BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang
Proses pembangunan yang selama ini terus menerus dilakukan merupakan salah satu
konsekuensi dari eksistensi Indonesia sebagai Negara berkembang. Segala bentuk aktivitas
pembangunan diharapkan dapat berjalan dalam koridor yang tepat, sehingga tujuan
pembangunan yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur, material dan spiritual
dapat segera terwujud. Proses pembangunan hampir dipastikan akan membawa dampak yang
meluas pada berbagai aspek kehidupan manusia, seperti dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa pembangunan merupakan perubahan terencana dan teratur yang antara lain
mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun
teknologi. Berkaitan dengan pembangunan di bidang teknologi, dewasa ini peradaban
manusia dihadirkan dengan adanya fenomena baru yang mampu mengubah hampir setiap
aspek kehidupan manusia, yaitu perkembangan teknologi informasi melalui internet.1
Saat ini, teknologi informasi dan komunikasi telah dimanfaatkan dalam kehidupan
sosial masyarakat dan telah memasuki berbagai sektor kehidupan baik sektor pemerintahan,
sektor bisnis, perbankan, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan pribadi. Manfaat teknologi
informasi dan komunikasi selain memberikan dampak positif juga disadari memberi peluang
untuk dijadikan sarana melakukan tindak kejahatan-kejahatan baru (cyber crime) sehingga
diperlukan upaya proteksi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teknologi informasi dan
komunikasi bagaikan pedang bermata dua, dimana selain memberikan kontribusi positif bagi
1 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law aspek hukum teknologi informasi,
peningkatan kasejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, juga menjadi sarana potensial
dan sarana efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum.2
Untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi yang semakin pesat, di
Indonesia pengaturan akan perbuatan melawan hukum dengan menggunakan sarana
teknologi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Tujuan dari pengaturan tersebut yaitu memberikan
perlindungan bagi warga negaranya. Sejak diberlakukan, telah banyak kasus hukum yang
menggunakan Undang-Undang ini. Namun, dalam perkembangannya Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik mengundang banyak perdebatan. Perdebatan-perdebatan
tersebut muncul sebagai akibat dari berbagai kasus yang terkait dengan salah satu Pasal
dalam UU ITE, yakni Pasal 27 ayat (3).
Adapun Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik berbunyi : “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.”3
Pasal 45 ayat (1) :“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”4
Seperti yang diketahui bahwa dalam Pasal 27 ayat (3) mengatur tentang pencemaran
nama baik, maka alangkah baiknya untuk tidak melepaskan pasal tersebut dari genusnya
yaitu Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi :“Barangsiapa sengaja menyerang
2 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 39
3 Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 29
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang ma ksudnya
terang hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling
lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.5
Berdasarkan pemberitaan yang penulis dapatkan dikatakan bahwa “sejak UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan, tercatat
setidaknya ada 20 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht)
berkaitan dengan kasus penghinaan yang melibatkan pengguna internet yang diatur dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dari 20 putusan pengadilan itu, Direktur Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono, mengatakan paling tidak ada delapan putusan
pengadilan yang memuat pertimbangan hakim yang cukup baik berkaitan dengan Pasal 27
ayat (3) UU ITE. “dari 20 kasus, setidaknya ada sejumlah putusan yang bisa dijadikan
pelajaran bagi putusan-putusan yang lain,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, sabtu
(13/2). Dari catatan ICJR, paling tidak ada tiga pertimbangan penting yang dibuat oleh
Majelis Hakim, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun di tingkat Mahkamah Agung
(MA) yang dinilai telah sesuai dengan kaidah hukum acara pidana dan telah memposisikan
perlindungan bagi kebebasan berekspresi pada posisinya. Pertimbangan yang pertama, yakni
terkait dengan penegasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai delik aduan absolute. Sedangkan
pertimbangan kedua mengenai validasi bukti elektronik (digital evidence), dan pertimbangan
ketiga terkait dengan alasan pembenar.6
Berkaitan dengan delik aduan absolute dalam pemberitaan di atas, Pasal 1 butir (25)
