saksi mengetahui permasalahan yang terjadi pada Penggugat karena cerita dari Penggugat.

4 Jawaban Para Tergugat

(44)

55

Perjanjian yang dibuat oleh Penggugat-Budi Kabul selaku Debitur dan Tergugat-II selaku Kreditor senyatanya telah di pertimbangkan dan telah mencapai kata “sepakat”, di buktikan dengan bukti perjanjian

kredit Nomor : DSP/0021/547/1104 dengan nilai/plafon kredit sebesar Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah). Perjanjian tersebut di buat dan di tanda tangani pada tanggal 8 November 2004, dengan memberikan jaminan berupa sebidang tanah dan bangunan seluas 366 m2 berdasarkan SHM No. 1644 atas nama Budi Kabul berdasarkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) No. 835/SDR/2004. Karena telah di buatnya APHT maka terbitlah pula Sertifikat Hak Tanggungan No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015 a/n PT Bank Danamon Indonesia.

(45)

56

puluh dua ribu sembilan ratus delapan puluh lima rupiah) sehingga Tergugat II menolak dalil tersebut.

Menindaklanjuti hal itu Tergugat II memberikan Surat Peringatan I tertanggal 3 Mei 2015, Surat Peringatan II tertanggal 18 Mei 2015 dan Surat Peringatan III tertanggal 2 Juli 2015. Kemudian berdasarkan SHT No.09/2005 tertanggal 11 Januari 2015 melakukan lelang Obyek Hak Tanggungan pada tanggal 23 September 2015 dengan hasil bersih lelang Rp. 103.037.000,- (seratus tiga juta tiga puluh tujuh ribu rupiah73.

4.2Tergugat-III Adi Subkhan Ifana

Menurut pendapat Tergugat-III Gugatan Penggugat Prematur karena dalil penggugat yang mengandung unsur penipuan dan atau penggelapan belum diperiksa secara pidana dan belum berkekuatan hukum tetap. Untuk menghadapi hal itu Tergugat III memohon kepada Majelis Hakim untuk menangguhkan perkara perdatanya dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Selain itu gugatan yang diajukan Penggugat tidak jelas dan kabur (Exceptie Abscuur Libel) karena tidak mendalilkan perbuatan melawan hukum mana yang dilakukan oleh Tergugat IV.

4.3Tergugat-IV KPKNL Semarang

73

(46)

57

Menindaklanjuti dalil Penggugat yang menyatakan Tergugat-IV melakukan pelelangan tidak sah dan dengan harga di bawah rata-rata, Tergugat-IV memberikan keterangan sebagai berikut :

(a) Pelelangan atas barang jaminan berupa (SHM) No. 1644 luas 366 m2 Kelurahan Blotongan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga sesuai dengan Risalah Lelang No. 1569/2015 tanggal 23 September 2015 dan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 PMK No. 106/PMK/2013 tentang Perubahan Atas PMK No.

93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang,

maka tindakan hukum yang dilakukan Tergugat IV adalah sah dan tidak dapat dibatalkan.

(47)

58

60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor : 835/SDR/2004 tanggal 8 November 2004. (c) Tergugat-IV membantah dalil Penggugat yang menyatakan

harga limit lelang yang diberikan sangat rendah dan tidak sesuai dengan harga pasaran tanah dan bangunan, di mana terkait dengan penetapan nilai limit lelang dilaksanakan berdasarkan Pasal 35 ayat (2) PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang

menyatakan bahwa penetapan nilai limit lelang menjadi tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang yaitu Tergugat II. (d) Sesuai ketentuan Pasal 41 PMK No. 93/PMK.06/2010

disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan lelang, terlebih dahulu dilakukan pengumuman temple/selebaran pada tanggal 25 Agustus 2015 sebagai pengumuman pertama dan melalui Harian Wawasan tanggal 9 September 2015 sebagai pengumuman kedua oleh Tergugat II, sehingga asas publisitas telah terpenuhi.

(e) Pelelangan diikuti oleh 5 (lima) peserta berdasarkan Risalah Lelang Nomor : 1569/2015 tanggal 23 September 2015

(48)

59

(f) Pelelangan dilakukan dengan berpedoman pada Vendureglement Stbl. 1908 Nomor : 189 yang bersambung

dengan Stbl. 1940 Nomor : 56 PMK No. 93/PMK.06/2010

tanggal 23 April 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

dan Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun

1996 dan Klausul Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor

: 126/SWL/HT/IV/2009 yang isinya “jika debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang piutang di atas, oleh pihak pertama, pihak kedua selaku pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pihak pertama:

1. Menjual atau suruh menjual di hadapan umum secara lelang Obyek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun sebagian-sebagian;

2. Mengatur dan menetapkan waktu, tempat, dan cara dan syarat-syarat penjualan;

3. Menerima uang penjualan, menandatangani dan menyerahkan kwitansi;

4. Menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;

(49)

60

6. Melakukan hal-hal lain yang menurut undang-undang dan Peraturan Hukum yang berlaku diharuskan atau menurut pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kuasa tersebut”74.

