• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVERGENSI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN PILAR HENDRANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONVERGENSI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN PILAR HENDRANI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERGENSI INDEKS PEMBANGUNAN

MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

PILAR HENDRANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Pilar Hendrani NRP H 151 070 081

(3)

ABSTRACT

PILAR HENDRANI. Convergence Human Development Index in Banten Provence. Under Supervision ARIEF DARYANTO and D.S PRIYARSONO.

Neoclassical economists stated that the level poorer regions would tend to grow faster than the richer regions. This is because of the diminishing marginal returns to capital in the richer regions, as the level of capital per labor is relatively high in these regions. Which in turn will catch up convergence income (wealth). So it will happen by itself without the need for government policy. Some economists opposed this theory, such conditions never happen without any support of government policy. In fact income convergence that never actually happened, it was economies leads to divergence. Based on the theory, in this study would like to know whether the Human Development Index in Banten Provence leading to convergence or divergence during the period 1994-2009. In which the object of research include (Lebak, Pandeglang, Serang and Tangerang) Regency, (Tangerang and Cilegon) Municipal. Using panel data regression model in data analysis techniques are expected to capture the issues can not captured and explained by analysis time series and cross section. Use of the Human Development Index as the object of research because as one indicator of achievement of government's performance in human resource development framework that was introduced by UNDP in 1990. Based on these results can be concluded there was a tendency in Banten Human Development Index has led to a marked convergence with the sigma convergence and beta convergence is negative.

(4)

RINGKASAN

PILAR HENDRANI. Konvergensi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan D.S PRIYARSONO.

Kualitas hidup manusia sejak beberapa dekade terakhir menjadi perhatian semua negara di dunia. Bila sebelumnya pertumbuhan pendapatan menjadi indikator untuk menilai kemakmuran penduduk suatu daerah atau negara. Sejak 1990 UNDP memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia sebagai indikator yang dianggap dapat menggambarkan mengenai kualitas hidup manusia. IPM merupakan indeks komposit yang terdiri atas tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan tingkat daya beli masyarakat. Cara perhitungan ini diharapkan mampu menjawab hasil kebijakan pembangunan yang dilaksanakan dan bagaimana implikasinya terhadap masyarakat. Apakah kesejahteraan masyarakat juga secara keseluruhan membaik, apabila pendapatan yang meningkat cukup tinggi. Atas dasar tersebut, IPM kemudian dijadikan oleh pemerintah banyak negara sebagai alat untuk mengukur keberhasilan dalam menjalankan kebijakan pembangunan.

Keadaaan ini tentunya sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kebijakan pembangunannya yang outputnya adalah terciptanya pembangunan yang berkualitas. Artinya, pada saat bersamaan pula beberapa faktor yang cenderung diabaikan dalam perumusan kebijakan ekonomi yang berfokus hanya pada peningkatan pendapatan sudah mulai bergeser. Fakta menunjukkan bahwa negara yang maju dengan institusi pemerintah yang baik dan transparan dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan, kesehatan nasional dan pencapaian prestasi sosial yang lebih tinggi. Pendapatan, investasi dan pertumbuhan yang lebih tinggi maupun angka harapan hidup yang lebih panjang dapat ditemukan di negara-negara dengan institusi pemerintah yang bersih dan baik dalam menjalankan sistem kebijakan pemerintahan. Singkatnya, pemerintah mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan kedudukannya dalam suatu negara.

Teori konvergensi menyatakan pendapatan daerah miskin akan tumbuh lebih cepat menyamai pendapatan daerah kaya, logikanya daerah yang rasio modal dan kapitalnya rendah, sehingga pada akhirnya akan tercapai konvergensi pendapatan (kemakmuran. Pendukung teori ini adalah aliran Neoklasik yang pertama kali dilontarkan oleh Robert M Solow dalam jurnal A Contribution to The Theory of Economic Growth” dan Trevor W Swan “Economic Growth and Capital Accumulation” (1956), selanjutnya dikenal Model Pertumbuhan Neoklasik Solow-Swan, yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Kelompok aliran ini meyakini bahwa setiap daerah atau negara pada akhirnya akan berada pada tingkat yang

(5)

sama. Ekstrimnya, disparitas ekonomi yang terjadi di dunia sekarang tidak perlu dirisaukan karena pada akhirnya hilang dengan sendirinya.

Pritchett (1996) menyatakan konvergensi belum pernah, tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi selama pemerintah negara berkembang tidak serius dalam menjalankan kebijakan ekonominya. Lebih ekstrim lagi, negara industri sebenarnya membentengi dirinya, tentunya dengan kebijakan terselubung agar konvergensi di negara berkembang tidak akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi dunia sebenarnya mengarah pada divergensi bukan konvergensi (Pritchett, 1997) serta bersifat masif antara negara maju dan miskin. Pemerintah atau negara manapun perlu intervensi untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan di wilayah miskin atau terbelakang (Bergstorm, 1998). Ditambahkan oleh Quah (1996) terdapat polarisasi distribusi pendapatan antar tingkat perekonomian di dunia. Pendapat tersebut bertentangan dengan apa yang diyakini oleh kaum Neoklasik bahwa keadaan itu akan berjalan secara otomatis dan alami.

Seperti diketahui konvergensi bisa terjadi melalui beberapa cara, seperti redistribusi pendapatan dari daerah kaya ke daerah miskin, adanya aliran tenaga kerja yang rasionya rendah ke daerah yang rasionya tinggi, mobilitas modal antar wilayah dan difusi teknologi dari wilayah yang sudah maju ke wilayah terbelakang. Kaum Neoklasik juga memasukkan asumsi setiap negara mempunyai teknologi dan preferensi yang sama, tidak ada kendala institusi yang mempengaruhi keluar masuknya modal dan tenaga kerja memperkirakan setiap daerah dalam jangka panjang (steady-state) akan mempunyai pendapatan per kapita yang sama, artinya pemerintah tidak intervensi dalam kebijakan ekonomi. De la Fuente (2000) menyebutkan bahwa wilayah yang relatif terbelakang memiliki potensi untuk tumbuh pesat namun derajat realisasinya tergantung pada kapibilitas sosial untuk mengadopsi teknologi dan lingkungan ekonomi makro yang kondusif bagi investasi dan perubahan struktural.

Kenyataannya tidak demikian, pemerintah harus berperan dalam menentukan dan merumuskan kebijakan yang tepat, agar pembangunan dapat berjalan sesuai rencana (Cashin dan Sahay, 1996). Lebih lanjut Pritchett mengatakan pemahaman konsep konvergensi memberikan impresi yang keliru. Menurutnya ekonomi bukanlah proses otomatis namun membutuhkan suatu proses perencanaan, pengembangan evaluasi dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi yang cepat, bukan berangkat dari keadaan miskin akan tetapi merupakan hasil serangkaian kebijakan yang tepat dan terencana yang diciptakan untuk memfasilitasi pertumbuhan yang cepat dan stabil dengan mempertimbangkan konsep keseimbangan.

Berangkat dari permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui apakah kebijakan pembangunan di Provinsi Banten lebih baik dibandingkan masih bergabung dengan Provinsi Jawa Barat. Pembangunan infrastrukur yang berjalan lambat, kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan

(6)

masyarakat serta distribusi pendapatan yang kurang merata. Terbentuknya Provinsi Banten diharapkan meningkatkan kualitas pembangunan yang selama ini terabaikan. Pembagian periode waktu penelitian dimaksudkan melihat perbedaan kualitas pembangunan melalui indikator IPM antara sebelum dan sesudah terbentuknya Provinsi Banten. Selain itu, penelitian ini ingin mengetahui apakah konvergensi IPM di Provinsi Banten lebih cepat dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelum pemekaran.

