• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Arti dan Penjelasan Inkonsistensi

Inkonsistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, tidak taat asas; suka berubah-ubah (tentang sikap atau pendirian seseorang, pemakaian atau pengejaan kata, dan sebagainya); selain itu Inkonsistensi juga memiliki arti yaitu mempunyai bagian-bagian yang tidak bersesuaian; bertentangan; kontradiktif. Sehingga jelas bahwa sikap dan juga pemakaian kata dalam berargumen yang tidak sesuai merupakan bentuk Inkonsistensi. Sama hal nya dengan bagian-bagian yang berkaitan namun tidak bersesuaian atau bertentangan dapat di sebut sebagai Inkonsistensi.

2. Rasionalitas Pertimbangan Hakim

(2)

penalaran adalah dua istilah yang sering dipertautkan; penalaran adalah kegiatan berfikir.1 Berfikir secara yuridis adalah berfikir secara normatif. Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi secara tepat, teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. 2 Argumentasi hukum itu sendiri dihasilkan oleh proses penalaran (redeneer process). Penalaran selalu bersangkut paut dengan logika dan bahasa.3

Penalaran hukum bagi hakim merupakan kegiatan berfikir untuk menghasilkan pendapat hukum yang berangkat dari kasus konkret yang dihadapi dengan mengacu pada sistem hukum positif. Berbeda hal nya dengan penalaran hukum yang mengkaji produk, dimana objek pada dictum putusan sebagai imperensi (penyimpulan) dari hasil kegiatan berfikir hukum dikaitkan dengan pertimbangan hukumnya. Dalam teori hukum telah diletakan kriteria rasional putusan hakim yaitu pada de heuristik dan de legitimatik.4

de heuristik adalah metode pemecahan masalah lewat penalaran sebagai proses intelektual untuk mencapai penyelesaian masalah. Dimana dalam tahap ini hakim berusaha mencari tahu dan menemukan jalan pemecahan secara tepat dan benar. Dan pada tahap de legitimatik yang adalah kegiatan menyangkut persoalan keadilan, menggunakan

1 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1996), hlm.16. 2 Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada

University Press,2009) Cet keempat, hlm.13.

3 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Penerbit

Prenadamedia Group, 2015) Edisi Pertama, hlm, 48.

(3)

metode dengan logika deduktif untuk mencapai pola berfikir yang benar dan mencapai kebenaran.5

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu memuat:

(1) Alasan-alasan, yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian dikualifisir menjadi fakta hukum.

(2) Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan argumen-argumen pendukung.

(3) Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum yang diterapkan, atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(4) Alasan hukum tak tertulis, dapat berupa argumen sosiologis dan filosofis atau moral justice.

(5) Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar (Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).6

3. Teori merumuskan pendapat hukum

Untuk memenuhi asas objektivitas, maka pada putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis yang di jadikan dasar untuk mengadili. Undang-undang nomor 48 tahun 2009 Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan

(4)

dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang di jadikan dasar untuk mengadili.” Dalam hal ini terdapat perbedaan mengenai “ratio decidendi” dengan “obiter dicta”, meskipun pada keduanya mengandung makna pertimbangan hukum mengenai diktum putusan. Ratio decidendi adalah pendapat hukum tertulis atau proporsi yang diciptakan oleh hakim dalam rangka penemuan hukum berkenaan kasus konkret yang dihadapinya.7 Adapun Ober dicta adalah pendapat hukum oleh hakim dalam rangka penemuan hukum yang tidak berkenaan dengan kasus konkret.8

Dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 menentukan bahwa dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal ini, bagaimanakah metode merumuskan pendapat hukum tertulis yang berkenaan dengan kasus konkret yang terbukti menjadi fakta hukum.

Dengan menghubungkan Pasal 50 junto Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 14 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta kebiasaan dalam praktik pengadilan, dapatlah di simpulkan adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum yang di sampaikan pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keenam langkah tersebut sebagai berikut:

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), Cet V,

2000., hlm.114.

(5)

a. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh di yakini oleh hakim sebagai suatu kasus yang riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasar hukum pembuktian yang sah).

b. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum kedalam peristilahan yuridis

c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren. d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta

hukum) secara silogisme deduktif.

e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar. f. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian

ditetapkan sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum putusan.9

4. Asas-Asas Putusan

Tugas hakim dalam mengadili suatu perkara yaitu sangat berkait dengan persoalan normatif dan filsafat hukum sebab tugas mengadili yang dilakukan oleh hakim berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Alasan dan dasar hukum yang diterapkan dalam pertimbangan hukum tersebut; hakim bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya (Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang

(6)

Kekuasaan Kehakiman). Artinya bahwa putusannya dipertanggung jawabkan sesuai pertimbangan hukum yang dibuatnya.10

