• Tidak ada hasil yang ditemukan

TIPE SEL

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa :

1. Di Teluk Jakarta terjadi bioakumulasi logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg pada gonad kerang hijau jantan dan betina, sedangkan di Teluk Banten dan Teluk Lada logam berat yang terakumulasi pada gonad hanya Pb dan Cd.

2. Dampak logam berat di Teluk Jakarta pada kerang hijau betina adalah sel-sel kelamin betina mengalami penyusutan, debris/lisis dan hilang. Sedangkan pada gonad jantan kerang hijau jumlah sel-sel spermatozoa menyusut, sehingga berpengaruh pada proses gametogenesis.

3. Bioakumulasi logam Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad kerang hijau betina mempengaruhi perkembangan sel-sel oosit sekunder, logam Cr mempengaruhi perkembangan sel-sel oogonia, dan logam Cd mempengaruhi total sel-sel kelamin betina. Dengan demikian bioakumulasi logam berat dalam gonad kerang betina mempengaruhi proses oogenesis.

4. Bioakumulasi logam berat Hg dalam gonad kerang hijau jantan mempengaruhi perkembangan sel-sel spermatogonia, dan spermatosit sekunder. Logam Cd mempengaruhi jumlah sel-sel spermatozoa dan total sel-sel kelamin jantan. Dengan demikian maka bioakumulasi logam Hg dan Cd dalam gonad kerang jantan mempengaruhi proses spermatogenesis.

5.2. Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh tunggal dari logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg terhadap jumlah sel-sel kelamin kerang hijau jantan dan betina, apakah mempengaruhi oogenesis dan spermatogenesis.

Pemerintah daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Provinsi Banten hendaknya dapat menertibkan dan meminimalkan limbah perusahaan atau buangan limbah domestik yang mengandung logam berat, sehingga keberadaan

budidaya kerang hijau dapat berkesinambungan dan dapat meningkatkan pendapatan bagi para nelayan setempat.

Gambar 19. Stadium spermatogenesis pada kerang hijau. Gambar 19. Stadium spermatogenesis pada kerang hijau. Gambar 20. Stadium oogenesis pada kerang hijau. Gambar 20. Stadium oogenesis pada kerang hijau.

Menyusut, debris, lisis, dan hilangnya sel-sel gamet menurut Ochiai (1987)

Stadium VI: Istirahat (Regresi) dimana tidak ada sel-sel gamet, jaringan insterstial

degradasi, regresi, debris dan lisis serta hilangnya sel-sel kelamin yang berupa oosit

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8

Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Gambar 24. Sel-sel kelamin jantan kerang hijau Perna viridis; A, spermatogonia; B, spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, Spermatozoa. Gambar 24. Sel-sel kelamin jantan kerang hijau Perna viridis; A, spermatogonia; B,

spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, Spermatozoa. Gambar 25. Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B; oosit Primer dan C, oosit sekunder

Gambar 25. Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B; oosit Primer dan C, oosit sekunder

Bioakumulasi logam berat dalam gonad kerang hijau

No Lokasi Lagam Betina Jantan

3 T. Jakarta Pb(ppb) 600,33 359,75

Cd (ppb) 32,273 36,559

Cr (ppb) 527,36 504,21

Hg (ppb) 0,0222 0,0092

Cd (ppb) 6,9375 13,1310 Cr (ppb) Ttd ttd Hg (ppb) Ttd ttd 5 T. Lada Pb(ppb) 18,3 ttd Cd (ppb) 6,0690 ttd Cr (ppb) Ttd ttd Hg (ppb) Ttd ttd Kadmium

The Codex Committee on Food Additive and Contaminants 0.4 mg/kg atau 0,4 ppm atau 400 ppb (Arao dan Ishikawa, 2006).

Darmono (1995) logam Cd pada daging ikan diperbolehkan maksimal sekitar 50 ppb.

PTWI batas Cd 8,3 ppb. Merkuri

FAO-WHO kandungan Hg dalam makanan tidak boleh melebihi batas ambang maksimal sekitar 30 ug/kg (setara 0,03 ppm= 30 ppb).

Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) merekomendasikan lebih rendah lagi yaitu Hg (total) 5 ppb dan Hg (metil) 3,3 ppb

Plumbum

PTWI batas maksimal kandungan logam Pb 50 ppb Kromium

Hastati 2006. dalam supplement makanan ikan 1,5 ppm menghilangi stress, resistensi protein, efisiensi pertumbuhan dan pakan.

Ochia (1977) dalam Palar (2004) bahwa ion-ion logam Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak mampu melakukan penetrasi pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan mennyebabkan tergangunya aktifitas

enzime dan metabolisme dalam sel, sehingga perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati.

Gosling (1992) menyatakan bahwa kerang yang tercemar logam berat akan menyebabkan terganggunya perkembangan gamet dan biasanya gamet mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bioakumulasi logam berat dapat terjadi pada sistem vacuola dari organel lisosom tempat logam ditangkap oleh granula-granula sehingga logam terakumulasi dan organel ini akan menyebabkan degenerasi. Moore (1989) dan Viarengo (1989) dalam Gosling (1992) pencemaran logam Cu dan Cd dapat menyebabkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel. Selain itu juga mempengaruhi proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel.

Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada khususnya di Daerah Panimbang perairan lautnya telah tercemar oleh logam berat seperti Hg 0,001-0,021 ppm: Pb 0,005-0,023 ppm dan Cu 0,005-0,065 ppm.

Perubahan sensitif terjadi pada proses pembelahan sel-sel kelamin pada saat pembelahan metaphase, sehingga akan menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan menyebabkan abrasi kromosom, keadaan ini telah dibuktikan pada kerang biru (M. edulis) oleh Dixon (1982).

Menurut Ochia (1977) dalam Palar (2004) mekanisme logam berat dalam tubuh yang mengakibatkan toksik ada tiga macam yaitu:

4. Memblokir atau menghalangi kerja gugusan biomolekul yang esensial untuk proses-proses biologi, seperti protein dan enzime. Mekanisme kerja reaksi logam terhadap protein pada umumnya menyerang ikatan sulfida. Penyerangan terhadap ikatan sulfida yang selalu ada pada molekul protein itu akan menimbulkan kerusakan dari struktur protein terkait.

5. Menggantikan ion-ion logam esensial yang terdapat dalam molekul terkait. 6. Mengadakan modifikasi atau perubahan bentuk dari gugusan aktif yang dimiliki

biomolekul.

Gosling (1992), yang mengatakan bahwa dengan terjadinya akumulasi logam berat akan mempengaruhi proses gametogenesis.

Fimreite (1971), merkuri dapat menyebabkan penurunan daya tetas, jumlah produksi telur, dan penurunan berat telur burung.

Menurut Au et al. (2004) pemberian kadmium pada spermatozoa kerang hijau dan bulu babi (Sea urchin) dapat merubah ukuran dan bentuk tubuh bagian tengah spermatozoa sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan dalam berenang. Selain itu menyebabkan; a) membrane plasma kusut, menipis dan mempengaruhi integritas spermatozoa, b) membrane mitokondria tidak menjadi kompak dan terjadi gangguan suplai energi ATP untuk pergerakan spermatozoa. Pada hewan bulu babi cadmium dapat menyebabkan kerusakan organel sel lebh parah lagi dibandingkan dengan kerang hijau.

Rebelo et al. (2005) di Teluk Sepetiba, Brazil yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada korelasi antara pencemaran logam kadmium (Cd) dan zinc (Zn) terhadap pertumbuhan gonad pada kerang oyster.

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Jakarta di Propinsi DKI Jakarta, Teluk Banten dan Lada di Propinsi Banten. Daerah ini menurut beberapa peneliti telah mengalami pencemaran logam berat. Stasiun pengambilan sampel kerang hijau

(Perna viridis) dan air laut (kualitas air laut) di Teluk Jakarta adalah Kamal (S1), Marunda (S2), dan Gembong (S3), Teluk Banten di Desa Karangantu (S4) dan Teluk Lada di Desa Panimbang (S5). Deskripsi wilayah penelitian sebagai berikut:

4.1.1. Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 06º00’40” LS dan 05º54’40” serta 106º40’45” BT dan 107º01’19” BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km². Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis pantai yang menghubungkan kedua ujung teluk. Teluk ini juga merupakan muara dari beberapa sungai yaitu Sungai Angke, Ciliwung, Sunter, Bekasi dan cabang anak Sungai Citarum. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri (Riani et al. 2004).

