• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesenian didong adalah salah satu sarana untuk menyalurkan ketegangan hubungan tadi sehingga tercapai keseimbangan antara

mereka anggauta

klen

itu. Dalam rangka perkawinan di masa lalu,

pertandingan

didong

yang diadakan adalah antara group dari

klen

yang berbeda, misalnya antara group dari

klen

laki-laki dan group

dari

klen

perempuan. Keunggulan group dari satu

klen

dirasakan

. mewakili keseluruhan harga diri anggQta klennya. Pada masa

an ketika klen sudah kurang berfungsi di berbagai kampung, per­

tandingan didong itu adalah antara group yang mewakili kampung

dengan group dari kampung yang lain. Pertandingan dianggap meriah

apabila kampung itu berasal dari moiety yang berbeda.

Masyarakat Gayo Lut, di mana kesenian didong merupakan ke­

senian yang cukup digemari, seolah terbagi ke dalam dua belahan masyarakat, yang diperkirakan sama dengan perwujudan suatu

moiety. Moiety yang satu biasanya disebut Bukit dan moiety yang

lain disebut Cik .. Kedua moiety mewakili beberapa kampung dan

masing-masing mempunyai sejumlah group didong (Melalatoa,

1971 a : hal. 91 - 1

00).

Kedua belahan masyarakat itu ditandai oleh adanya konflik terselubung. Konflik terselubung ini mem­ pengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, misalnya politik, ekonomi, pendidika·n, olah raga, rekreasi, kesenian dan lain-lain.

Sentimen kemasyarakatan yang hidup dan tumbuh secara tra­ disional itu, mendapat penyaluran melalui berbagai bentuk per­ mainan, seperti kesenian - terutama kesenian didong -, olah raga, pacuan kuda (rekreasi) dan lain-lain. Dalam pertandingan sepak bola akan dirasakan sangat menarik apabila kesebelasan dari kampung yang berasal dari moiety tertentu bertandingan dengan kesebelasan dari kampung yang berasal dari moiety lainnya. Kami ambil contoh, dari satu moiety ada · kesebelasan yang bernama "Gempur," sedang dari moiety lain ada kesebelasan bernama "Belalang." Keada­ an kesebellisan itu digambarkan dalam didong, ketika group didong

yang sekampung dengan "Belalang" bertanding dengan group didong yang sekampung dengan "Gempur." Kita bisa mendengar puisi

didong sehubungan dengan hal ini :

Menang ni "Belalang" kilek musempur Kalah ni "Gempur" tipak selalu

Dalam bait puisi group Kabinet Baru, dari tahun 1955 ini,

digambarkan bahwa kemenangan-kemenangan "Belalang" karena taktik permainan yang baik, sedangkan kekalahan "Gempur" karena tendangan-tendangan yang lugu saja. Ini tentunya sekedar pernyata­ an dalam didong saja, padahal tentunya "Gempur" tidak selalu kalah dalam berbagai pertandingan yang dilakukannya. Tentu saja puisi tadi akan dibalas oleh group lawannya dalam pertandingan tersebut dengan caranya tersendiri pula.

Pa'\uan kuda adalah salah satu penyaluran akan kebutuhan rekreasi �agi rakyat yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Kuda yang ratusan jumlahnya dipertandingkan selama tujuh hari, datang · dari berbagai kampung a tau moiety. Situasi pertandingan dan keadaan kuda-kuda yang dipacu, oleh para seniman didong

diangkat ke dalam puisi-puisi didong mereka. Kuda yang berasal dari kampung · a tau moiety group didong tertentu dipuji-puji dan kuda pihak lain dilecehkan dengan bermacam-macam perumpamaan. Melecehkan kuda tertentu itu sudah berarti melecehkan pihak lawan dalam pertandingan didong tadi. Namun caranya tetap berpegang kepada pedoman adi bermemulo seperti telah dikemukakan di atas. Keadaan di atas ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh seorang ahli antropologi terkemuka, bahwa adanya dua pembagian atau belahan dalam masyarakat atau kommunitas biasanya menye­ babkan adanya pertentangan satu dengan yang lain dan juga sering adanya hubunga� saling membutuhkan secara timbal balik dalam ber­ bagaai aktivitas lain (Murdock,

1949

: hal.