Putusan merupakan akhir suatu proses pemeriksaan perkara yang dilakukan majelis hakim, dengan terlebih dahulu dilakukan musyawarah berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan merupakan suatu pernyatan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang di beri wewenang, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Asas-asas yang harus ada dalam putusan sebagai berikut:

a. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan perinci, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili (Pasal 50 dan Pasal 53 UU No. 48 tahun 2009). Suatu putusan yang tidak cukup mempertimbangkan alasan-alasan dalam posita gugatan menurut hukum pembuktian atau tidak memberikan penilaian terhadap alat bukti secara perinci, demikian pula tidak memberi pertimbangam mengenai dasar hukumnya, baik berdasar pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan maupun sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili, dapat dikategorikan onvol doende gemotiveerd (tidak cukup pertimbangan), sehingga menjadi alasan untuk membatalkan putusan yang bersangkutan. Gugatan yang telah dipertimbangkan menurut hukum pembuktian ternyata tidak terbukti, dinyatakan tidak beralasan hukum dan demikian gugatan tersebut harus ditolak.

(7)

Demikian pula suatu gugatan yang dinyatakan tidak berdasar hukum dimana posita gugatan tidak sejalan dengan petitum gugatan, maka gugatan tersebut dinyatakan tidak berdasar hukum sehingga dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk verklaard).

b. Asas wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Asas ini digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR Pasal 189 ayat (3) R.Bg. larangan ini disebut ultra petita patrium. Mengadili lebih dari yang dituntut dikategorikan melampaui batas wewenang atau ultra vires. Ultra petita patrium atau ultra vines dikategorikan sebagai tindakan yang tidak sesuai hukum. Tindakan ultra petita yang didasarkan dengan itikad baik sekalipun, tetap dikategorikan ilegal karena bertentangan dengan prinsip the rule of law.

d. Prinsip sidang terbuka untuk umum, hal ini didasarkan pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menyatakan :

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(3) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.11

(8)

5. Eksaminasi Publik

Istilah eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Dalam Black’s Law Dictionary eksaminasi diartikan sebagai an investigation; search; inspection; interrogation. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap produk peradilan [dakwaan, putusan] maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan (hakim). Esensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Disamping untuk mendorong para hakim/jaksa agar membuat putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang baik dan profesional.12

Eksaminasi ini diharapkan mampu memberikan suatu shock teraphy bagi para jaksa dan hakim (aparat hukum) serta menunjukkan bahwa diluar aparat hukumpun (baca: masyarakat) mampu memberikan analisa yang berbobot dan patut diperhatikan oleh aparat hukum. Lebih jauh lagi eksaminasi ini dapat digunakan sebagai referensi bagi Instiotusi hukum yang bersangkutan dalam melakukan penilaian terhadap aparatnya.13 Penambahan kata “publik” setelah kata eksaminasi lebih dimaksudkan untuk membedakan dengan eksaminasi yang

12 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik

(Edisi Revisi 2011), Indonesia Corruption Watch, 2011, hal 19.

(9)

dilakukan oleh Kejaksaan dan Pengadilan. Tambahan istilah publik pada kata eksaminasi lebih bernuansa memberikan aksentuasi distingsi antara latar belakang pemikiran eksaminasi internal dan eksternal sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, hal ini juga bisa dimaknai sebagai pernyataan afirmatif kepada masyarakat, bahwa eksaminasi merupakan aktivitas, yang sejak dari inisiasi, proses, sampai finalisasinya, diasumsikan dihajatkan untuk kepentingan masyarakat (baca: rasa keadilan hukum masyarakat) – jadi bukan semata untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari pihak pihak yang bersengketa di pengadilan ¾ dan oleh sebab itu akuntabilitas kinerjanya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dinilai dan diukur oleh masyarakat (Hasrul Halili:2005).14

Sebenarnya eksaminasi dilakukan untuk melihat sejauh mana pertimbangan hukum dimaksud sudah sesuai ataukah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dengan hukum acara pidana dan juga dengan legal justice, moral justice dan social justice.15

Karena seperti yang sudah dijelaskan bahwa pertimbangan hukum dalam sebuah putusan menjadi dasar acuan dalam menentukan putusan sehingga dapat tercipta sebuha putusan yang ideal, dimana idealnya dalam mengambil putusan terhadap suatu perkara mempertimbangan 4 (empat) elemen, yaitu aspek filosofis, asas-asas hukum, aturan hukum positif, dan masyarakat hukum.16

14 Ibid, hlm,27. 15 Ibid, hlm 29.

16 Teten Masduki, Eksaminasi Publik ”Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan”,

(10)

