15
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
MEKANISME PENETAPAN TERSANGKAPenyidikan berasal dari kata selidik artinya teliti, cermat atau diperiksa, sedangkan
penyelidikan berarti usaha untuk memperoleh informasi melalui pengumpulan data
atau proses. Latar belakang, motivasi dan urgensi introdusirnya fungsi dilakukannya
penyelidikan adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada Hak Asasi
manusia itu sendiri yang mengacu pada asas legalitas.
Dalam melaksanakan fungsi “Penyelidikan” dan “Penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil -memeriksa-menangkap-menahan-menggeledah-menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tidak pidana. Hak dan kewenangan tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip : the right of due process.1
Dalam prinsip : the right of due process tersebut menjelaskan setiap tersangka
berhak disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Bahwa konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam
menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas
hukum (no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun
berdasarkan prinsip “perlakukan” dan dengan “cara yang jujur”.
Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa tersangka adalah “seseorang yang telah disangka melakukan sesuatu tindak pidana dan ini masih dalam taraf pemeriksaan
pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar
untuk diperiksa di persidangan.2
Menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa pengertian tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
1 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika,
Cet ke-14,2012,hlm 95.
16
sebagai pelaku tindak pidana. ” Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14
KUHAP tidak secara spesifik diatur di dalam KUHAP. Definisi itu justru diatur dalam Pasal 1
angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut: “Bukti Permulaan adalah alat bukti
berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa
seseorang telah melakukan tindak pidana”.
Sedangkan Rapat Kerja MAKEHJAPOL 1 (Mahkamah
agung-Kehakiman-Kejaksaan-Polisi, tanggal 21 maret 1984, menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang
cukup seyogianya minimal: laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.
Menurut P.A.F. Lamintang, mengatakan bahwa “barang bukti permulaan yang cukup“ dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti-bukti
minimal”, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat 4 KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan
penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah
terhadap seorang tersebut dilakukan penangkapan.3 KUHAP memang tidak menjelaskan
lebih lanjut tentang definisi ‘bukti permulaan’, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang
alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi: (1) keterangan saksi,
(2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.
Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang sah
berupa keterangan saksi,keterangan ahli, surat dan keterangan tersangka, Sementara, alat bukti
berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam
persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di
dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3)
KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Apabila di dalam suatu proses penyidikan sudah terdapat laporan polisi dan satu alat bukti
yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang
dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu
ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas
dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menjelaskan bahwa keterangan seorang saksi
saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang di dakwakan
3 P.A.F. Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan
17
kepadanya kemudian dalam ayat (3) menambahkah bahwa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut apabila telah terdapat laporan polisi dan adanya keterangan
seorang saksi saja maka tidak serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus
disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, maka secara hukum seseorang dapat ditetapkan
sebagai tersangka. Kemudian setelah adanyan penetapan tersangka tersebut,
mengakibatkan adanya upaya paksa lainnya yang dapat diterapkan kepadanya. Upaya
paksa tersebut antara lain yaitu dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain
sebagainya. Ketika tersangka merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut, maka
tersangka mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum yaitu Praperadilan.
2.
PRAPERADILANPraperadilan merupakan lembaga peradilan yang tidak berdiri sendiri. Dalam hal ini bahwa pra peradilan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai wewenang untuk tidak memberikan putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Bahwa praperadilan sendiri hanya suatu lembaga yang mempunyai ciri eksistensi yaitu sebagai berikut.
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tak terpisah dari Pengadilan Negeri.
b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya devisi dari Pengadilan Negeri. c. Administrasi yudisial, personil, peralatan, dan financia bersatu dengan
Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan
d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.4
Dalam pelaksanaan prapreadilan undang-undang memberikan wewenang kepada
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 77 KUHAP
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
18
Dengan kata lain, praperadilan memiliki obyek penting didalamnya yakni, pertama,
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa yang meliputi penangkapan dan
penahanan. Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan yang dapat dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata
apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah
dituntut dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
perkara yang disangkakan padanya merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan abbuse of
authority. Ketiga, berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. Keempat, memeriksa
permintaan rehabilitasi. Kelima, Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.5
Sedangkan dalam pelaksanaannya praperadilan diatur lebih lanjut dalam Pasal 82-83
KUHAP. Dalam proses permeriksaan di pengadilan praperadilan dipimpin oleh hakim
tunggal yang di tunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri yang di bantu oleh seorang panitra
dalam memeriksa atau memutus mengenai praperadilan. Pelaksanaan praperadilan tersebut
timbul atas permintaan atau pengajuan yang di ajukan oleh tersangka, keluarga tersangka
ataupun kuasa hukum tersangka kepada Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasan
yang menjadi dasar praperadilan. Bahwa dalam hal ini permintaan yang diminta adalah
ganti kerugian atas proses peradilan di tingkat penyidikan ataupun penuntutan.
Kewenangan pelaksanaan praperadilan mutlak menjadi wewenang Pengadilan Negeri
dalam memeriksa ataupun memutus perkara praperadilan. Putusan mengenai praperadilan
tidak dapat dimintakan banding kecuali dalam beberpa hal yang yaitu penetapan sah
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
3.
