• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, yaitu sebuah lingkungan pemungkiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2001). Sementara dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan didifinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Berbicara masalah kesejahteraan nelayan, pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan persoalan kemiskinan nelayan itu sendiri. Pakpahan et al. (1995) mengemukakan bahwa kemiskinan adalah masalah yang bersifat kompleks dan multi dimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun struktural. Namun demikian, dalam teori Maslow dikemukakan bahwa manusia pada umumnya secara sadar maupun tidak didalam hidupnya akan selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang bersifat berjenjang (Hermanto et al., 1995). Dalam hal ini setelah satu jenjang kebutuhan terpenuhi, maka manusia akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang berada pada jenjang diatasnya. Jenjang kebutuhan dasar manusia dimaksud ada 7 (tujuh) macam, yang disusun secara berurutan dari yang paling bawah ke atas sebagai berikut :

(1) Kebutuhan fisiologis.

(2) Kebutuhan akan rasa aman dalam arti luas, yaitu selain kebutuhan rasa aman secara fisik juga kebutuhan akan rasa keyakinan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya pada masa yang akan datang.

(3) Kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki dan rasa kasih sayang, dimana salah satu penjelasannya adalah keadaan dimengerti dan diterima dengan sepenuh hati oleh pihak lain.

(5) Kebutuhan akan aktualisasi diri.

(6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami sesuatu. (7) Kebutuhan akan estetika atau keindahan.

Dalam memenuhi kebutuhannya, sering kali manusia terjebak pada budaya yang bersifat bertahan hidup dalam satu jenjang saja. Kondisi ini, menurut Horton (1985) mengakibatkan kemiskinan menjadi kultur dalam proses sosial. Apabila proses kemajuan dilihat dari hadirnya keinginan/kebutuhan untuk maju, Mc Clelland (1987) melihat bahwa bangsa-bangsa yang kurang maju bila dibandingkan dengan bangsa yang maju, umumnya tingkat kebutuhan untuk maju secara relatif adalah lebih rendah. Seperti diketahui bahwa secara umum setiap komunitas akan selalu memiliki unsur kebutuhan untuk berkumpul/berkelompok (need of affiliation) dan kebutuhan untuk maju (need of achievement). Dalam kasus kemiskinan sebagai kultur, secara hipotesis dapat dikatakan bahwa need of affiliation adalah lebih besar dari pada need of achievement, sehingga dalam kasus tersebut upaya peningkatan kesejahteraan yang berorientasi pada need of achievement sangat diperlukan.

Lebih lanjut, Pakpahan et al. (1995) juga mengemukakan adanya 2 (dua) masalah utama yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, yaitu market failure

dan political failure. Market failure terjadi apabila sebagian besar kelompok miskin termasuk dalam angkatan kerja (labor force) memperoleh upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, pendidikan) mereka. Adapun political failure terjadi apabila struktur politik-ekonomi yang ada telah menyebabkan terjadinya distorsi dalam penyampaian kepentingan kelompok miskin. Kombinasi keduanya akan lebih memperparah keadaan dan lebih mempersempit ruang gerak untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Sementara Mulyadi (2005) menunjukkan adanya 4 (empat) masalah pokok yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu :

(1) Kurangnya kesempatan (lack of opportunity). (2) Rendahnya kemampuan (low of capabilities).

(3) Kurangnya jaminan (low of level-security).

(4) Keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik.

Ke empat masalah pokok diatas pada akhirnya akan menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness) dan ketidak- berdayaan (powerlessness) dalam segala bidang, yang akhirnya bermuara pada persoalan kemiskinan. Penelitian Kelompok Penelitian Agro Ekosistem (KEPAS) tahun 1987 di kawasan pantai utara Jawa mengidentifikasikan adanya 2 (dua) masalah utama yang menyebabkan daerah menjadi miskin yaitu :

(1) Sumberdaya alam seperti lahan kurang subur, daerah marjinal dan daerah kritis termasuk didalamnya perikanan laut serta lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal (rendahnya teknologi dan modal).

