• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESATUAN HIDUP SETEMPAT

Dalam dokumen Etnografi Masyarakat Sukawana. (Halaman 35-39)

 

5.1 Bentuk – Bentuk Kesatuan Hidup Setempat

Warga Desa Sukawana pada umumnya saling mengenal satu sama lain, akan tetapi semua itu tergantung juga pada pribadi masing-masing individu. Perbedaan usia menjadi salah satu faktor bahwa tidak semua warga saling mengenal. Misalnya saja seorang berumur 40-50an, tidak begitu mengenal (dalam arti mengetahui nama, tempat tinggal, anaknya siapa) pemuda-pemudi meskipun berasal dari satu desa. Semakin sering seseorang bergaul, tentu lebih banyak pula yang akan mengenalnya.

Desa Sukawana termasuk desa yang ramah dengan para pendatang. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah pendatang yang tinggal di desa ini. Mereka datang dari desa-desa di Kabupaten Bangli dan Karangasem. Tujuan mereka antara lain adalah untuk bekerja. Kebanyakan kaum pendatang menjadi penggarap kebun. Kaum pendatang yang tinggal di Desa Sukawana semuanya beragama Hindu. Tidak ditemukan kaum pendatang beragama non-Hindu datang untuk tinggal di desa ini.

Penduduk pendatang di Desa Sukawana dikenal dengan istilah krama giringan. Krama giringan memiliki organisasi sendiri dengan seorang kelian krama giringan sebagai pemimpin organisasi mereka. Sejauh ini, antara krama giringan dengan penduduk asli bisa hidup bersama dengan damai. Apabila krama giringan tersebut memiliki sifat ramah dan mudah bergaul, maka penduduk asli pun akan bersikap ramah kepada mareka.

Seorang krama giringan dalam hal kependudukan akan tercatat sebagai bagian dari krama dinas. Jika ingin menjadi krama adat Desa Sukawana, krama giringan harus memiliki tanah pribadi di Desa Sukawana, entah dengan cara membeli, pemberian, atau dengan cara lainnya. Kepemilikan lahan secara pribadi menjadi salah satu syarat bahwa seseorang diakui sebagai bagian dari penduduk Desa Sukawana. Selain tanah milik pribadi, ada juga tanah yang dalam pengelolaannya diatur oleh desa. Tanah desa tersebut tersebar di beberapa titik lokasi Desa Sukawana. Kuburan (setra) merupakan salah satu contoh tanah yang dikelola oleh desa.

Kewajiban antara penduduk pendatang tentunya berbeda dengan penduduk asli. Misalnya saja dalam hal pemungutan dana punia dalam pembangunan Pura Bale Agung Desa Sukawana. Rupanya, penduduk asli dikenakan iuran yang lebih besar daripada krama giringan. Hal ini

menunjukkan bahwa penduduk asli memiliki kewajiban yang lebih banyak dibandingkan dengan krama giringan.

Oleh karena memiliki kewajiban yang lebih besar, tentunya penduduk asli memiliki hak yang lebih banyak. Misalnya saja mengenai penggunaan lahan kuburan (setra). Hanya penduduk yang sudah berstatus krama adat yang diizinkan untuk dikubur di kuburan desa, sedangkan krama giringan tidak. Jika ada krama giringan yang meninggal, ia harus dipulangkan ke desa asalnya. Penduduk asli juga berhak menempati posisi penting dalam pemerintahan desa, sementara krama giringan tidak. Posisi penting yang dimaksud misalnya ulu apad, pemangku (pemuka agama), kepala desa, dan sebagainya. Sebenarnya, kepala desa saat ini (periode 2014) juga merupakan penduduk pendatang, akan tetapi ia sudah dianggap sebagai bagian Desa Sukawana karena sudah berstatus sebagai krama adat. Karenanya, ia dapat menduduki posisi sebagai kepala desa.

Secara administratif, Desa Sukawana terbagi atas sembilan (9) desa dinas dan tiga (3) desa adat. Pada awalnya, hanya terdapat tujuh (7) desa dinas, akan tetapi karena semakin banyaknya penduduk, terjadilah pemekaran desa dinas. Sembilan (9) desa dinas yang dimaksud adalah Banjar Dinas Kuum, Banjar Dinas Kutedalem, Banjar Dinas Paketan, Banjar Dinas Lateng, Banjar Dinas Kubusalia, Banjar Dinas Desa, Banjar Dinas Sukawana, Banjar Dinas Tanah Daha, dan Banjar Dinas Munduk Lampah. Sama seperti pembagian desa di Bali pada umumnya, desa dinas menangani urusan administrasi, sedangkan desa adat lebih menangani permasalahan adat.

Meskipun dikelilingi hutan, penduduk Desa Sukawana tidak ada yang melakukan aktivitas berburu. Mereka kebanyakan adalah peternak dan petani. Dalam beternak, penduduk melakukannya di kebun atau ladang mereka. Letak kebun penduduk jauh dari desa. Oleh karena itu, kebanyakan penduduk membangun pondok di kebun mereka sebagai tempat tinggal. Padatnya aktivitas penduduk di kebun menyebabkan penduduk jarang berada di pemukiman desa. Mereka hanya pulang jika ada odalan pura atau upacara adat lainnya. Berbeda dengan Desa Bayung Gede (yang juga merupakan salah satu desa Bali Mula di Kec. Kintamani, Bangli), rupanya tidak ada larangan untuk membawa ternak ke pemukiman penduduk. Nampaknya meskipun dikatakan sebagai desa Bali Mula, Sukawana sudah termasuk desa yang terbuka terhadap perubahan.