(g) PT. Bank Danamon Tbk., selaku kreditor Hak Tanggungan mempunyai kewenangan melakukan eksekusi melalui parate executie dengan menjual Obyek Hak Tanggungan yang sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

(h) Gugatan Penggugat tidak ada satupun uraian yang menunjukkan tindakan yang dikategorikan Perbuatan

Melawan Hukum, bertentangan dengan hak orang lain, dan

melanggar hak subyektif orang lain, serta terhadap tuntutan

ganti rugi baik materiil dan immaterial dari penggugat sangat mengada-ada. Karena tidak dijelaskan dengan sempurna dan tidak disertai dengan pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti kerugian yang diterima oleh Penggugat (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Juni 1971 No. 117K/Sip/1971), besarnya kerugian tidak dibuktikan secara terperinci, maka gugatan kerugian haruslah ditolak oleh Pengadilan (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 18 Desember 1971 No. 598K/Sip/1971), dan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Tanggal 8 Februari 1970 No.

74

(50)

61

146/1970/Perd/PT : Tuntutan ganti rugi tidak disertai perincian kerugian harus ditolak.

5. Tabel Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga Dalam Perkara

Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt

75

Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 36-38.

DALIL PENGGUGAT TANGGAPAN PARA TERGUGAT PERTIMBANGAN HAKIM

PENGADILAN NEGERI

perjanjian dengan Tergugat-II adalah

Penggugat, dibuktikan dengan Perjanjian

Kredit No : DSP/0021/547/1104

tertanggal 8 November 2004 dan APHT

No : 835/SDR/2004. Maka apabila

Penggugat menyatakan yang membuat

adalah Tergugat-I dengan Tergugat-II

adalah tidak benar.

2. Tergugat-III Adi Subkhan Ifana :

Menolak gugatan Penggugat untuk

seluruhnya, dan mengajukan alat bukti

Foto kopi Sertifikat Hak Milik No. 1644

meminjam adalah Tergugat-I, dan karena

1. Eksepsi Tergugat-IV75:

1.1 Gugatan Penggugat Prematur

(Exceptie Delatoire).

Prematur yaitu apabila ada faktor

hukum yang menangguhkan

gugatan. Perjanjian hutang piutang

penggugat dilakukan sekitar tahun

2004, sehingga majelis hakim

berpendapat hutang tersebut telah

terjadi selama 10 (sepuluh) sampai

dengan 11 (sebelas) tahun dan telah

lewat jatuh tempo. Sehingga eksepsi

point pertama tidak beralasan

hukum dan haruslah ditolak.

1.2 gugatan penggugat adalah

gugatan kabur (Obscuur Libel).

Menurut penilaian Majelis Hakim

petitum Penggugat telah memenuhi

syarat, bersifat tegas dan spesifik

apa yang diminta sehingga tidak

(51)

62

tempo, maka dikategorikan sebagai kredit

macet. Dalam Eksepsinya : gugatan

Penggugat prematur (exceptie delatoire)

dan gugatan yang diajukkan tidak jelas

dan kabur (exceptie obscuur libel).

1. Tergugat--II Bank Danamon Cabang

Salatiga :

Penentuan nilai limit lelang dilakukan

oleh tim penaksir yang ditunjuk oleh Bank

Danamon Salatiga berdasarkan metode

yang dapat dipertanggung jawabkan

dengan melihat nilai pasar dan resiko

penjualan lelang, karena hak Tergugat-II

selaku pemegang Hak Tanggungan

tingkat I berhak menetapkan nilai limit

paling rendah sama dengan nilai likuidasi

yang dibuat oleh tim penilai/penaksir

(ketentuan Pasal 240 PMK No.

93/PMK.06/2010) yang dibuat tim

penaksir internal. Hasil bersih lelang yaitu

Rp. 103.037.000,- (seratus tiga juta tiga

puluh tujuh ribu rupiah) yang

dilaksanakan berdasarkan SHT No.