KUHAP, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pengaduan adalah “Pemberitahuan
disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
5 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 107 6
menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya”.7
Adapun dalam Sofyan A, (2013) delik aduan adalah suatu delik/tindak pidana atau
peristiwa pidana yang hanya dapat diterima/diproses (dituntut) apabila telah masuk
pengaduan (permintaan) dari orang yang berhak mengadu.8
Dengan kata lain, perbuatan pidana dengan delik aduan hanya akan diproses apabila
adanya permintaan atau permohonan dari pihak yang merasa telah dirugikan akibat dari
perbuatan yang dianggap sebagai suatu perbuatan pidana. Seperti yang dikemukakan oleh
Andi sofyan, “Jadi tidak semua delik atau tindak pidana dapat diadukan ke pejabat yang
berwenang, sebab menurut Pasal 108 ayat 1 KUHAP, bahwa “dalam hal pengaduan baru
dapat dilakukan tindakan atau proses atas dasar pengaduan (permintaan) dari orang yang
terkena/korban karena terjadinya tindak pidana. Jadi pengaduan adalah suatu pemberitahuan
kepada penyelidik/penyidik untuk melakukan penyelidikan/penyidikan atas suatu peristiwa
pidana dari orang yang menjadi korban atau dirugikan karena dilakukannya tindak pidana
itu.”9
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mengetahui lebih lanjut
tentang delik aduan absolute, menurut Andi sofyan dan H. Abd. Asis, bahwa “Yang
dimaksud dengan tindak pidana aduan absolut adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut,
apabila tidak ada pengaduan dari pihak korban atau yang dirugikan atau dipermalukan
dengan terjadinya tindak pidana tersebut.”10
Validasi bukti elektronik yang dimaksudkan dalam UU ITE berhubungan dengan alat
bukti yang sah, yang dapat digunakan dalam penyidikan terhadap kasus pencemaran nama
7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 202 8Andi sofyan, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Penerbit Mahakarya Rangkang Offset
Yogyakarta, Yogyakarta, 2013, h. 83
9Ibid.
10Andi sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Penerbit Kencana
baik menggunakan media elektronik. Jika dikaitkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
bahwa yang termasuk alat bukti yang sah adalah : (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli,
(c) surat, (d) petunjuk dan (e) keterangan terdakwa.11 Sedangkan alat bukti menurut Undang-Undang ITE, Pasal 44 berbunyi, “alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:“
a. Alat bukti sebagaimana yang dimaksud ketentuan Perundang-undang; dan
b. Alat bukti berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3).
Adapun dalam Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU ITE, : “(1) informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah.; (2) informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.; (3) informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang.”12
Sebagai alat bukti yang sah, persoalan lain yang muncul adalah bagaimana
keterhubungan antara alat bukti yang diakui dalam Undang-Undang ITE dengan alat bukti
yang diatur dalam KUHAP sebagai salah satu aturan beracara dalam proses persidangan,
mengingat dalam KUHAP tidak mengatur tentang informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik. Pasal 1 angka (1) dan Pasal 1 angka (4) UU ITE, memberikan pengertian tentang
informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai berikut, “(1) informasi elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h.77 12 Pasal 5 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.; (4) dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang ITE tidak secara langsung
menjelaskan keterhubungan dengan alat bukti dalam KUHAP. Namun, menurut penulis
keterhubungan tersebut dapat ditemukan dalam alat bukti berupa surat. Seperti yang ditulis
dalam penjelasan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, bahwa : surat yang menurut UU harus dibuat
tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang
digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.13 Oleh sebab itu, alat bukti yang diatur dalam KUHAP maupun UU ITE memiliki
keterhubungan, yaitu alat bukti berupa surat.
Sedangkan untuk alasan pembenar, di dalam KUHP tidak disebutkan secara eksplisit.
Namun menurut Moeljatno, mangatakan bahwa : “Titel ke-3 Buku Pertama KUHP hanya
menyebutkan: alasan-alasan yang menghapuskan pidana salah satunya alasan pembenar”.14 Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Dalam dokrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan menghapus
13 Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (4) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 50
kesalahan. Adanya alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang
sepintas lalu melawan hukum.