(2) Aksesibilitas daerah yang rendah, terutama karena sarana dan prasarana transportasi.

Agroekosistem pantai tidak saja produktivitasnya rendah, akan tetapi juga sumberdayanya amat rapuh. Oleh karena itu, diperlukan cara-cara pengelolaan tertentu, sehingga mampu meningkatkan produktivitas (jangka pendek) dan juga keberlanjutannya. Di banyak kawasan pantai misalnya, peningkatan penggunaan kapital (kapal motor dan alat tangkap) melalui program kredit murah (bersubsidi), dalam jangka pendek mungkin akan dapat meningkatkan produktivitas (kapital atau tenaga), akan tetapi kebijakan ini dapat mengguras sumberdaya ikan, sehingga pada gilirannya akan menurunkan pendapatan para nelayan yang bergantung hidupnya dari sumberdaya ikan tersebut.

Dari uraian diatas, tercermin bahwa upaya mengentaskan kemiskinan pada masyarakat perikanan (nelayan) adalah sangat kompleks. Namun demikian, Fauzi (2005) memberikan beberapa strategi kunci yang dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Strategi kunci dimaksud adalah sebagai berikut :

(1) Aspek ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat krusial, karena disilah muara persoalan kemiskinan. Dalam kaitan ini, pendugaan terhadap sumberdaya ikan nampaknya perlu untuk dipikirkan kembali. Hal ini berkaitan dengan klaim potensi sumberdaya ikan lestari (maximum sustainable yield-MSY) sebesar 6,4 juta ton per tahun saat ini, dapat menimbulkan 2 (dua) konsekuensi makro. Pertama, dengan potensi lestari sebesar itu dan produksi sekitar 4,6 juta ton pada tahun 2003, dapat menimbulkan interprestasi penggenjotan produksi. Kenyataannya, apabila dihitung dengan penangkapan ilegal (illegal fishing), penangkapan yang tidak dilaporkan (unreported catch), produk sampingan (by catch) dan hasil tangkapan perikanan subsisten, maka angka 6,4 juta ton tersebut sudah pasti akan terlewati. Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh Clark (1995), bahwa MSY mengabaikan aspek ekonomi. Konsekuensi dari ke dua hal tersebut menyebabkan program pengentasan kemiskinan belum mengenai sasaran. Oleh karena itu, lihat sumberdaya ikan dan konsekuensi ekonominya adalah kata kunci pertama dalam program pengentasan kemiskinan nelayan.

(2) Lebih tangkap secara ekonomi (economic overfishing), merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan, yang menimbulkan kemiskinan di wilayah pesisir. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian di beberapa wilayah pesisir Indonesia yang membuktikan fenomena tersebut lebih dominan dibandingkan lebih tangkap secara biologi (biological overfishing). Dengan demikian, strategi untuk mengentaskan kemiskinan kaum nelayan perlu dipikirkan secara matang. Berkaitan dengan hal tersebut diusulkan untuk dilakukannya adaptive rationalization yang merupakan hybrid dari instrumen ekonomi berdasarkan mekanisme pasar, melalui penguatan kelembagaan lokal.

(3) Apabila ditarik resultan dari persoalan siklus non simetris dan sulitnya penyesuaian terhadap productivity gain, strategi investasi yang tepat akan dapat membantu mengurangi kemiskinan di sektor perikanan. Namun demikian, harus dipahami bahwa strategi investasi di sektor perikanan adalah sangat unik, karena terkait dengan karakteristik sumberdaya ikan

yang bersifat unik juga. Strategi investasi di bidang perikanan dikenal dengan strategi 4 (empat) tahap (four-phased strategy), yaitu :

1) Tahap pertama, investasi yang masih diperlukan untuk mengembangkan infrastruktur dan sumberdaya ikan yang pada saat bersamaan dieksploitasi sampai pada titik sebelum maximum economic yield

dicapai.

