• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.4 Kesejahteraan dan Daya Dukung

Fenomena kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah dua hal yang saling terkait. Kebutuhan dan jumlah manusia yang terus meningkat, mengakibatkan sumber daya alam maupun fisik harus dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengejar tujuan pembangunan. Pembangunan yang sejatinya bertujuan menghapuskan kemiskinan, justru mengakibatkan kemiskinan sebagai akibat rusaknya sumber daya alam akibat proses ekonomi yang tidak mengindahkan lingkungan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Hubungan keduanya seperti membentuk derajat polinomial. Kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Begitupula sebaliknya, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya. Hubungan sebab akibat ini dapat terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung.

Sachs (2006) dalam bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut.

Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel itu. Respon terhadap permasalahan kemiskinan dan degradasi ekosistem juga dilakukan oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Millenium

Ecosystem Assesment (MA). Dalam Millenium Report kepada Sidang Umum

PBB bulan April 2000, Sekretaris Jenderal Koffi Annan menyatakan bahwa :

Kita tidak mungkin merumuskan kebijakan lingkungan yang efektif bila tidak didasarkan pada informasi ilmiah. Walaupun telah banyak diperoleh kemajuan dalam pengumpulan data di berbagai lokasi, masih saja terdapat berbagai kesenjangan. Selama ini belum pernah dilakukan

penilaian secara lengkap pada skala global terhadap ekosistem penting di dunia. Dengan demikian, maka Millenium Ecosystem Assessment merupakan suatu tindakan nyata untuk menutupi kesenjangan ini, sekaligus merupakan suatu upaya kerjasama internasional untuk memetakan kesehatan planet kita.

Millenium Ecosystem Assessment (MA) dibentuk dengan melibatkan pihak

pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan ilmuwan untuk mendapatkan penilaian yang terintegrasi terhadap perubahan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, serta untuk menganalisa pilihan-pilihan yang tersedia guna meningkatkan fungsi ekosistem agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia (Kehati, 2001).

2.4.1 Kerangka Konseptual Keterkaitan Kemiskinan dan Lingkungan

Sejak tahuan 1970-an, telah banyak pihak yang menyepakati bahwa kemiskinan dan penurunan kualitas lingkungan memiliki hubungan yang sangat kuat. Komisi Dunia untuk lingkungan dan pembangunan (Komisi Bruntland) menulis (1987) :

Banyak pihak di dunia yang terjebak dalam penurunan sirkular berkepanjangan. Orang miskin terpaksa mengambil manfaat dari sumber daya alam secara berlebihan agar bisa bertahan hidup, dan pengabaian mereka terhadap lingkungan pada akhirnya mengabaikan mereka, hingga pada akhirnya kemampuan mereka untuk bertahan hidup menjadi semakin sulit dan tidak pasti.

Dampak dari adanya tumpang tindih antara pertumbuhan populasi dan marginalisasi ekonomi bagi kelompok miskin serta menurunnya kualitas lingkungan telah mendorong keyakinan bahwa komunitas miskin akan merasakan penurunan jangka panjang dalam menghadapi perubahan ekonomi dan demografi (Durning, 1989 ; Grepperud, 1997) dalam Lubis (2005).

Keterkaitan antara kemiskinan dan lingkungan bukan hanya terkait masalah populasi penduduk dan ekonomi, namun lebih komplek dari itu. Forsyth, et.al. (1998) melihat terdapat interaksi dari perubahan biofisika lingkungan,

keberagaman persepsi lokal dalam menilai lingkungan dan tanggapan lembaga lokal atas perubahan sumber daya alam yang ada.

Jewson dan MacGregor (1997) memahami dimensi lingkungan dalam dua konteks yang berbeda. Pertama, konteks lingkungan sebagai ruang fisik tempat interaksi berbagai mahluk di muka bumi ini (Physical spatial context) dan konteks

lingkungan sebagai wujud interaksi antar manusia (social context).

Kenyataannya, kegiatan manusia secara umum telah banyak mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup serius (Mascarenhas, 1994).