Menurut laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan (DPPK), DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri (kedalaman) perairan Teluk Jakarta memiliki kedalaman 0-20 meter dengan kemiringan landai (0,0033%). Sedimen dasar terdiri atas material berbutir halus dan memiliki kemampuan meredam energi gelombang yang besar. Kontur batimetri relatif sejajar dengan garis pantai melengkung sesuai dengan bentuk perairan Teluk Jakarta. Pada wilayah perairan Teluk Jakarta tidak ditemukan palung atau tonjolan yang dapat mengubah pola gelombang datang akibat refraksi dan difraksi.

Tipe pasang surut wilayah perairan Teluk Jakarta termasuk kategori pasang surut harian tunggal (diurnal tide), dengan air tertinggi dan terendah terjadi hanya satu kali dalam dua puluh empat jam. Kisaran tunggang pasang tertinggi adalah sebesar 0,9 – 1,5 meter. Dalam kondisi tertentu tunggang pasang dapat lebih besar

dari kisaran tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan muka air akibat badai (storm surge).

Kecepatan arus musim berkisar antara 20 sampai 40 cm/s. Pasang surut di perairan Teluk Jakarta masih dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Dengan demikian, maka secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut.

Gelombang yang terjadi di Teluk Jakarta terutama disebabkan oleh angin yang pembentukannya dapat terjadi sekitar lokasi atau dari lokasi yang jauh, kemudian merambat ke arah pantai. Di wilayah Teluk Jakarta, gelombang yang terjadi dalam periode musim Timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim Barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Gelombang datang sesuai dengan arah mata angin yaitu pada musim barat datang dari arah barat laut dan pada musim timur datang dari arah timur laut dan sebagian datang dari arah utara. Tinggi gelombang dominan berkisar antara 0,5 – 1 meter dengan periode antara 3 – 5 detik.

Salah satu perairan laut yang kualitasnya sudah melewati batas ambang baku mutu kualitas perairan menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (1988) adalah Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan banyak limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta yang dibawa oleh 13 sungai yang bermuara ke dalamnya. Menurut laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan hidup (KPPL) tahun 1997 bahwa limbah yang masuk ke perairan ini adalah limbah dari kegiatan industri pengelola sekitar 97,82% yakni 1.632.896,47 ribu m³/tahun, domestik 2,17% yakni 36.229,90 ribu m³/tahun, dan limbah industri pertanian 0,01% yakni 232,25 m³/tahun. Namun limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk jakarta ini bukan saja limbah organik yang untuk menguraikannya memerlukan oksigen, tetapi juga limbah yang termasuk katagori B3 yang tercampur dalam limbah tersebut (Riani et al. 2004).

Menurut Firmansyah (2007) sumber pencemaran air di Teluk DKI Jakarta berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit

sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung baik dan berkesinambungan, serta adanya kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Lebih lanjut kontribusi sumber pencemaran di Teluk Jakarta berasal dari limbah domestik 27.09%, limbah industri 14,04% dan limbah pasar 46,70%.

Menurut laporan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), DKI Jakarta tahun 2004 bahwa perairan Teluk Jakarta berdasarkan indeks keanekaragaman, menunjukan zona D mengalami pencemaran berat, zona C mengalami pencemaran sedang dan zona B dan A mengalami pencemaran ringan. Daerah Muara Teluk Jakarta, muara Angke, Cengkareng, dan Muara Sunter telah mengalami pencemaran berat, sedangkan Muara Kamal, Muara Karang, Muara Ancol, Muara Cakung, Muara Marunda mengalami pencemaran sedang dan Muara Gembong mengalami pencemaran ringan.