Eksaminasi ini dilakukan dengan cara: pertama, melakukan legal annotation (catatan hukum) terhadap perkara yang telah diputus oleh MA. Kedua, mengkontestasi putusan itu kepada publik. Cara ini dilakukan untuk menilai putusan hakim majelis. Hasil dari penilaian tim eksaminasi ini dapat pula digunakan untuk melakukan punishment kepada para hakim (agung) yang notabene adalah aparat negara. Sebagai aparat negara tentu saja pertanggungjawaban mereka tidak saja administratif tetapi harus sampai kepada pertanggungjawaban hukum.17 Kemudian faktor utama yang mendasari eksaminasi publik ini adalah untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi publik agar dapat terlibat lebih jauh di dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan putusan atas perkara itu yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan membiasakan publik terutama kalangan akademis dan profesi hukum melakukan penilaian dan pengujian terhadap proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan atau keputusan-keputusan lembaga penegakan hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka hal yang selanjutnya ingin dicapai setelah masyarakat mampu melakukan eksaminasi ini, adalah tersosialisasikan lembaga eksaminasi secara luas.

Tujuan eksaminasi publik secara umum adalah melakukan pengawasan terhadap produk-produk hukum yang dihasilkan maupun proses beracara oleh aparat hukum termasuk didalamnya adalah praktisi

(11)

hukum. Secara detail tujuan tersebut dapat dipilah dalam beberapa hal dibawah ini:

a) Melakukan analisis terhadap pertimbangan hukum atas produk hukum atau putusan majelis hakim, atau dakwaan, jalannya proses beracara di pengadilan dan perilaku jaksa dan hakim selama proses persidangan. Harapannya dapat diketahui sejauh mana pertimbangan hukum atau proses hukum dimaksud sesuai ataukah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, dengan prosedur hukum acara dan juga dengan legal justice, moral justice dan social justice maupun kode etik perilaku penegak hukum;

b) Mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk terlibat lebih jauh di dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan putusan atas perkara itu. Terutama terhadap perkara yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan rakyat;

c) Mendorong dan mensosialisasikan lembaga eksaminasi dengan membiasakan publik mengajukan penilaian dan pengujian terhadap sesuatu proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan serta keputusan-keputusan lembaga penegakan hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat;

d) Mendorong terciptanya independensi lembaga penegakan hukum, termasuk akuntabilitas dan transparansi kepada publik;

(12)

memutus suatu perkara agar tidak menjadi putusan yang kontroversial, sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.18

Dalam melakukan eksaminasi suatu perkara, kita tidak bisa sembarangan menentukannya. Karena bagaimanapun juga, eksaminasi membutuhkan keahlian dan konsentrasi serta waktu yang cukup. Oleh karena itu pilihan perkara yang dieksaminasi juga harus tepat. Suatu perkara untuk dapat dilakukan eksaminasi minimal harus memenuhi 3 (tiga) kriteria:

1) Kontroversial Kontroversial karena terdapat kejanggalan atau cacat hukum dalam tahapan proses peradilan. Selain itu hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan benar atau bertentangan dengan asasasas penerapan hukum serta dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

2) Memiliki pengaruh atau dampak sosial (social impact) bagi masyarakat Disamping perkara tersebut mendapat perhatian yang luas dari masyarakat, perkara tersebut memiliki dampak yang langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat (baik nasional dan atau internasional).

3) Ada indikasi mafia peradilan (judicial corruption) Perkara yang dieksaminasi terdapat indikasi korupsi (judicial corruption), kolusi, penyalahgunaan wewenang, atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya hingga menyebabkan hukum tidak diterapkan secara baik dan benar.

(13)

Eksaminasi atau pengujian terhadap undang-undang bertujuan untuk menguji apakah suatu undang-undang materinya sudah sesuai dengan undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok di bidang hukum yang sejenis atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi, misalnya konstitusi.19 Pengujian ini dikenal dengan pengujian secara materiil (uji materiil) atau secara umum dikenal dengan judicial review. Wewenang ini untuk selanjutnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan eksaminasi terhadap produk putusan hukum lainnya dimaksudkan untuk menguji apakah putusan hukum tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan asas-asas penerapan hukum yang baik dan benar.

Pada dasarnya bagaimana menilai suatu produk hukum atau putusan pengadilan kembali disesuaikan pada gaya atau kebiasaan dari para anggota mejelis eksaminasi dalam membuat suatu analisa atau catatan hukum (legal anotasi). Namun menarik untuk menjadi acuan adalah pendapat dari DR. Mudzakkir, SH., yang menyebutkan bahwa cakupan materi eksaminasi meliputi: Kesesuaian putusan pengadilan dengan norma hukum (positif). Oleh sebab itu hukum positif ditempatkan sebagai standar dalam 37 proses membuat putusan pengadilan; Analisis terhadap proses pembuktian (pengujian kebenaran fakta menjadi fakta hukum dihubungkan dengan undang-undang yang akan diterapkan); Penerapan ilmu pengetahuan atau asas-asas (hukum) dalam penegakan hukum (hubungan antara fakta hukum yang terbukti di persidangan dengan hukum atau peraturan perundangundangan,penggunaan teknologi