Dalam banyak kasus, degradasi lingkungan mengakibatkan dampak yang kronis bagi masyarakat miskin. Komunitas miskin umumnya hidup dalam kondisi lingkungan yang sangat buruk : tidak ada air bersih untuk dikonsumsi, tidak tersedia infrastruktur pembuangan sampah dan limbah cair, tidak tersedianya akses jalan yang memadai, terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan (Hukka, et.al, 1991). Pemandangan seperti itu terjadi juga di berbagai tempat di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia.

Di berbagai tempat di negara berkembang, kehidupan masyarakatnya sendiri terancam karena air bersih kurang, kesehatan lingkungan tidak memadai, rumah penuh sesak, penyakit, wabah dan bencana alam (Ul Haq, 1983). Kondisi kerusakan lingkungan dan kemiskinan seperti ini, menghadapkan negara sedang berkembang pada pilihan antara pembangunan dan melindungi lingkungan. Ada dua jensi pilihan yang dihadapi negara sedang berkembang : Pertama, masyarakat dihadapkan pada pilihan bila sumber daya alam tertentu atau lingkungan terancam rusak akibat kebijaksanaan mengejar pertumbuhan ekonomi. Pilihan kedua, menyangkut pilihan antara memenuhi kebutuhan pokok rakyat banyak dan menghemat sumber daya alam tertentu yang dibutuhkan untuk mutu kehidupan.

Keterkaitan antara kemiskinan dan isu lingkungan pada hakekatnya merupakan sebuah siklus yang sangat komplek. Bank Dunia (1994) mengidentifikasi tiga keterkaitan utama antara degradasi lingkungan dan dampaknya bagi masyarakat miskin, yaitu :

1) Kesehatan lingkungan (Environmental health) : masyarakat miskin sangat menderita jika air, udara dan tanah, dimana mereka hidup mengalami polusi

2) Sumber penghidupan (Livelihoods) : masyarakat miskin cenderung untuk tergantung secara langsung pada sumber daya alam, sehingga jika tanah, vegatasi dan sumber air terdegradasi maka masyarakat miskin akan merasakan dampak yang signifikan

3) Kerentanan (Vulnerability) : masyarakat miskin seringkali bersinggungan dengan bahaya lingkungan dan tidak mampu mengatasi kejadian tersebut. Pengukuran kesejahteraan terkait dengan penggunaan tanah/lahan dalam suatu populasi masyarakat. Selain itu, ketergantungan masyarakat terhadap suatu sumberdaya sangat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menipisnya sumberdaya dalam suatu ekosistem seperti ekosistem pesisir, berakibat pada menurunnya produksi masyarakat, menurunnya pendapatan masyarakat dan tentunya pola konsumsi masyarakat juga akan berkurang. Pada gilirannya kesejahteraan masyarakat akan semakin menurun. Menipisnya sumberdaya dapat disebabkan adanya ekploitasi berlebih tanpa melihat kapasitas ekosistem untuk pulih kembali dan terus memproduksi. Kemampuan ekosistem untuk menampung pemanfaatan tanpa mengurangi produktifitasnya disebut sebagai daya dukung. Manik (2003) melihat bahwa daya dukung sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat dimana terdapat ketergantungan tinggi masyarakat tersebut terhadap sumberdaya ekosistem yang berada di lingkungannya. Seperti contoh daya dukung untuk populasi manusia pada hakekatnya adalah jumlah individu dalam keadaan sejahtera yang dapat didukung oleh suatu satuan sumberdaya dan lingkungan, tanpa terjadi pencemaran dan kerusakan pada sumberdaya dan lingkungan itu. McCall (1995) mengemukakan bahwa daya dukung merupakan alat untuk analisis penggunaan tanah dan data populasi yang sistematis.

Dalam penelitian daya dukung lingkungan, paling tidak terdapat dua variabel pokok yang perlu diketahui untuk melakukan analisis (Riyadi et.al., 2005) yaitu : (1) potensi lahan yang tersedia termasuk luas lahan, dan (2) jumlah penduduk. Seluruh aktivitas manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup selalu membutuhkan ruang, sehingga ketersediaan lahan sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas manusia. Demikian juga, besarnya jumlah penduduk dalam suatau wilayah (ruang) akan sangat menentukan kemampuan wilayah tersebut

untuk mendukung penduduknya, sehingga memperoleh suatu standar hidup yang layak.

2.5 Pendekatan Ekonomi Politik dan Kelembagaan