90).

Menurut pendapat seorang Ceh terkemuka, yang kini sudah

berusia

70

tahun, bernama Muhammad Basir alias Lakkiki, didong

itu ada send a gurau 'berakah'. Apa yang menjadi sentilan terhadap

lawan dalam puisi didong adalah "senda gurau." Oleh sebab itu, berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun, ia tidak pernah merasa marah kepada lawannya betapa pun tajamnya sentilan itu. "Sentilan itu tidak pernah saya bawa ke rumah yang menyebabkan kepala jadi pusing. Setelah didong itu selesai maka persoalan pun selesai," kata Lakkiki. "Apabila di luar pertandingan itu bertemu

dengan Ceh lawan, kami biasa rangkul-rangkulan dan bersenda gurau

lagi," tambahnya. Dalam satu forum diskusi didong di Jakarta

tahun

1982,

Ceh Abd. Rauf mengatakan bahwa : "kalah atau

menang dalam pertandingan, saya selalu merasa puas."

Di luar apa yang dikemukakan Lakkiki di atas, memang sudah

menjadi aturan dalam pertandingan didong, bahwa pada ronde penutup menjelang pagi hari, ada satu ronde yang disebut didong gabung. Pada ronde ini kedua group duduk bercampur aduk dalam satu lingkaran. Masing-masing Ceh mengumandangkan satu atau dua buah lagu atas nama groupnya. Dalam puisinya biasanya mereka mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas keterlanjuran kata-kata sejak sore harinya. Mereka saling minta maaf. Setelah itu mereka intim kembali. Soalnya segala perasaan ketegangan selama ini telah tersalurkan semuanya.

Sebenamya dengan keadaan seperti di.kemukakan di atas ang­ gauta masyarakat Gayo harus merasa beruntung, karena semua itu merupakan sebagai suatu daya pendorong untuk maju karena sifat kompetitifnya. Dilihat dari segi

didong

sendiri, sifat kompetisi itu telah mendorong lahirnya puluhan ribu bait puisi dari Ifiasa ke masa.

4. Kritik Sosial.

Kesenian didong merupakan satu kesenian yang sifat utamanya adalah melancarkan kritik-kritik, terutama terhadap lawan bertan­ ding. Seluruh kegiatan permainan

didong

itu dijiwai oleh sifat tersebut. Di luar sasaran itu, lawan bertanding, sesungguhnya mereka cukup terlatih dalam mengamati lingkungan sosialnya, baik lingkung­ an sendiri maupun lingkungan sosial dari mana pihak lawannya berasal. Mereka melihat perkembangan masyarakatnya, termasuk kelemahan, kepincangan, kelambanan, kelancangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal itu bukan sekedar me"reka amati, tetapi mereka pelajari dan mereka analisa. Hasil analisa itu kemudian mereka lemparkan kembali ke tengah masyarakat dalam bentuk kritik-kritikan, yan

g

tentunya dengan harapan agar semua bisa men­

jadi lebih baik.

Mereka melihat bahwa anggota-anggota masyarakat telah mulai meninggalkan nilai-budaya mereka sendiri, dan merangkul sesuatu yang datang dari luar yang belum tentu cocok bahkan ada yang menodai kehidupan mereka. Masalah atau tema semacam ini kemudian mereka angkat dan mereka patrikan ke dalam puisi­ puisi

didong

mereka, misalnya dalam puisi Pakat dari Kebinet Mude,

puisi Sedenge dari group Timang Rasa. Penyair Sali

Gobal dalam puisinya

Empus Ume

melihat bagaimana meraja-lelanya sistem ijon yang menjerat kehidupan petani baik petani sawah maupun petani ladang. Hal itu terdengar dalam bait-bait puisinya antara lain ber­ bunyi:

raom nyanya ara berbuet sediken kona ku raom lipet