(14)

hukum/interpretasi, hubungannya dengan yurisprudensi, dan doktrin hukum) dan konklusi atau diktum putusan pengadilan. Ketiga komponen tersebut selalu ada dalam setiap putusan pengadilan dan bagian diktum merupakan kesimpulan (sillogismus) sebagai konsekuensi logik dari premis-premis yang mendahuluinya.20

6. Akibat Hukum Putusan

Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.21 Berdasarkan uraian tersebut, untuk dapat mengetahui ada atau tidaknya suatu akibat hukum yang timbul, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

 Adanya perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau terdapat akibat tertentu dari suatu perbuatan, yang mana akibat itu telah diatur oleh hukum;

 Adanya perbuatan yang seketika dilakukan bersinggungan dengan pengembanan hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum (undang-undang).

Selain hal tersebut akibat hukum sebuah putusan juga harus memberikan kepastian hukum dan harus memuat keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

20 Ibid,hlm 38.

(15)

Keadilan berasal dari kata adil yang memiliki arti sama berat, tidak berat sebelah ; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Dan keadilan artinya adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) adil. Sedangkan Kepastian Hukum artinya adalah Perangkat Hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Dan Kemanfaatan dari kata manfaat artinya guna; faedah dan kemanfaatan artinya hal bermanfaat, berguna. Hal tersebut harus di perhatiakan dalam sebuah putusan karena sebuah putusan akan mengikat para pihaknya serta masyarakat. Terutama dalam hal ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and mengikat (binding) yang akibat hukumnya adalah akan tercipta sebuah norma baru dalam masyarakat yaitu dalam wujud sebuah putusan.

B. Hasil Penlitian

1. Duduk Persoalan :

(16)

Dalam Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) yang bunyi lengkapnya sebagai berikut.:

Pasal 37 ayat (1) huruf f

“Dalam Rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) Pengurus wajib mengajukan laporan pertanggung jawaban tahunan yang berisi:

f. Besar imbalan bagi pengawas serta gaji dan tunjangan bagi pengurus.”

Pasal 57 ayat (2)

“Gaji dan tunjangan setiap pengurus ditetapkan oleh Rapat Anggota atas usul Pengawas.”

Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional.” Dengan dalil atau alasan sebagai berikut:

 Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar Atas Asas Kekeluargaan

(17)

 Bung Hatta menyatakan bahwa “Perusahaan menghendaki hukum ekonominya sendiri, yaitu bekerja menurut disiplin dan tempo yang tepat.

 disiplin dan tempo yang tepat itu perusahaan koperasi yang mengemukakan satu dasar lagi, yaitu dasar kekeluargaan antara pimpinan dan yang dipimpin. Itulah pula sebabnya, maka pada umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya penjabat dan pekerja penuh sehari-hari yang memperoleh gaji”22.

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:

 Selama bekerja di koperasi saksi merasakan kekeluargaan, kebersamaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan serta terdapat cita-cita untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh anggotanya;.

Hal ini ditanggapi oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah.

 Setiap orang yang menjalankan pekerjaan merupakan bentuk prestasi yang dijalankan sesuai standar dan kebutuhan badan usaha maka absah secara yuridis konstitusional apabila warga negara yang bekerja tersebut berhak mendapatkan penghasilan.

 Apabila tidak memberikan penghasilan melanggar hak konstitusional, dan hak asasi manusia serta hak pekerja

(18)

yang sudah ditentukan dalam hukum nasional dan instrumen hukum internasional.

 Prestasi kerja yang diberikan oleh Pengurus dan Pengawas dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki serta tanggung jawab berat mengelola koperasi, maka absah secara yuridis konstitusional apabila Pengurus mendapatkan gaji dan tunjangan, dan Pengawas mendapatkan imbalan.

Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan bagi Pengurus, hakim memutus, menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan :

 Pasal 37 ayat (1) UU 17/2012 pada pokoknya memuat norma bahwa dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi, maka RAT tersebut memiliki kewenangan, antara lain, untuk meminta keterangan dan mengesahkan pertanggungjawaban pengawas dan pengurus dalam pelaksanaan tugas masing-masing.

 Khusus untuk pengurus, dalam laporan

(19)

besar imbalan bagi pengawas serta gaji dan tunjangan lain bagi pengurus).

 sepanjang mengenai hal tersebut dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

 Pengawas berdasarkan Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 50 ayat (1) UU 17/2012 adalah perangkat organisasi koperasi yang pada pokoknya bertugas mengawasi pengurus koperasi  Pengurus berdasarkan Pasal 1 angka 7 adalah perangkat

organisasi koperasi yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan koperasi untuk kepentingan dan tujuan koperasi, serta mewakili koperasi baik di dalam maupun di luar pengadilan.