Dalam kaitannya dengan pencemaran nama baik, alasan pembenar yang dapat
menghapuskan sifat melawan hukum dapat dilihat dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP yang
menyatakan: tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa demi membela diri.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pertimbangan hakim, berikut ini beberapa
Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan Hukum tetap yang akan menjadi objek dalam
penelitian ini, yaitu :
- Putusan Pengadilan Negeri Bantul dengan Nomor Perkara
196/Pid.Sus/2014/PN.BTL15
Dalam putusan ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa ERVANI EMY
HANDAYANI BINTI SAIMAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dan membebaskan terdakwa dari semua
dakwaan serta memulihkan terdakwa dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta
martabatnya.
Menurut Majelis Hakim, bahwa kasus yang diadilili tidak memiliki unsur dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Seperti yang dikatakan oleh Majelis hakim,
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis berpendapat unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak terpenuhi.”16
15 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor
196/Pid.B/2014/PN.BTL
Lebih lanjut Majelis Hakim mengatakan,
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari pasal yang
didakwakan dalam dakwaan pertama tidak terpenuhi maka terdakwa tidak dapat disalahkan telah melakukan perbuatan sebagaimana di dakwakan padanya dalam dakwaan pertama dan oleh karenanya dakwaan haruslah
dibebaskan dari dakwaan pertama tersebut;”17
Adapun unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3), oleh Majelis Hakim dibagi menjadi 2
Unsur, yaitu :18
1. Setiap Orang;
2. Dengan Sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Menariknya, dalam kasus ini Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan
unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) saja, melainkan juga tidak melepaskan pasal tersebut dari
genusnya yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Oleh karena itu, dalam Putusan ini juga
memuat bagaimana Majelis Hakim mempertimbangkan Pasal 310 dan 311 KUHP terkait
kasus yang diadili.
Dalam pertimbangannya terkait Pasal 310, Majelis Hakim berkesimpulan dengan
mengatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas,
maka Majelis berpendapat unsur dengan sengaja menyerangan kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui
umum tidak terpenuhi.”19
Lebih lanjut, Majelis Hakim mengatakan:
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari pasal yang
didakwakan dalam dakwaan kedua tidak terpenuhi maka terdakwa tidak dapat disalahkan telah melakukan perbuatan sebagaimana di dakwakan padnyaa dalam dakwaan kedua dan oleh karenanya terdakwa haruslah dibebaskan
dari dakwaan kedua tersebut;”20
17 Ibid.
Sedangkan terhadap Pasal 311 KUHP, kesimpulan dari pertimbangan Majelis Hakim
tetap sama, dengan mengatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas,
maka Majelis berpendapat unsur melakukan kejahatan pencemaran atau mencemarkan dengnan surat dalam ia diizinkan membuktikan kebenaran
tuduhannya itu tidak terpenuhi.”21
Lebih lanjut Majelis Hakim mengatakan:
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari pasal yang
didakwakan dalam dakwaan ketiga tidak terpenuhi maka terdakwa tidak dapat disalahkan telah melakukan perbuatan sebagaimana di dakwakan padanya dalam dakwaan ketiga dan oleh karenanya terdakwa haruslah
dibebaskan dari dakwaan ketiga tersebut;”22
- Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan Nomor Perkara 324
/Pid.B/2014/PN.SGM.23
Dalam Putusan ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa FAHDLI RAHIM
S.sos BIN ABD. RAHIM HANAFI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik”, dan menjatuhkan pidana kepada
terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan, serta menetapkan
terdakwa tetap dalam tahanan dimana masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.24
Majelis Hakim berpendapat bahwa, kasus yang diadili telah memenuhi unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3). Seperti yang dikatakan oleh Majelis Hakim:
“Menimbang, bahwa dari uraian di atas maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa percakapan yang terdakwa tuliskan pada jam 14:08 Wita dan 14:10 Wita di Grup Ikasalis 90 terbukti mengakibatkan bupati Gowa tersinggung karena nama baiknya dicemarkan sehingga dengan demikian Majelis Hakim berpendapat terdakwa telah terbukti menurut hukum mentransmisikan