PEMERIKSAAN PERSINDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI1. Pemeriksaan Pendahuluan
19
Pemeriksaan pendahuluan adalah satu pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim
(panel) dan dihadiri pemohon untuk mempersiapkan permohonan tersebut secara
lengkap sebelum diadakan persidangan baik untuk mendengar keterangan dari
pemerintah, DPR maupun pihak terkait dengan cara yang efektif, efisien dan
lancar.6 Sifat pemeriksaan pendahuluan adalah informatif, dalam arti pemeriksaan
pendahuluan dimaksudkan untuk memberi penjelasan dan memperoleh informasi
sehingga masalah yang diajukan dapat dipahami secara baik dan benar oleh hakim
maupun oleh pemohon sendiri.
Dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan
pendahuluan ini diatur tersendiri dalam Bagian Kelima Bab V tentang Hukum
Acara. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 39 yaitu:
(1) Sebelum mulai pemeriksaan pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan;
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal (1),
Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk
melengkapi dan/ atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu
paling lambat 14 hari.
Pemeriksaan pendahuluan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengadakan pemeriksaan terhadap pokok perkara (substansi permohonan). Dalam pemeriksaan pendahuluan tersebut bertujuan untuk:
(1) Memastikan kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon sesuai dengan ketentuan UU dan PMK
(2) Memastikan kejelasan materi permohonana yang diajukan oleh pemohon, baik posita-nya, amar yang diminta, dan apa saja alat bukti yang sudah dan akan diajukan untuk mendukung dalil-dalil yang diajukan.
(3) Memastikan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon memang termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili, termasuk mengenai kejelasaan apakah
6 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, cet pertama, Konstitusi Press, Jakarta,
20
perkara tersebut berkenaan dengan pengujian undang-undang secara materil atau secara formil.
(4) Memastikan kualiatas kedudukan hukum atau legal standing
permohonan yang mengajukan permohonan memang menentukan syarat menurut ketentuan Undang-undang.
(5) Memastikan bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajkan oleh pemohon itu memang sudah sesuai dengan ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dan Peratuan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005.7
Selain kelima hal tersebut, dalam pemeriksaan pendahuluan juga dilakukan
pemeriksaan terhadap alat bukti yang diajukan oleh pemohon dalam pemeriksaan
pada tahap-tahap selanjutnya. Jika pemohon mengajuka alat-alat bukti surat, perlu
dipastikan bahwa cara pemohon memperoleh alat bukti surat tersebut tidak
melanggar hukum dan diambil dari sumber yang resmi. Berkaitan dengan
pembukian tersebut Mahkamah Kosntitusi menganut prinsip adanya disclosure
(keterbukaan) dari pemohon, yang diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU MK tentang beracara,
baik keterbukaan tentang alat bukti yang dipunyainya dan keterbukaan buktinya kepada
Pemerintah, DPR maupun hakim MK sendiri.
Selanjutnya, apabila permohon bermaksud mengajukan saksi dan ahli dalam
rangka pembuktian atas dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan, maka panel
hakim perlu memastikan mengenai siapa, apa relevansinya dengan perkara, dan
berapa saksi dan/atau ahli yang diajukan. Pada pokoknya tidak semua saksi atau
ahli yang diajukan oleh pemohon dapat diterima untuk dihadirkan dalam
peridangan Mahkamah Konstitusi.
Setelah semua permasalahan yang diuraikan diatas telah dapat ditata maka perbaikan
permohonan yang disarankan hakim atau yang diinginkan pemohon serta kelengkapan
bukti-bukti lain telah dapat diajukan tanpa harus menunggu jangka waktu
selambat-lambatnya 14 hari seperti diatur dalam UU MK. Seusai pemeriksaan pendahuluan
mempersiapkan segala sesuatu untuk berlangsungnya sidang yang baik dan fair, panel
melaporkan seluruh persiapan yang telah dilakukan pada pleno sesuai dengan checking
list yang diuraikan diatas dan disertai dengan pendapat bahwa permohonan tersebut telah
siap untuk diperiksa dalam persidangan pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut akan
21
diuji oleh pleno dan jika ternyata masih terdapat kekurangan maka pemeriksaan
pendahuluan dapat dilakukan lagi.
Sidang pleno yang menjadi lanjutan pemeriksaan pendahuluan adalah satu sidang
yang harus ditentukan setelah pemeriksaan pendahuluan secara pasti menentukan bahwa
permohonan pemohon layak dan memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada pemeriksaan
persidangan dengan menghadirkan pemerintah dan DPR, dan kalau dipandang perlu juga
DPD.
2. Pemeriksaan persidangan
Dengan selesainya pemeriksaan pendahuluan, akan dilanjutkan dengan
pemeriksaan persidangan. Dalam hal ini pemeriksaan persidangan diatur dalam
Pasal 11 sampai dengan Pasal 15 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
06/PMK/2009 yaitu sebagai berikut :
Dalam Pasal 11 menjelaskan
(1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan
dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan
Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok
permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib
memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari.
(3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.
(4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan
jelas, dan/atau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang
panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud
kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
(5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel
22
memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan
Hakim untuk proses selanjutnya.
(6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula
usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa
perkara dalam hal:
a. memiliki kesamaan pokok permohonan;
b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau;
c. pertimbangan atas permintaan Pemohon;
(7) Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah
mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah;
Dalam Pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) tersebut menjelaskan bahwa hakim
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dan apabila pemohon
belum lengkap atau ada yang perlu diperbaiki, maka pemohon diberikan waktu 14
hari untuk melengkapi atau memprbaiki. Namun apabila permohonan telah lengkap
dan jelas, maka panitera menyampaikan salinan permohonan kepada Presiden,
DPR, dan Mahmamah Agung.