Analisa dalam penelitian ini menggunakan panel data yang menggunakan objek penelitian selama kurun waktu 1994-2009, yakni dimulai dari periode sebelum berdirinya Banten (1994-2000) sampai terbentuknya Banten 2001-2009 sejak dikeluarkannya UU No. 23 tahun 2000 tentang Pembentukkan Provinsi Banten. Berbagai program kerja yang digariskan oleh Pemerintah Pusat dilaksanakan baik Pemerintah Provinsi Banten maupun Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Banten. Mulai dari pembangunan infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik. Ditambahkan disini dengan digulirkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan setiap daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya untuk dialokasikan sebesar 20% untuk bidang pendidikan, sebagai bagian rencana Program Belajar 9 tahun. Begitu pula dibidang kesehatan, pemerintah daerah juga wajib mengalokasikan anggaran untuk pelayanan kesehatan terutama masyarakat miskin, dengan harapan tingkat harapan hidup masyarakat di Banten semakin baik. Peran pemerintah daerah dalam penelitian ini tidak dimunculkan dalam variabel kebijakan secara langsung tapi dicerminkan dari pertumbuhan IPM itu sendiri. Keterbatasan data menjadi suatu kendala dalam melakukan analisa estimasi model persamaan peran pemerintah daerah.

Hasil penelitian dengan model persamaan yang merupakan modifikasi Gama (2008) menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Banten sudah berjalan dengan baik, meskipun oleh sebagian kalangan masih dianggap kurang berhasil. Hal ini dibuktikan dengan nilai β konvergennya negatif yang diartikan bahwa tingkat kemakmuran sudah bergerak saling mendekat (catch up) meskipun relatif lambat. Sedangkan nilai α konvergennya juga negatif –trendnya semakin menurun- meskipun kurang signifikan namun hal ini bisa diartikan kualitas sumber daya manusia pada kabupaten dan kota di Banten semakin merata.

Secara keseluruhan waktu penelitian dibagi atas 2 (dua) periode waktu maka hasil penelitian untuk nilai konvergen IPM menjelaskan bahwa berdirinya Banten turut mempercepat laju pertumbuhan IPM kabupaten dan kota di Banten. Artinya, dengan pemekaran Banten dari Jawa Barat memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sejumlah informasi yang diperoleh dari penelitian ini, menghasilkan beberapa usulan kebijakan agar proses pembangunan SDM di Banten melalui indikator Indeks Pembangunan Manusia yang merupakan penilaian kinerja keberhasilan pembangunan daerah, antara lain (1) Pembangunan ekonomi yang lebih terkonsentrasi di wilayah utara dan timur mendorong akselarasi pembangunan lebih

(7)

cepat dibanding di wilayah selatan. Tentunya ini mengakibatkan masuknya arus urbanisasi menuju wilayah yang lebih menarik secara ekonomis dan begitu pula investor melihat kondisi ini menarik untuk investasi karena adanya pasar yang menjanjikan. (2) Terbatasnya pembangunan akses infrastruktur di wilayah selatan turut memberikan kontribusi negatif terhadap lambatnya pembangunan ekonomi, dimana pada akhirnya berdampak pada lambatnya pertumbuhan IPM. Oleh karena itu, perlu kordinasi yang intensif untuk menetapkan interdependency policy antara Pemerintah Banten dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dan Pandeglang dalam mengembangkan infrastruktur guna mempercepat akselarasi dan membuka akses daerah terisolasi di wilayah selatan. Tentunya adanya kebijakan ini akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. (3) Kebijakan yang berkelanjutan dan terintegritas dapat mempercepat konvergensi IPM di wilayah Banten tanpa terkecuali yang bisa dijabarkan secara sederhana melalui Tipologi Klassen. Bagi Banten, optimisme tujuan itu bisa tercapai melihat letak geografis dan didukung oleh pasar yang terus berkembang serta SDM yang cukup berkualitas.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dari memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

(9)

KONVERGENSI INDEKS PEMBANGUNAN

MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

PILAR HENDRANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(10)

Judul Tesis : Konvergensi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten Nama : Pilar Hendrani

NRP : H 151 070 081 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec

Ketua Anggota

Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Tanggal Ujian : 30 Januari 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Lulus :

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan KaruniaNya serta salam dan shalawat kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Rasulullah sehingga tesis dengan judul Konvergensi Indeks Pembangunan di Provinsi Banten dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Pascasarjana dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi pada Intitut Pertanian Bogor.

Pada bagian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam menyusun proposal ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryantoro, M.Si selaku Ketua Program Studi dan Ibu Dr. Ir. Lukytawati Anggraeni, M.Si selaku Sekretaris Program Studi.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Walikota Tangerang Selatan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan dan penghargaan kepada semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Kiranya semoga Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Pemurah yang akan memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Januari 2012

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1974 dari pasangan Mukhlis dan Hj. Kapsah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDL SPG Negeri 2 Jakarta, kemudian melanjutkan pada jenjang pendidikan menengah dan atas di SMP Negeri 3 Jakarta dan SMA Negeri 8 Jakarta yang lulus pada tahun 1992. Tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Unversitas Negeri Brawijaya Malang dengan mengambil jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan yang lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2007 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor.

Setelah lulus dari program sarjana, penulis sempat berkerja di sejumlah perusahaan swasta nasional di Jakarta sebelum kemudian diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Banten pada tahun 2002. Dimana pada tahun 2009 memutuskan bergabung sebagai PNS Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Tangerang Selatan hingga sekarang.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Kegunaan Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 6

2.1.Tinjauan Teori ... 6

2.1.1. Konsep Konvergensi ... 6

2.1.2. Investasi Sumber Daya Manusia ... 8

2.1.3. Indeks Pembangunan Manusia ... 9

2.1.4. Konvergensi Dalam Teori Pertumbuhan ... 13

2.1.5 Peran Pemerintah terhadap Pembangunan ... 16

2.1.6 Tipologi Klassen ... 19

2.2.Bukt i Empiris ... 20

2.3.Hipotesis Penelitian ... 22

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 23

3.2. Metode Analisa ... 23 3.2.1. Deskriptif ... 24 3.2.2. Statistik ... 24 3.2.3. Model Persamaan ... 24 3.2.4. Evaluasi Model ... 29 3.2.5. Uji Statistik ... 30

4 GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI BANTEN ... 32

4.1. Pendidikan di Banten ... 32

4.2. Kesehatan di Banten ... 32

4.3. Indeks Pembangunan Manusia ... 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1 Analisa Konvergensi IPM di Provinsi Banten ... 38

(15)

5.1.2. Beta Konvergen ... 40

5.1.3. Faktor yang mempengaruhi IPM di Banten ... 43

5.2. Pembahasan ... 45

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1. Kesimpulan ... 49

6.2. Implikasi Kebijakan ... 49

6.3. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(16)

DAFTAR TABEL

No Halaman

2.1 Bukti Empiris Tentang Konvergensi IPM ... 21

3.1 Model Persamaan untuk Analisis Konvergensi IPM ... 23

4.1 Indikator Pendidikan di Banten ... 31

4.2 Indeks Pembangunan Manusia di Banten ... 33

4.3 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia di Jawa ... 34

5.1 Hasil estimasi σ konvergen diukur berdasarkan SD ... 38

5.2 Hasil estimasi σ konvergen diukur berdasarkan CV ... 39

5.3 Hasil Estimasi β Konvergen Absolut ... 40

5.4 Hasil Estimasi β Konvergen Absolut Sebelum dan Sesudah Berdirinya Banten ... 41

5.5 Hasil Estimasi β Konvergen Kondisional ... 42

5.6 Hasil estimasi faktor yang mempengaruhi IPM di Banten ... 43

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1.1 Pertumbuhan IPM di Banten ... 3

2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia ... 12

2.2 Tipologi Klassen ... 19

2.3 Skema Kerangka Berpikir ... 22

5.1 Standar Deviasi IPM ... 38

5.2 Koefisien Variasi IPM ... 38

5.3 Struktur Perencanaan Pembangunan Daerah dengan Pendekatan Tipologi Klassen ... 45

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

Lampiran 1 Model Sigma Konvergen ... 52

Lampiran 2 Model Beta Konvergen Absolut ... 53

Lampiran 3 Model Beta Konvergen Kondisional ... 61

Lampiran 4 Faktor yang mempengaruhi IPM di Banten ... 68

Lampiran 5 Share sektor jasa terhadap PDRB ... 71

Lampiran 6 IPM Kabupaten dan Kota di Banten ... 72

Lampiran 7 Jumlah Populasi Kabupaten dan Kota di Banten ... 73 Lampiran 8 PDRB Kabupaten dan Kota di Banten ... 74

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tema konvergensi mendapat perhatian khusus dalam sejumlah literatur ekonomi baik dari sisi kebijakan maupun prospek ekonomi, terutama di banyak negara berkembang (Pritchett, 1996). Bahkan persoalan ini sudah masuk dalam sejumlah literatur makro dan berkembang menjadi bahasa utama (Rey dan Montouri, 1998). Berdasarkan penelitian mengenai konvergensi yang ada di banyak negara (Cashin dan Sahay, 1996); Bergstorm, 1984; Button dan Pantecost, 1994) dinyatakan pendapatan daerah miskin akan tumbuh lebih cepat menyamai pendapatan daerah kaya. Daerah yang rasio modal dan kapitalnya rendah pada menerima aliran masuk dari daerah yang rasio dan kapitalnya tinggi sehingga konvergensi terjadi dengan sendirinya. Pendukung teori ini adalah Neoklasik yang dilontarkan oleh Robert M Solow dalam artikel yang berjudul “A Contribution to The Theory of Economic Growth” dan Trevor W Swandalam artikel “Economic Growth and Capital Accumulation” (1956), yang dikenal kemudian sebagai Model Pertumbuhan Neoklasik Solow-Swan, yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Kelompok aliran ini meyakini bahwa setiap daerah atau negara pada akhirnya akan berada pada tingkat yang sama. Ekstrimnya, disparitas ekonomi yang terjadi di dunia sekarang tidak perlu dirisaukan karena pada akhirnya dengan hilang dengan sendirinya.