21 Ibid., h. 67
22 Ibid.
23 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor
324/Pid.B/2014/PN.SGM
informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama
baik sebagaimana unsur ad 3 dalam pasal ini;”25
Lebih lanjut Majelis Hakim mengatakan:
“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE
telah terpenuhi, maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbuti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu dari Penuntut Umum dan nota pembelaan dari tim Penasehat
hukum haruslah dinyatakan ditolak seluruhnya;”26
Adapun unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3), oleh Majelis Hakim dibagi menjadi 3
unsur, yaitu :27
1. Setiap Orang;
2. Dengan Sengaja dan Tanpa Hak;
3. Mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
Dalam putusan ini, Pasal 310 KUHP yang merupakan genus dari Pasal 27 ayat (3) UU
ITE, tidak dipertimbangkan oleh Majelis hakim.
Dengan melihat kedua putusan tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap Putusan Hakim
dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh hakim.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan penilaian subjektif para hakim dalam menerjemahkan
peraturan terkait kasus yang sedang diadili. Dalam hal ini, berdasarkan 2 putusan yang telah
diutarakan sebelumnya, ditemukan perbedaan-perbedaan, salah satunya pada bagaimana
Majelis Hakim membagi unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3). Tidak hanya itu, perbedaan
yang lain juga terkait pada bagaimana Majelis hakim mempertimbangkan Pasal 310 KUHP.
Selain kedua Putusan diatas, adapun putusan-putusan hakim yang nantinya diteliti
dalam penelitian ini, lebih lengkap akan peneliti paparkan ke dalam tabel dibawah ini, berupa
25 Ibid., h. 78
nomor perkara, vonis, dan pertimbangan hakim terkait bagaimana hakim membagi
unsur-unsur yang ada dalam Pasal 27 Ayat (3), yaitu :
Tabel 1.1 Pertimbangan Hakim
No Nomor Perkara Vonis Pertimbangan Hakim
1.
324 /Pid.B/2014/PN.SGM. 8 (delapan) Bulan - Setiap orang
- Dengan sengaja dan tanpa hak
- Mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
2.
196/Pid.Sus/2014/PN.BTL Bebas - Setiap orang
- Dengan sengaja dan tanpa hak
Mendistribusikan dan/atau
menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
3.
390/Pid.B/2014/PN.Mks. Bebas - Setiap orang
- Dengan sengaja Tanpa hak
- Mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya
- Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
4.
1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel 7 (tujuh) Bulan - Barang siapa
- Dengan sengaja memakai surat palsu atau
- Jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian
5.
23/Pid.B/2011/PN-JTH 10 (sepuluh) Bulan - Barang siapa
- Dengan sengaja dan tanpa hak - Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan membuat dapat diaksesnya
- Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
- Yang memiliki muatan penhinaan dan/atau pencemaran nama baik
6.
232/Pid.B/2010/PN.Kdl 3 (tiga) Bulan dan denda sebesar
1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan
ketentuan apabila tidak dibayar, diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan
- Setiap orang
- Dengan sengaja atau tanpa hak
- Mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik - Memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Mengingat begitu banyaknya perdebatan terkait Pasal 27 Ayat (3) UU ITE baik dari
kasus-kasus yang timbul maupun dari putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht), maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul : “PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM PERKARA PIDANA TERKAIT PASAL 27 AYAT (3) UU ITE”
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
dalam Pencemaran Nama Baik pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor. 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?”
III. Tujuan
Dalam peneltian ini, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pidana terkait pembuktian dan kesengajaan
dalam pencemaran nama baik dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik!