Bunyi Pasal 12 bahwa pemeriksaan persidangan tersebut dilakukan secara
terbuka untuk umum dan pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel
Hakim dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan
Hakim. Dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahmamah Konstitusi No
06/PMK/2005 menjelaskan bahwa pemeriksaan persidangan yang dimaksud dalam
pasal 12 adalah
1. pemeriksaan pokok permohonan;
2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
3. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
4. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
5. mendengarkan keterangan saksi;
6. mendengarkan keterangan ahli;
23
8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau
peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan
petunjuk.
Dalam hal ini pemeriksaan alat bukti lain yang dimaksud yaitu berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Bahwa atas permintaan Hakim,
keterangan yang terkait dengan permohonan wajib disampaikan baik berupa
keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan
dimaksud.
Berdasarkan pemeriksan tersebut diatas bahwa pemeriksaan persidangan dapat
dilakukan dengan persidangan jarak jauh (teleconference).Setelah pemeriksaan
persidangan dinyatakan selesai, pihak-pihak diberikan kesempatan menyampaikan
kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.
Dalam pemeriksaan persidangan dijelaskan mengenai mendengarkan
keterangan pihak terkait, bahwa pihak terkait tersebut adalah pihak yang
berkepentingan langsung (pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh
oleh pokok permohonan)atau tidak langsung dengan pokok permohonan.Pihak
Terkait dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan
dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam
keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau
DPD. Pihak terkait tersebut mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui
Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua
Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan diatas apabila dipandang perlu, pemeriksaan
persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh
Hakim Konstitusi yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera
Pengganti serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/ Pemerintah, DPR, DPD,
24
4.
HAL-HAL YANG HARUS DIPERTIMBANGAN DALAM MEMUTUSPERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
1. Pembuktian
Peradilan di Mahkamah Konstitusi adalah peradilan konstitusional tingkat
terakhir, artinya, tidak ada lagi upaya hukum diatasnya atau upaya hukum lain yang
dapat menganulir atau mengubah putusan final dan mengikat mahkamah konstitusi
tersebut.
Perselisihan yang menjadi perkara permohonan di depan Mahkamah Konstitusi
yang diajukan oleh pemohon dan di sangkal oleh termohon atau pemerintah dan DPR
maupun pihak terkait adalah merupakan rangkaian dalil dari pihak-pihak yang
berlawanan dan hal tersebut harus didukung oleh alat-alat bukti bukan sekedar
argumentasi.
Membuktikan adalah kewajiban pihak-pihak melalui alat-alat bukti yang
menimbulkan suatu tingkat kepercayaan atau keyakinan dalam pikiran hakim tentang
kebenaran suatu dalil mengenai fakta, kejadian, hak atas hukumnya.8 Prof. Subekti
menyatakan secara singkat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persidangan.9 Bahwa
dalam hal ini para pihak berkewajiban untuk menyakinkan hakim terhadap dalil yang
dikemukankan dalam persidangan.
Meskipun tujuan hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah untuk memberi
kepastian akan kebenaran secara materiil adanya fakta, peristiwa dan hukum
sebagaimana didalilkan pemohon kebenaran materiil demikian pun tidak dapat
dikatakan mutlak. Yang diperoleh memang masih kebenaran yang ada dalam
kemungkinan paling besar karena sifat keyakinan hakim tetap subjektif.10 Akan tetapi,
dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi maka pembuktian
sepenuhnya berada pada hakim untuk menguji.
8 Op.cit.,maruarar siahaan, Hukum Acara Konstitusi Republik Indonesia, hlm 119 9 Subekti,
25
Sehingga dari proses membuktikan itulah hakim dapat memperoleh keyakinan
tentang kebenaran fakta yang harus dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan
yang seadil-adilnya. Proses peradilan konstitusional jelas berbeda dari peradilan
pidana ataupun perdata. Baik proses peradilan perdata berkenaan tentang keperdataan
kepentingan orang-perorang atau satu badan hukum sedangkan pidana berkenaan
dengan kepidanaan yang berkaitan antara orang dengan Negara.
Adapun dalam perkara pengujian undang-undang, kedudukan hukum (legal
standing) menjadi bagian yang sangat penting dalam suatu perkara yang diperiksa oleh
Mahkahah Konstusi. Kedudukan hukum itu pula yang menjadi pintu masuk (
entry-point) suatu perkara konstitusi untuk dapat memasuki pokok permohonan, tetapi
substansi perkara yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah menyangkut
undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and
abstract norms). Proses peradilan yang dilakukan dalam perkara pengujian
undang-undang berkaitan erat dengan kepentingan umum (public interst). Maka mau tidak
mau hakim konstitusi haruslah membuat keputusan berdasarkan pembuktian yang
benar-benar sangat mendalam.
Bahwa dalam pembuktian tersebut dikenal adanya beberapa prinsip teoritis mengenai metode pembuktian, yaitu sebagai berikut:
a. Positive Wettelijk Bewijstheorie
Diaman pembuktian ini bersifat sangat formal, yaitu semata-mata mengandalkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undan-undang. Diaman dalam hal ini hakim cukup mengandalkan apa yang secara normatif telah ditentukan sebagai alat bukti, dan tidak lagi memerlukan keyakinan para hakim
b. Vrije Bewijstheorie Rasionee
Dalam metode ini proses pembuktian sangat mengandalkan keyakinan para hakim, dimana hakim bebas untuk menilai dan mempertimbangkan alasan-alasan dibalik keyakianan yang dianutnya dalam mengambil kesimpulan
Vrije bewijs. Hakim bebas menemukan sendiri kebenaran di balik alat-alat bukti yang tersedia
c. La Concentive Rasionee
Dalam metode ini para hakim tetap mempertahankan pembuktian yang bersifat positif berdasarkan undang-undang, akan tetapi keyakinan-keyakinan bebas para hakim juga dianggap menentukan sampai kepada batas tertentu. Alasan yang dimaksud adalah alasan yang logis sebagai kriteria pembatas atas kebebasan para hakim menerapkan keyakinannya sendiri.