4.1.2. Teluk Banten

. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri perairan di Propinsi Banten pada dasarnya termasuk dalam perairan dangkal yang dikenal dengan paparan sunda. Paparan adalah zona di laut mulai dari garis surut terendah sampai pada kedalaman sekitar 120-200 meter, yang umumnya diikuti oleh lereng yang lebih curam ke arah laut. Bagian utara propinsi Banten yaitu Teluk Banten pada umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah Barat ke Timur. Sedangkan untuk perairan muara Karangantu adalah muara dari Sungai Cibanten. Substrat di kawasan ini adalah lumpur. Lumpurnya relatif berwarna hitam karena pengaruh buangan organik di sekitar sungai. Daerah hulu sungai merupakan daerah pemukiman yang banyak membuang sisa aktivitasnya ke sungai. Perairan relatif dangkal dan keruh, lalu lintas perahu nelayan relatif kurang lancar terutama saat surut akibat pendangkalan.

Tipe pasang surut wilayah perairan Propinsi Banten merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang dikenal sebagai tipe pasut campuran. Pasang surut yang terdapat di perairan Propinsi Banten dan sekitarnya bertipe campuran terutama semidiurnal dengan bilangan formzahl berkisar antara 0,25-1,25. Tunggang pasang bervariasi antara 30 cm pada saat pasang perbani dan lebih dari 100 cm pada saat pasang purnama.

Di wilayah perairan Teluk Banten arah arus yang dominan adalah arah arus yang keluar dari laut Jawa menuju Samudera Hindia. Pasang surut di perairan Teluk Banten juga masih dipengaruhi dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam kondisi pasang dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut.

Di wilayah utara perairan Banten, gelombang yang terjadi dalam periode musim timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Pada musim barat tinggi gelombang maksimum bisa mencapai 2,6 m dengan rataan sekitar 1,03 m, sedangkan pada musim timur sekitar 1,9 m dengan rataan sekitar 0,76 m, dengan arah rambatan gelombang tidak jauh berbeda dengan arah datangnya angin. Pada musim peralihan, tinggi gelombang yang terbentuk relatif lemah yang tingginya kurang dari 0,5 m.

Teluk Banten perairan lautnya telah mengalami pencemaran karena ada indikasi mengandung Hg 0.05 ug/L, Cd 0.064 mg/L dan Pb 0.153 mg/L (Setyobudiandi 2004). Menurut laporan Akbar tahun 2005 dalam Tempo Interaktif Jawa-Madura bahwa Pencemaran di Teluk Banten akibat buangan limbah cair ke sungai Ciujung, Cibanten dan Cidurian dari 44 industri. Menurut Anang dalam laporan tersebut bahwa Sungai Ciujung menerima 67.397 m3 buangan limbah cair per hari dari 30 industri di wilayah Serang Timur, dari 30 industri itu lima industri langsung membuang limbahnya ke sungai. Sungai Cibanten menerima limbah cair 501,2 m3 / hari dari lima pabrik, sedangkan sungai Cidurian menerima limbah cair 1.790 m3 / hari dari 10 pabrik secara tidak langsung.

4.1.3. Teluk Lada.

Menurut laporan DPPK, DKI Jakarta tahun 2006 bahwa perairan Selat Sunda memiliki lebar di bagian tersempitnya sekitar 24 km, dengan kedalaman yang lebih besar dari Laut Jawa serta memiliki topografi dasar perairan yang sangat tidak beraturan. Wilayah perairan Selat Sunda yaitu antara Cigading, Anyer dengan Pulau Sangiang memiliki kedalaman perairan bervariasi antara 20 m di dekat pantai Anyer sampai 150 m di bagian tengah antara Anyer dan Sangiang. Rona dasar laut menunjukkan bentuk undulasi dasar laut yang sangat tidak beraturan.

Di wilayah barat Propinsi Banten jenis pasutnya adalah campuran yang condong ke harian ganda. Jenis pasut ini berarti dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan surut, dimana tinggi pasang pertama tidak sama dengan pasang kedua, dan surut pertama juga berbeda dengan surut kedua. Kisaran tinggi muka laut pada air pasang tertinggi (higher high water level, HHWL) di sekitar Suralaya adalah sekitar 108 cm.