 Menurut Mahkamah, gaji dan tunjangan bagi pengurus, termasuk imbalan bagi pengawas sebagaimana diuraikan di atas, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Sebab, koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan dinamis. Dinamika koperasi yang sehat akan membawa kepada kemajuan sebagaimana entitas pelaku ekonomi yang lain.

(20)

 Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

b. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pengangkatan Pengurus dari Non Anggota.

Dalam Pasal 55 ayat (1) yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

“Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non Anggota”

Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional Para Pemohon Untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar atas Asas Kekeluargaan” Dengan dalil atau alasan sebagai berikut:

 Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi hilang.

(21)

memahami jiwa koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan, saling tolong menolong, gotong royong, senasib sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya dan berdiri di kaki sendiri. Hal ini menunjukkan itikad yang kurang baik dari pembentuk Undang-Undang guna “memuluskan” masuknya calon pengurus dari non-anggota serta berakibat pada tertutupnya kesempatan Anggota yang sejak awal merintis koperasi untuk menjadi pengurus koperasi.

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Dwi sucipto yang menyatakan:

 Saksi merasa dirugikan karena tidak dapat dipilih dan memilih secara bebas dan adil serta saksi merasa dirugikan jika calon pengurus dapat dipilih dari anggota maupun non-anggota.

Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah sebagai berikut:

(22)

bagi merancang tumbuhnya koperasi yang sehat, kuat, mandiri dan tangguh sebagaimana landasan filosofis UU Perkoperasian.

Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai hal Pengangkatan Pengurus dari Non anggota, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:

 Secara khusus ketentuan tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan hak anggota koperasi untuk menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih yang pada intinya kesemuanya itu merupakan bentuk demokrasi ekonomi.  Jika alasannya adalah untuk membangun koperasi yang

lebih profesional, justru yang harus dibangun adalah anggota koperasi supaya menjadi tenaga professional, sehingga tidak perlu merekrut non-anggota untuk menjadi pengurus.

 Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusional frasa non-anggota dalam Pasal 55 ayat (1) UU 17 tahun 2012 beralasan menurut hukum.

(23)

Pengaturan tentang setoran pokok yang tidak dapat ditarik kembali diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 67 ayat (1)

“Setoran pokok dibayarkan oleh anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota dan tidak dapat dikembalikan”

Atas pasal tersebut pemohon menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional para pemohon untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan dalil atau alasan sebagai berikut :

 Bung Hatta mengatakan kalau seseorang anggota berhenti menjadi sekutu, uang iuran mesti dikembalikan.

 Setoran pokok dalam koperasi pada dasarnya menrupakan “pembayaran tertentu” yang merupakan bentuk wujud keputusan penggabungan diri anggota masyarakat menjadi anggota koperasi. Dengan demikian apabila anggota yang bersangkutan memutuskan untuk keluar dari penggabungan diri sebagai anggota koperasi maka sudah seharusnya setoran pokok dikembalikan.

(24)

kehilangan harta benda yang dititipkan sebagai setoran modal. Artinya makna keanggotaan koperasi sukarela tanpa paksaan menjadi hilang.

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:

 Saksi merasa dirugikan karena Anggota harus mengeluarkan dana untuk menyetorkan setoran pokok sebagai di awal kepada 2 atau 3 koperasi yang telah dipecah sebagai persyaratan menjadi anggota Koperasi dan tidak dapat di ambil atau ditarik kembali.

Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah sebagai berikut:

 Secara yuridis status hukum kepemilikan uang Setoran Pokok itu sudah berubah menjadi kepemilikan Koperasi yakni menjadi modal awal Koperasi, sehingga merupakan kekayaan Koperasi selaku badan hukum yang tidak dapat ditarik kembali.

 Setoran Pokok adalah syarat menjadi anggota Koperasi. dan karena itu anggota Koperasi tersebut memperoleh pelayanan (services) dari Koperasi, mendapatkan Surplus Hasil Usaha, dan manfaat lainnya.

(25)

hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:

 Mahkamah mempertimbangkan tentang penggunaan istilah setoran pokok yang menekankan pada pengertiannya sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal, sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi.  Berbeda pengertian dengan simpanan pokok yang mana suatu saat anggota koperasi keluar maka simpanan tersebut harus dikembalikan dan hal tersebut adalah wajar.

 Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku maka makna tetap atau bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan.

d. Pasal 68-69 mengenai Sertifikat Modal Koperasi yang mempengaruhi Hak suara dalam RAT

Dalam Pasal 68-69 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut: Pasal 68

“(1) Setiap Anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal Koperasi yang jumlah minimumnya ditetapkan dalam

Anggaran Dasar.