26
Dalam pembuktian menggunakan keyakinan hakim namum dalam keyakinan tersebut didasarkan kepada norma-norma undang-undang yang mengatur secara limitatif mengenai pembuktian tersebut yang diikuti dengan keyakinan untuk menarik konklusi dan keputusan yang dianggap adil atas pembuktian perkara yang bersangkutan.11
Berkaitan dengan metode diatas, dalam proses pembuktian yang dilakukan oleh
hakim Konstitusi lebih condong kepada metode Negative Wettelijk Bewijstheorie yang
di dalam proses pembuktian tersebut, hakim memutus perkara berdasarkan keyakinan
hakim yang disertai dengan adanya alat bukti, sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 45
ayat (1) menjelaskan bawah Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat
bukti dan keyakinan hakim, yang kemudian dipertegas dalam ayat (2) bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
2. Alat bukti
Berdasarkan dalam prinsip pembuktian yang dijelaskan diatas yaitu digunakan
untuk keyakinan hakim , maka Alat bukti yang digunakan untuk keyakinan hakim
mahkamah konstitusi sesuai 36 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi dalam persidangan yaitu terdapat enam alat bukti yang sah yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa
dan memutuskan setiap perkara kosntitusi yang dimohonkan kepadanya, alat bukti
yang disebut dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Surat atau tulian;
Yang dimaksud dengan alat bukti surat atau tulisan adalah dokumen
yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang tertuang di
atas kertas, ataupun bahan-bahan lainya yang bukan kertas.12 Salah satu
bentuk bukti tertulis tersebut adalah dokumen resmi yang berkaitan dengan
pengujian tersebut. Sifat resminya suatu dokumen peraturan
27
undangan sebagai alat bukti terletak pada sumber referensinya dan pada
cara penyajian dalam persidangan.
Dalam huruf (f) ketentuan pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
menyebutkan pula bahwa jenis alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu. Sekiranya informasi yang dimaksud
berupa tulisan yang tersimpan di dunia maya internet, maka hal itu pula
disebut sebagai bukti surat yang sewaktu-waktu dapat di-printout ke dalam
kertas. Dari segi bentuknya tidak dapat dihindari bahwa dokumen dimaksu
adalah juga dokumen tuilisan, hanya saja medianya berbeda.
b. Keterangan saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan
tersebut ia alami, didengar, dan dilihat sendiri. Dugaan, pendapat,
anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak disebut
debgai keterangan saksi. Dalam Pasal 38 UU Mahkamah Konstitusi
dinyatakan bahwa para pihak, saksi dan ahli wajib hadir memenuhi
panggilan Mahkamah Konstitusi. Panggilan tersebut harus sudah diterima
dalam jangka waktu paling lambat 3 hari sebelum masa persidangan.
Pada Pasal 38 ayat 1 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menerangkan bahwa para pihak, saksi dan ahli wajib hadir
memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya pada ayat 4
ditegaskan pula bahwa jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipu
dan telah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi
dapat meminta bantuan kepada kepolisan untuk menghadirkan saksi
tersebut secara paksa.
Dalam hal permohonan pengujian Undang-Undang, dalam praktiknya
saksi dan ahli di hadirkan oleh pemohon, namun dalam acara Konstitusi,
Mahkamah Konstitusilah yang memiliki peran untuk menghadirkan saksi
dan ahli sebagai konsekuensi asa hukum acara Mahkamah Konstitusi
28
Dalam peridangan Mahkamah Konstitusi saksi wajib memberikan
kesaksiannya berkaitan dengan perkara yang dimohonkan oleh pemohon.
Sehingga jika saksi menolak memberikan keterangan setelah ia dipanggil
dan dimintai keteragan dengan patut, maka yang bersangkutan dapat
diniali telah melakukan penghianaan terhadap pengadialan (contempt of
court).
c. Keterangan ahli
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, keterangan ahli adalah
keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu
hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.13
Yang dalam pemberian kesaksian diperlukan, jika pengetahuan
ilmiah,teknis, atau pengetahuan khusus lainnya dapat membantu
pengadilan menilai bukti atau fakta yang sedang diperiksa, seorang saksi
yang mempunyai kualifikasi sebagai ahli karena pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, pelatihan, atau pendidikan, dapat diminta
untuk menilai hal itu. Penilaian itu dapat berupa pendapat atau bentuk
lainnya, sepanjang kesaksian itu:
1. Didaftarkan atas fakta atau data yang cukup;
2. Meruapakan hasil dari perinsip-perinsip dan metode yang
terpercaya;
3. Saksi yang bersangkutan telah menerapkan prinsip-prinsip dan
metode yang memang terpercaya terhadap fakta-fakta yang
terkait dengan perkara yang bersangkutan.14
Dalam praktik pihak yang mengajukan keterangan ahli untuk di
dengar keterangannya di depan persidangan, terlebih dahulu diminta
mengajukan daftar calon ahli dimaksud disertai curriculum vitae-nya yang
akan digunakan Mahkamah Konstitusi untuk menilai bidang keahlian yang
29
dimiliki serta menurut Mahkamah Konstitusi wajar untuk didengar
keterangannya.15
Pendapat ahli ini ditentukan haruslah didasarkan atas fakta atau data
mengenai sesuatu hal tertentu. Atas dasar fakta-fakta atau data itulah
(inferensi) atau pandangannya (opinion), mengenai suatu fakata yang telah
di ketahuinya, baik sejak sebelum persidangan ataupun sesuatu yang baru
diberitahukan kepadanya dalam persidangan. Dalam praktik persidangan
di Mahkamah Konstitusi, para saksi fakta kadang-kadang memang sulit
menghindar untuk tidak menyampaikan pendapat aau opini yang berisi
persepsi saksi sendiri mengenai sesuatu peristiwa atau sesuatu fakta.