Pritchett (1996) menyatakan konvergensi belum pernah, tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi selama pemerintah negara berkembang tidak serius dalam menjalankan kebijakan ekonominya. Negara industri sebenarnya membentengi dirinya, tentunya dengan kebijakan terselubung agar konvergensi di negara berkembang tidak akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi dunia sebenarnya mengarah pada divergensi bukan konvergensi (Pritchett, 1997) serta bersifat masif antara negara maju dan miskin. Pemerintah atau negara manapun perlu intervensi untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan di wilayah miskin atau terbelakang (Bergstorm, 1998). Ditambahkan oleh Quah (1996) terdapat polarisasi distribusi

(20)

pendapatan antar tingkat perekonomian di dunia. Pendapat tersebut bertentangan dengan apa yang diyakini oleh kaum Neoklasik bahwa keadaan itu akan berjalan secara otomatis dan alami.

Menurut pertumbuhan ekonomi neoklasik, konvergensi bisa terjadi melalui beberapa cara, seperti redistribusi pendapatan dari daerah kaya ke daerah miskin, adanya aliran tenaga kerja yang rasionya rendah ke daerah yang rasionya tinggi, mobilitas modal antar wilayah dan difusi teknologi dari wilayah yang sudah maju ke wilayah terbelakang. Kaum Neoklasik juga memasukkan asumsi setiap negara mempunyai teknologi dan preferensi yang sama, tidak ada kendala institusi yang mempengaruhi keluar masuknya modal dan tenaga kerja memperkirakan setiap daerah dalam jangka panjang (steady-state) akan mempunyai pendapatan per kapita yang sama, artinya pemerintah tidak intervensi dalam kebijakan ekonomi. De la Fuente (2000) menyebutkan bahwa wilayah yang relatif terbelakang memiliki potensi untuk tumbuh pesat namun derajat realisasinya tergantung pada kapibilitas sosial untuk mengadopsi teknologi dan lingkungan ekonomi makro yang kondusif bagi investasi dan perubahan struktural.

Kenyataannya tidak demikian, pemerintah harus berperan dalam menentukan dan merumuskan kebijakan yang tepat, agar pembangunan dapat berjalan sesuai rencana (Cashin dan Sahay, 1996). Lebih lanjut Pritchett mengatakan pemahaman konsep konvergensi memberikan impresi yang keliru, menurutnya ekonomi bukanlah proses otomatis namun membutuhkan suatu proses perencanaan, pengembangan evaluasi dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi yang cepat, bukan dari keadaan miskin akan tetapi merupakan hasil serangkaian kebijakan yang tepat dan terencana yang diciptakan untuk memfasilitasi pertumbuhan yang cepat dan stabil, dengan mempertimbangkan konsep keseimbangan.

Pernyataan ini didukung oleh Rosentein-Rodan dalam artikelnya “Problem of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe”. Teori yang kemudian dikenal dengan “Big Push Model”, menekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara Eropa Timur dan Tenggara. Saat itu di negara kawasan tersebut sangat

(21)

terbelakang dan masih mengandalkan surplus tenaga kerja yang terutama bekerja di sektor pertanian. Big Push, dorongan yang besar, harus dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan dibanding daerah lain dengan memanfaatkan dampak jaringan kerja antar daerah melalui economies scale and scope dan keluar dari keseimbangan yang rendah (Kuncoro, 2009). Perencanaan yang didasari strategi yang baik dan berkesinambungan akan memberikan kesejahteraan yang terus meningkat yang disertai disparitas pendapatan semakin rendah. Bila pendapat itu diterapkan dalam lingkup daerah atau negara, artinya jauh lebih penting diperhatikan adalah bagaimana menyusun kebijakan pembangunan berkesinambungan yang dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Sumber : BPS Banten 2011

Gambar 1. Pertumbuhan IPM di Banten

Lebih lanjut dalam sejumlah literatur terdahulu, indikator pendapatan yang diukur dari PDRB per kapita banyak digunakan untuk menghitung konvergensi di suatu daerah. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perekonomian sudah mengarah kepada konvergensi pendapatan, akan tetapi tidak dapat menjawab mengenai kualitas hidup masyarakat yang dijadikan objek penelitian. UNDP sejak tahun 1990 mengeluarkan Indeks Pembangunan Manusia, yang dihitung berdasarkan kemampuan daya beli (pendapatan), angka harapan hidup

(22)

dan kualitas pendidikan. Indeks ini diaplikasikan untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu negara karena dianggap lebih mewakili aspek pencapaian kinerja pemerintah. Berangkat dari pernyataan ini, maka dalam penelitian ini akan menggunakan IPM sebagai variabel untuk menghitung konvergensi di daerah, dimana dalam hal ini sesuai judul penelitian adalah Konvergensi IPM di Provinsi Banten.

Alasan pemilihan judul penelitian ini, IPM dapat menggambarkan mengenai kualitas hidup masyarakat di Banten seperti yang ditunjukkan dalam gambar 1. Kesejahteraan masyarakat yang terdiri atas kualitas pendidikan, kualitas kesehatan dan tingkat daya beli masyarakat di Banten sudah tergambarkan dalam nilai IPM itu sendiri. Penelitian ini juga bermaksud untuk menjelaskan konvergensi IPM di Banten berarti pemerataan kualitas hidup dan kesejahtaraan masyarakatnya semakin meningkat.

1.2 Perumusan Masalah

Pemerintahan di banyak negara manapun di dunia, terlepas dari sistem bentuk pemerintahan yang dipilih, berharap pembangunan yang mampu mensejahterakan penduduknya. Hanya saja, kerap kali kebijakan kadang tidak mengenai sasaran. Ketentuan tentang Otonomi Daerah dan ketentuan tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, bertujuan pemerataan kesejahteraan dalam konteks Model Neoklasik yakni konvergensi pendapatan yang diimbangi dengan laju pertumbuhan tinggi (asumsi, adanya stabilitas sosial politik dalam pembangunan). Sehubungan latar belakang diatas dan kebijakan desentralisasi terutama sejak berdirinya Banten lepas dari Provinsi Jawa Barat 8 Oktober 2000, penelitian akan menganalisis pertumbuhan Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM) sebelum dan setelah terbentuknya Provinsi Banten. Secara sederhana akan dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah terjadi konvergensi IPM di Provinsi Banten selama periode 1994-2009.

2. Faktor apa yang mempengaruhi Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia di Banten.

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini ingin mengetahui apakah Kabupaten dan Kota Provinsi Banten, baik semasa bergabung dengan Jawa Barat dan setelah pembentukan Provinsi Banten. Sejumlah tujuan penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan diatas adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis laju konvergensi IPM di Provinsi Banten selama periode penelitian, sehingga dapat diketahui kualitas kemajuan kesejahteraan di Banten.