(26)

(3) Pembelian Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti penyertaan modal Anggota di Koperasi.

(4) Kepada setiap Anggota diberikan bukti penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi yang telah disetornya”

Pasal 69 :

(1) Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara.

(2) Sertifikat Modal Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan atas nama.

(3) Nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi harus dicantumkan dalam mata uang Republik Indonesia.

(4) Penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

(5) Dalam hal penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dalam bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dilakukan penilaian untuk memperoleh niali pasar wajar (6) Koperasi wajib memelihara daftar pemegang Sertifikat

Modal Koperasi dan daftar Pemegang Modal Penyertaan yang sekurang-kurangnya memuat:....dst.

(27)

Kekeluargaan serta bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Dengan dalil atau alasan sebagai berikut:

 Skema modal koperasi yang terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

(28)

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:

 Undang-undang koperasi melemahkan kemandirian koperasi karena permodalan koperasi yang sekarang diatur dengan Sertifikat Modal Koperasi (SMK) sedangkan dahulu hanya dengan menabung;

Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah sebagai berikut:

 Sertifikat Modal Koperasi yang harus dibeli oleh anggota Koperasi merupakan bentuk kontribusi bagi modal Koperasi yang dimilikinya sendiri.

 keharusan setiap anggota Koperasi membeli Sertifikat Modal Koperasi merupakan bentuk kekeluargaan dan kebersamaan yang mengacu dan sesuai Pasal 33 ayat (1) UUD 1945

 Pengaturan menegani nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi ditentukan sesuai Anggaran Dasar Koperasi sebagai "konstitusi" Koperasi, karena itu sesuai dengan rencana bisnis Koperasi sendiri dan sesuai aspirasi, kemampuan anggota Koperasi

(29)

bentuk penyetoran, pembuatan daftar pemegang Sertifikat Modal Koperasi, yang diatur dalam Pasal 69 ayat (2) s.d ayat (6) UU Perkoperasian merupakan jaminan kepastian hukum untuk melaksanakan Sertifikat Modal Koperasi, yang justru merupakan bentuk perlindungan dan kepastian hukum untuk memperkuat Koperasi dengan penerbitan Sertifikat Modal Koperasi.

Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai Sertifikat Modal Koperasi, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:

 Terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli Sertifikat Modal Koperasi menurut Mahkamah, adalah norma yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka

 Orientasi koperasi telah bergeser ke arah kumpulan modal, yang dengan demikian telah mengingkari jati diri koperasi sebagai perkumpulan orang dengan usaha bersama sebagai modal utamanya.

(30)

sebagian besar dimiliki oleh satu, dua, atau beberapa anggota saja, sehingga tidak tertutup kemungkinan

pemegang sertifikat modal terbesar akan memiliki pengaruh kuat untuk menentukan arah jalannya koperasi, meskipun sertifikat modal koperasi tidak menjadi dasar hak suara di dalam RAT.

 Dan di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2012 tidak ada ketentuan batas maksimal Sertifikat Modal Koperasi dapat disetor.

Berdasarkan hasil penelitian diatas agar mudah memahaminya maka disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1:

Inkonsistensi Pertimbangan Dan Putusan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

Dalil Pemohon Tanggapan Pemerintah (Termohon)

Pertimbangan Hakim

Imbalan bagi Pengawas dan Gaji dan Tunjangan bagi Pengurus.

Diatur pada Pasal 37 ayat (1) huruf f

Setiap orang yang menjalankan

pekerjaan merupakan bentuk prestasi yang dijalankan sesuai standar dan

(31)

Dan Pasal 57 ayat (2) Prestasi kerja yang

diberikan oleh

(32)

pasal ini Jika alasannya adalah

(33)

Atas pasal tersebut

 Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku

(34)

Bab VII UU Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin

(35)

keputusan pasal 69 sudah dengan tergas menerangkan bahwa kepemilikan modal tidak

mempengaruhi hak suara. Dalam hal ini hakim terlihat kurang memahami atas pasal yang di uji dengan segala kemungkinan yang belum tentu terjadi.