Sehingga diberbagai Negara, keteragan ahli juga di golongkan sebagai sah
satu kesaksian, yaitu saksi ahli (expert witness). Di Negara-negara yang megikuti
tradisi hukum common la w, sebenarnya, bukti pendapat ini pada dasarnya tidaklah
dapat diterima. Seorang saksi juga tidak diperkenankan menyampaikan pendapat
mengenai sessuatu yang menjadi kewenangan hakim untuk memutusnya. Inilah
yang biasa disebut dengan ultimate issue, yaitu mengenai persoalan yang memang
harus diputuskan oleh pengadilan (the question that the court had to deside). UU
No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jelas membedakan antara
keterangan saksi dan keterangan ahli. Ahli adalah ahli, bukan saksi ahli.
Oleh karena itu, dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, ahli tidak boleh
disebut sebagai saksi ahli, melainkan ahli saja, yaitu orang yang diperlukan
keterangannnya dalam persidangan untuk memberikan informasi menurut bidang
keahlian yang diketahuinya. Keterangannya itu diperlukan dalam rangka proses
pembuktian perkara pengujian undang-undang yangs sedang diperiksa oleh
mahkamah konstitusi.
15PMK No. /PMK/ 5 e erika defi isi e ge ai ketera ga ahli ya g le h ri i, yaitu ketera ga ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang karena pendidikan dan/atau pengalamannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan,berupa pendapat ilmiah, teknis, atau pendapat
khusus lai ya te ta g suatu alat ukti atau fakta ya g diperluka u tuk pe eriksaa per oho a . Lihat
30
d. Keterangan yang diperlukan
Dalam praktik dipersidangan Mahkamah Konstitusi, biasanya pihak-pihak mengajukan ahli dalam berbagai bidang untuk didengar dalam persindangan. Mereka dapat diajukan oleh pemohon, oleh pemerintah,atau oleh pihak terkait yang kepentingannya lngsung terkait dengan materi perkara. Jika undang-undang yang diuji berkenaan dengan materi yang komplek dan menuntut pengetahuan yang multi atau lintas disiplin, kadang-kadang oleh pihak-pihak diajukan para ahli dari masing-masing bidang yang diperlukan. Biasanya ahli yang diajukan untuk memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi meliputi:
1. Ahli di bidang ilmu hukum, di bidang hukum HTN
2. Ahli di bidang hukum selain darii hukum selain dari hukum tata Negara yang beritan dengan meteri undang-undang yang diuji
3. Ahli diluar bidang hukum yang berkaitan dengan substansi undang-undang yang sedang diuji.
4. Ahli lainnya dari bidang-bidang yang bersifat menunjang dalam proses pembuktian terhadap substansi yang sedang diuji.16
Seperti halnya untuk saksi, dalam pengujian undang undang, pihak-pihak
yang dapat mempunyai kepentingan untuk mengajukan ahlli dalam rangka
pembutian adalah:
1. Pihak Pemohon
2. Pihak Pemerintah yang bertindak sebagai lembaga co-pembentuk
undang-undang (co-legisltor) bersama dengan DPR dan DPD
3. Pihak lembaga Negara teraik yang mempunyai kepentingan langsung
sebagai pelaksana undang-undang yang diuji
4. Pihak terkait lainnya yang mempunyai kepentingan yang langsung
terkait dengan pokok permohonan pengujian yang dajukan oleh
pemohon
5. Majelis hakim sendiri juga memanggil ahli untuk didengar
keterangannya dalam persidangan.
e. Keterangan Para Pihak
Pihak yang terlibat langsung dalam perkara pengujian undang-undang adalah; 1. Pemohon;
2. Pemerintah;
3. Dewan Perwakilan Ratkyat;
4. Dewan Perwakilan Daerah (Fakultatif);
31
5. Lembaga Negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang-undang yang bersangkutan;
6. Pihak-pihak lain di luar orga Negara yang mempunyai kepentingan yang terkait langsung ataupun tidak langsung denan undang-undang bersangkutan.17
Apabila diperlukan, Mahkamah Konstitusi juga dapat memanggil pihak lain,
baik lembaga Negara ataupun bukan, untuk didengar keterangannya mengenai
materi perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan. Bahkan, bila
diperlukan, Mahkamah Konstitusi juga dapat memanggil MPR untuk
dimintakan keterangan berkaitan dengan Undang-Undang Dasar.
f. Petunjuk;18
Dalam Ned. Rv di negeri Belanda, alat bukti petunjuk diubah menjadi alat
bukti pengamatan yang oleh hakim di Indonesia kemudian ditiru juga dalam
rangka Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung,19 yang di
maksud dengan pengamatan oleh hakim ini (eigen waarneming van de rechter)
adalah pengamatan yang terbuka untuk umum. Artinya, pengamatan oleh hakim
sebelum pemeriksaan persidangan tidak boleh di jadikan dasar untuk membuat
kesimpulan dan keputusan, kecuali jika hal-hal yang dimaksud memang telah
menjadi pengetahuan umum atau mengenai hal-hal ang memang sudah diketahui
oleh umum.