2. Melakukan estimasi faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan IPM, sehingga mengetahui kontribusinya terhadap IPM di Provinsi Banten selama periode 1994-2009.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam konteks konvergensi di Provinsi Banten, khususnya berkaitan dengan IPM (Pendapatan, Kesehatan dan Pendidikan). Terkait dengan pendapatan Button dan Pantecost (1995), indikasi temuan yang bisa menandai konvergensi maka akan memudahkan bagi pembuat kebijakan untuk mengkaji efektifitas portofolio kebijakan yang sudah dilaksanakan dan mendesain strategi yang lebih baik dimasa depan dalam menetapkan kebijakan pemerataan pembangunan yang berkualitas di Provinsi Banten.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori

Sejumlah penelitian yang dilakukan dibanyak negara lebih memperdalam pada apakah ketimpangan pendapatan antar negara atau wilayah di suatu negara, cenderung divergensi atau konvergensi, apabila mengacu pada model pertumbuhan Neoklasik, Barro (1991), Barro dan Sala-i-Martin (1995), Dewhurts (1998), Garcia dan Sulistianingsih (1998) serta Heng dan Siang (1999). Penelitian berikut ini akan menerapkan model pertumbuhan neoklasik untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten. Model tersebut mengasumsikan adanya kesetaraan dalam bidang pendapatan, teknologi, tingkat pertumbuhan penduduk, kepemilikan sumber daya, preferensi besaran konsumsi dan tabungan di semua daerah atau wilayah, maka nantinya menuju konvergensi pendapatan per kapita dalam jangka panjang. Konvergensi β (beta convergence)

untuk menghitung kecepatan daerah yang awalnya miskin dengan standar hidup relatif rendah dan rasio modal per tenaga kerja rendah akan tumnuh lebih cepat selama masa percapaian akan mengejar daerah yang kaya, kedua kelompok ini nantinya akan menuju tingkat pendapatan yang sama. Sedangkan standar deviasi (σ konvergensi) selanjutnya disebut sigma convergence untuk sebaran wilayah pendapatan per kapita.

2.1.1 Konsep Konvergensi

Kedua konsep konvergensi diatas adalah yang biasanya digunakan dalam literatur konvergensi, De La Fuente (2000), Garcia dan Sulistianingsih (1998), Lall dan Yilmaz (2000). Adapun Rey dan Montouri (1998) menyebutkan konsep konvergensi dari perspektif lain, yakni stochastic convergence, yang biasanya ditemukan dalam penelitian time series. Dua sebelumnya akan ditemui dalam penelitian cross section. Sigma convergence digunakan alat ukur standar deviasi penyebaran pendapatan per kapita kabupaten kota di Provinsi Banten, Barro dan Sala-i-Martin (1995). Ukuran konvergensi ini disebut juga konvergensi aggregat

(25)

(aggregate convergence) atau konvergensi bruto (gross convergence). Cara menghitungnya dengan logaritma standar deviasi per tahun, berikut adalah rumusan yang biasa dipakai untuk mengukur standar deviasinya :

...………. (1)

dimana SD adalah standar deviasi untuk periode t, lnỹt dan lnyit menunjukkan logaritma rata-rata per kapita kabupaten kota Provinsi Banten periode t dan logaritma PDRB kabupaten kota i pada periode t, dimana n adalah jumlah kabupaten kota yang dioservasi. Hasilnya nanti apabila SDt-1 lebih kecil dari SDt

Dengan menghitung σ convergence setiap periode waktu maka akan diketahui apakah sebuah perekonomian mengarah pada divergensi pada sebelum pemisahan atau konvergensi setelah pemisahan dari Jawa Barat. Tingkat pertumbuhan dikatakan konvergensi pasca berdirinya Banten bila nilai σ

convergence semakin menurun. Sementara β convergence digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor yang diperkirakan menentukan tingkat konvergensi. Beta konvergensi ini punya dua aspek, yakni absolute convergence atau

unconditional convergence yang digunakan mengukur kecepatan pertumbuhan pendapatan per kapita daerah miskin yang akan menyamai pendapatan per kapita daerah kaya. Kerangka pemikiran Neoklasik memprediksi koefisien variabel penjelas bertanda negatif dan signifikan, menunjukkan daerah miskin memang tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Adapun formula yang digunakan untuk mengukur absolute convergence (Barro dan Sala-i-Martin, 1995) adalah sebagai berikut :

dikatakan σ convergence ada begitu sebaliknya.

………. (2)

dimana ln adalah natural logaritma, yit PDRB per kapita kabupaten-kota i pada tahun t, yi0,t merupakan rata-rata galat periode 0 dan T. nilai negatif dan signifikan

(26)

antara PDRB awal dan tingkat pertumbuhan PDRB maka dikatakan β

convergence terjadi. Bergstorm (1998) lebih lanjut berpendapat seberapa besar dampak kebijakan pemerintah maka tercermin dalam β convergence. Kecepatan β

convergence akan semakin tinggi, kalau pemerintah memfokuskan kebijakan pembangunannya pada peningkatan akumulasi modal di daerah miskin, pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan adanya proses transfer teknologi dengan baik pada industri setempat, dan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk (Haryanto, 2001).

Sedangkan stochastic convergence mensyaratkan ramalan jangka panjang dari perbedaan tingkat pendapatan antara dua perekonomian menuju titik nol (Rey dan Montouri, 1998). Definisi bisa dilanggar, bila ada shock dalam sebuah perekonomian dengan jangka waktu tak terbatas. Kondisi dimana adalah sejumlah shock maka pendapatan mengandung akar unit dan sebab ketentuan stasionaritas maka konsep ini disebut konvergensi stokastik.

2.1.2 Investasi Sumber Daya Manusia

Sejak zaman Adam Smith, pendidikan telah dikaitkan dengan kemajuan ekonomi dan sosial yang adil. Namun pada saat ini terdapat literatur yang kecil namun terus berkembang mengenai ketidakmerataan distribusi pendidikan (Lam dan Levinson, 1991; Londono, 1990; Maas dan Criel, 1982; Ram,1990). Ketika data mulai tersedia untuk menghitung distribusi pendidikan, maka disparitasnya semakin jelas. Penggunaan standar deviasi pencapaian prestasi dalam menempuh pendidikan disekolah, Birdsall dan Londono (1997) meneliti dampak distribusi pendidikan yang sangat tidak berkesimanbungan mempunyai dampak negatif terhadapa pendapatan per kapita di banyak negara, kebijakan ekonomi yang menindas kekuatan pasar cenderung mengurangi dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendapat senada dilontarkan Ravallion dan Datt (1999) bahwa asosiasi pertumbuhan memberikan kontribusi yang lebih sedikit terhadap pengurangan kemiskinan di negara yang tingkat iliterasi, produktivitas pertanian dan standar hidupnya rendah di pedesaan dibanding wilayah perkotaan. Hal ini menunjukkan distibusi pendidikan mempunyai implikasi kuat terhadap

(27)

pertumbuhan yang mengurangi kemiskinan. Pentingnya pembangunan sumber daya manusia-pendidikan dan kesehatan tampaknya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Garcia dan Sulistianingsih (1998) mampu mengurangi ketidaksinambungan regional. Pasalnya, investasi dalam sumber daya manusia akan memperbaiki standar hidup di pedesaan dan perkotaan yang selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas.

2.1.3 Indeks Pembangunan Manusia

Kualitas pembangunan manusia didefinisikan oleh UNDP sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Bahwa Pembangunan Manusia dijelaskan penduduk menjadi pusat perhatian, dimana penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Guna mencapai hal tersebut harus didukung oleh empat pilar yakni :

1. Produktivitas, penduduk harus diberdayakan untuk meningkatkan produktivitas dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan. Pembangunan ekonomi menjadi himpunan bagian dari model pembangunan manusia.

2. Pemerataan, penduduk harus memiliki kesempatan yang sama mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

3. Kesinambungan, akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan dapat dinikmati untuk generasi selanjutnya. Semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.

4. Pemberdayaan, penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.

(28)

Laporan tahun 1995 mencantumkan paradigma pembangunan manusia yang mencakup empat komponen, yaitu: produktivitas, persamaan, kesinambungan, dan pemberdayaan. Paradigma baru ini mengoreksi prinsip dan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada hal-hal berikut :

1. Teori pertumbuhan ekonomi menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir pembangunan. Pembangunan manusia menekankan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi sangat perlu bagi pembangunan manusia, namun pertumbuhan ekonomi hanyalah merupakan suatu faktor atau cara (means), bukan suatu tujuan (ends) pembangunan. Sejumlah fakta yang termuat dalam laporan UNDP menunjukkan tidak adanya hubungan yang otomatik antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemajuan dalam pembangunan manusia.

