• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tun onom lime pengalaman te pait, sengit Ari pengaruh ni DN Ai dit

Sukamo musepit dabuh munyimpang Cerak si kulangit muserit ku Jepang Negaran te kun de tat si sengit Pitu jenderal nge cahit

I Lubang Buaya berimpit Buet ni jema gere betuhit Rencanae gunti bibit Sampe telongne mesegit

Kati en ti ne semiang Rayat bengis gere terelit Mubulit ku Totor /lang

Terjemahan:

(Tahun enam lima pengalaman pahit, sengit Karena pengaruh DN Aidit

Sukarno terjepit lalu menyimpang Kata melangit menjerat dirinya Negara di kup, sengit

Tujuh jenderal telah syahid Di Lubang Buaya berhimpit Kerja orang tak bertauhid Rencananya ganti bibit Dibakarnya mesjid

Agar tidak lagi sem bah yang Rakyat murka tak terhempang Terbalun di Totor liang)

Akhirnya digambarkan pula bagaimana perjuangan mengisi kemerde­ kaan sampai kepada masa Orde Baru dengan Pelita-nya. Kepada para pemimpin mereka bertembang :

Pemimpin o pemimpinku si mah u/u

Kao kayu rubu iyup ni kuyu enti mulingang Pemimpin o pemimpinku si mah ulu

Kao Orde Baru bersatu Maruke Sabang

Terjemahan :

(Pemimpin o, pemimpinku kau panduku Pohon rindang tak bergoyang di antara badai Pemimpin o, pemimpinku kau panduku Orde Baru bersatu Merauke Sa bang).

1 5)

Pada puisi didong di atas ini jelas sekali bahwa sang seniman

didong pun mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah yang

bersifat politik. Kecenderungan isi puisi semacam ini akan kita jumpai dalam puisi-puisi lain dari penyair-penyair lainnya, dan dari group yang berbeda. Pengamatan dan pembahasan masalah politik itu ada yang terbatas pada skop lokal dan tidak sedikit mengungkap tema politik pada skop nasional. Satu dua puisi lain tampak mereka sampai menjangkau negara-negara lain tampak mereka sampai men­ jangkau negara-negara lain seperti Jepang, Amerika dan lain-lain, yang mereka jadikan bahan banding (Melalatoa, 1979 : hal. 39 ).

Pada tangga1 6 Pebruari 1982 te1ah ber1angsung pertandingan didong semalam suntuk di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pertandingan ini adalah antara dua group terkenal yang di­ undang dari Gayo, Aceh Tengah, yaitu group Timang Rasa dan group Teruna Jaya. Pertandingan yang berlangsung dengan lima belas ronde, termasuk sekali ronde gabungan, ada orang yang menjuluki­ nya dengan "tinju sastra" yang unik. Selama pertandingan ini ada pengamat yang te1ah mencatat dan menu1is masalah-masalah yang diungkap oleh para Ceh pada malam tersebut. Selain puisi-puisi yang isinya menyerang lawan, banyak pula masalah-masalah lain, seperti ten tang Pancasila, peranan wan ita, pelestarian alam, p endidikan, kesehatan, pungli, koperasi, pahlawan bangsa, peranan menteri­ menteri dalam kabinet pembangunan III dan lain-lain (Kiteso, 1982).

Pada puisi-puisi dengan masalah-masalah tersebut di atas di antaranya ada yang bernada politis, tetapi ada pula yang bersifat

penerangan kepada penontonnya. Di daerahnya para penontonnya

sebagian besar merupakan rakyat desa, sebagai petani, ada yang buta aksara serta tidak memiliki alat-alat komunikasi massa seperti radio,

surat kabar, t.v. dan lain-lainnya. Itulah sebabnya para Ceh

memerlu-kan memilih tema-tema yang pantas untuk diterangmemerlu-kan kepada anggota masyarakat penontonnya.

Dalam puisi didong pelestarian alam tersebut di atas, para

Ceh memberikan pengetahuan kepada masyarakatnya tentang apa

gunanya me1estarikan alam. Mereka juga menyampaikan bagaimana bahaya akibat kerukan alarp yang sering dilakukan oleh anggauta masyarakat itu sendiri, dengan penebangan hutan yang tanpa per-· hitungan, demi kepentingan pribadi, demi kepentingan hidup hari ini tanpa perhitungan bahaya di masa depan. Akibatnya masyarakat umum dan negara dirugikan. Pelestarian alam ini kini sudah menjadi program pemerintah yang 1angsung dipimpin o1eh seorang menteri dan harus diperhatikan dan dipatuhi. Akhirnya Ceh ini menyeru­ kan : "Lestarikan a1am, 1estarikan alam!" Semua ini te1ah diungkap­ kan dan ditembangkan oleh group Teruna Jaya dan Timang Rasa dalam malam pertandingan tersebut (Lihat lampiran puisi Teruna Jaya).

Jauh sebelum pemerintah mengga1akkan program pelestarian lingkungan hidup ini, di awal tahun 1960-an, penyair Sali Goba1 dari Group Kemara Bujang telah mengumandangkan masalah yang amat penting ini da1am puisinya yang beJjudul Rebe (Goba1, 1971 : hal. 13- 14).

Da1am puisi itu Goba1 mengungkapkan bagaimana orang-orang dari kampung dengan mata pencaharian sawah, pindah ke daerah perbukitan menebang hutan untuk perladangan kopi. Pada saat itu memang harga kopi melambung tinggi, sehingga orang-orang itu seperti beringasan menebang hutan diiringi suasana seperti penuh sorak sorai di hati mereka. Penebangan itu semakin ramai dan tak henti-hentinya, sehingga sampai ke puncak-puncak gunung itu bumi sudah berada di bawah telapak kaki mereka. Kemudian kebun­ kebun kopi itu menghasilkan. dan akibatnya anak-anak saja mem­ punyai banyak uang hanya dengan mengutip dan menjual buah kopi yang luruh saja.

Di sebalik itu rupanya hati penyair Gobal ini seakan tersayat. Dengan punahnya hutan-hutan tadi Gobal tidak pemah lagi men­ dengar suara burung-burung berkicau, tiada lagi mendengar lantunan dayu suara imo yang biasanya bertalu-talu. Suara-suara imo dan

· kicauan burung-burung selama ini begitu menyejukkan hati sang pe­ nyair ini. Tetapi kemudian setelah hutan ditebang lapang imo semakin menjauh, dan dari kejauhan suaranya terdengar · parau. Keadaan itu dipatrikan Sali Gobal pada salah �tu bait puisinya sebagai berikut :

jarak lungun nge Iaing ni imo