C. Analisis

1. Inkonsistensi Pertimbangan dan Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 :

(36)

Dalam pertimbangannya terdapat pemakaian kata dalam berargumen yang tidak sesuai dalam pertimbangan serta putusannya yang artinya hal tersebut merupakan bentuk Inkonsistensi. Dengan hasil putusan menghapuskan seluruh Undang-Undang No. 17 tahun 2012. Berdasarkan ketentuan pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu salah satunya harus memuat, dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan argumen-argumen pendukung.23 Namun dapat di lihat bahwa argumen antara pertimbangan sebagai dasar putusan dalam pasal ini tidak tidak mendukung argumen putusannya. Dimana dalam putusannya hakim tidak memperhatikan pertimbangan hukum hakim yang di dasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar; yang mana hakim bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya seperti yang telah di jelaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Artinya bahwa putusannya dipertanggung jawabkan sesuai pertimbangan hukum yang dibuatnya.24 Dalam mempertimbangkan pasal-pasal ini dapat dilihat bahwa hakim dalam praktiknya tidak sepenuhnya memenuhi rasional putusan hakim yang dalam teori hukum terdapat kriteria rasional putusan hakim yaitu pada de heuristik dan de legitimatik.25Yang mana dalam tahap de heuristik terdapat metode pemecahan masalah lewat penalaran sebagai proses intelektual untuk mencapai penyelesaian masalah, dalam tahap ini

23 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 45 24 Ibid,hlm 46.

(37)

hakim telah mencari tahu dan menemukan jalan pemecahan secara tepat dan benar, dan dalam tahap ini hakim telah memberikan solusi dan pemecahan masalah secara tepat, namun belum dapat dilakukan pada tahap de legitimatik yang adalah kegiatan menyangkut persoalan mengenai keadilan, untuk mencapai kebenaran.26 Hakim dalam putusannya justru menyatakan hal yang bertentangan dengan isi pertimbangannya sehingga pola berfikir dalam rasional putusan hakim tidak dapat terpenuhi karena terdapat ketidak adilan dalam putusan hakimnya yang terdapat ikonsistensi. Selain itu hakim dalam kasus ini juga mengabaikan asas-asas yang harus ada dalam putusan salah satunya yaitu, harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan perinci, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili (Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 48 tahun 2009).27 Dan terlihat jelas bahwa dalam pertimbangan yang di sebutkan oleh hakim tidak jelas dan tegas bahkan tidak konsisten dalam mengadili dalam pertimbangan nya dengan mengacu kepada argumen termohon tetapi menyetujui pemohon, serta tidak memperhatikan pasal-pasal yang sudah jelas mengaturnya. Hal tersebut dapat dibuktikan sebagai berikut:

a) Dalam Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) nampak bahwa pertibangan hakim itu sama dengan alasan termohon yang mangajukan rumusan Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) mengenai Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan

(38)

bagi Pengurus. Jika hakim mengutip alasan termohon dalam memberikan Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan bagi Pengurus hal tersebut berarti hakim setuju atas hal tersebut, namun dalam putusan nya hakim menolak pasal tersebut serta menyatakan pasal tersebut tidak beralasan hukum dan menghapuskan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal tersebut menunjukan bahwa pertimbangan hakim bertentangan dengan putusan hakim karena dalam pertimbangan nya tidak mendukung putusan akhirnya, dan hal inilah yang di sebut sebagai Inkonsistensi.

(39)

jika hakim memiliki pemikiran yang sama dengan alasan termohon dalam memberikan solusi agar tidak dilakukan pengangkatan pengurus dari non anggota, hal tersebut berarti bahwa seharusnya hakim setuju atas hal tersebut, namun dalam putusan nya hakim tetap menolak pasal tersebut dan menghapuskan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat kontradiktif dalam pertimbangan hakim dengan memiliki dasar pemikiran yang sama dengan termohon dan dengan argumen pertimbangan hakim yang memberikan sebuah solusi merupakan bentuk ultra petita patrium dimana hakim telah mengabulkan melebihi tuntutan. Sehingga dapat di katakan bahwa dalam pertimbangan dan putusan hakim terdapat Inkonsistensi, karena argumen dalam pertimbangan hakim tidak sepenuhnya mendukung Putusan Hakim.

(40)

dalam argumennnya memahami arti dari setoran pokok. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertimbangan dan putusan hakim yang di hasilkan terdapat Inkonsistensi, karena dalam argumen pertimbangan hakim tidak sepenuhnya mendukung putusan hakim.

d) Dalam Pasal 68-69 ketidak konsistensi hakim terlihat ketika hakim dalam hal ini tidak memahami dan memperhatikan pasal yang diuji khusus nya dalam Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara” yang sudah sangat menjelaskan dan menegaskan bahwa Sertifikat Modal Koperasi Tidak Memiliki hak suara. Hal ini membuat hakim dalam pertimbangannya menjadi tidak konsisten. Begitu pula dengan pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa “Skema permodalan koperasi yang diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat menjadikan modal koperasi sebagian besar dimiliki oleh satu, dua, atau beberapa anggota saja, sehingga tidak tertutup kemungkinan pemegang sertifikat modal terbesar akan memiliki pengaruh kuat untuk menentukan arah jalannya koperasi,

(41)

bahwa dalam argumen pertimbangan hakim terdapat kontradiktif mengenai peraturan yang telah diatur dalam Pasal 69 ayat (1) namun dalam pertimbangannya hakim mengabaikan dan meniadakan pasal tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa dalam pertimbangan dan putusan hakim terdapat Inkonsistensi karena tidak sepenuhnya perimbangan hakim mendukung putusan hakim.

