BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.2 Diskusi
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara self-control dan moral
disengagement terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor dengan nilai
signifikan sebesar 0,000. Selain itu, nilai proporsi varians IV terhadap DV sebesar 0,412 atau 41,2%, yang artinya self-control dan moral disengagement memiliki
pengaruh terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor sebesar 41,2%
dan sisanya sebesar 58,8% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar penelitian ini. Hal tersebut mendukung berbagai penelitian-penelitian terdahulu mengenai
low self-control memiliki pengaruh terhadap aggressive driving (Gottfredson dan
Hirschi, 1990; Lin, 2009; Anderson dan Bushman, dalam Lin, 2009; dan Ellwanger dan Pratt, 2012), sementara itu, berdasarkan penelusuran penulis belum ada penelitian-penelitian terdahulu yang secara langsung meneliti mengenai moral
disengagement memiliki pengaruh aggressive driving.
Selain melihat pengaruh IV terhadap DV secara keseluruhan, yaitu
self-control dan moral disengagement terhadap aggressive driving pengemudi sepeda
motor, penulis melihat pengaruh dari masing-masing dimensi low self control dan
moral disengagement. Dimensi-dimensi yang memiliki pengaruh signifikan
tersebut adalah: impulsivity, risk seking, self centered, moral justification, dan
terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor. Sedangkan simple task,
physical activity, temper, advantageous comparison, diffusion of responsibility,
displacement of responsibility, disregard/distorting the consequences,
dehumanization, dan attribution of blame menunjukkan hasil yang tidak
signifikan pengaruhnya terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor.
Sangatlah jelas bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari low
self-control terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor, yang dijelaskan
kembali oleh Gottfredson dan Hirschi (1990), bahwa kecelakaan mobil (automobile accidents) merupakan residu dari sejumlah perilaku mengemudi
berisiko: ngebut, minum, membuntuti kendaraan, kurangnya perhatian, dan pengambilan resiko ugal-ugalan. Perilaku ini ditunjukkan oleh mereka yang memiliki sedikit hal untuk pengemudi dan yang menekankan manfaat jangka pendek (misalnya, sensasi tinggi, mengurangi waktu perjalanan) yang mengalir dari impulsif, berisiko, dan perilaku mengemudi egosentris pada kehilangan biaya lebih dari konsekuensi potensial terpencil (misalnya: mendapat surat tilang, kecelakaan, dan teguran sosial). Dengan demikian, kecelakaan (dan mungkin pelanggaran hukum lalu lintas) sering merupakan hasil dari perilaku aggressive
driving.
Dalam penelitian ini variabel Impulsivity memiliki sumbangan proporsi
varian yang paling besar, yaitu sebesar 24,6%. Selain itu, diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.201 dengan signifikansi 0.000 (p < 0.05), yang berarti bahwa variabel impulsivity secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
pengemudi sepeda motor maka akan semakin tinggi juga aggressive driving
pengemudi sepeda motor. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian mengenai variabel impulsivity yang dilakukan oleh Anderson dan Bushman, 2002; Dahlen,
et al, dalam Lin, 2009; dan Lin, 2009, menyatakan bahwa pengemudi sepeda motor dapat menyebabkan perilaku aggressive driving karena kekurangan
pengendalian diri (low self-control) untuk menahan diri dalam berperilaku
aggressive driving dikarenakan memiliki orientasi kegiatan yang nyata saat ini
dan sekarang, berbeda dengan high self-control yang memungkinkan orang untuk
menunda kepuasan.
Variabel kedua yang memiliki sumbangan proporsi varians cukup besar adalah risk seeking, yaitu sebesar 9,4%. Selain itu, diperoleh nilai koefisien
regresi sebesar 0,263 dengan signifikansi 0.000 (p < 0.05), yang berarti bahwa variabel risk seeking secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
aggressive driving. Hal tersebut berarti semakin tinggi risk seeking seorang
pengemudi sepeda motor maka akan semakin tinggi pula aggressive driving. Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arnett, dkk (dalam Tasca, 2000); dan Lin, 2009, menyatakan bahwa kecenderungan untuk menjadi penjelajah daripada berhati-hati karena pengemudi sepeda motor dengan risk
seeking yang tinggi memandang kegiatan harusnya lebih menarik, berisiko, atau
mendebarkan sehingga mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Variabel ketiga yang memiliki sumbangan proporsi varians cukup besar yaitu self-centered, yaitu sebesar 1,8%. Selain itu, diperoleh nilai koefisien regresi
sel-centered secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap aggressive
driving. Hal tersebut berarti semakin tinggi self-centered seorang pengemudi
sepeda motor maka akan semakin tinggi pula aggressive driving. Hasil tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tasca (2000), menyatakan bahwa pengemudi sepeda motor dengan self-centered tinggi, yaitu: cenderung egois,
acuh tak acuh, atau tidak sensitif terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain, dan berfikir memiliki keterampilan mengemudi yang tinggi, sehingga dalam mengemudikan sepeda motor dapat berperilaku aggresive driving. Sebaliknya,
apabila pengemudi sepeda motor dengan self-centered yang rendah, pengemudi
sepeda motor akan berfikir untuk memperoleh keselamatan lebih tinggi sehingga mengemudi lebih defensif (menjaga jarak aman).
Variabel keempat yang memiliki sumbangan proporsi varians cukup besar adalah moral justification, yaitu sebesar 3,2%. Selain itu, diperoleh nilai koefisien
regresi sebesar 0,127 dengan signifikansi 0.008 (p < 0.05), yang berarti bahwa variabel moral justification secara positif memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap aggressive driving. Hal tersebut berarti semakin tinggi moral
justification seorang pengemudi sepeda motor maka akan semakin tinggi
aggressive driving. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Novaco (dalam Tasca, 2000), menyatakan bahwa banyaknya kasus aggressive
driving yang tidak mendapatkan hukuman dapat membentuk persepsi bahwa
perilaku tersebut normal dan diterima, sehingga pengemudi sepeda motor dengan
moral justification tinggi melakukan perilaku aggressive driving dibuat
Variabel kelima yang memiliki sumbangan proporsi varians cukup besar adalah euphemistic labelling, yaitu sebesar 1,3%. Selain itu, diperoleh nilai
koefisien regresi sebesar 0,111 dengan signifikansi 0.045 (p < 0.05), yang berarti bahwa variabel euphemistic labelling secara positif memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap aggressive driving. Hal tersebut berarti semakin tinggi
euphemistic labelling seorang pengemudi sepeda motor maka semakin tinggi
aggressive driving. Sesuai dengan definisi dari euphemistic labelling oleh
Bandura (1999), bahwa seorang pengemudi sepeda motor yang melakukan
aggressive driving dengan euphemistic labelling yang tinggi, menggunakan label
yang bersifat memperhalus perilaku aggressive driving tersebut, untuk membuat
perilaku tersebut menjadi tampak kurang berbahaya.
Sementara itu, penulis melihat bahwa, terdapat beberapa IV memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap DV, seperti variabel temper yang memiliki
sumbangan proporsi varians sebesar 0%, dengan koefisien regresi sebesar - 0.039 dengan signifikansi 0.406 (p > 0.05), yang berarti bahwa variabel temper memiliki
pengaruh yang tidak signifikan terhadap aggressive driving. Hal tersebut
menyatakan bahwa semakin tinggi temper maka semakin rendah aggressive
driving pengemudi sepeda motor. Pernyataan tersebut berbeda dengan penelitian
Deffenbacher, dkk (dalam Lin, 2009) yang telah memberikan bukti untuk mendukung model kondisi sifat mengemudi dengan marah: sifat (umum) kemarahan mengemudi memprediksi situasi tertentu kemarahan mengemudi dan
aggressive driving. Hal tersebut sesuai dengan pengertian temper menurut
cenderung memiliki toleransi minimal untuk frustrasi dan sedikit kemampuan untuk merespon konflik melalui lisan daripada fisik, sehingga pengemudi sepeda motor, cenderung melakukan tindakan agresif.
Namun, penelitian lain juga menunjukkan bahwa pengemudi yang memiliki agresivitas yang tinggi tidak selalu mengalami kemarahan secara umum. Dijelaskan pada penelitian oleh Ellison-Potter, et al (dalam Lin, 2009) menyatakan bahwa mengemudi dalam kondisi marah, tidak selalu memprediksikan respon secara agresif, dikarenakan ada beberapa karakteristik agresi tersebut meliputi impulsif dan sensation seeking. Beberapa jenis
mengemudi agresi tidak tampak berhubungan dengan mengemudi dengan marah. Menurut penulis, dalam penelitian ini ada beberapa kemungkinan yang dialami oleh pengemudi sepeda motor, yaitu ketika mengemudikan sepeda motor dalam kondisi marah, maka pengemudi sepeda motor dapat mengendalikan marah tersebut untuk tidak mengemudikan sepeda motor dengan agresif sehingga dapat mendukung hipotesis minor mengenai variabel temper memiliki pengaruh tidak
signifikan terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor.
Dalam penelitian ini, penulis juga memiliki beberapa keterbatasan, seperti belum adanya penelitian secara langsung mengenai variabel moral disengagement
yang memiliki pengaruh terhadap aggressive driving pengemudi sepeda motor,
sehingga penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tersebut dengan menggunakan variabel moral disengagement. Karena penulis mempunyai
anggapan bahwa sebagai manusia yang rasional, dalam melakukan suatu perilaku dapat dipastikan ada sebab dan akibat. Dijelaskan oleh Bandura, dkk (1996) yang
mengembangkan teori moral disengagement untuk menjelaskan bagaimana cara
seseorang dapat membenarkan tindakan mereka dan melakukan perilaku tidak bermoral/tidak manusiawi. Menurut penulis, seseorang yang mengemudi sepeda motor dalam kondisi kemacetan yang tidak diperkirakan yang menimbulkan impulsivitas pada diri pengemudi (seperti dorongan untuk mengebut/tidak sabar menghadapi kemacetan, mengklakson berkali-kali, memaki pengendara lain, dan sebagainya), dorongan-dorongan impulsif tersebut akan membenarkan tindakan mereka dan melakukan perilaku tidak bermoral/tidak manusiawi (dalam penelitian ini perilaku tidak manusiawi yang ditunjukkan adalah aggressive driving).