• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian atas permasalahan yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu :

I. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham demokrasi dan hal

tersebut secara jelas dan nyata tertulis dalam konstitusi dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai. Pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur utama dan pertama dari demokrasi tersebut. Secara teoritis Pemilihan Umum dianggap merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, sehingga Pemilu merupakan motor penggerak mekanisme sistem politik demokrasi.

II. Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila,

Pemilu bertujuan antara lain:

1) Memungkinan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan

terti;.

3) Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga negara;

Agar dapat menjalankan Pemilu yang demokratis, maka harus didukung pula dengan sistem pemilihan umum yang baik. Artinya ialah penyelenggara Pemilu memiliki posisi yang penting dalam mewujudkan Pemilu yang demokratis. Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Klausula “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi dan penamaan kelembagaan Pemilu dimandatkan kepada undang-undang untuk mengaturnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Tidak hanya komisi pemilihan umum (KPU) sebagai

penyelenggara pemilu, tetapi juga pengawas penyelenggara pemilu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang akan mengawasi

pelaksaanaan Pemilu dalam setiap tahapan Pemilu agar sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pelaksanaan pemilu diatur dalam undang-undang serta peraturan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik.

III. Telah dibuat pengaturan mengenai pelaksanaan Pemilu agar terlaksana

secara demokratis, tetapi tidak tertutup kemungkinan lahirnya peluang dalam pelaksanaan Pemilu yang tidak memenuhi standar demokrasi dan terjadinya pelanggaran. Sebagai negara hukum yang demokratis tentunya

pemilu yang demokratis juga harus menyediakan mekanisme hukum untuk menyelesaikan kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran pemilu. Maka lembaga-lembaga berikut adalah yang berkompetensi untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran Pemilu:

1) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang

bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 251 pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu.

Penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu

berdasarkan Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012. Beberapa prinsip penting yang dipraktekkan dalam penyelenggaraan peradilan etik oleh DKPP ialah prinsip-prinsip audi et alteram partem, prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi.

2) Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga yang menangani

pelanggaran administrasi Pemilu. Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 253 pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana

Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Penanganan pelanggaran administrasi Pemilu diawali dengan penerimaan laporan berupa rekomendasi dari Bawaslu atas adanya dugaan pelanggaran Pemilu. Tahapan-tahapan penyelesaian sengketa adminstrasi Pemilu khusus diselesaikan selanjutnya berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2013 jo. PKPU Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum.

3) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan badan yang tidak

hanya berwenang untuk mengawasi penyelenggaraan setiap tahapan Pemilu, mengkaji setiap laporan atas adanya dugaan pelanggaran Pemilu mulai dari pelanggaran kode etik Pemilu, pelanggaran administrasi Pemilu, sengketa Pemilu,tindak pidana Pemilu, dan sengketa tata usaha negara Pemilu tetapi juga berkompetensi menyelesaikan sengketa Pemilu. Menurut ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Pasal 257, sengketa Pemilu ini timbul karena adanya perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan, keadaaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antarpeserta Pemilihan atau antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan, dan keputusan KPU, KPU/KIP Provinsi, dan KPU/KIP Kabupaten/Kota.

Tahapan-tahapan penyelesaian sengketa adminstrasi Pemilu oleh Bawaslu diselesaikan selanjutnya berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2013 jo. PKPU Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum.

4) Pengadilan negeri menjadi tempat memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara tindak pidana Pemilu. Tindak pidana dalam hal ini tidaklah sama dengan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tindak pidana Pemilihan Umum adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam undang-undang Pemilu yang penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan. Adapun yang dapat menjadi pelaku tindak pidana Pemilu ialah Penyelenggara Pemilu yang menjadi pelaku tindak pidana Pemilu, Pengawas Pemilu yang menjadi pelaku tindak pidana Pemilu, Peserta Pemilu dan/atau calon legislatif yang menjadi pelaku tindak pidana Pemilu, Pejabat/aparatur negara yang menjadi pelaku tindak pidana Pemilu.Sistem penerapannya ialah bertolak dari asas lex specialis legi generali sehingga didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 khusus mengenai tindak pidana Pemilu legislatif. Waktu penanganannya tidak selama penyelesaian kasus tindak pidana pada umumnya melainkan hanya membutuhkan waktu paling lama 51 (lima puluh satu) hari untuk menangani dan menyelesaikan tindak pidana Pemilu sampai pada putusan di tingkat

banding idi Pengadilan Tinggi. Dan upaya hukum yang hanya diperbolehkan dalam penyelesaian perkara tindak pidana Pemilu ialah upaya banding.