Akan tetapi, Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP tetap
menganut pandangan bahwa petunjuk dpat dijadikan alat bukti. Dalam Pasal 188
ayat (1) menerangan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya, baik atara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. Hal tersebut diikuti pula oleh UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkmah Konstitusi yang mencantumkan petunjuk sebagai alat
17 Ibid, hlm 168
18Dalam penjelasan ayat (1) huruf e UU No. 24 Tahun 2003, dinyatakan bahwa petunjuk yang dimaksud dalam
ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan barang bukti. Lihat TLN RI Nomor 4316
19Undang-undang tentang susunan kekuasaan dan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-undang No.1
32
bukti yang kelima dalam pasal 36 ayat (1) huruf e. dimana bukti peunjuk tersebut
mau tidak mau harus dianggap berlaku dengan proses pembuktian dalam perkara
pengujian undang-undang.
g. Bukti elektronik
Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf f UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkmah Konstitusi. Alat bukti elektronik merupakan sesuatu yang masih
tergolong baru, namun demikian sebenarnya semua isi media elektronik ini sama
saja dengan alat bukti surat maupun dokumen yang berisi tulisan atau hal-hal
yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang tertuang diatas
kertas, ataupun bahan-bahan lainnya yang bukan kertas. Oleh karena itu, bukti
elektronik tersebut sebenarnya memang dapat saja disebut tersendiri, tetapi dapat
pula dianggap bagian atau salah satu bentuk media dari alat bukti surat.
3. Hal yang perlu dipertimbangkan oleh Hakim
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua aspek undang-undang yang
dipersoalkan, yaitu mengenai materi undang-undang dan/atau mengenai pembentukan
dan hal-hal selain soal materi undang-undang. Yaitu mengenai materi undang-undang
dan/atau mengenai pembentukan dan hal-hal selain soal materi undang-undang.
Persoalan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum
pemohon (legal standing),20dan mengenai keberwenangan Mahkamah Konstitusi
sendiri dalam memeriksa dan mengadili permohonan yang diajukan. Dimana
persoalan tersebut dapat dirinci sebagai berikut;21
a. Berkewenangan Mahkamah Konstitusi
Pembuktian pertama yang perlu dilakukan melalui persidangan
panel Mahkamah Kosntitusi adalah persoalan kewenangan Mahkamah
Kosntitusi sendiri untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian
undang-undang yang diajukan oleh pemohon.
33
b. Kedudukan Hukum Pemohon
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan
permohonan untuk beracara di Mahkamah Konstitusi untuk pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang bunyinya sebagai berikut
“pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
1) Perorangan warga Negara Indonesia;
2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjan masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
3) Badan hukum publik atau prifat; atau
4) Lembaga Negara.” c. Konstitusionalitas materiil
Untuk membuktikan sifat kosntitusionalitas atau
inkonstitusionalitas materi suatu undang-undang perlu diuji pembuktian
mengenai ayat, pasal tertentu dan/atau bagian undang-undang saja dengan
konsekuensi hanya bagian, ayat dan pasal tertentu saja yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal
dan bagian tertentu dari undang-undang yang bersangkutan.
d. Konstitusionalitas Formil
Untuk membuktikan konstitusionalitas undang-undang secara
formil, perlu dihimpun bukti-bukti mengenai proses pembentukan
undang-undang yang bersangkutan, dan hal-hal lain soal meteri undang-undang-undang-undang.
Disamping itu pula ada hal-hal tersebut yang tidak perlu dibuktikan atau
yang biasa dikenal sebagai pengetahuan umum atau notoire feiten22,
diamana hal tersebut telah menjadi pengetahuan hakim sendiri atau hal
yang memang hakim sendiri tau hukumnya.
34
B.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS1.HASIL PENELIAN
a. GAMBARAN KASUS PERMOHONAN PRAPERADILAN OLEH PEMOHON
BACHTIAR ABDUL FATAH
Bachtiar abdul fatah adalah tersangka dalam kasus korupsi bioremidiasi PT
Chevron Pasific Indonesia. Ia di tetapkan sebagai tersangka pada tanggal 12 maret 2012
atas kerugikan Negara sebesar US$ 270 juta di Kejaksaan Agung. Atas penetapannya
tersebut sebagai tersangka, ia mengajukan gugatan praperadilan di pengadilan Jakarta
selatan yang kemudian oleh hakim Suko Harsono pada tanggal 27 november 2012
dengan keluarnya putusan praperadilan Jakarta Selatan
No:38/Pid.Prap/2012/PN.JKT-Selatan tersebut memutuskan bahwa penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fatah tidak
sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, dalam pertimbangannya hakim
Harsono memberi pertimbangan bahwa penahanan yang dilakukan termohon tidak
berdasarkan alat bukti yang cukup. Seluruh bukti termohon dinilai tidak dapat
membuktikan tentang adanya minimal dua alat bukti yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan pemohon sebagai tersangka dan kemudian menahannya. Dan juga meminta
Kejaksaan Agung untuk memulihkan harkat martabat Bachtiar Abdul Fatah selaku
pemohon.
