• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian Implementasi Pengelolaan Alat Kontrasepsi Pil,Suntik dan Implant di Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana Kabupaten Asahan adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada BPPKB Kabupaten Asahan agar dapat membuat perencanaan mengenai permintaan alat kontrasepsi agar tidak terjadinya kekosongan stok alat kontrasepsi.

2. Diharapkan kepada BKKBN Provinsi Sumatera Utara agar dapat menyesuaikan pendistribusian alat kontrasepsi sesuai laporan permintaan alat kontrasepsi dari BPPKB Kabupaten Asahan..

3. Diharapkan kepada KUPT dan Puskesmas agar dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang alat kontrasepsi yang lain dan masih tersedia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Keluarga Berencana

Pada tahun 1953, sekelompok kecil masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan, khususnya dari kalangan kesehatan, memulai prakarsa kegiatan keluarga berencana. Kegiatan ini berkembang hingga berdirilah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dalam tahun 1957. Mula-mula Departemen Kesehatan merupakan penunjang bagi Kegiatan-kegiatan PKBI, dengan menyediakan BKIA-BKIA serta tenaga kesehatan sebagai sarana pelayanan keluarga berencana (Depkes RI, 1985).

Namun dalam kegiatan penerangan dan pelayanan masih dilakukan terbatas mengingat PKBI, sebagai salah satu kegiatan penerangan dan pelayanan masih dilakukan terbatas mengingat PKBI, sebagai salah satunya organisasi sosial yang bergerak dalam bidang KB masih mendapat kesulitan dan hambatan, terutama KUHP nomor 283 yang melarang penyebarluasan gagasan keluarga berencana. Pada tahun 1967 PKBI diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman.

Di dalam Kongres Nasional I PKBI di Jakarta diambil keputusan diantaranya bahwa PKBI dalam usahanya mengembangkan dan memperluas usaha keluarga berencana (KB) akan bekerjasama dengan instansi pemerintah. Pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang berisikan kesadaran betapa pentingnya menentukan atau

merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai hak asasi manusia.

Pada tanggal 16 Agustus 1967 di depan Sidang DPRGR, Presiden Soeharto pada pidatonya “Oleh karena itu kita harus menaruh perhatian secara serius mengenai usaha-usaha pembatasan kelahiran, dengan konsepsi keluarga berencana yang dapat dibenarkan oleh moral agama dan moral Pancasila”. Sebagai tindak lanjut dari Pidato Presiden tersebut, Menkesra membentuk Panitia Ad Hoc yang bertugas mempelajari kemungkinan program KB dijadikan Program Nasional.

Selanjutnya pada tanggal 7 September 1968 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang isinya antara lain:

a. Membimbing, mengkoordinir serta mengawasi segala aspirasi yang ada di dalam masyarakat di bidang Keluarga Berencana.

b. Mengusahakan segala terbentuknya suatu Badan atau Lembaga yang dapat menghimpun segala kegiatan di bidang Keluarga Berencana, serta terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut Menkesra pada tanggal 11 Oktober 1968 mengeluarkan Surat Keputusan No. 35/KPTS/Kesra/X/1968 tentang Pembentukan Tim yang akan mengadakan persiapan bagi Pembentukan Lembaga Keluarga Berencana. Setelah melalui pertemuan-pertemuan Menkesra dengan beberapa menteri lainnya serta tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam usaha KB, Maka pada tanggal 17 Oktober 1968 dibentuk Lembaga

Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan Surat Keputusan No. 36/KPTS/Kesra/X/1968. Lembanga ini statusnya adalah sebagai Lembaga Semi Pemerintah.

Pada tahun 1969-1974 mulai dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970 dan sebagai Kepala BKKBN adalah dr. Suwardjo Suryaningrat. Dua tahun kemudian, pada tahun 1972 keluar Keppres No. 33 Tahun 1972 sebagai penyempurnaan Organisasi dan tata kerja BKKBN yang ada. Status badan ini berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung dibawah Presiden.