2. Akibat Hukum Adanya Inkonsistensi Pertimbangan Dan Putusan Hakim

(42)

didalamnya terdapat Inkonsistensi tentunya memberikan dampak hukum yang tidak maksimal bagi masyarakat. Akibat hukum yang dimaksud tidak maksimal adalah ketika keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan tidak dapat dirasakan oleh masyarakat yang merasakan akibat hukum secara langsung.

Dengan adanya akibat hukum yang timbul maka sebuah putusan memerlukan dilakukan eksaminasi sebagai pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Disamping untuk mendorong para hakim/jaksa agar membuat putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang baik dan profesional.28 Ketika eksaminasi ini dilakukan maka diharapkan dampak bagi masyarakat dapat lebih maksimal dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Beberapa akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 adalah mengenai pemberian gaji dan tujangan kepada pengurus koperasi serta imbalan bagi pengawas koperasi. Sebagai sebuah sistem perekonomian di Indonesia pemberian Gaji terhadap seorang pekerja adalah bentuk dari sebuah timbal balik atas tercapainya sebuah prestasi yang di sepakati. Pengertian gaji sendiri adalah suatu bentuk pembayaran periodik dari seorang majikan

28 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik

(43)

kepada karyawannya yang dinyatakan dalam suatu kontrak kerja. Dari sudut pandang pelaksanaan bisnis, gaji dapat dianggap sebagai biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sumber daya manusia untuk menjalankan operasi, dan karenanya disebut sebagai biaya personel atau biaya gaji. Oleh sebeb itu sebuah pemberian gaji di sesuaikan dan di dasarkan dari sebuah kesepakatan kedua belah pihak. Karena sebuah pemeberian gaji merupakan hak bagi seseorang yang telah melakukan sebuah pekerjaan dan hal tersebut juga untuk memenuhi keadilan bagi seorang yang telah melakukan prestasi. Hal tersebut juga di dasarkan dalam pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

(44)

profesional sebagai pengurus koperasi. Karena itu pengangkatan pengurus dari non anggota koperasi diperlukan. Semua ketentuan tersebut bertujuan untuk membangun koperasi sebagai badan hukum yang lebih baik dan profesional sebagai salah satu sistem perekonomian yang bergerak dinamis dan dapat bersaing dalam mensejahterakan masyarakat terkhusus bagi para anggota koperasi.

Akibat hukum lain yang timbul adalah mengenai setoran pokok koperasi yang tidak dapat ditarik kembali, dimana setoran pokok tersebut merupakan bagian dari modal koperasi yang apabila mudah untuk di tarik dan di masukan kembali akan menimbulkan kesulitan bagi koperasi untuk mengaturnya. Sehingga koperasi dapat berjalan secara efektif maka setoran pokok sebagai sumber modal koperasi harus di jaga dengan tidak seenaknya menarik dan memasukan setoran pokok. Selain itu juga Secara yuridis status hukum kepemilikan uang Setoran Pokok itu sudah berubah menjadi kepemilikan Koperasi yakni menjadi modal awal Koperasi, sehingga merupakan kekayaan Koperasi selaku badan hukum dan tidak dapat ditarik kembali.

(45)

Gambar

Tabel 1:Inkonsistensi Pertimbangan Dan Putusan Hakim Dalam Putusan Mahkamah

Referensi

Dokumen terkait

Peranan strategis pengamba’ dalam aktivitas sosial ekonomi budaya masyarakat pesisir Pondok Mimbo berupa lembaga non informal sekaligus memasarkan produk

Sistem yang akan dibangun adalah untuk mengenali kode pos berdasarkan pada Jaringan Saraf Tiruan metode Backpropagation. Karakter yang dapat dikenali ialah angka yaitu

Fuzzy Inference System Forecasting model for Astra International Tbk can forecast the stock price fluctuation with low level of error based on MAD, MSE, MAPE and MPE.. In

bahwa proses branding Cokro Tela Cake sebagai makanan olahan ketela yang modern.. dilatarbelakangi oleh faktor image ketela yang telah terbentuk sebelumnnya dan

Sistem pendukung keputusan dirancang untuk menunjang seluruh tahapan pembuatan keputusan, yang dimulai dari tahap mengidentifikasi masalah, memilih data yang

Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap

Pedaftaran tanah yang diperoleh karena pewarisan berdasarkan putusan Pengadilan Agama dilaksanakan dengan kegiatan yaitu ahli waris selaku pemohon (ahli

Haryanti, ACTIVITY BASED COSTING SYSTEM SEBAGAI ALTERNATIF DALAM PENENTUAN HARGA PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD KARANGANYAR Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu