• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesenian untuk Hidup Bermasyarakat

LAHIR, HIDUP DAN MATI DI HUTAN

3.7. Kesenian untuk Hidup Bermasyarakat

Token Tifa sebagai Sarana Komunikasi Politik dalam Masyarakat. Token tifa berarti memukul tifa. Tifa adalah alat musik khas Papua. Alat itu seperti gendang dalam masyarakat Indonesia Bagian Barat dengan penutup kulit di depan dan di belakang. Acara token tifa tidak berarti hanya pada saat itu tifa dipukul. Acara ini merupakan bagian dari upacara adat yang diselenggarakan dalam waktu-waktu tertentu. Pada saat di lapangan, ketika ibu Efanda meninggal, telah terjadi kekacauan hubungan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki karena keluarga perempuan menuntut denda atas perlakuan yang dinilai

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

kurang baik selama hidupnya. Pada acara doa malam penghiburan, Bapak Martin Vet selaku kepala Etnik umum me-nyampaikan acara adat malam berikutnya. Acara itu dilakukan untuk rangka mendamaikan seluruh masyarakat dengan meng-ingat kembali sejarah orang-orang Mairasi.

Karena berkaitan keharmonisan masyarakat kampung Wombu, maka penyelenggaranya adalah Kepala Kampung Wombu/Wosimo (Bapak Noah Urio). Tempat diselenggarakan upacara adat itu di rumah Bapak Noah. Sore hari menjelang acara tersebut, kampung Wombu mendapat tamu dari BPS Pusat dalam rangka Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Indeks Kebahagiaan. Pukul 8 malam ketiga petugas BPS tersebut menghadap ke Bapak Noah untuk menyampaikan maksud kegiatan survei. Setelah itu, Bapak Noah membuka acara adat

token tifa dengan didahului doa dari majelis jemaat gereja dan

kemudian disusul penyampaian berbagai kegiatan, salah satunya adalah survei. Menjelang tengah malam Bapak Martin Vet menyampaikan renungan tentang sejarah orang-orang Mairasi dan apa yang dihadapi pada masa mendatang, terutama terkait pemilihan bupati. Ia juga mengatakan ada beberapa calon yang telah menghadap dan menyampaikan visinya. Salah satunya ikut menyandang dana.

Setelah itu, mereka membunyikan tifa diiringi dengan nyanyian yang berisi tentang sejarah Mairasi dan hal-hal lain yang menjadi keprihatian Etnik Mairasi. Tifa dibunyikan hingga pagi hari. Ada dua pola dalam membunyikan tifa. Pola pertama adalah duduk. Orang duduk melingkar dan salah satunya memukul tifa sambil bernyanyi. Nyanyian diikuti oleh para tamu lainnya. Atau, pola kedua berdiri sambil menari berputar. Kaum laki-laki di depan dan diikuti kaum perempuan. Di bagian depan pemukul tifa sambil bernyanyi. Pemukul tifa biasanya adalah Kepala Kampung atau Kepala Etnik Umum. Isi lagunya antara lain:

…eee… awu weneye ora waru oke… (Kuri lihat teluk Wondama…)

...eee.. wabuna etnane wuna etsaro woke… (Moyang tinggalkan kami. Kami yatim piatu. Menunggu saat kembali)

Gambar 3.40.

Gerak Tarian Token Tifa yang diperagakan oleh Bapak Lukas Urio (Kepala Etnik Wombu)

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada saat dilakukan token tifa, lampu kampung dimati-kan. Alasan sederhana, kalau tidak mau hadir, sebaiknya tinggal di rumah dan tidur. Memang benar, tidak semua orang hadir dalam acara ini. Salah satu di antaranya karena faktor kelelahan. Sehari sebelumnya, pada malam penghiburan mereka telah menyanyi lagu rohani semalam suntuk. Bapak Dakar Torembi dan Bapak Pairai tidak hadir. Mereka memilih untuk tidur di rumah. Mereka biasanya hadir dalam acara tersebut, meskipun belum tentu tahu artinya. Mereka berasal dari Etnik Wamesa (Torembi) dan Etnik Serui (Pairai) yang menikah dengan perempuan Wombu.

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

Tidak sekedar Menghias Peti Mati dan Makam, tetapi juga Meratap sebagai Bentuk Rasa Sayang.

Menjadi cukup mudah memahami mengapa unsur budaya universal sistem kepercayaan digabung dengan kesenian bila memperhatikan sejarah asal usul sistem kepercayaan (religi). Dalam kajian prasejarah (prehistory), kita ditunjukkan bagaimana seni lukis menjadi bagian dari ritual berburu suatu masyarakat kuno, seperti lukisan pada dinding gua prasejarah di Perancis Selatan, begitu pula dengan gua-gua di Sulawesi Selatan dan ceruk-ceruk di Kabupaten Raja Ampat. Artinya, seni lukis digunakan sebagai media dalam ritual, apakah sebagai bagian dari magi atau religi. Gambaran ini juga ditemui pada masyarakat Mairasi di Kabupaten Teluk Wondama terkait dengan upacara ke-matian.

Kesenian yang nampak dalam kematian diawali dengan menghias peti mati. Bila waktunya tidak mendesak, mereka menghias dengan indah sekali, seperti pada peti mati Ibu Efanda. Setelah digergaji dengan mesin potong (chinsaw) dari pohon di sekitar kampung, papan dibungkus kain hitam. Kain hitam itu melambangkan perkabungan. Oleh karena itu, secarik kain juga dipasang di pinggir jalan, tepat di depan rumah sebagai penanda ada tanda duka dan orang yang lewat harus menjaga ketenangan sebagai bentuk turut belasungkawa. “Warna itu tanda duka

untuk Kita yang Kristen. Kalau Islam, putih seperti di Wasior.”