Untuk melaksanakan program keluarga berencana di masyarakat dikembangkan berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan program dan situasi serta kondisi masyarakat. Pada Periode Pelita I dikembangkan periode Klinik (Clinical Approach) karena pada awal program, tantangan terhadap ide keluarga berencana masih sangat kuat untuk itu pendekatan kesehatan paling tepat.

Kedudukan BKKBN dalam Keppres No. 38 Tahun 1978 adalah sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program KB nasional dan kependudukan yang mendukungnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pelaksanaan di lapangan.

Periode tahun 1974-1979 pembinaan dan pendekatan program yang semula berorientasi pada kesehatan ini mulai dipadukan dengan sector-sektor pembangunan lainnya, yang dikenal dengan Pendekatan Integratif (Beyond Family Planning). Dalam kaitan ini pada tahun 1973-1975 sudah mulai dirintis Pendidikan Kependudukan sebagai pilot project.

Periode 1979-1984 dilakukan pendekatan Kemasyarakatan (partisipatif) yang didorong peranan dan tanggung jawab masyarakat melalui organisasi/institusi masyarakat dan pemuka masyarakat, yang bertujuan untuk membina dan mempertahankan peserta KB yang sudah ada serta meningkatkan jumlah peserta KB baru. Pada masa periode ini juga dikembangkan strategi operasional yang baru yang disebut Panca Karya dan Catur Bhava Utama yang bertujuan mempertajam segmentasi sehingga diharapkan dapat mempercepat penurunan fertilitas. Pada periode ini muncul juga strategi baru yang memadukan KIE dan pelayanan kontrasepsi yang merupakan bentuk “Mass Campaign” yang dinamakan “Safari KB Senyum Terpadu”.

Periode ini dilakukan pendekatan Kemasyarakatan (partisipatif) yang didorong peranan dan tanggung jawab masyarakat melalui organisasi/institusi masyarakat dan pemuka masyarakat, yang bertujuan untuk membina dan mempertahankan peserta KB yang sudah ada serta meningkatkan jumlah peserta KB baru. Pada masa periode ini juga dikembangkan strategi operasional yang baru yang disebut Panca Karya dan Catur Bhava Utama yang bertujuan mempertajam segmentasi sehingga diharapkan dapat mempercepat penurunan

fertilitas. Pada periode ini muncul juga strategi baru yang memadukan KIE dan pelayanan kontrasepsi yang dinamakan “Safari KB Senyum Terpadu”.

Pada masa Kabinet Pembangunan IV ini dilantik Prof. Dr. Haryono Suyono sebagai Kepala BKKBN menggantikan dr. Suwardjono Suryaningrat yang dilantik sebagai Menteri Kesehatan. Pada masa ini juga muncul pendekatan baru antara lain melalui Pendekatan koordinasi aktif, penyelenggaraan KB oleh pemerintah dan masyarakat lebih disinkronkan pelaksanaannya melalui koordinasi aktif tersebut ditingkatkan menjadi koordinasi aktif dengan peran ganda, yaitu selain sebagai dinamisator juga sebagai fasilitator. Disamping itu, dikembangkan pula strategi pembagian wilayah guna mengimbangi laju kecepatan program. Pada periode ini secara resmi KB Mandiri mulai dicanangkan pada tanggal 28 Januari 1987 oleh Presiden Soeharto dalam acara penerimaan peserta KB Lestari di Taman Mini Indonesia Indah. Program KB Mandiri dipopulerkan dengan kampanye LIngkaran Biru (LIBI) yang bertujuan memperkenalkan tempat-tempat pelayanan dengan logo Lingkaran Biru KB.

Pada masa Pelita V tahun 1988-1993, Kepala BKKBN masih dijabat oleh Prof. Dr. Haryono Suyono. Pada periode ini gerakan KB terus berupaya meningkatkan kualitas petugas dan sumberdaya manusia dan pelayanan KB. Oleh karena itu, kemudian diluncurkan strategi baru yaitu Kampanye Lingkaran Emas (LIMAS). Jenis kontrasepsi yang ditawarkan pada LIBI masih sangat terbatas, maka untuk pelayanan KB LIMAS ini ditawarkan lebih banyak lagi jenis kontrasepsi, yaitu ada 16 jenis kontrepsi. Pada periode ini juga ditetapkannya UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan

Keluarga Sejahtera, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 khususnya sub sector Keluarga Sejahtera dan Kependudukan, maka kebijaksanaan dan strategi gerakan KB nasional diadakan untuk mewujudkan keluarga Kecil yang sejahtera melalui penundaan usia perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Dalam Kabinet Pembangunan VI sejak tanggal 19 Maret 1993 sampai dengan 19 Maret 1998, Prof. Dr. Haryono Suyono ditetapkan sebagai Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, sebagai awal dibentuknya BKKBN setingkat Kementerian. Pada tangal 16 Maret 1998, Prof. Dr. Haryono Suyono diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan merangkap sebagai Kepala BKKBN. Dua bulan berselang dengan terjadinya gerakan reformasi, maka Kabinet Pembangunan VI mengalami perubahan menjadi Kabinet Reformasi Pembangunan Pada tanggal 21 Mei 1998, Prof. Haryono Suyono menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesra dan Pengentasan Kemiskinan, sedangkan Kepala BKKBN dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Oka sekaligus menjadi Menteri Kependudukan. Pada pelita VI, fokus kegiatan diarahkan pada pelayanan keluarga berencana dan pembangunan keluarga sejahtera, yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Kegiatan yang dikembangkan dalam pelaksanaan pembangunan keluarga sejahtera diarahkan pada tiga gerakan, yaitu Gerakan Reproduksi Sejahtera (GRKS), Gerakan Ketahanan Keluarga Sejahtera (GKSS), dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS).

Pada Periode Kabinet Persatuan Indonesia, Kepala BKKBN dirangkap oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa. Setelah itu digantikan oleh Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir pada tahun 2001 dan meninggal dunia pada akhir 2003 akibat penyakit kanker dan yang kemudian terjadi kekosongan.

Pada tanggal 10 November 2003, Kepala Litbangkes Departemen Kesehatan dr. Sumarjati Arjoso, SKM dilantik menjadi Kepala BKKBN oleh Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi sampai beliau memasuki masa pensiun pada tahun 2006.

Setelah itu digantikan oleh Dr. Sugiri Syarief, MPA yang dilantik sebagai Kepala BKKBN yang baru oleh Menteri Kesehatan DR.dr. Siti-Fadilah Supari, SPJP (K), Menteri Kesehatan pada tanggal 24 Nopember 2006. Pada tahun 2009, diterbitkan Undang Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, BKKBN berubah dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Sebagai tindak lanjut dari UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarha Sejahtera, di mana BKKBN kemudian direstrukturisasi menjadi badan kependudukan, bukan lagi badan koordinasi, maka pada tanggal 27 September 2011 Kepala BKKBN, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA akhirnya dilantik sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) oleh Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Setelah dr. Sugir Syarief memasuki masa pensiun, terjadi

kevakuman selama hampir sembilan bulan. Pada tanggal 13 Juni 2013 akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Fasli Jalal sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pelantikan ini dilakukan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.

2.2Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Asahan

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana merupakan Suatu unit fungsional yang mengelola bahan dan alat kontrasepsi yang berfungsi untuk menjadikan masyarakat agar memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan sejahtera.

2.2.1 Visi dan Misi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Asahan

Visi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yaitu Mewujudkan kesetaraan gender, perlindungan anak dan penduduk tumbuh seimbang 2015.

Misi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yaitu : 1. Menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam

pengarusutamaan gender dan perlindungan anak dan kesejahteraan keluarga.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat dibidang pembangunan pemberdayaan perempuan, anak dan kesejahteraan keluarga.

3. Memperkuat sumber daya manusia (SDM) dan operasiaonal Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.

4. Meningkatkan ketahanan dan kesejathteraan keluarga melalui program Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana 5. Meningkatkan pemberdayaan program Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Keluarga Berencana.

2.2.2 Tugas Pokok Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Tugas Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana mempunyai tugas pokok membantu Bupati untuk melaksanakan koordinasi, perencanaaan, pengendalian, dan pelaksanaan dibidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana. seperti monitoring pencapaian peserta KB baru, pendistribusian serta pengawasan terhadap ketersediaan alat kontrasepsi ke seluruh klinik KB

Fungsi :

a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana;

b. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana; c. Pelaksanaan advokasi dan koordinasi di bidang pengendaliaan

penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana;

d. Penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana;

e. Penyelenggaraan pemantauan dan evaluasi di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana;

f. Pembinaan, pembimbingan, dan fasilitasi di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana;

g. Penyelenggaraan pelatihan, penelitian, dan pengembangan dibidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana; h. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas administrasi umum di

lingkungan BKKBN;

i. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BKKBN;

j. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BKKBN; dan k. Penyampaian laporan, saran, dan pertimbangan di bidang pengendalian

penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana. Kewenangan :

a. Pembinaan dan peningkatan Kemandirian keluarga berencana.

b. Promosi dan penggerakan masyarakat yang didukung dengan pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk. c. Peningkatan pemanfaaan sistem informasi manajemen berbasis

teknologi informasi.

d. Pelatihan, penelitian dan pengembangan program kependudukan dan keluarga berencana

e. Peningkatan kualitas manajemen program.

g. Perumusan kebijakan kependudukan yang sinergis antar aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas.

h. Penyediaan sasaran parameter kependudukan yang disepakati semua sektor terkait.

2.3 Pengelolaan alat kontrasepsi 2.3.1 Pengertian Pengelolaan

Pengelolaan bahan dan alat kontrasepsi merupakan satu aspek manajemen yang penting, oleh karena efisiensi yang kurang maka akan memberi dampak yang negatif terhadap sarana kesehatan baik secara medis maupun ekonomis. Pengelolaan bahan dan alat kontrasepsi meliputi tahap-tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian serta penggunaan yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada (Indrawati dkk, 2001).

2.3.2 Perencanaan alat kontrasepsi (Pil, Suntik dan Implant) 2.3.2.1 Pengertian Perencanaan

Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan menetukan jumlah bahan dan alat kontrasepsi dalam pengadaan. Perencanaan di BPPKB terdiri atas perencanaan pengadaan bahan dan alat kontrasepsi dan perencanaan tenaga di Badan pemberdayaan perempuan dan keluarga Berencana.

2.3.2.2 Perencanaan alat kontrasepsi

Perencanaan alat kontrasepsi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunkan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, Epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Kementerian kesehatan RI, 2004).

Kebijaksanaan perencanaan dan pemilihan alat kontrasepsi terutama dalam unit-unit pelayanan tertentu misalnya di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana tingkat kabupaten/provinsi dapat mempengaruhi pola pemakaian bahan alat kontrasepsi yang tersedia.

Dalam unit pelayanan kesehatan ditemui berbagai faktor yang dapat menetukan kualitas pelayanan kesehatan. salah satu faktor penentu adalah terjaminnya ketersediaan bahan dan alat kontrasepsi dalam jumlah cukup pada saat dibutuhkan, sehingga mencapai sasaran pokok, yakni tepat jenis dan tepat jumlah bahan dan alat kontrasepsinya. Untuk mencapai sasaran tersebut, tentunya diperlukan upaya perencanaan yang optimal.