Desa Sukawana berbatasan dengan desa-desa lain yang mengelilinginya. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Bantang dan Desa Daup. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kutuh dan Subaya. Desa Kintamani menjadi perbatasan wilayah selatan dan sebelah utaranya berbatasan dengan Desa Siakin dan Desa Pinggan. Bentuk batas desa tersebut tidaklah jelas, bisa berupa hutan, kebun,

atau tugu. Perbatasan wilayah nampaknya tidak begitu menjadi hal yang dipentingkan bagi Desa Sukawana. Hal ini dilihat dari tidak adanya petugas khusus untuk menjaga wilayah perbatasan tersebut. Siapa pun diijinkan untuk melewati batas, asalkan tidak memliki tujuan buruk tentunya.

5.2 Dasar-Dasar Kesukuan dan Kelompok

Seperti yang telah diungkapkan dalam sub-bab sebelumnya bahwa seluruh penduduk Desa Sukawana adalah orang Bali yang tetap bertahan dengan agama Hindu-nya. Dalam sistem kekerabatan orang Bali, dikenal istilah dadia (klen) yang menunjukkan bahwa seseorang memilik garis keturunan yang sama.

Di Desa Sukawana terdapat sekitar 30 klen (dadia), seperti Pasek Kayu Selem, Pasek Gelgel, dan masih banyak lainnya. Klen-klen tersebut masing-masing memiliki pura dadia-nya masing- masing yang tersebar di wilayah Desa Sukawana. Jumlah anggota satu klen berbeda-beda, ada puluhan hingga ratusan kepala keluarga. Bahkan ada pula klen yang keanggotaannya hanya satu keluarga. Jika seseorang yang berasal dari klen yang sama memiliki suatu upacara, misalnya upacara nelu bulanin (bayi berumur tiga bulan), maka orang yang berasal dari klen yang sama wajib menghadirinya, akan tetapi bagi yang berasal dari klen yang berbeda tidak dapat menghadiri upacara tersebut.

Selain klen, adapula organisasi yang ada di tengah-tengah masyarakat Sukawana berdasarkan wilayah kebun mereka. Organisasi tersebut dinamakan subak. Berbeda dengan subak yang pada umumnya dikenal sebagai sebuah sistem pengairan, subak di Desa Sukawana adalah organisasi guna mengatur sistem jalan antar kebun. Subak untuk pengairan disebut subak sawah, sedangkan subak yang ada di Desa Sukawana adalah subak abian (kebun). Ada sekitar 28 organisasi subak di Desa Sukawana. Organisasi subak dipimpin oleh seorang klian subak. Setiap subak memiliki pura subak- nya masing-masing. Anggota subak akan berkumpul jika ada odalan di pura subak mereka.

Selain subak, terdapat juga kelompok-kelompok (sekaa) yang bertugas dalam ritual keagamaan. Sekaa-sekaa yang dimaksud misalnya adalah sekaa gong (kelompok penabuh), sekaa mebat (kelompok pembuat lawar –makanan khas Bali), sekaa pragina (kelompok penari), serta beberapa sekaa lain yang dibentuk sesuai kebutuhan upacara yang akan dilaksanakan.

Di Desa Sukawana tidak terdapat sistem kasta, tetapi ada beberapa golongan yang dianggap lebih tinggi atau terhormat kedudukannya. Golongan-golongan tersebut misalnya sulinggih

(pemimpin upacara keagamaan), pemuka masyarakat, dan tokoh adat. Dalam pemilihan tokoh-tokoh tersebut menggunakan sistem Ulu Apad.

5.3 Sistem Religi Masyarakat

Terdapat satu hal yang unik dalam sistem religi masyarakat Desa Sukawana. Dalam pemujaan, biasanya masyarakat Hindu Bali (Majapahit) akan menggunkan mantra sebagai pengantar pemujaan, akan tetapi, dalam ritual Desa Sukawana mereka menggunakan pujasana. Pujasana merupakan doa yang diucapkan dengan bahasa sehari-hari (bahasa Bali) dan tidak ada pakem mengenai hal-hal apa saja yang harus diucapkan oleh pemujanya. Masyarakat Desa Sukawana (dan juga masyarakat lainnya) juga tidak diperkenankan untuk membawa persembahan berupa daging babi ke Pura Puncak Penulisan. Hal ini sudah tertulis dalam Prasasti Sukawana. Selain itu, konon di masa lalu, masyarakat Desa Sukawana dan sekitarnya menganut ajaran Siwa, sehingga di Pura Puncak Penulisan banyak terdapat lingga sebagai media pemujaan Dewa Siwa.

Gambar 8

Arca dan Lingga yang Tersimpan di Pura Pucak Penulisan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014  

BAB V

Dalam dokumen Etnografi Masyarakat Sukawana. (Halaman 35-39)

Dokumen terkait