2) Tahap kedua, investasi dilakukan pada saat kapital mulai terdepresiasi, dengan demikian kapital yang diinvestasikan harus dimanfaatkan secara

full capacity. Hal ini dilakukan selain untuk menghilangkan depresiasi kapital itu sendiri, juga mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan. 3) Tahap ketiga, investasi mulai dikurangi untuk meminimalkan tekanan

terhadap sumberdaya ikan. Investasi masih bisa dilakukan terhadap hal-hal yang sifatnya membangun sumberdaya ikan (stock recovery invesment).

4) Tahap keempat, ketika sumberdaya ikan (stock) mengalami recovery, penambahan investasi dapat dilakukan kembali untuk jangka panjang. Investasi tersebut meng-cover depresiasi kapital

(5) Mengingat anatomi kemiskinan nelayan terkait dengan perverse assistance

seperti halnya subsidi, maka strategi subsidi yang tepat akan mengurangi tekanan kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan akan dapat dikurangi apabila strategi subsidi dilakukan dengan mengendalikan pengelolaan masukan (input) sebagaimana seharusnya. Misalnya, program buy back

dapat dilakukan pada perikanan yang sudah over capacity, sehingga rente ekonomi dapat dibangkitkan kembali yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan nelayan dalam jangka panjang.

Disamping hal yang telah diuraikan diatas, untuk mengatasi persoalan kemiskinan pada masyarakat nelayan, adalah juga mengandung pengertian berupaya meningkatkan kesejahteraan nelayan itu sendiri. Dalam konteks usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, maka upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melalui peningkatan efisiensi usaha dan peningkatan pendapatan.

2.3.1 Efisiensi usaha penangkapan ikan

Menelaah masalah efisiensi, pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan prinsip dasar dari teori ekonomi, yaitu bagaimana menghasilkan tingkat keluaran (output) tertentu dengan menggunakan masukan (input) seminimal mungkin, atau sebaliknya bagaimana menghasilkan tingkat keluaran yang semaksimal mungkin dengan menggunakan sejumlah masukan tertentu. Apabila prinsip diatas diterapkan dalam suatu proses produksi seperti usaha penangkapan ikan, maka ini berarti kita berusaha mencapai suatu efisiensi penggunaan faktor produksi.

Menurut Saragih (1980), terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat dilakukan didalam mempelajari efisiensi suatu usaha, yaitu melalui pendekatan efisiensi harga (allocative efficiency); pendekatan efisiensi teknik (technical efficiency) dan yang terakhir adalah melalui pendekatan kombinasi antara efisiensi harga dan efisiensi teknik. Farrel (1954) yang dikutip Suyasa (1989) mengemukakan bahwa efisiensi teknik adalah mengukur tingkat keluaran yang dicapai pada tingkat penggunaan masukan tertentu, sedangkan efisiensi harga adalah mengukur keberhasilan dalam mengalokasikan masukan untuk mencapai keuntungan maksimum. Selanjutnya, kombinasi antara efisiensi teknik dan efisiensi harga menunjukkan efisiensi ekonomi suatu perusahaan.

Secara empiris hampir seluruh nelayan merupakan penerima harga (price taker), baik dalam pasar masukan (input) maupun pasar keluaran (output), sehingga daya tawar (bergaining position) nelayan di pasar sangat rendah. Denga n kondisi seperti ini, maka para nelayan cendrung mengejar efisiensi teknis didalam upaya memaksimumkan produktivitasnya. Disamping itu, secara empiris juga diketahui bahwa sekalipun nelayan mempergunakan paket teknologi yang sama, didalam melakukan kegiatan penangkapan di perairan yang sama dan pada musim yang sama, akan tetapi keragaman didalam produktivitas selalu muncul. Hal ini disebabkan oleh karena hasil yang dicapai pada dasarnya merupakan resultante bekerjanya demikian banyak faktor, baik yang dapat dikendalikan (internal) maupun yang tidak dapat dikendalikan (eksternal). Oleh karena diluar kendalinya, maka prilaku faktor eksternal dianggap tetap (given). Sementara faktor internal pada umumnya berkaitan erat dengan kapabilitas

manajerial dari usaha penangkapan ikan yang dilakukan. Faktor ini meliputi penguasaan teknologi penangkapan ikan dan penanganan hasil tangkapan serta kemampuan nelayan didalam mengakumulasikan serta mengolah informasi yang relevan, sehingga pengambilan keputusan yang dilakukannya menjadi tepat.