Perencanaan kebutuhan alat kontrasepsi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan alat kontrasepsi dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

2.3.2.3 Tujuan Perencanaan alat kontrasepsi

Tujuan perencanaan pengadaan alat kontrasepsi adalah untuk mendapatkan:

1. Prakiraan jenis dan jumlah alat kontrasepsi dan perbekalan kesehatan yang mendekati kebutuhan.

2. Menghindari terjadinya kekosongan alat kontrasepsi. 3. Meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi secara rasional. 4. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat kontrasepsi. 2.3.3 Pengadaan alat kontrasepsi

Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui. Pengadaan adalah sebuah tahapan yang penting dalam manajemen alat kontrasepsi dan menjadi sebuah prosedur rutin didalam sistem manajemen alat kontrasepsi yang berlalu di banyak negara. Sebuah proses pengadaan yang efektif akan menjamin ketersediaan alat kontrasepsi dalam jumlah yang benar dan kualitas obat yang terjamin (Kementerian Kesehatan RI, 2008).

Proses pengadaan yang efektif harus dapat menghasilkan pengadaan alat kontrasepsi yang tepat jenis maupun jumlahnya, memperoleh harga yang murah, menjamin semua obat yang dibeli memenuhi standar kualitas, dapat diperkirakan waktu pengiriman sehingga tidak terjadi penumpukan atau kekurangan alat kontarsepsi, memilih supplier yang handal dengan service memuaskan, dapat menentukan jadwal pembelian untuk menekan biaya pengadaan dan efisien dalam proses pengadaan.

Menurut WHO (1999), ada empat strategi dalam pengadaan obat yang baik (a) Pengadaaan obat-obatan dengan harga mahal dengan jumlah yang tepat, (b) Seleksi terhadap supplier yang dapat dipercaya dengan produk yang berkualitas, (c) Pastikan ketepatan waktu pengiriman obat, (d) Mencapai kemungkinan termurah dari harga Total

2.3.4 Penyimpanan alat kontrasepsi

Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan : 1) dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya, 2) dibedakan menurut suhunya, kesetabilannya, 3) mudah tidaknya meledak/terbakar, 4) tahan tidaknya terhadap cahaya disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.

Pengaturan penyimpanan obat dan persediaan adalah sebagai berikut : a. simpan obat-obatan yang mempunyai kesamaan secara bersamaan di atas

rak. „Kesamaan‟ berarti dalam cara pemberian obat (luar,oral,suntikan) dan bentuk ramuannya (obat kering atau cair)

b. Simpan obat sesuai tanggal kadaluwarsa dengan menggunakan prosedur FEFO (First Expired First Out). Obat dengan tanggal kadaluwarsa yang lebih pendek ditempatkan di depan obat yang berkadaluwarsa lebih lama. Bila obat mempunyai tanggal kadaluwarsa sama, tempatkan obat yang baru diterima dibelakang obat yang sudah ada.

c. Simpan obat tanpa tanggal kadaluwarsa dengan menggunakan prosedur FIFO (First In First Out). Barang yang baru diterima ditempatkan dibelakang barang yang sudah ada.

d. Buang obat yang kadaluwarsa dan rusak dengan dibuatkan catatan pemusnahan obat, termasuk tanggal, jam, saksi dan cara pemusnahan. 2.3.5 Pendistribusian alat kontarsepsi

Merupakan kegiatan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan atau menyerahkan alat kontrasepsi dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Pendistribusian alat/obat kontrasepsi dan non kontrasepsi berdasarkan Push Distribution System (distribusi langsung tanpa permintaan) dan Pull Distribution System (distribusi dengan permintaan)

2.4 Persediaan alat kontrasepsi

Manajemen persediaan merupakan suatu cara mengendalikan persediaan agar dapat melakukan pemesanan yang tepat yaitu dengan biaya yang optimal. Oleh karena itu konsep mengelola sangat penting diterapkan agar tujuan efektifitas dan efisiensi tercapai. Manajemen persediaan yang baik merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu perusahaan untuk melayani kebutuhan konsumen dalam menghasilkan suatu produk layanan yang berkualitas dan tepat waktu. Permasalahan tidak tepatnya waktu kedatangan barang yang telah dijadualkan dapat membuat suatu kepanikan apabila stok persediaan habis, sebaliknya kelebihan persediaan menimbulkan biaya tambahan seperti biaya

keamanan, biaya gudang, resiko penyusutan yang kerap kali kurang diperhatikan pihak manajemen

