• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

4.2 Kesehatan di Banten

Penurunan secara drastis tingkat Angka Kematian Bayi (AKB) dalam kurun waktu yang sama menjadi 34 kematian per 1000 kelahiran merupakan pencapaian

yang menggembirakan. Saat yang bersamaan Angka Harapan Hidup (AHH) naik menjadi 64,90 tahun. Angka kesakitan yang diukur berdasarkan prosentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan mempunyai kecenderungan yang semakin menurun menjadi 33,02% (2010) dari sebelumnya 37,17% (2008).

Secara umum kondisi ini terjadi karena tingkat pemahaman penduduk tentang pentingnya kesehatan semakin meningkat. Ketersedian akses kesehatan mulai dari klinik kesehatan, puskesmas sampai rumah sakit semakin mudah terjangkau. Hal ini dibuktikan dengan jumlah persalinan bayi yang ditangani bidan dan dokter mencapi 71.41% (2010) dibandingkan tahun 2008 sebesar 62.43%. Sebagai gambaran, tercatat jumlah rumah sakit dan puskemas sebanyak 69 buah dan 208 unit yang tersebar di wilayah Banten. Jumlah tenaga medis cukup banyak, berdasarkan data tahun 2010 terdapat 3.220 dokter umum, dokter gigi dan spesialis, 5.757 tenaga paramedis serta 2.508 bidan.

4.3 Indeks Pembangunan Manusia

Setelah membaca paparan diatas mengenai kondisi pendidikan dan kesehatan manusia di Banten, maka tujuan pembangunan itu sendiri adalah pembangunan kualitas sumber daya manusia. Tentunya, pembangunan manusia merupakan sebuah proses perubahan kualitas manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Kemajuan pembangunan manusia secara umum dapat ditunjukkan dengan melihat perkembangan indeks pembangunan manusia (IPM) yang mencerminkan capaian kemajuan pada tiga dimensi pokok pembangunan manusia yaitu bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Tingkat pencapaian pembangunan manusia di Banten yang diukur dengan IPM selama tahun 2008-2010 secara keseluruhan menunjukkan adanya perbaikan. Hal ini terlihat dari meningkatnya angka IPM dengan reduksi shortfall atau laju tingkat pencapaian menuju IPM sasaran (IPM ideal = 100) yang cenderung bertambah besar. Sehingga, IPM Banten terus meningkat dari 69,70 (2008) menjadi 70,48 (2010). Hanya saja, angka tersebut masih lebih rendah dibanding Nasional yang mencapai 72,27.

Meskipun capaian pembangunan Banten secara kumulatif terendah di Jawa, apabila dibandingkan DKI Jakarta 77.60 (tertinggi) dan Jawa Timur 71.62 (terendah). Namun berdasarkan progres setahun terakhir, sesungguhnya IPM di Banten meningkat cukup signifikan. Hal ini dapat diketahui dari nilai reduksi

shortfall tahun 2010 yang mencapai 1,42 %, yang berarti jarak IPM Banten

terhadap IPM ideal pada tahun 2010 sudah berkurang sebesar 1,42%. Lebih tinggi dibanding capaian DKI Jakarta dan Jawa Tengah yang hanya 1.0% dan 1.38%. Berdasarkan tingkat pencapaian pembangunan manusia selama periode 2009-2010 yang ditinjau dari pengamatan sisi spasial di seluruh kabupaten dan kota di Banten sudah berlangsung dengan baik, IPM mengalami peningkatan cukup baik. Kecuali Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang pergerakannya melambat.

Angka IPM suatu daerah memperlihatkan jarak yang harus ditempuh untuk mencapai nilai ideal (100). Angka ini dapat diperbandingkan antar daerah di Indonesia. Tantangan bagi semua daerah adalah bagaimana menemukan cara yang tepat, dalam hal ini program pembangunan yang diterapkan masing-masing daerah. Bila diperhatikan pada tabel 4.2 ternyata IPM tertinggi dimiliki oleh daerah yang berada di wilayah utara, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Sementara pada tahun 2010, Kota Tangerang Selatan yang merupakan daerah otonomi baru hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang menempati peringkat pertama IPM sebesar 75.38. Sementara wilayah selatan menempati peringkat terbawah untuk kualitas pembangunan manusianya dengan Kabupaten Lebak yang nilai hanya 67.67 tahun 2010.

Tabel 4.2 Indeks Pembangunan Manusia di Banten

Berdasarkan klasifikasi IPM yang ditetapkan UNDP, maka kabupaten dan kota di Provinsi Banten berada pada kelompok menengah yakni berada kisaran angka 67,67 – 75,38. Lebih lanjut, meskipun nilai IPM di Banten secara umum mengalami peningkatan tapi laju pertumbuhannya relatif tidak secepat daerah lain, akibatnya tingkat nasional peringkat Banten turun menjadi 23 tahun 2009 dari sebelumnya peringkat 11 tahun 2000.