Terkait diterimanya permohonan praperadilan yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah,
Kejaksaan Agung mengajukan banding ke Pengladilan Tinggi, namun memori banding
tersebut ditolak karena setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-IX/2011, sehingga ketentuan banding dalam praperadilan sudah tidak dikenal lagi.
Kemudian Jampidsus Andhi Nirwanton melayangkan surat permohonan ke
Mahkamah Agung. Kemudian pada tanggal 21 Maret 2013 Badan Pengawas Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat Nomor:316/BP/Eks/03/2013 yang membatalkan putusan
hakim Suko Harsono. Mahkamah Agung menilai bahwa Suko Harsono melanggar batas
kewenangan dengan memutuskan soal penetapan tersangka. Bahwa penetapan
35
membuktikan seorang sah sebagai tersangka atau tidak. Pembuktian tersangka haruslah
melalui proses yang Panjang dengan pemeriksaan seluruh saksi dan bukti. Dan tahap
tersebut hanya mungkin dilakukan dan memang menjadi kewenangan pengadilan
namun bukan praperadilan.
Atas pembatalan putusan praperadilan oleh Mahkamah Agung tersebut pada
tanggal 17 februari 2014 Bachtiar Abdul Fatah melakukan uji materi mengenai
praperadilan berkaitan dengan Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan mengenai obyek
praperadilan yaitu tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
b. penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan;
c. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b. PERMOHONAN PENGUJIAN TERHADAP PERKARA PRAPERADILAN
1.1PERMOHONAN
Permohonan pengujian terhadap Pasal 1 angka 14, 17 dan Pasal 21 ayat (1) dan
Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Yang
dalam kasus tersebut selaku pemohon pengajuan uji materi tersebut adalah:
Nama : Bahctiar Abdul Fatah
Pekerjaan : Karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia
Alamat : Komplek Merapi Nomor 85, RT. 01, RW. 03, Desa Pematang Pudu,
Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau
1.2DUDUK PERKARA
Dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana pemohonnya adalah Bahtiar
Abdul Fatah berkewarganegaraan Indonesia yang mengajukan permohonan tentang
pengujian Pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
36
(KUHAP) berkaitan dengan obyek praperadilan. Dimana pokok-pokok dari
permohonan tersebut adalah:
1. Bahwa frasa dan guna menentukan tersangkanya dalam Pasal 1 ayat (2)
KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karna
menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip
due process of law serta melanggar hak atas kepastian hukum yang adil;
2. Bahwa frasa “bukti permulaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebut dalam pasal 17 KUHAP yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak
pastian hukum, khusus berkenaan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh penyidik sebelum menyatakan seseorang menjadi tersangka atau sebelum
menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang;
3. Bahwa frasa “melakukan tindak pidana” dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah multi tafsir dan menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan
karna jumlah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih
sangat banyak jumlahnya. Dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21
ayat (1) KUHAP, ukuran, standar, atau parameternya tidak ditemukan
jawabannya dalam ketentuan norma Pasal 21 ayat (1) KUHAP maupun dalam
penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaan sepenuhnya diserahkan kepada
penyidik. Oleh karena itu, frasa tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;
4. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang
terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidak sahnya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan,
jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka
sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, oleh
karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal
28I ayat (5) UUD 1945;
37
dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakpastian
bagi terdakwa yang melakukan banding atas putusan sela yang menolak
eksepsi terdakwa karna berdasara pasal 156 ayat (2) KUHAP maka hakim
yang memeriksa perkara tersebut dapat tetap melanjutkan pemeriksaan
terhadap pokok perkara walaupun terdakwa melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi. Hal itu tidak sesuai dengan perinsip due process of la w
yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5)
UUD 1945.
Bahwa permasalahan utama pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1
angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya disebut KUHAP) yang
menyatakan;
Pasal 1 Angka 2 KUHAP
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”
Pasal 1 angka 14 KUHAP “Tersangka adalah seorang yang karna perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana”
Pasal 17 KUHAP“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”
Pasal 21 ayat (1) KUHAP “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
38
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”
Pasal 77 Huruf a KUHAP “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus,sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan”
Pasal 156 ayat (2) KUHAP “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima,
maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau
hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka
sidang dilanjutkan”
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
Hukum”
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yag demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”
39
Berdasarkan permohonan yang telah disampaikan oleh Bachtiar Abdul Fatah,
pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
memeberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya
2. Menyatakan frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “tidak berdasarkan hasil penyelidikan tersebut untuk kemudian
dapat menemukan tersangkanya”
3. Menyatakan frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally
unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”
4. Menyatakan frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally
unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”
5. Menyatakan frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa ‘dalam hal adanya
keadaan yang kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21
ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
6. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat secara bersyarat conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau
tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
7. Menyatakan frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan maka sidang
dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Acara Negara Republik
40
c. PUTUSAN
Atas pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
pemohon untuk sebagian yaitu:
1. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti
yang termuat dalam pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,
dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangaka, penggeledahan, dan penyitaan.
4. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonsia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran
41
mengikat tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan
penyitaan
d. PERTIMBANGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Dari permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap pengujian frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I Pasal 1 tentang
Ketentuan Umum yang mengatur tentang pengertian Penyidikan yang
menyatakan, “P enyidika n adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang daitur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya " Adapun frasa "dan guna
menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan
oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal
tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu
proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik
menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta
penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti
sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur
bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas
dan tidak perlu ditafsirkan.
Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan
kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan
ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu, harus melalui proses atau
rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan
42
penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti. Dengan demikian,
menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
2. Bahwa terhadap pengujian frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup", dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Gagasan negara hukum sebagai prinsip umum yang dianut
dalam penyelenggaraan negara yang antara lain, bercirikan prinsip due
process of law yang dijamin secara konstitusional. Sejalan dengan hal
tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
b. Bahwa asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak
asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus
dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga
penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana
dengan memberikan posisi yang sama, termasuk dalam proses peradilan
pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam
mempertahankan hak-haknya secara seimbang.
c. Negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu
prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan
demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk
menghormatinya. Bahkan secara konstitusional, ketentuan konstitusional
tentang HAM tersebut dalam perspektif historis-filosofis dalam
pembentukan negara dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab (vide
Pembukaan UUD 1945), Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk
43
terhadap HAM (vide Pasal 281 ayat (4) UUD 1945). Prinsip sebagaimana
diuraikan di atas, melahirkan suatu prinsip yang lain, yaitu bahwa proses
peradilan dalam perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil,
suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Dari
prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan pidana,
yaitu, lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada
menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah. Di dalam
ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam, bahwa ketika pengadilan
menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu
dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum
yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian maka akan
terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar HAM,
padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru harus
melindungi HAM (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945);
d. Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai
prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
(vide Pasal 281 ayat (5) UUD 1945). Hukum acara pidana merupakan
salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai
ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula
dengan salah satu prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due
process of law;
e. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di
Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai
pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun
demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan
agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum
dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan
sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”,
“bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana
44
KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai
batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan", "bukti permulaan yang
cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yaitu
minimal dua alat bukti, seperti ditentukan dalam Pasal 44 ayat (2) yang
menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila
telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua ) ala t bukti, ... dst”.
Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal
183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti... dst;
Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta
memenuhi asas lex ceria dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka
frasa "bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan
pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang
penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in
absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya
dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan
pemeriksaan calon tersangka.
Bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon
tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk
tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum
seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan
yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh
45
penyidik di dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya
tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan
yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di
dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Dengan uraian pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo beralasan menurut
hukum;
3. Bahwa terhadap pengujian frasa "melakukan tindak pidana" dan frasa “dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, frasa tersebut pernah
diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 018/PUU- lV/2006,
bertanggal 19 Desember 2006, yang amarnya menyatakan menolak permohonan
Pemohon.
Menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor
018/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, telah mempertimbangkan
maksud dan tujuan dari Pasal 21 KUHAP, antara lain:
"... bahwa dalam hukum acara pidana tercerminkan penggunaan kekuasaan
negara pada proses penyelidikan, penyidikan, di mana penggunaan kewenangan
tersebut akan berakibat langsung kepada hak-hak warga negara. Penahanan
merupakan tindakan yang diperlukan dalam proses penegakan hukum meskipun
dalam penahanan itu sendiri terdapat pembatasan tehadap hak asasi manusia.
Oleh karena itu, penahanan haruslah diatur dengan undang-undang yang di
dalamnya ditentukan tata cara serta syarat-syarat yang jelas. Hal demikian
dilakukan untuk seminimal mungkin menghindari pelanggaran hak asasi
manusia. Perubahan Hukum Acara Pidana dari HIR kepada KUHAP,
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Sebagaimana halnya dengan hukum acara pidana di negara lain,
46
tidaklah mungkin dikeluarkannya penahanan dari ketentuan hukum acara
pidana. Keberadaan penahanan dalam hukum acara pidana merupakan suatu hal
menyakitkan tetapi diperlukan (a necessary evil). Usaha untuk meminimalisasi
pelanggaran hak asasi manusia dalam penahanan dilakukan dengan banyak cara
di antaranya dengan menetapkan syarat-syarat penahanan serta menetapkan
alasan penahanan dan dengan memberikan upaya hukum kepada seseorang yang
terhadapnya dikenai penahanan...;
.... dengan adanya Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP, hal tersebut
haruslah dimaknai sebagai usaha untuk memberi dasar hukum bagi penahanan
sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi penggunaan kewenangan yang
berlebihan dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penahanan ...;
... penahanan oleh penyidik atau penuntut umum harus didasarkan atas
pertimbangan yang cukup rasional dan tidak dengan serta merta saja dilakukan
penahanan yang hanya didasari keinginan subjektif semata dari penyidik atau
penuntut umum ...;
... keberadaan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak dapat dilepaskan dengan
adanya Pasal 77 KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP dari aspek norma cukup
untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan umum untuk
menegakkan ketertiban, serta kepentingan individu yang harus dilindungi hak
asasinya, hal demikian diperkuat lagi dengan adanya pranata praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP...
Oleh karena itu, pertimbangan putusan tersebut mutatis mutandis berlaku
pula untuk permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah
dalil Pemohon dalam permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum;
4. Bahwa terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (5) UUD 1945
apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka,
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, Mahkamah berpendapat:
4.1Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
47
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu
perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana
menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi
lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut
terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah
hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana,
khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam
mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara
terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM (vide Pasal 281
ayat (4) UUD 1945). KUHAP sebagai hukum formil dalam proses
peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak
tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia;
b. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi
terciptanya tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang
dirumuskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu, membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat Indonesia harus merasa
aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang, rasa aman yang
diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanya ditujukan bagi mereka
yang benar saja, akan tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan
ataupun bagi mereka yang diduga melakukan kesalahan juga berhak