Menurut Crandall dan Markland (1996) dalam Titta H.S (2008), strategi manajemen persediaan berdasarkan jenis permintaannya dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Provide. Pada kondisi ini perusahaan berusaha untuk selalu memiliki kapasitas yang mencukupi untuk memenuhi permintaan puncak pada sepanjang tahun. Sehingga perusahaan cenderung memiliki kelebihan kapasitas. Hal ini dilakukan karena perusahaan tidak ingin kehilangan penjualan atau tidak mampu memberikan pelayanan terhadap pelanggannya.

2. Match. Perusahaan berusaha untuk mengantisipasi pola permintaan

sehingga perusahaan dapat mengubah tingkat kapasitas sesuai dengan yang dibutuhkan. Pada saat permintaan tinggi, perusahaan mempunyai beberapa strategi untuk meningkatkan kapasitasnya dan disaat permintaan rendah, perusahaan juga memiliki beberapa strategi untuk mengurangi jumlah kapasitas.

3. Influence.Perusahaan yang termasuk dalam jenis ini adalah perusahaan yang mampu mengubah pola permintaan konsumennya dan mampu mendayagunakan sumber-sumber yang dimilikinya dengan lebih berdaya guna.

4. Control.Perusahaan dengan jenis permintaan ini adalah perusahaan dengan tipe jasa yang unik dan membutuhkan biaya sumber daya yang tinggi

untuk mampu menyrediakan kapasitas ataupun pelayanan seperti yang telah dijanjikan kepada konsumennya. Sebagai hasilnya perusahaan berusaha untuk menjaga agar variasi permintaan yang terjadi dapat seminimum mungkin.

2.5 Penganggaran

Anggaran merupakan suatu alat bagi manajemen dalam melakukan perencanaan dan pengendalian terhadap perusahaan. Anggaran yang didapat untuk BPPKB bersumber dari dana APBN dan APBD disusun secara sistematis, meliputi seluruh kegiatan perusahaan, yang dinyatakan dalam satuan, dan berlaku untuk jangka waktu tertentu yang akan datang.

Anggaran yang merupakan suatu alat untuk melakukan perencanaan dan pengendalian jangka pendek yang efektif dalam organisasi. Melalui anggaran, perusahaan mengkomunikasikan rencana-rencana manajemen ke semua anggota organisasi, mengkoordinasikan aktivitas dari berbagai bagian organisasi, menugaskan tanggung jawab kepada manajer, juga memperoleh komitmen dari manajer yang merupakan dasar untuk mengevaluasi kinerja dari manajer

2.6 Keluarga Berencana

Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang dicanangkan pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan ( PUP ), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi perintah masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat atau angka kematian Ibu dan bayi serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil yang berkualitas.

Dalam konteks gerakan KB nasional, konsep mandiri merupakan suatu inovasi baru dimana titik berat dalam penawaran dalam awal pelaksanaan program KB, berubah menjadi fokus permintaan. Dengan kata lain mandiri dalam program KB meminta masyarakat untuk berinisiatif serta berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan perencanaan keluarga, khususnya kebutuhan alat kontrasepsi di tempat pelayanan KB.

2.6.1 Pelayanan Keluarga Berencana

Pelayanan kontrasepsi saat ini dirasakan masyarakat, khususnya pasangan suami istri, sebagai salah satu kebutuhannya. Pelayanan kontrasepsi yang semula menjadi program pemerintah dengan orientasi pemenuhan target melalui subsidi penuh dari pemerintah, berangsur-angsur bergeser menjadi suatu gerakan

Dokumen terkait