Setelah ditutup dengan kain hitam, maka sejumlah laki-laki dewasa menghias dengan sulaman benang warna yang putih. Sulaman itu berbentuk belah ketupat di samping kiri dan kanan. Di penutupnya, mereka menyulam gambar salib berikut sinarnya berkatnya. Sementara itu, ibu-ibu membuat rangkaian bunga yang dibentuk seperti salib. Bunga-bunga diambil dari hutan di sekitar kampung.

Cara yang paling sederhana adalah menutup peti mati dengn kain sarung atau kain baik. Hal itu dilakukan pada peti mati Teis Urio (4 tahun). Karena yang meninggal adalah anak usia balita yang dianggap tidak berdosa dan jarak waktu antara kematian dan pemakamannya sangat pendek, maka orangtuanya dan Alex Urio memutuskan hanya membungkus peti mati dengan kain sarung dan kain batik pada penutupnya (gambar 46.b). Kain yang digunakan adalah simpanan orangtua (ibunya) yang dibawa dari rumahnya di km8. Kain itu tidak pernah digunakan dan paling mahal menurut keluarganya. Warnanya sangat terang. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan pada anak tersebut.

Gambar 3.41.

Seni Hias pada Peti Jenasah. Perhatikan peti jenasah Ibu Efanda (a) dan penutup peti Teis Urio (b)

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kematian merupakan bagian dari berkat-Nya yang telah digariskan. Ayah dan adiknya hanya duduk di samping jenazah yang terbaring di dalam peti mulai pagi hingga saat dimakamkan. Ibunya bersama perempuan kerabat lainnya membuat rangkaian

(b) (a)

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

bunga dan memasak untuk peziarah setelah pulang dari makam. Sesekali ibunya bercerita bagaimana ia tidak terlalu merepotkan keluarga selama hidupnya dan bagaimana hari-hari terakhirnya. Sesekali terdengar senda-gurau ketika para perempuan salah melakukan sesuatu. Tidak ada kesedihan yang sangat mendalam pada kasus Teis Urio, bahkan besoknya keluarga sudah kembali ke rumahnya dengan menumpang truk Pakde.

Hal itu sangat berbeda dengan Ibu Efanda. Pagi hari pukul 6 ada 2 (dua) rumah terdengar meratap dengan begitu keras, yaitu di rumah duka dan rumah kepala Etnik umum (Martin Vet). Jangan dibayangkan ratapan itu orang menangis, tetapi mereka melantunkan lagu dengan ritme yang konstan. Isi lagunya dibuat secara improvisasi oleh pelantunnya. Kalau dalam budaya modern, lantunan lagu ratapan seperti lantunan seorang rapper. Isinya kurang lebih tentang kebaikan-kebaikan Ibu Efanda selama hidupnya

...Ibu Efanda yang mau menerima kitiong di dalam rumahnya dulu ketika harus pergi ke Wasior dari kampung...

...Kitiong berdosa. Kitiong belum balas dia punya kebaikan....

...Mengapa sekarang harus tinggalkan kitiong.... (dalam bahasa Mairasi)

Di rumahnya, Bapak Martin Vet duduk di kursi plastik dengan meja di depannya. Di atas meja ada segelas air susu dan teko plastik berisi air. Tangannya diletakkan di dahi, sementara itu kedua istrinya (Konstanvina Urio dan Wilhelmina Aruba) beserta istri Kiwas dan keponakan duduk bersila di lantai. Kiwas sendiri sibuk menjaga anak-anak. Mereka meratap dengan lantunan yang saling bergantian. Lantunan menyayat hati itu terdengar hingga puluhan meter dari tempat tinggalnya.

Gambar 3.42.

Meratapi Ibu Efanda. Martin Vet dan Wihelmina Aruba di rumahnya Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ketika ditanyakan kepada Bapak Martin Vet dan Bapak Lukas Urio mengapa ratapan itu tidak dilakukan pada saat kematian Theis Urio. Ratapan ini dilakukan karena ikatan emo-sional yang terjalin antara almarhumah dan mereka yang di-tinggalkan telah begitu mendalam. Semasa hidupnya, khususnya ketika suami Efanda masih hidup, mereka yang tinggal jauh dari Kampung Wombu, seperti Oya dan Urere, menumpang bila hendak pergi atau pulang ke/dari Wasior. Sementara itu, Theis Urio yang masih muda belum banyak berinteraksi dengan masyarakat Kampung Wombu. Ratapan ini sebagai bentuk kasih sayang dan ucapan terima kasih atas kebaikan almarhumah, sekaligus permintaan maaf karena tidak bisa membalas kebaikannya di akhir hidupnya. Bapak Gustav Torembi juga me-nambahkan bahwa tradisi ini dilakukan tidak saja pada Etnik

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

Mairasi/Toroar, tetapi juga pada orang Wamesa dan Wonda-men.8

8 Pada orang Wamesa, ratapan tidak saja sebagai penghormatan terhadap almarhum, tetapi sebagai ikatan sosial dan penghormatan terhadap mereka yang masih hidup. Apabila anggota kerabat tidak diberitahu, maka mereka mendatangi dan mendenda keluarga. Mereka merasa tidak dianggap oleh keluarga almarhum.

BAB 4