IV. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat atau berguna baik secara teoritis
maupun praktikal
a. Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, pembaharuan ilmu hukum nasional
pada umumnya dan dalam perlindungan hukum bagi setiap individu di dalam tata
hukum Indonesia sekaligus memberikan referensi bagi kepentingan yang bersifat
akademis dan juga sebagai bahan tambahan bagi kepustakaan serta pada
perkembangan ilmu hukum pidana pada khususnya.
b. Secara Praktis
Penulis berharap hasil penelitian ini secara praktis dapat bermanfaat serta memberikan
gambaran yang dapat disumbangkan pada para penegak hukum dan masyarakat luas
mengenai penanganan kasus tindak pidana pencemaran nama baik dalam
Undang-Undang ITE
V. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode penelitian Yuridis
perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Oleh sebab itu, akan diuraikan beberapa hal terkait metode penelitian
yang dipakai, sebagai berikut :
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini yaitu Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan kasus
(case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan kasus
digunakan peneliti untuk melihat ratio decidendi dari objek yang akan diteliti, yaitu
alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai kepada putusan-putusannya
dengan memperhatikan fakta materil diantaranya berupa orang, tempat, waktu dan segala
yang menyertainya. Menurut M. Peter Marzuki (2005), dalam hukum Indonesia yang
menganut “civil law sistem”, ratio decidendi tersebut dapat dilihat pada konsiderans
“Menimbang” pada “Pokok Perkara”.28 Kaitannya dengan penelitian ini, maka yang akan
dilihat adalah konsiderans “menimbang” pada “pokok perkara” dari putusan Pengadilan
Negeri Bantul dengan Nomor Perkara 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL, Putusan Pengadilan
Negeri Sungguminasa dengan Nomor Perkara 324__Pid.B_2014_PN.SGM, Putusan
Pengadilan Negeri Makassar dengan Nomor Perkara 390/Pid.B/2014/PN.Mks, Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel,
Putusan Pengadilan Negeri Jantho dengnan Nomor Perkara 23/Pid.B/2011/PN-JTH,
Putusan Pengadilan Negeri Kendal dengan Nomor Perkara 232/Pid.B/2010/PN.Kdl.
Sedangkan pendekatan konseptual digunakan peneliti untuk menemukan prinsip-prinsip
hukum yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-undang. Oleh sebab itu,
untuk menemukannya peneliti terlebih dahulu akan memahami konsep tersebut melalui
pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum.29 Terkait dengan objek
yang akan diteliti, maka prinsip-prinsip yang terdapat dalam Undang-undang dimaksud
28 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit PTAdhitya Andrebina Agung, Jakarta,
2005, h. 161
adalah prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum. Oleh sebab itu, penelitian ini bersifat
preskriptif. Seperti yang dikatakan oleh M. Peter Marzuki (2005), ilmu hukum tidak
bersifat deskriptif tetapi preskriptif. Dengan kata lain, penelitian ini menggambarkan
koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara hukum dan norma hukum
terkait objek penelitian.30 c. Sumber Data
Untuk menjawab permasalahan yang akan diteliti dan sekaligus memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan bahan-bahan hukum sebagai
sumber penelitian.31 Dalam penelitian ini, bahan-bahan hukum tersebut dibagi ke
dalam 2 bahan hukum, yakni :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.32 Oleh sebab itu dalam penelitian ini, yang menjadi sumber hukum primer yaitu : Kitab undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Putusan-putusan
Pengadilan terkait Pasal 27 Ayat (3) yang sudah berkekuatan hukum tetap,
diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Bantul dengan Nomor Perkara
196/Pid.Sus/2014/PN.BTL, Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa dengan Nomor
Perkara 324__Pid.B_2014_PN.SGM. Putusan Pengadilan Negeri Makassar dengan
Nomor Perkara 390/Pid.B/2014/PN.Mks. Putusan Negeri Jakarta Selatan dengan
Nomor Perkara 1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel. Putusan Negeri Jantho dengnan Nomor
Perkara 23/Pid.B/2011/PN-JTH. Putusan Negeri Kendal dengan Nomor Perkara
232/Pid.B/2010/PN.Kdl.
2. Bahan Hukum Sekunder
Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.33
VI. Sistematika Penulisan
Bab I berisi pendahuluan dengan latar belakang, hingga perumusan permasalahan
secara tegas. Disamping itu, diuraikan juga mengenai tujuan penelitian dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistemika penulisan.
Bab II adalah bab pembahasan merupakan uraian mengenai pertimbangan hakim
dalam memutuskan perkara pidana berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
Bab III adalah bab penutup dikemukakan kesimpulan hasil pembahasan dan saran.