5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tingkat banding. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 268 sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sengketa yang timbul di dalam sengketa tata usaha negara Pemilu adalah antara KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, dan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap.

Adapun yang menjadi tahapan penyelesaian sengketa tata usaha negara Pemilu selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Apabila keputusan dari PTTUN terdapat pihak yang berkepentingan merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap keputusan PTTUN.

IV. Pengaplikasian penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu dilaksanakan

dalam Keputusan Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 terkait penetapan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) yang tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu 2014. Penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2013 jo. PKPU Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum, tahapan-tahapan yang harus dilakukan setelah mendapat rekomendasi Bawaslu atas adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu adalah:

1) Mencermati kembali data atau dokumen sebagaimana rekomendasi

Bawaslu sesuai dengan tingkatanya; dan

2) Menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak

untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan pelanggaran administrasi Pemilu

Dalam penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu terhadap pembatalan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai calon peserta Pemilu, KPU mengumpulkan data-data terkait

Nomor 8 Tahun 2012 sebagai persyaratan partai politik sebagai peserta Pemilu yang terdiri dari:

a) Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang

tentang Partai Politik;

b) Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c) Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen)

jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d) Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah

kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;

e) Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f) Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang

atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik;

g) Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan

pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h) Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik

kepada KPU; dan

i) Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas

Dari proses pengumpulan data tersebut KPU telah melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

3) KPU, KPU Provinsi/KIP Aceh, KPU/KIP Kabupaten/Kota, PPK,

PPS, PPLN, KPPS/KPPSLN membuat keputusan dalam rapat pleno, dan hasil keputusan yang diberikan oleh KPU menyatakan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) tidak memenuhi persyaratan partai politik sebagai peserta Pemilu untuk Tahun 2014. Adapun syarat-syarat administrasi yang tidak dipenuhi oleh Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) sehingga dikategorikan telah melanggar ketentuan administrasi Pemilu adalah:

a) Tidak memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

b) Tidak memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima

persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan dan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

c) Tidak memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu)

orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik;

d) Tidak mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada

Akibat telah melakukan pelanggaran administrasi Pemilihan Umum, maka KPU melalui Keputusan Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 memberikan sanksi berupa pembatalan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai peserta Pemilu tahun 2014;

Semua tahapan-tahapan yang seharusnya dilakukan oleh KPU dalam memutus pelanggaran administrasi Pemilu telah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2013 jo. PKPU Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum.

B. Saran

1. Pengaturan penyelesaian sengketa administrasi Pemilu khususnya Pemilu

legislatif yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 jo. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2013 jo. PKPU Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum, sudah menunjukkan mekanisme penyelesaian yang jelas. Namun yang masih kurang ialah proses pengaplikasiannya di lapangan. Kurangnya koordinasi antar anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota menghasilkan suatu kesimpulan data yang bermuara kepada keputusan KPU yang tidak sesuai dengan realita yang ada. Sehingga pihak yang bersangkutan seperti calon peserta Pemilu melakukan gugatan terhadap keputusan KPU seperti yang dilakukan terhadap Keputusan KPU

Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 terkait penetapan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) yang tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu 2014.

2. Waktu bagi KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam

menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota sesuai tingkatan dilakukan dengan memeriksa dan memberikan putusan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya rekomendasi atas dugaan pelanggaran administrasi Pemilu tersebut sebaiknya diperpanjang. Dikarenakan jangka waktu yang cukup pendek tersebut menyebabkan kinerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kurang efektif dalam melakukan penggalian informasi dalam memutuskan terbuktinya suatu pelanggaran administrasi atau tidak. Hal tersebut akan berakibat pada ketidakefetifan penggunaan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melaksanakan kegiatan untuk menuju tahapan Pemilu lainnya, tetapi harus digunakan untuk menyelesaikan pengajuan gugatan terhadap keputusan KPU yang terkait.