2. Teori-teori formasi modal manusia (human capital formation) dan pembangunan sumberdaya manusia (human resources development) memandang manusia sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan ketimbang menekankan aspek pemberdayaan manusia sebagai tujuan akhir pembangunan. Teori-teori ini memandang manusia sebagai input atau faktor produksi yang digunakan untuk meningkatkan produksi. Dengan demikian, manusia yang tidak atau kurang mampu berproduksi dipandang sebagai beban. Dalam prinsip pembangunan manusia, tidak dikenal segmen penduduk yang dianggap sebagai beban dalam pembangunan. Pembangunan harus dapat menawarkan pilihan-pilihan bagi berbagai segmen penduduk menurut potensi yang dimiliki dengan memperhatikan kemerdekaan dan martabat manusia.

3. Pendekatan kebutuhan kesejahteraan manusia (the human welfare need approach) melihat manusia semata-mata sebagai penerima dalam proses pembangunan, sedangkan konsep pembangunan manusia menekankan perlunya memperluas pilihan agar manusia selain dapat menikmati hasil-hasil pembangunan juga mampu berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aspek pembangunan itu sendiri.

(29)

4. Pendekatan kebutuhan dasar (the basic need approach) memusatkan perhatian pada barang dan jasa yang justru bisa memperluas kesenjangan kebutuhan antar kelompok penduduk. Pendekatan ini lebih memperhatikan aspek penyediaan barang dan jasa ketimbang implikasinya terhadap perluasan pilihan bagi berbagai kelompok penduduk itu.

Konsep pembangunan manusia juga menekankan perlunya kebijakan dan program yang bersifat segmentatif. Semakin banyak kebijakan-kebijakan khusus pada segmen-segmen penduduk, semakin berhasilguna kebijakan tersebut. Misalnya, pengelompokan sasaran pembangunan manusia dapat dilakukan menurut komposisi umur, jenis kelamin, wilayah, perbedaan pedesaan-perkotaan, maupun menurut kelompok sosial. Dalam hal ini, Pemerintah dituntut memainkan peranan yang menentukan dalam mengarahkan proses pembangunan dan jika perlu melakukan intervensi untuk memastikan bahwa kepentingan pembangunan manusia terpenuhi. Ukuran peranan Pemerintah dalam hal ini bersifat relatif. Persoalan adalah fungsi apa yang dimainkan oleh pihak pemerintah dan bagaimana fungsi itu dilaksanakan, bukan bagaimana besarnya peran pemerintah. Hal penting lainnya, Pemerintah perlu bermitra dengan pihak swasta, lembaga swadaya dan organisasi masyarakat, dan lebih-lebih dengan institusi lokal di lini bawah.

Akhirnya, partisipasi merupakan komponen esensial bagi strategi pembangunan manusia mengingat ia dapat mengurangi biaya pelayanan publik serta proyek-proyek investasi dengan mengalihkan pengelolaan dari pemerintah pusat dan daerah ke institusi lokal di lini bawah (grass root). Sebagai contoh, pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, kursus-kursus kebidanan, pos-pos pelayanan dan distribusi makanan dapat diurus oleh kelompok-kelompok lokal ketimbang tenaga-tenaga khusus berbiaya tinggi yang seringkali berasal dari luar wilayah itu. Dalam hal ini partisipasi dapat berfungsi ganda, yakni sebagai tujuan akhir dan sekaligus cara pembangunan manusia.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indikator untuk yang digunakan untuk menggambarkan sejauh mana suatu wilayah telah menggunakan sumber daya penduduknya untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia di

(30)

wilayah tersebut. Oleh karena itu, mutu pembangunan manusia diukur dengan menggunakan tiga buah variabel, yakni kemampuan hidup secara fisik yang mencerminkan keberhasilan dalam kesehatan. Kedua, kemampuan memahami, menguasai dan memanfaatkan alami lingkungan yang merefleksikan keberhasilan pengembangan pendidikan. Ketiga, besarnya barang dan jasa yang memberikan keberhasilan mencipta (BPS, 2008). Adapun penghitungan IPM adalah sebagai berikut :

IPM = ⅓ (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3 Dimana

)

Indeks X1 Indeks X

= Indeks Angka Harapan Hidup 2

Indeks X

= Indeks Pendidikan, yakni ⅔ (indeks Melek huruf) + ⅓ (indeks rata-rata sekolah)

3 = Indeks Konsumsi per kapita yang disesuaikan)

Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia

Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat

(31)

jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.

IPM mencakup tiga komponen yang merupakan bentuk penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting lainnya (tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik, kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.

IPM merupakan alat ukur yang peka untuk dapat memberikan gambaran perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya beli yang dalam kasus Indonesia sudah sangat merosot akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Tingkat kesempatan kerja dalam konteks pembangunan manusia merupakan terputusnya jembatan yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya peningkatan kapasitas dasar penduduk. Dampak dari krisis ekonomi pada pembangunan manusia adalah dengan menurunnya daya beli dan ini juga berarti terjadinya penundaan upaya peningkatan kapasitas fisik dan kapasitas intelektual penduduk. Penurunan beberapa komponen IPM sebagai akibat kepekaan IPM sebagai alat ukur yang dapat menangkap perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek.

2.1.4 Konvergensi dalam Teori Pertumbuhan

Teori pertumbuhan lokal memprediksi adanya ambiguitas dalam masalah pendapatan per kapita dan periode berikutnya. De la Fuente (2000) mempertegas lagi, teori ekonomi tidak dapat menggambarkan apakah perekonomian suatu daerah atau wilayah mengalami konvergensi secara pasti. Hal ini terjadi, sebab banyak faktor penduga yang mempunyai pengaruh disetiap daerah itu berbeda atau berderajat tidak sama. Teori ekonomi hanya sebatas mengidentifikasi faktor atau mekanisme yang sangat menentukan besaran arah dan nilai (konvergensi dan divergensi).

Perbedaan ini dikarenakan tiga mekanisme (De La Fuente, 2000), seperti yang ada pada model produksi Cobb-Douglas yakni decreasing return to scale, artinya jika akumulasi modal semakin besar maka produktivitasnya semakin

(32)

rendah, disisi lain insentif untuk menabung dan kontribusi investasi pertumbuhan investasi akan turun. Hal ini bila dibiarkan dalam jangka panjang akan cenderung melambankan pertumbuhan ekonominya, seperti yang dialami sejumlah negara industri, dimana salah satu solusinya adalah relokasi industri. Kedua, kemajuan teknologi bisa mempunyai pengaruh yang bertolak belakang, disisi lain teknologi apabila perbedaan intensitas daerah dalam mengadopsi teknologi baru maka pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya akan berbeda, teknologi bisa menjadi penyebab divergensi sebaliknya mengacu pada asumsi neoklasik yang mengatakan preferensi teknologi setiap daerah atau negara sama maka faktor teknologi bisa menjadi pendorong konvergensi. Ketiga, perubahan struktural atau relokasi faktor produksi antar sektor (Caselli dan Coleman, 1999), biasanya setiap daerah atau negara dapat dikatakan kelompok negara maju atau miskin, bisa dilihat sektor mana yang paling banyak penduduknya terkonsentrasi, pertanian atau industri. Semakin besar dominasi atau tingkat ketergantungan terhadap sektor pertanian maka daerah atau negara tersebut cenderung miskin dan sebaliknya, bila negara ekonominya peran sektor industri besar maka negara tersebut cenderung lebih maju.

Namun dalam perkembangannya, pendapat optimis dipaparkan oleh kaum neoklasik akan terjadinya konvergensi pendapatan, mendorong langkah untuk mencari alternatif penjelas lainnya dalam rangka membangun teori pertumbuhan yang baru. Sejumlah pencetus pertumbuhan endogen membuat pernyataan adanya kemungkinan non decreasing return to scale terhadap modal, serta memasukkan unsur teknologi sebagai faktor endogen dan bisa terjadi tingkatan variasi antara daerah sekaligus merefeleksikan perbedaan struktural. Berkaitan dengan pendapatan tersebut, teori ini tidak menutup kemungkinan adanya disparitas pendapatan semakin meningkat (Pritchett, 1997) tidak seperti diperkirakan oleh kaum neoklasik. Bahkan Grier dan Grier (2007) menambahkan kendati model neoklasik bisa menjelaskan divergensi pendapatan, bisa saja terjadi selama variabel yang menentukan dalam steady state juga mengalami hal serupa. Justru divergensi pendapatan di suatu negara bisa terjadi walaupun didukung oleh kebijakan konvergensi yang kuat. Kontradiksi inilah yang tidak mampu dijelaskan

(33)

Kaum Neoklasik, kecuali jika asumsi adanya variasi sistematis kemajuan teknologi antar negara tidak sama, yang tercermin dari alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan, pembangunan sektor keuangan serta keterlibatan lembaga yang mengawasi divergensi perekonomian daerah atau negara. Konsep awalnya berdasarkan Model Pertumbuhan Neoklasik, yang bertujuan melihat apakah konvergensi IPM terjadi atau divergensi, serta seberapa cepat konvergensi IPM di Provinsi Banten, tentunya dengan menggunakan variabel yang sudah ditetapkan sebelumnya, yakni tingkat pertumbuhan PDRB Kabupaten dan Kota, tingkat kepadatan penduduk per km2

Model yang digunakan merupakan diadaptasi dari aplikasi oleh Lall dan Yilmaz (2000) untuk kasus antar negara bagian di Amerika Serikat. Variabel penjelasnya dalam model konvergensi Rapport (1999) hampir serupa hanya disagregasi komponen lokal di Amerika Serikat lebih terperinci. Sedangkan model persamaan yang dikembangkan oleh Haryanto (2001) adalah

, share sektor jasa terhadap PDRB.

LYo_t = αo + α1LYo

Yang digunakan untuk mencari unconditional atau absolute β convergence

(konvergensi absolut), yakni

... (3)

LYo_t

= tingkat pertumbuhan per kapita atau

yit y

= PDRB per kapita pada tahun t io

LY

= PDRB per kapita awal o = log Y

αo io

α

= intersept persamaan

1 = koefisien estimasi LYoatau β = kecepatan konvergensi

Selanjutnya modelnya dikembangkan oleh Haryanto (2001) berdasarkan data yang dipilih variabel penjelas adalah bentuk administrasi (kabupaten atau kota) perlu dibedakan karena wilayah perkotaan dari segi pendapatan, tingkat pendidikan jumlah tenaga kerja terampil dan dukungan infrastruktur yang relatif lebih baik ketimbang kabupaten, sebaliknya tingkat pertumbuhan dan jumlah buta huruf lebih tinggi dibanding masyarakat perkotaan. Namun hal tersebut kemudian

(34)

diubah karena hasil kurang baik diganti dengan tingkat kepadatan penduduk per km2

Pertumbuhan PDRB Per Kapita turut dijadikan faktor berpengaruh karena pastinya mempunyai kontribusi yang cukup penting dalam pertumbuhan IPM itu sendiri. Begitu pula dominasi sektor penggerak perekonomian juga turut menentukan, seperti yang ditemukan oleh Cashin dan Sahay (1996) wilayah yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri dan jasa biasanya lebih cepat pembangunannya dari wilayah yang secara tradisional sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan masyarakat di wilayah tertentu. Berikut adalah model modifikasi dari Gama (2008) dan Noorbakhsh (2004)

. Hal ini cukup beralasan karena kebetulan Kabupaten Tangerang mempunyai karakteristik yang hampir mirip dengan perkotaan dan kondisi perekonomiannya berbeda dengan definisi kabupaten.

LnIPMit = β0 + β1LnKAPit + β2LnPOPSit + β3JASAit + εit dimana :

... (4)

LnIPMit LnKAP

= Laju pertumbuhan IPM daerah i dan tahun t it

LnPOPS

= Pertumbuhan PDRB per kapita daerah i dan tahun t it = Kepadatan penduduk per km

JASA

2

it ε

= Share sektor jasa terhadap PDRB it

IPM sendiri dianggap dapat merepresentasikan ketiga variabel diatas, sejak diluncurkan oleh UNDP tahun 1990 antara lain yang dilakukan oleh Konya dan Guisan (2008) dalam hasil penelitiannya untuk melihat konvergensi IPM sejumlah negara di Eropa sebelum dan sesudah bergabung dalam Uni Eropa. Atas dasar tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang nyata mengenai konvergensi IPM di Banten. Caranya dengan membagi periode penelitian sebelum dan sesudah berdirinya Provinsi Banten.

= error term

2.1.5 Peran Pemerintah terhadap Pembangunan

Bila mengikuti asumsi model pertumbuhan neoklasik Solow-Swan, maka peran pemerintah diabaikan karena konvergensi akan terjadi dengan sendirinya. Kenyataannya, pemerintah justru memegang peran utama dimanapun pemerintah

(35)

di dunia. Fakta di dunia bahwa sebuah negara didukung institusi pemerintah yang baik dan transparan, maka dikatakan dengan pertumbuhan pendapatan, kesehatan nasional dan pencapaian prestasi sosial yang lebih tinggi. Capaian tersebut ditambah angka harapan hidup yang tinggi, dapat ditemui di negara dengan institusi pemerintah yang efektif, jujur dan meritokratis dengan regulasi yang jelas dan terpadu, juga dimana aturan hukum ditegakkan dengan adil, kebijakan dan kerangka kerja legal yang tidak dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu. Muaranya pemerintah harus mengarahkan sistem pemerintahan yang Good Governance and Clean Goverment, setelah kedua hal tersebut dijalankan baru pemerintah bicara menganai target pembangunan.

Pritchett (1997) menegaskan tanpa peran aktif dan serius dari pemerintah, lupakan konvergensi. Sejumlah penelitian menemukan adanya peran pemerintah dalam menciptakan konvergensi pendapatan di negaranya. Salah satunya Cashin dan Sahay (1996) menemukan bukti bahwa peran pemerintah pusat India dalam mendistribusikan kembali pendapatan dari daerah kaya ke miskin dapat mendorong terjadinya konvergensi pendapatan, kendati dalam level yang kurang meyakinkan. Berbeda halnya yang dialami di banyak negara industri, sebut saja Australia, Jepang, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat, karena tingkat pendidikan dan teknologi antar wilayah di negara tersebut sudah merata dan baik, sehingga peran pemerintah menjadi optimal.

Kunci keberhasilan konvergensi pendapatan suatu daerah dan negara, lebih banyak dari kemampuan pemerintah dalam implementasikan kebijakan membangun perekonomiannya, tentunya harus diimbangi transparansi dan akuntabilitas ketentuan negara. Contohnya, Korea Selatan dan Taiwan mengubah perekonomiannya dalam beberapa dekade dari negara berkembang menjadi negara maju. Hal itu dikarenakan kebijakan pemerintah menempatkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama, pembangunan sumber daya manusia termasuk dalam investasi (heavy investment education), yang baru bisa dinikmati hasilnya pada dekade terakhir (Rodrik, 1994). Kebijakan serupa diikuti sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura. Artinya, prioritas pembangunan mereka bukan sekedar pada pendapatan saja. Namun lebih dari itu, pemerintahan mereka juga

(36)

menempatkan pada pembangunan SDM yang berkualitas. Kebijakan ini dijalankan secara konsisten yang didukung oleh stabilitas sosial politik yang kuat, begitu juga penegakkan hukumnya, agar arah dan tujuan kebijakan pembangunan tidak terdistorsi, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebab pendapatan, investasi dan pertumbuhan tinggi maupaun angka harapan hidup yang lebih panjang, dapat berjalan di negara dengan institusi pemerintah yang efektif (World Bank, 2000), sebaliknya di negara yang institusi yang tercemar oleh korupsi membawa dampak kualitas pembangunan ekonomi itu sendiri.

Berdasarkan Internasional Transparency, nampak jelas negara yang pendapatan per kapitanya rendah cenderung menduduki peringkat atas dalam indeks korupsi, contohnya Indonesia, Nigeria, Bangladesh, Irak, Haiti sedangkan Singapura, Finlandia, Norwegia adalah negara yang masuk dalam katagori bersih dan mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang cukup tinggi (kelompok negara maju). Memperbaiki kualitas laporan nasional dengan melibatkan modal manusia dan alam pada harga bayangan (kendati terdapat berbagai kompleksitas dalam penghitungannya) merupakan salah satu cara untuk mendapatkan divergensi antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan. Bahkan kemajuan yang terbatas dalam menilai aset ini belum dimasukkan ke dalam laporan nasional dan masih ada permasalahan konseptual yang serius mengenai penggabungan tersebut. Karena beberapa alasan inilah, maka sebuah pendekatan yang lebih praktis dan moderat adalah mengidentifikasi pola pertumbuhan dan kebijakan yang terukur yang cenderung mempromosikan kesejahteraan yang lebih besar.