Tabel 4.3 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia di Jawa

Pada tabel 4.3 menjelaskan bahwa penyebaran peringkat IPM ternyata tidak sepenuhnya terkumpul di Jawa, namun tersebar merata di Indonesia. Peringkat IPM di Jawa, Banten berada posisi terendah pada peringkat 23 dan tertinggi DKI Jakarta urutan teratas nasional. Hal ini menunjukkan provinsi di luar Jawa mempunyai kualitas IPM yang tidak terlalu perbedaaan terlalu jauh, meskipun dilihat secara rata-rata maka Jawa menduduki peringkat pertama kalau dibandingkan dengan daerah lain, seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Perkembangan IPM ditentukan oleh perkembangan indikator kompositnya. Kurun waktu sepuluh tahun umumnya indikator tersebut berkembang secara

steady, kecuali indikator paritas daya beli. Indikator ini berkaitan langsung dengan income penduduk yang dipengaruhi oleh kinerja perekonomian. Jika iklim

perekonomian kondusif maka mendorong dunia usaha yang menjanjikan.

Terbukanya lapangan pekerjaan memberikan kesempatan bagi penduduk untuk meningkatkan pendapatannya, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Kondusif tidaknya perekonomian yang dimaksud terutama ditentukan oleh perkembangan harga (inflasi). Inflasi tinggi akan langsung menurunkan daya beli masyarakat. Pengendalian terhadap laju inflasi menjadi sangat penting dalam hal menjaga dan menumbuhkan purchasing power parity masyarakat.

Turunnya rangking IPM Banten sebagai akibat dari faktor daya beli masyarakat. Peran nilai PPP paling rendah, tetap mengalami peningkatan namun tidak secepat komponen lainnya. Bahkan indeks pendidikan yang direpresentasi oleh adult literacy rate (tingkat melek huruf dewasa) dan mean years schooling (rata-rata lama sekolah) menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 merupakan salah satu penyebab terjadinya inflasi tahun 2006. Tingginya inflasi berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya beli masyarakat, sekaligus menjelaskan kemampuan daya beli masyarakat pada tahun 2006 tidak terlalu menggembirakan.

Perekonomian Banten pada tahun 2010 terus membaik, didukung oleh meningkatnya permintaan domestik dan nasional serta mulai pulihnya kondisi ekonomi global. Secara riil, ekonomi Banten tumbuh positif dari 4,69% pada tahun 2009 menjadi 5,94% pada tahun 2010. Akan tetapi, tingkat pertumbuhan tersebut masih lebih lambat dibanding nasional yang tumbuh mencapai 6,10%. Secara nominal, level ekonomi Banten tahun 2010 bertambah Rp15,93 Triliun hingga menjadi Rp148,98 Triliun. Hanya saja, share ekonomi Banten terhadap ekonomi Nasional justru mengalami penurunan dari 2,37% tahun 2009 menjadi 2.32 % tahun berikutnya.

Dilihat menurut kabupaten dan kota, ekonomi Banten secara nominal ditopang oleh Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dengan kontribusi sebesar 35,60%, 21,75% dan 13,94%. Hal ini dapat dipahami, karena ekonomi Banten didominasi terutama oleh sektor industri pengolahan yang terkonsentrasi pada ketiga daerah tersebut. Meskipun demikian, pertumbuhan

ekonomi tertinggi dipegang oleh Kota Tangerang Selatan yaitu dengan tingkat pertumbuhan mencapai 8,70%. Sedangkan, Kota Tangerang (5,74%) , Kabupaten Tangerang (4,40%) dan Kota Cilegon 4,83%. Hanya saja, andil terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Banten tetaplah dipegang oleh Kota Tangerang (1,31%), Kabupaten Tangerang (2,08%) dan Kota Cilegon (0,87%) dari total pertumbuhan ekonomi Banten yang sebesar 5,94%.

Adanya gambaran ini setidaknya pemerintah kabupaten dan kota bersama Pemerintah Banten, perlu segera merumuskan sinkronisasi kebijakan yang terintegrasi. Langkah kebijakan ini harus dilaksanakan dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi daerah yang berkualitas dapat segera tewujud. Lebih lanjut, meskipun IPM di Banten terus tumbuh namun nilainya masih dibawah rata-rata nasional. Kenyataan ini menunjukan IPM provinsi lain laju pertumbuhannya lebih cepat, terutama daerah penghasil migas, seperti sebagian Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

BAB V

Dokumen terkait