       

BAB II

PENGATURAN PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan wadah menghasilkan wakil rakyat yang bersedia dan mampu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam ajaran demokrasi dan sesuai dengan amanah konstitusi. Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi untuk menentukan pergantian pemerintahan dimana rakyat dapat terlibat dalam proses pemilihan wakil mereka di parlemen dan pemimpin nasional maupun daerah yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan aman. Prinsip- prinsip ini sangatlah penting dalam proses pemilihan umum sebagai indikator

kualitas demokrasi.63

Perwujudan konsep kedaulatan rakyat di dalam pelaksanaan Pemilu tidak lepas dari penerapan nilai-nilai Pancasila terkhusus Sila Keempat yakni

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan”. Hakikat sila keempat berisi keharusan/ tuntutan untuk bersesuaian dengan hakikat rakyat melalui permusyawaratan/perwakilan yang bijaksana dan berusaha untuk menjamin kepentingan dan kebahagiaan seluruh rakyat.

Pelaksanaan Pemilu meliputi proses pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, penyerahan suara, dan penghitungan suara. Pelaksanaan setiap tahapan dalam tersebut didasarkan pada asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,       

63 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,

DPD, DPRD. Rumusan asas seperti itu sudah atau dapat dipandang sempurna bila dilandaskan pada asumsi bahwa pemilih mempunyai kemandirian politik yang memadai dan pelaksanaan Pemilu berlangsung secara netral dalam artian bahwa pelaksanaan Pemilu mampu menjamin keberlakuan itu secara formal dan materiil. Pelaksanaan Pemilu sejauh ini memperlihatkan ketidakbenaran asumsi-asumsi yang melatari rumusan asas seperti itu. Maka asas itu menjadi tidak memadai dan hal itu berakibat pada lahirnya peluang dalam pelaksanaan Pemilu yang tidak

memenuhi standar demokrasi.64

Dari tidak terpenuhinya standar demokrasi seperti yang diamanatkan oleh UU Pemilu melahirkan berbagai sengketa pemilu yang membutuhkan penanganan lebih lanjut. Sebagai negara hukum yang demokratis tentunya pemilu yang

demokratis juga harus menyediakan mekanisme hukum untuk menyelesaikan kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran pemilu dan perselisihan mengenai hasil pemilu agar tetap legitimate. Pelanggaran mungkin saja akan terjadi baik

disengaja maupun tidak disengaja.65 Oleh karena itu, perlu mekanisme hukum

dalam pelaksanaan pemilu untuk menyelesaikan pelanggaran pemilu dan perselihan hasil pemilu.

A. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum

Tolok ukur utama dalam melakukan assessment kode etik, adalah bahwa penyelenggara pemilu wajib bertindak transparan dan akuntabel. Selain itu, proses ini juga sekaligus mengukur konsistensi pelaksanaan dan efektivitas keberadaan       

64 Arbisanit, Partai, Pemilu, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal.

200.

kode etik itu sendiri, khususnya dalam menjaga netralitas, indepedensi, dan

profesionalitas penyelenggara pemilu.66 Pelaksanaan kode etik dalam

penyelenggaraan pemilu berkaitan dengan netralitas dan independensi serta pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas penyelenggara pemilu.

Penyelenggara Pemilu yang dimaksud dalam hal ini ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pasal 1 angka 6 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan kode etik penyelenggara Pemilu selanjutnya disebut kode etik adalah “Satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan”.

Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum

menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu.67 Adapun yang menjadi prinsip

dasar etika dan perilaku dari penyelenggara Pemilu berdasarkan asas mandiri dan adil, ialah68:

      

66 Boedhi Wijardjo, Wahyudi Djafar, Yulianto, “Assessment Transparansi dan Akuntabilitas

KPU pada Pelaksanaan Pemilu 2004: Sebuah Refleksi untuk Perbaikan Penyelenggaraan Pemilu”, http://reformasihukum.org/ID/file/buku/Assessment%20Transparansi%20dan%20Akuntabilitas%2 0KPU%20Pada%20Pelaksanaan%20Pemilu%202004.pdf (akses 18 Oktober 2015)

67 Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD Pasal 251 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) Pasal 251

68 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 5 ( ) menyatakan pelaksanaan kode etik Pemilu oleh penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas mandiri, jujur,

a. Bertindak netral dan tidak memihak terhadap partai politik tertentu, calon peserta pemilu,dan media massa tertentu;

b. Memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon pemilih,

dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu;

c. Menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk

terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari dari intervensi pihak lain;

d. Tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas

masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu;

e. Tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan

dengan pemilih;

f. Tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau

atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu;

g. Tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak

menanyakan pilihan politik kepada orang lain;

h. Memberitahukan kepada seseorang atau peserta Pemilu selengkap dan

secermat mungkin akan dugaan yang diajukan atau keputusan yang dikenakannya;

i. Menjamin kesempatan yang sama kepada setiap peserta Pemilu yang

dituduh untuk menyampaikan pendapat tentang kasus yang dihadapinya atau keputusan yang dikenakannya;

j. Mendengarkan semua pihak yang berkepentingan dengan kasus yang

terjadi dan mempertimbangkan semua alasan yang diajukan secara adil;

k. Tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta Pemilu, calon

peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan

keuntungan dari keputusan lembaga penyelenggara Pemilu;69

Prinsip dan dasar perilaku berdasarkan asas kepastian hukum, penyelenggara Pemilu berkewajiban:

a. Melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara

tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan;

b. Melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang sesuai

dengan yurisdiksinya;

c. Melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan

Pemilu,menaatiprosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan; dan

d. Menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak berpihak dan adil.70

        adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan hukum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas.

69 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 10

Berdasarkan asas jujur, keterbukaan, dan akuntabilitas, penyelenggara Pemilu berkewajiban:

a. Menjelaskan keputusan yang diambil berdasarkan peraturan perundang-

undangan, tata tertib,dan prosedur yang ditetapkan;

b. Membuka akses publik mengenai informasi dan data yang berkaitan

dengan keputusan yang telah diambil sesuai peraturan perundang- undangan;

c. Menata akses publik secara efektif dan masuk akal serta efisien terhadap

dokumen dan informasi yang relevan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Menjelaskan kepada publik apabila terjadi penyimpangan dalam proses

kerja lembaga penyelenggara Pemilu serta upaya perbaikannya;

e. Menjelaskan alasan setiap penggunaan kewenangan publik;

f. Memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan mengenai

keputusan yang telah diambil terkait proses Pemilu;dan

g. Memberikan respon secara arif dan bijaksana terhadap kritik dan

pertanyaan publik.71

Dalam melaksanakan asas kepentingan umum, penyelenggara Pemilu berkewajiban:

a. Memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan

pikiran dan kesadaran pemilih;

b. Memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses Pemilu;

c. Membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi

dalam proses penyelenggaraan Pemilu;

d. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan

hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan

e. Memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi pemilih

yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan

menyampaikan hak pilihnya.72

       

70 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 11 

71 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 12

72 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 13

Berdasarkan asas proporsionalitas penyelenggara Pemilu berkewajiban:

a. Mengumumkan adanya hubungan atau keterkaitan pribadi yang dapat

menimbulkan situasi konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas penyelenggara Pemilu;

b. Menjamin tidak adanya penyelenggara Pemilu yang menjadi penentu

keputusan yang menyangkut kepentingan sendiri secara langsung maupun tidak langsung;dan

c. Tidak terlibat dalam setiap bentuk kegiatan resmi maupun tidak resmi

yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.73

Prinsip dan dasar perilaku penyelenggara Pemilu berdasarkan asas profesionalitas efisiensi, dan efektivitas ialah:

a. Menjamin kualitas pelayanan kepada pemilih dan peserta sesuai dengan

standar profesional administrasi penyelenggaraan Pemilu;

b. Bertindak berdasarkan standar operasional prosedur dan substansi profesi

Dokumen terkait