2.3.2 Pendapatan nelayan

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa kebijakan pembangunan perikanan khususnya perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hal ini hanya mungkin tercapai apabila pendapatan mereka dapat ditingkatkan, karena dengan meningkatnya pendapatan, mereka dapat memenuhi kebutuhannya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Sementara disisi lain, kegiatan pembangunan perikanan baik langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat menyentuh dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Oleh karena itu disamping aspek pertumbuhan, maka aspek pemerataan dalam menikmati hasil merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan.

Dalam setiap kegiatan ekonomi termasuk usaha penangkapan ikan, pengusaha atau nelayan akan selalu berpikir bagaimana mengalokasikan input produksi yang dimiliki se-efisien mungkin, untuk menghasilkan produksi yang maksimum (Soekartawi, 2003). Cara berpikir demikian adalah wajar, karena pengusaha atau nelayan selalu berupaya memaksimumkan keuntungan yang dalam konsep ekonomi dikenal dengan pendekatan memaksimumkan keuntungan (profit maximization). Disisi lain, pada saat pengusaha atau nelayan berhadapan dengan keterbatasan biaya, konsep diatas akan tetap dijalankan melalui pendekatan meminimumkan biaya (cost minimization).

Kedua pendekatan diatas pada dasarnya serupa tetapi tidak sama, dimana ketidaksamaannya terletak pada sifat pengusaha atau nelayan bersangkutan. Bagi pengusaha atau nelayan besar, prinsip yang dijalankan sering kali berkaitan dengan bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, melalui pendekatan memaksimumkan keuntungan. Hal ini disebabkan karena pengusaha atau nelayan besar umumnya tidak terlalu dihadapkan pada keterbatasan pembiayaan. Sebaliknya bagi pengusaha atau nelayan kecil, tindakannya

cenderung berkaitan dengan bagaimana memperoleh keuntungan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.

Pendapatan sebagai salah satu bentuk hasil pembangunan seringkali terdistribusi secara tidak adil diantara orang-orang yang terlibat didalam penciptaan pendapatan tersebut. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh sistem yang berkembang dimasyarakat, dan ini pada akhirnya akan menghasilkan ketimpangan didalam distribusi pendapatan. Disamping itu, juga disadari bahwa selama ini nelayan belum sepenuhnya menikmati nilai tambah dari pemanfaatan potensi ikan dan produksi perikanan yang ada. Hasil dari perhit ungan rata-rata di 10 propinsi yang dilakukan oleh Coral Reef Rehabilitation and Management Program

(COREMAP), ternyata pendapatan nelayan berkisar Rp 82.500 sampai dengan Rp 225.000 per bulan (Mulyadi, 2005). Jumlah tersebut jauh dibawah nilai Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketergantungan pada iklim dan lingkungan menyebabkan pendapatan nelayan di setiap daerah menjadi berbeda-beda. Bahkan dari hasil penelitian PPLH-IPB tahun 1996 diketahui bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian Barat lebih rendah lagi, yaitu berkisar antara Rp 210.540 – Rp 643.510 per tahun atau sekitar Rp 17.545 – Rp 53.626 per bulan. Pendapatan nelayan ini diperkirakan akan menjadi lebih kecil lagi dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga input lainnya. Hal ini disebabkan karena meningkatnya biaya operasional dibandingkan sebelumnya, sementara karena pangsa pasar nelayan tradisional ini masih berpusat di dalam negeri, harga yang diterima juga relatif stabil.