Berangkat dari persoalan yang diatas maka pola pertumbuhan yang dilaksanakan negara di dunia, terbagi atas tiga pola alternatif. Pertama, pertumbuhan yang tidak berkesinambungan, dimana ekonomi tumbuh dengan fase pertumbuhan yang pesat, namun mengalami penurunan yang mengarah kepada stagnasi atau nyaris stagnan. Kedua, pertumbuhan yang terdistorsi diambil dengan resiko kerusakan sumber daya alam, misalnya dengan menghargai terlalu rendah, kurangnya investasi modal manusia, misalnya kurangnya perlindungan yang memadai terhadap tenaga kerja anak dan subsidi untuk modal fisik, seperti pengecualian pajak, mengijinkan pajak berutang, memberikan hibah finansial

(37)

untuk menghadiahi investasi tertentu dan menyediakan subsidi kredit investasi. Ketiga, pertumbuhan berkesinambungan melalui akumulasi aset yang terdistorsi atau seimbang, adanya dukungan publik terhadap pengembangan pendidikan primer dan sekunder, perbaikan kesehatan publik, perlindungan modal alam. Ini mencegah penurunan dalam pengembalian untuk aset privat (khusus modal fisik) dan menyediakan tingkat modal manusia yang minimum dan semakin besar yang diperlukan untuk memfasilitasi inovasi teknologi dan pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP). Definisi pertumbuhan itu sendiri adalah adanya kenaikan kapasitas produksi riel suatu wilayah yang disertai kemampuannya dalam menjaga kenaikan tersebut. Kemudian konsep ini diadopsi dalam teori dan model pertumbuhan regional (Capello, 2007).

2.1.6 Tipologi Klassen

Alat analisis ini dapat membantu pengambil keputusan di daerah untuk menetapkan prioritas anggaran daerahnya, terutama yang berkaitan dengan sisi pengeluaran. Tipologi Klassen digunakan untuk mengidentifikasi persoalan secara cepat berdasarkan data sebelumnya yang tersedia, terutama berkaitan dengan perencanaan kebijakan. Analisis ini pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan

(high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but income), dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income).

Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten dan kota dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut. Pertama, daerah maju dan cepat-tumbuh adalah daerah yang memiliki tingkat percepat-tumbuhan ekonomi menurut jenis lapangan usaha dan besarnya kontribusinya terhadap pembentukan PDRB lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Banten. Kedua, daerah maju tapi tertekan adalah daerah yang memiliki kontribusi ekonomi menurut jenis lapangan usaha terhadap pembentukan PDRB lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi

(38)

menurut jenis lapangan usaha lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten. Ketiga, daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi menurut jenis lapangan usaha yang tinggi tetapi kontribusi jenis lapangan usaha tersebut terhadap PDRB lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten. Keempat, daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi menurut jenis lapangan usaha dan besarnya kontribusinya terhadap pembentukan PDRB lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten. Dikatakan tinggi apabila indikator di suatu kabupaten dan kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan digolongkan rendah apabila indikator di suatu kabupaten dan kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Sumber data yang digunakan dalam Analisa Tipologi Klassen dalam penelitian ini adalah kontribusi jenis lapangan usaha dalam pembentukan PDRB daerah serta laju pertumbuhannya dibandingkan rata-rata Banten selama periode 1994-2009.

Gambar 2.2 Tipologi Klassen 2.2 Bukti Empiris

Berbagai persoalan berkaitan dengan kebijakan pemerintahan suatu negara dalam memacu pertumbuhan ekonomi atau meningkatkan pendapatannya. Pertanyaannya adalah, seberapa efektif peran pemerintah pusat dalam

(39)

mempengaruhi pertumbuhan pendapatan daerah, sehingga mampu mempercepat konvergensi pendapatan. Sejumlah penelitian menemukan hasil konvergensi pendapatan yang bervariasi, Cashin dan Sahay (1996), Garcia dan Soelistianingsih (1999), Rappaport (1999), Haryanto (2001) misalnya, terdapat konvergensi pendapatan dalam penelitiannya. Kendati demikian, kedua penelitian tersebut menunjukkan konvergensi pendapatan tidak benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan, hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang kurang memadai dan tidak didukung oleh kualitas sumber daya manusia. Padahal, kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan merata merupakan syarat yang harus terpenuhi seperti asumsi model pertumbuhan neonklasik, mengenai tingkat preferensi teknologi yang sama (kualitas pendidikan). Kecepatan konvergensi pendapatan lebih cepat di kelompok negara maju karena alasan diatas, namun adapula penelitian yang tidak menemukan pengaruh positif dari kebijakan anggaran (Lall dan Yilmaz, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilaksanakan di sejumlah negara seperti yang tercantum dalam tabel 2.1, diketahui terdapat kecenderungan IPM mengarah konvergen. Meskipun hanya sebagian yang menunjukkan bukti signifikan misalnya penelitian oleh Konya dan Guisan (2008) dan Foulkes (2010). Ini membuktikan bahwa wilayah atau kawasan yang menjadi objek penelitian mempunyai tingkat preferensi yang sama, peran pemerintah yang kuat dalam meningkatkan kualitas SDM. Sementara faktor urbanisasi dianggap penting dalam mendorong terjadinya konvergensi IPM di daerah tertentu (Foulkes, 2010)

Tabel 2.1 Bukti Empiris tentang Konvergensi IPM

No Peneliti Tujuan

Penelitian Sumber Data Wilayah Studi Hasil Penelitian

1 Noorbakhsh (2004)

σ dan β konvergensi IPM

Sampling IPM Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin periode 1975-2001

Sejumlah

negara Asia, Afrika dan Amerika Latin

Bukti lemah yang menyatakan konvergensi IPM pada negara tersebut

2 Hiranmoy dan K Bhattacarjee (2009) β Konvergen Absolut IPM

IPM Negara Bagian India periode 1981-2001

Negara Bagian India

Konvergensi IPM tidak terbukti secara signifikan

3 Konya dan Guisan (2008)

σ dan β konvergensi IPM

IPM negara Uni Eropa periode 1975-2004

Negara Uni Eropa

Konvergensi IPM terbukti signifikan 4 David Foulkes (2010) β konvergensi kondisional IPM Urbanisasi, Investasi Modal Langsung dan Kelembagaan periode 1970-2001 111 negara di dunia Urbanisasi berpengaruh signifikan β konvergen kondisional IPM

(40)

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian diatas, secara sederhana dapat di katakan kualitas SDM di Provinsi Banten berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, karena SDM merupakan salah satu input dalam proses produksi, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan ekonomi. Oleh karena itu perlu perhatian yang serius terhadap pembangunan SDM. Untuk meningkatkan kualitas SDM, salah satu indikatornya adalah IPM. Meningkatnya IPM akan berdampak pada pencapaian pembangunan. Strategi untuk meningkatkan IPM secara efektif adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian IPM, sehingga bisa dijadikan faktor-faktor penting dalam menentukan kebijakan. Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut :

Gambar 2.3 Skema Kerangka Berpikir 2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori, maka terdapat dua hipotesis, pertama

terjadi konvergensi IPM di Banten. Kedua, PDRB per kapita, kepadatan penduduk dan share sektor jasa pada PDRB mempunyai pengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan IPM di Banten.

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sektor perekonomian yang dominan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah kabupaten dan kota di Banten. Data yang diambil untuk sebagai bahan analisa adalah periode tahun 1994-2009. Sementara sumber data tersebut berasal dari BPS Jawa Barat (saat Banten masih bagian Provinsi Jawa Barat) dan BPS Banten sendiri. Berikut adalah data awal IPM Kabupaten dan Kota di Banten semasa masih menjadi bagian dari Jawa Barat.

3.2 Metode Analisa

Tentunya dalam menganalisa data menggunakan model yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian dimodifikasi sesuai kebutuhan yang ingin dicapai dari suatu penelitian. Adapun model persamaan yang akan digunakan untuk menganalisis konvergensi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten (tabel 3.1).

Tabel 3.1 Model Persamaan untuk Analisis Konvergensi IPM

Sebelum digunakan dalam menganalisis data maka model persamaan diatas sebelumnya sudah dilakukan berbagai uji sehingga model tersebut layak digunakan. Model yang dipakai dalam penelitian ini adalah panel data dengan menggunakan pendekatan Fixed Effect Model. Panel Corrected Standard Error

(42)

(PCSEs) dilakukan untuk menghilangkan masalah Autokorelasi dan Heteroskedastis.

3.2.1 Deskriptif

Dalam metode ini maka hasil penelitian bisa disampaikan dalam bentuk tabel, gambar atau grafik sehingga memudahkan untuk membacanya dan menganalisa secara singkat. Pembagian periode penelitian menjadi dua, bertujuan untuk melihat pengaruh pembangunan ekonomi sebelum dan sesudah Provinsi Banten berdiri. IPM selama kurun waktu penelitian perolehan data bersumber dari BPS Provinsi serta Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten dan Jawa Barat berupa data sekunder.

3.2.2 Statistik

Adalah menjadi keharusan dalam sebuah penelitan, apakah hasilnya bisa diintepretasikan dengan benar perlu melalui uji statistik. Tujuannya agar angka yang muncul dapat menceritakan dari rumusan masalah yang diajukan, yang secara sederhana dihitung melalui uji asumsi klasik.

3.2.3 Model Persamaan

Model yang dibangun ini akan memilih menggunakan pendekatan cross atau panel data karena dapat di estimasi dengan baik (de la Faunte, 2000). Pendekatan ini mulai digunakan baru beberapa tahun terakhir, sementara sebelumnya lebih banyak menggunakan OLS dalam mengestimasi konvergensi pendapatan (Garcia dan Soelistianingsih, 1998). Perkembangan panel data ini berkaitan dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya. Hsiao (1995) menyebutkan beberapa keunggulan panel data bagi penelitian bidang ekonomi ketimbang dua pendekatan sebelumnya adalah panel data biasanya menyediakan jumlah obeservasi yang lebih banyak sehingga meningkatkan efisiensi estimasi ekonometrika. Kedua, pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menganalisa pertanyaan ekonomi yang penting yang tidak bisa dijelaskan dengan data cross section dan time series.

(43)

Juanda (2007) memaparkan keuntungan menggunakan panel data dalam model regresi dibanding dua pendekatan sebelumnya adalah data panel akan memberikan informasi yang lebih lengkap, beragam, kurang berkorelasi antar variabel, derajat bebas lebih besar dan efisien. Kedua, panel data lebih memuaskan untuk menentukan perubahan dinamis dibanding studi berulang dari cross section. Ketiga, membantu menganalisa perilaku yang lebih kompleks seperti fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi. Keempat, mampu meminimumkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu atau perusahaan karena unit data lebih banyak. Gabungan dari keduanya sudah terangkum dalam panel data, sehingga memungkinkan perumusan struktur dinamis yang komprehentif (Lall dan Yilmaz, 2000).

Kendati memiliki sejumlah keunggulan, penggunaan pendekatan panel data bukan tanpa kritik. Shioji (1998) mengatakan pendekatan tersebut bisa menimbulkan bias karena memungkinkan menggunakan periode yang relatif singkat dan jumlah yang diobservasi terlalu sedikit. Solusinya adalah periode waktu observasi bukan waktu yang pendek. Selain itu, analisa empiris seperti model regresi konvergensi times series, panel data maupu n kondisional cross section bisa saja misleading untuk memahami konvergensi (Quah, 1996).

Ada sejumlah penamaan untuk panel data, seperti pooled data,

combination time series dan cross section data, micropanel data, longitudinal data, event history analysis dan cohort analysis (Gujarati, 2003). Dimana regresi model ini semakin sering digunakan dalam penelitian ekonomi. Mengapa?

Pertama, kombinasi data time series dan cross section dalam sebuah penelitian akan memberikan informasi yang lebih banyak, lebih efisien dan lebih banyak

degree of freedom (de la Fuente, 2000). Kedua, pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menganalisa pertanyaan ekonomi yang penting yang tidak bisa dijelaskan dengan data cross section dan time series. Pasalnya, cross section

merefleksikan perilaku jangka panjang, sementara time series menunjukkan pengaruh jangka pendek (Hsiao, 1995).

Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu Pooled Ordinary Least Square (OLS), Fixed EffectModel(FEM) dan

(44)

Random Effect Model (REM). Dari ketiga metode tersebut dipilih model terbaik menggunakan Chow Test.

1. Pooled Ordinary Least Square (OLS)

Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa, yang diterapkan dalam data yang berbentuk pool.

Y

it =α+βXit ...………….. (6)

Dimana i menunjukkan urutan kabupaten dan kota yang diobservasi pada data crosssection, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Metode ini asumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap kabupaten dan kota yang diobservasi. Hal ini menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan membawa perubahan pada intersep time-series dan cross-section.

2. Fixed Effect Model (FEM)

Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap kabupaten dan kota yang diobservasi. Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa adalah adanya asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan, baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan dengan memasukkan dummy variabel untuk memungkinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda, baik lintas unit cross section maupun antar waktu. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan model efek tetap (Fixed Effect Model) atau

Least Square Dummy Variabel atau disebut juga Covariance Model.

Yiti+Xitj+ αiDiit i=2 n

... (7) Dimana :

(45)

αi x

= intersep yang berubah-ubah antar cross section unit j

it

βj = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i e

= parameter untuk variabel ke j

it = komponen error di waktu t untuk unit cross section i Dengan menggunakan pendekatan ini, akan terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. Keputusan memasukkan variabel boneka ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Hal tersebut disebabkan, dengan melakukan penambahan variabel boneka akan dapat mengurangi jumlah degree of freedom yang pada akhirnya akan memengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi. Pertimbangan pemilihan pendekatan yang digunakan ini didekati dengan menggunakan statistik F yang berusaha memperbandingkan antara nilai jumlah kuadrat error dari proses pendugaan dengan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang telah memasukkan variabel dummy.

FN+T−2,NT−N−T =(ESS1−ESS2) NT−1

ESS2 (N−T−K) ... (8)

Dimana, ESS1 dan ESS2

Pada pendekatan fixed effect, estimasi dapat dilakukan dengan tanpa pembobot (No Weighted) atau Least Square Dummy Variabel (LSDV) dan dengan pembobot (Cross Section Weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan dilakukannya pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross-section (Gujarati, 2003).

adalah jumlah kuadrat sisa dengan menggunakan metode kuadrat kecil biasa dan model efek tetap, sedangkan statistik F mengikuti distribusi F dengan derajat bebas NT-1 dan NT-N-K. Nilai statistik F uji inilah yang kemudian diperbandingkan dengan nilai statistik F tabel yang akan menentukan pilihan model yang akan digunakan.

3. Random Effect Model (REM)

Penambahan variabel dummy pada model efek tetap dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan

Gambar

Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia
Gambar 2.2 Tipologi Klassen
Tabel 2.1 Bukti Empiris tentang Konvergensi IPM  No  Peneliti  Tujuan
Gambar 2.3 Skema Kerangka Berpikir  2.4   Hipotesis Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diteliti adalah : konflik batin yang dialami tokoh Akira Sakamoto

Penyelesaian Persamaan Pell dengan menggunakan Metode Ring Kuadratik Dalam menyelesaikan persamaan Pell dengan metode ring kuadratik dibutuhkan solusi awal yang

Setelah penerapan metode experiential learning pada mata pelajaran fisika dapat disimpulkan bahwa hasil belajar fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Tombolo Pao

As a definitely different race and a different cultural and ethnic group, the Chinese stood out from indigenous groups and other foreign Orientals such as Arabs and Indians.. In

Dalam tahapan ini, didapatkan permasalahannya adalah menurunnya produktivitas kedelai edamame dan terbatasnya jumlah tenaga pakar yang tersedia untuk membantu

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

delbrueckii secara nyata paling efektif untuk mempertahankan kehilangan BK, BO, PK, NDF, ADF, selulosa dan mempertahankan penurunan KCBK in vitro dan KCBO in vitro

Akhiran /r/ lenyap atau menjadi /y/ 9 (bila terletak di akhir kata). Pada dialek lainnya bunyi /r/