• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wasior: Beranda Tanah Perjanjian Bagi Segala Etnik

MENUJU “BAGIAN BELAKANG” RUMAH

2.2. Wasior: Beranda Tanah Perjanjian Bagi Segala Etnik

Ketika meninggalkan dari Bandara Margono menuju ke kota Wasior, kita melihat bekas-bekas banjir bandang tahun 2010 dan 2013. Letaknya tidak jauh dari bandara, ke arah Selatan, melalui Gereja Bethania, terdapat aliran sungai yang sedang dikeruk. Batu-batu ada di pinggir, baik di sebelah kiri maupun kanannya. Tidak jauh dari tempat tersebut, ada lapangan Alun-alun Wasior dengan pinggiran batu-batu sebagai batas-batasnya. Batu-batu itu ditumpuk dan diberi berbagai tulisan. Batu-batu itu merupakan sisa dari banjir bandang yang telah memakan puluhan jiwa penduduk Wasior.

Di depan lapangan Alun-alun, terdapat kantor KP3 Laut (Kantor Syahbandar) dan Kantor Pelni berikut pelabuhan besar.

Kantor-kantor ini dibangun sesudah paska banjir bandang tahun 2010. Tidak saja kantor, pemerintah membangun pelabuhan, sehingga kapal besar bisa merapat. Setelah itu, pengelola PT Pelni setempat mengusahakan kapal besar singgah (Kapal

Nusantara), yaitu: Lampobar dan Lambelu. Kapal Lampobar

memiliki rute dari Surabaya, Makasar, Sorong, Manokwari, hingga ke Nabire. Kapal ini membawa penumpang dari berbagai Etnik bangsa, mulai dari Etnik Jawa, Madura Makasar, Toraja, hingga orang-orang Madacan (Manokwari).

Hal yang serupa juga terjadi pada Kapal Lambelu. Kapal ini berangkat dari Makasar, Bau-bau (Buton), Banggai, Bitung, Ternate, Sorong, Manokwari, Wasior, Nabire, Biak dan Jayapura. Kapal ini mengangkut penumpang dari Etnik Makasar, Toraja, Buton, Menado dan sekitarnya, Ambon dan Ternate, orang-orang Sorong dan Manokwari. Dari Biak, penumpang biasanya berasal dari Etnik Biak dan Serui. Bila dari Manokwari, dua kapal ini berangkat sekali dalam dua minggu.

Keberadaan transportasi massa yang murah antar daerah ini berakibat kehadiran berbagai Etnik di Wasior. Setiap Etnik pendatang memiliki posisi sendiri dalam masyarakat. Sebagian besar orang Toraja bekerja menjadi PNS di berbagai instansi pemerintah. Bersama penduduk asli, mereka mendominasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Sebagian kecil pegawai diisi dari Etnik Makasar, Buton, Manado, dan Ambon. Mereka bermukim di Kampung Wasior dan Mangguray. Meskipun demikian, sebagian besar kepala instansinya adalah orang Papua, sebagian besar dari Etnik Wamesa/Wondamen. Salah satu di antaranya adalah Bapak Yoteni, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Wondama.

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

Gambar 2.6.

Denah Kota Wasior (dimulai dari arah Bandara Margono) Sumber: Visualisasi Peneliti

Sementara itu, orang-orang Jawa, mulai dari Surabaya, Kediri hingga Jepara, bekerja sebagai tukang ojek dan membuka warung makan. Orang Madura yang jumlahnya lebih sedikit biasanya membuka usaha potong rambut dan beberapa di antaranya menjadi tukang ojek. Orang-orang Makasar dan Buton

GEREJA BETHANI SUNGAI ANGGRIS KOMPLEK S KP3 LAUT (PELABUHAN KURI-PASEI) PELNI GPI ALUN-ALUN WASIOR SD Y PK W AS KA LA UT POLSEK PUSKESMAS PASAR SOYAR U KORAMI WARUNG JAWA Pos BA N DA RA M AR GO N O

berdagang di pasar. Oleh karena itu, tidak kaget bila menemukan orang berjualan es palu buntung dan es pisang ijo, serta sop konro. Ada perbedaan es pisang ijo antara di Jawa dan di Wasior. Di Wasior, kacang merah diganti dengan kacang telor.