Di bagian barat Propinsi Banten, perairan ini berupa selat, yang menghubungkan antara laut Jawa dengan samudera Hindia. Dalam periode musim Timur yang berlangsung antara bulan Juli sampai September, sebagian massa air Laut Jawa yang relatif lebih hangat dan tawar mengalir ke samudera Hindia. Sebaliknya dalam periode musim barat yaitu pada bulan Desember sampai Februari sebagian massa air dari samudera Hindia dapat mempengaruhi perairan selat Sunda ini. Oleh karena itu perairan Selat Sunda memiliki sifat ambang antara perairan samudera dan laut.

Di bagian barat Perairan Banten gelombang yang lebih besar diperkirakan terjadi dalam periode musim barat karena secara geografis garis pantai di bagian barat Banten berhadapan langsung dengan laut kearah barat. Besarnya gelombang yang terbentuk akan tergantung antara lain kepada besarnya kekuatan angin, lamanya angin bertiup, dan panjang perlintasan angin. Menurut Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada perairan lautnya telah mengalami pencemaran logam berat seperti kandungan Hg 0.09 mg/L, Pb 0.015 mg/L dan Cu 0.0276 mg/L.

4.1.4. Kualitas Air

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data beberapa parameter kualitas air, khususnya terkait dengan parameter pencemar yang dapat mempengaruhi kehidupan kerang hijau dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas daging dan gonadnya. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 13.

Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa suhu dan salinitas merupakan faktor penting yang secara langsung berpengaruh terhadap aspek biologi perairan. Hasil penelitian menunjukan suhu air laut di Teluk Jakarta berkisar 31-32

o

Demikian juga salinitas air laut di Teluk Jakarta berkisar 32-33 PSU dan Teluk Banten 34 PSU dan Teluk Lada 33 PSU. Di wilayah tropis pada umumnya suhu per-

Tabel 13. Parameter fisika dan kimia kualitas air di lokasi penelitian (Kamal, Marunda, Gembong, Karangantu dan Panimbang).

No. Parameter Satuan

STASIUN PENGAMATAN Teluk Jakarta Teluk

Banten Teluk Lada 1 2 3 4 5 BM FISIKA : 1 Salinitas PSU 33,00 32,00 33,00 34,00 33,00 2 Kecerahan m 2,20 1,.90 2,10 3,10 2,30 >3

3 Suhu air oC 31,00 31,00 32,00 31,00 30,00 alami

4 Lapisan minyak - - - - - - nihil

K I M I A : 1 pH - 7,9 7,3 7,4 7,6 7,7 7 – 8,5 2 DO mg/L 4,200 3,500 4,200 4,800 4,900 5 – 6 3 Ammonia (NH3-N) mg/L 0,568 0,683 0,481 0,281 0,275 0,3 4 Nitrat (NO3-N) mg/L 0,052 0,047 0,023 0,043 0,054 0,008 5 Phosphat mg/L <0,001 0,010 <0,001 <0,001 <0,001 0,015 6 Krommium (Cr) mg/L 0,002 0,001 0,002 0,002 0,001 0,005 7 Kadmium (Cd) mg/L <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,001 8 Timah Hitam (Pb) mg/L 0,004 0,003 0,005 0,005 0,004 0,008 9 Merkuri (Hg) mg/L ttd ttd ttd ttd ttd 0,001 Keterangan :

- stasiun , 1 = Kamal; 2 = Marunda ; 3 = Gembong (1,2,3, = Teluk Jakarta) ; 4 = Karangantu (Teluk Banten) dan 5 = Panimbang (Teluk Lada).

- BM = Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun 2004 - ttd = tidak terdeteksi

mukaan relatif hangat dengan variasi tahunan yang cukup kecil, tetapi variasi hariannya besar. Rataan suhu permukaan adalah sekitar 28,17 °C (±0.33), dengan dua puncak maksimum dan puncak dua minimum yang terjadi dalam periode musim peralihan dan periode musim barat dan timur. Variasi tahunan salinitas menunjukkan kisaran yang relatif besar, dimana rerata salinitas sekitar 32,49 ‰ (±0.84). Dalam periode musim barat dan peralihan dari musim barat ke timur, nilai salinitas permukaan relatif rendah karena pengaruh run off air sungai dan curahan hujan yang biasanya lebih intensif terjadi dalam periode ini.

