• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keseimbangan Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa menyewa

BAB III KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM SEWA

C. Keseimbangan Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa menyewa

Suatu perjanjian sewa menyewa para pihak seharusnya dibuat untuk mengungkapkan kehendak mereka dalam bentuk tertulis. Pihak penyewa memiliki tujuan dan maksud agar dapat menikmati barang yang disewa dengan jaminan penuh pihak yang menyewakan atas gangguan dari pihak ketiga. Sedangkan pihak yang menyewakan memiliki maksud dan tujuan agar memperoleh suatu tagen prestasi berupa sejumlah uang dari pihak penyewa atas prestasinya menyerahkan barang yang dikuasai/dimilikinya untuk dinikmati oleh pihak yang penyewa.

Perjanjian sewa menyewa rumah adalah suatu perjanjian timbal balik yang saling memberi dan menerimanya, maka sepatutnya perjanjian sewa menyewa rumah

tersebut berlandaskan asas keseimbangan dan keadilan dalam ketentuannya dan memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak. Fakta menunjukkan dalam suatu perjanjian sewa-menyewa terdapat adanya keterjalinan dengan gejala kemunculan dari suatu perjanjian yang dibentuk oleh para pihak, keterikatan atau kekuatan mengikat dalam rangka dipenuhinya perikatan sewa menyewa tersebut.84

Melalui suatu perjanjian sewa menyewa dapat diupayakan perubahan berkenaan dengan pembagian dan pertukaran benda-benda ekonomis maupun jasa, yakni sebagai suatu pergeseran sukarela (urij willige versehviving) suatu perjanjian sewa menyewa rumah pada hakikatnya adalah penyerahan barang/rumah yang menjadi pihak pemilik barang/rumah kepada pihak penyewa untuk dinikmati dalam jangka waktu tertentu sesuai jangka waktu sewa yang telah ditetapkan dalam perjanjian sewa-menyewa tersebut. Di dalam dunia ekonomi perjanjian merupakan instrumen terpenting untuk mewujudkan perubahan-perubahan ekonomi dalam bentuk penyerahan/pembagian barang dan jasa. Dasar pemikiran suatu perjanjian sewa-menyewa rumah merujuk pada tujuan terjadinya pergeseran harta kekayaan untuk sementara waktu secara adil dan memunculkan akibat hukum terjadinya pertukaran tagen prestasi para pihak juga secara adil.85

Agar pertukaran pengayaan tagen prestasi dapat dilakukan secara adil maka harus diimbangi pula oleh adanya pertukaran prestasi yang seimbang pula. Pertukaran

84

Herlin Budiono, Op.cit., hal. 308.

85

secara timbal balik tersebut merupakan konsep kunci bagi terciptanya keadilan atas suatu perjanjian sewa-menyewa tersebut.86

Untuk dapat memenuhi asas keseimbangan dan keadilan dalam suatu perjanjian sewa menyewa rumah salah satu prinsip dasar yang harus dilaksanakan adalah “prinsip iktikad baik”. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tersimpul asas kebebasan membuat perjanjian, asas

konsensualisme serta daya mengikatnya perjanjian pemahaman terhadap pasal

tersebut tidak berdiri sendiri. Asas-asas yang terdapat dalam pasal tersebut berada dalam satu sistem yang padu dan integeratif dengan ketentuan-ketentuan lainnya.

Terkait dengan daya mengikat perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Pada situasi tertentu daya berlakunya (strekking) dibatasi antara lain dengan prinsip itikad baik. Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian haarus dilakukan dengan itikad baik. Apa yang dimaksud dengan itikad baik (te goeder trouw; good

faith), perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam

kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “itikad” adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik).87

Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus bonafidei), maksudnya perjanjian

86

Soerjono Soekanto, Berbagai Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta, UI Press, 1975, hal. 34.

87

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hal. 268.

tersebut dilaksanakan menurut asas keseimbangan dan keadilan. Ketentuan pasal tersebut pada umumnya selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”

Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak. Pada itikad baik yang nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad baik yang obyektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran obyektif untuk menilai kesadaran sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang obyektif). Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

a. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beritikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung risiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat 1 BW dan Pasal 1963 BW, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subyektif dan statis.

b. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 BW adalah bersifat obyektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.88

88

Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik hendaknya diartikan sebagai :89

a. Kejujuran pada waktu membuat kontrak.

b. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat dihadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya).

c. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.

Memang diakui bahwa untuk memahami itikad baik bukan hal yang mudah. Pada kenyataannya itikad baik acapkali tumpang tindih dengan kewajaran dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid; reasonableness and equity). Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Oleh karena itu dalam praktik pengadilan, itikad baik dan kepatutan dipahami sebagai azas atau prinsip yang saling melengkapi

(complementary).90

D. Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Berjangka