09/2005 tanggal 11 Januari 2015 pada

tanggal 23 September 2015. Selain itu

pelaksanaan lelang telah sesuai pada

ketentuan PMK No. 93/PMK.06/2010 jo

Karena para Tergugat telah menolak

dalil Penggugat poin 1 (satu) dan

juga mengajukan alat bukti yang

sesuai dengan aslinya, maka dalil

Penggugat poin 1 ditolak oleh

Majelis Hakim.

Berdasarkan alat bukti antara lain :

Perjanjian Kredit No.

DSP/0021/547/1104 tanggal 8

November 2004 (T.II-2),(T.IV-4);

Risalah Lelang No. 1569/2015

tanggal 23 September

2015(T.II-16),(T.IV-2); surat permohonan

lelang No. 51/SP/LELANG/2015

tanggal 22 Juli

2015(T.II-11),(T.IV-5); Sertifikat Hak Tanggungan I No.

09/05 tanggal 11 Januari 2005 dan

tanggal 2 Juli

2015(T.II-8),(T.IV-3c) SKPT No. 58/Ket-11.03/ix/2015

tanggal 18 September 2015(T.IV-9).

Masing-masing telah dicocokkan

dengan aslinya dan ternayata sesuai,

(52)

63

76

Dikutip dari surat Putusan Nomor : 04/Pdt.G/2016/PN.Slt, h. 33.

3. Tergugat III--Adi

2. Tergugat IV--KPKNL Semarang :

Yang berhak menentukan nilai limit

lelang adalah pemegang APHT tingkat I,

dalam hal ini adalah Tergugat-II Bank

Danamon Salatiga, namun dilakukan

dengan tim penaksir yang dapat

dipertanggung jawabkan. Mengenai

perbuatan melawan hukum yang

menguasai sertifikat Penggugat tanpa alas

hak tidaklah berdasar hukum.

Tergugat-IV melakukan pelelangan berdasarkan

Risalah Lelang No. 1569/2015 tanggal 23

September 2015, telah melakukan

pelelangan secara patut dan memenuhi

syarat formil.

1. Tergugat--III Adi Subkhan Ifana :

Gugatan yang diajukan Penggugat tidak

beralasan hukum karena Tergugat-III

telah memenangkan lelang secara sah

dengan penawaran tertinggi dari nilai

limit Rp. 109.800.000 (seratus Sembilan

juta delapan ratus ribu rupiah) dan terjual

Rp. 110.200.000 (seratus sepuluh juta dua

ratus ribu rupiah). Sesuai prosedur Risalah

Lelang No. 1569/2015 tanggal 23

September 2015. Maka dari itu

Tergugat-III berhak untuk menguasai sertifikat Hak

Milik Nomor 1644.

Tergugat--IV KPKNL Semarang :

sah. karena Penggugat tidak dapat

menguatkan dalil gugatannya,

majelis hakim menyatakan dalil

Penggugat dalam poin 2 (dua) tidak

berdasar hukum dan patut untuk

ditolak.

Majelis Hakim menilai, karena

Tergugat-III telah dapat

Sehingga alat bukti tersebut sah dan

dapat digunakan sebagai alat bukti

persidangan. Oleh sebab itu Majelis

Hakim memutuskan untuk menolak

dalil Penggugat pada poin 3 (tiga)

karena tidak beralasan hukum.

Fakta diketahui bukti T.II-11

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Respon Hubungan frekuensi dan daya aktif dari keadaan tanpa beban menjadi keadaan beban minimum menggunakan kontrol fuzzy dapat dilihat pada gambar 16 dan 17. Gambar 16 Respon

Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 ini terbit, anggota Polri beralih status menjadi Pegawai Negeri Sipil karena batas usia pensiun (BUP) bisa

Oleh yang demikian, guru Pendidikan Islam berperanan untuk meningkatkan penggunaan kaedah pengajaran secara bermultimedia khususnya dalam bidang tilawah al- Quran mahupun Jawi,

Ketika kita sudah bermental positif, tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan kita untuk mencapai tujuan. Berpikir positif menjadikan diri kita memiliki

(2012) Pengaruh Model Pembelajaran Cooperative Script Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Materi Trigonometri Peserta.. Didik Kelas X Man

Kejayaan sukan bagi sesebuah negara adalah bergantung terhadap perancangan yang baik dan berkesan dalam pelbagai aspek seperti pembangunan jurulatih, pembangunan atlet, prasarana

Bahwa fungsi utama dari ilmu kedokteran forensik dalam mengungkap kasus pembunuhan yaitu membantu aparat penegak hukum khusunya mencari sebab- sebab kematian