Berdasaran data tersebut terlihat bahwa parameter fisika perairan menunjukkan sedikit terganggu, khususnya jika dilihat dari kecerahan perairan. Di wilayah budidaya kerang hijau dengan kawasan Teluk Jakarta, kecerahan perairan cenderung lebih kecil jika dibandingkan di daerah Karangantu, Teluk Banten dan perairan Panimbang, Teluk Lada. Rendahnya kecerahan perairan di kawasan

budidaya perairan di kawasan Teluk Jakarta diduga karena tingginya kandungan biomas fitoplankton.

Variasi Tahunan Suhu dan Salinitas Permukaan di Laut Jawa

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES

27.0 27.2 27.4 27.6 27.8 28.0 28.2 28.4 28.6 28.8 29.0 S uhu ( oC) 31.0 31.5 32.0 32.5 33.0 33.5 34.0 34.5 Sa lin ita s (‰) Suhu Salinitas

Gambar 16. Variasi tahunan suhu dan salinitas permukaan di Laut Jawa (DPPK DKI Jakarta 2006).

Tingginya fitoplankton disebabkan relatif baiknya faktor-faktor fisik dan kimia perairan bagi perkembangan fitoplankton di kawasan Teluk Jakarta terutama dalam hal kesuburannya / nutrisinya. Di kawasan Karangantu dan Pantai Panimbang, kondisi kandungan fitoplanktonnya relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesuburan perairan tersebut, serta faktor fisik dan kimia perairan lainnya kurang memberi dukungan nutrien yang maksimum bagi perkembangan fitoplankton. Di keseluruhan lokasi penelitian, terlihat bahwa di kawasan Perairan Panimbang kecerahan perairan kecil dibandingkan dengan Karangantu dan Teluk Jakarta. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya padatan yang berasal dari sungai. Hal ini disebabkan adanya sungai besar yang masuk ke wilayah tersebut.

Untuk kesuburan perairan dan kandungan organik di perairan yang dijadikan indikator pencemaran bahan organik, nampaknya perairan Teluk Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Karangantu dan Panimbang. Keadaan ini terutama ditunjukkan oleh kandungan ammonia di lokasi budidaya kerang di kawasan Teluk Jakarta relatif lebih tinggi. Sementara itu untuk kandungan nitrat, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan antara di kawasan budidaya kerang hijau

Teluk Jakarta dengan di Karangantu atau Panimbang. Hal ini diduga disebabkan ketersediaan oksigen yang relatif lebih tinggi di Karangantu dan Panimbang dibandingkan dengan di Teluk Jakarta. Relatif rendahnya oksigen di daerah Teluk Jakarta diduga terkait dengan tingginya proses pembusukan bahan organik di kawasan ini dibandingkan dengan di kedua daerah kajian lainnya. Sehingga, proses nitirifikasi ammonia menjadi nitrit dan kemudian nitrat lebih banyak terjadi di kawasan Karangantu dan Panimbang. Hal inilah yang diduga menyebabkan kawasan di perairan Teluk Jakarta nitrogen lebih didominasi oleh ammonia dibandingkan nitrat.

Tingginya proporsi ammonia dibandingkan dengan nitrat di kawasan perairan Teluk Jakarta juga didukung oleh data yang dikemukakan oleh Damar (2004) yang menyatakan bahwa ammonia mendominasi kawasan pantai Teluk Jakarta dibandingkan dengan nitrogen lainnya seperti nitrat atau nitrit (Gambar 17).

Gambar 17. Proporsi kandungan ammonia, nitrit dan nitrat di beberapa lokasi di kawasan Teluk Jakarta (Damar 2004).

Dalam Gambar 17 terlihat bahwa di stasiun-stasiun perairan pantai Teluk Jakarta yang merupakan kawasan budidaya kerang hijau, nitrogen inorganik terlarutnya didominasi oleh ammonia dibandingkan dengan nitrit atau nitrat (stasiun

Dokumen terkait