Ketika memasuki Kampung Wasior hingga Kampung Mangguray, orang akan kaget. Bendera-bendera negara asing bertebaran di mana. Bendera itu ditaruh di tiang bambu yang tinggi, sehingga dari kejauhan sudah nampak terlihat. Ada dua bendera yang dominan, yaitu: merah putih biru (Belanda) dan dua warna biru mengapit warna putih berikut lambang kuning di tengahnya (Argentina). Bendera kecil itu juga dipasang di sepeda motor. Sungguh menarik! Dunia global telah masuk lewat sepak bola. Kecintaan sepakbola diawali dengan Persipura (Persatuan Sepakbola Jayapura). Tim sepak bola sudah terkenal sejak tahun 1990 hingga kini. Kecintaan itu ditandai dengan toko yang menjual atribut Persipura dan kini ditambah dengan atribut negara-negara peserta Piala Dunia Brazil 2014.

Ironi! Di balik ephoria Piala Dunia 2014, masyarakat Teluk Wondama tidak sepenuhnya menikmati tontonan itu. Betapa tidak, setelah banjir bandang tahun 2010, aliran listrik menyala bergantian setiap hari dari satu kampung ke kampung lain di Wasior dan sekitarnya. Bila ingin menyala setiap hari, maka rumahtangga harus memiliki genset dan menyediakan minyak solar atau bensin setidak-tidaknya 5 liter sehari. Harga bensin/solar adalah Rp 13.000,00. Kondisi ini tidak diprotes oleh warga karena selama ini tidak dikenakan biaya listrik. Kondisinya lebih buruk di distrik yang jauh dari Wasior, seperti Naikere karena bergantung pada genset kampung.

Bila melihat lurus dari pelabuhan Kuri Pasei ke arah alun-alun dan terus ke arah bukit, maka terlihat salib putih besar. Orang menemukan lambang-lambang salib juga di jalan dan di gapura. Hal itu seolah-olah menunjukkan bahwa agama

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

mayoritas adalah Kristen Protestan. Memang benar, bila melihat data statistik BPS bahwa pemeluk agama tersebut mencapai 80,95%. Dari ketiga belas distrik, hanya 4 Distrik, yaitu Wondiboy, Raisey, Wasior dan Teluk Duari, yang memiliki umat Kristen Protestan di bawah 90% karena sebagian besar pendatang, seperti orang Jawa, Makasar, Maluku, dan orang-orang Fak-fak yang beragama non-Kristen bermukim di tempat tersebut.

Gambar 2.7. Gegap Gempita Piala Dunia Sumber: Dokumentasi Peneliti

Bukan lambang tersebut, ada penanda yang lebih penting dan kelak memberikan arti bagi masyarakat Papua. Penanda itu berada di Bukit Altumeiri. Bukit ini berada di atas pegunungan antara Kampung Wasior dan Kampung Mangguray. Di bukit ini, ada batu besar yang ditopang oleh batu-batu kecil. Batu itu diletakkan oleh Zendeling Izaack Samuel Kijne pada tanggal 26 Oktober 1925. Di atas batu itu, sebuah natzar ditulis yang berbunyi “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang

Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat untuk memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Bappeda dan BPS

Kabupaten Teluk Wondama, 2013c: vii). Tumpukan batu peradaban ini menjadi bagian dari lambang Kabupaten Teluk Wondama.

Batu prasasti ini menjadi penanda agama Kristen masuk di Kabupaten Teluk Wondama. Dengan menggunakan konsep agama Kristen, masyarakat memaknai wilayah Kabupaten Teluk Wondama sebagai tanah perjanjian. Kata “tanah perjanjian” dapat disetarakan dengan tanah yang dijanjikan oleh Allah pada bangsa Israel oleh Yahwe (Allah). Tanah itu dipandang sebagai tanah yang subur dan berlimpah. Dengan menggunakan perumpamaan, pemerintah, sebagaimana dikatakan oleh Bapak Hugo Ramar, kepala Satpol PP, masyarakat lokal memahami alasan pendatang memilih tinggal dan bekerja di Kabupaten Teluk Wondama, sekaligus mengurangi tingkat resistensinya. Masyarakat pendatang juga memahami posisinya, sehingga menjaga perilaku kesehariannya. Pada akhirnya dalam keseharian pola interaksi antara pendatang dan masyarakat lokal menjadi tidak berjarak. Ada hubungan yang harmonis antara pendatang dan masyarakat lokal.

Etnik Mairasi, Kab. Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat