• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

oleh pihak direksi bank. Di sini terlihat bahwa persetujuan pemberian kredit melalui

tahapan-tahapan dalam analisa kredit akan menimbulkan pertimbangan (judgement).

Pertimbangan ini setelah diberikan data logis akan menimbulkan keyakinan dan kemudian diikuti dengan suatu keputusan, adapun jenis-jenis keputus-an pemberian kredit bank terdiri dari: disetujui, ditunda untuk disempurnakan atau ditolak.31

Mariam Darus secara implicit mengemukakan bahwa rumusan persetujuan dalam

Pasal 1313 KUHPerdata adalah rumusan perjanjian.

D. Ketentuan KUHPerdata yang berarti dengan perjanjian pinjaman utang

32

31

Roby Kusno, Dasar-Dasar Perkreditan, Yogyakarta, BPFE-UGM, 2005. hal.32.

32

Mariam Darus B. Zaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, Hal. 89

Dengan demikian, berdasarkan kedua pendapat sarjana diatas maka pengertian perjanjian itu dapat dibaca dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang mempergunakan istilah persetujuan yang berbunyi :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu satu orang atau lebih.”

Umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan

merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh van

Dunne yang mengatakan bahwa :

Menurut pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – undang bagi mereka yang membuatnya.

Secara sah maksudnya berarti memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1338 ayat 2 dikatakan persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang –undang dinayatakan cukup untuk itu, persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari bunyi Pasal tersebut dapat diambil beberapa ketentuan yang penting dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat hukum dari suatu perjanjian yaitu:

a. Berlaku sebagai Undang – undang

Berlaku sebagai Undang – undang berarti ketentuan – ketentuan itulah yang mengatur hubungan antara kreditur dan debitur. Isi perjanjian ini dapat ditentukan sendiri dan atau oleh pihak ketiga untuk kepentingan debitur. Dengan demikian perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat para pihak yang membuatnya.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala hal/sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang – undang. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para pihak tidak terlepas dari tanggungjawab atau akibat yang timbul dari suatu prestasi yang dipenuhi, juga para pihak juga harus memperhatikan undang undang.

Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai kehidupan hakim maka dalam mengadilinya hakim harus menyesuaikan isi perjanjian dengan ketentuan perundang-undangan, kebiasaan dan kepatutan.

b. Tidak dapat dibatalkan secara sepihak

Sesuai dengan asas konsensualitas, bahwa perjanjian dibuat atas persetujuan kedua belah pihak, sebaliknya bahwa untuk merubahkembali persetujuan harus ada ijin pihak lainnya. Namun demikian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh Undang –undang yaitu pada Pasal 1814 KUHPerdata.

c. Pelaksanaan dengan itikad baik

Pelaksanaan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang mengadakan perjanjian. Istilah itikad baik ada dua macam yaitu sebagai unsur subjektif dan sebagai unsur objektif untuk memulai pelaksanaan.

Yang dimaksud baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif, perjanjian itu harus berjalan di atas jalur benar.

Hal yang menjadi masalah dalam praktek perkreditan adalah apabila debitor mulai tidak lancar dalam pembayaran utangnya. Pada tahap awal pihak kreditor bisa menegur atau memberi peringatan dan juga kesempatan agar debitor bisa melanjutkan kewajiban untuk memenuhi pelunasan utang tersebut, hanya apabila debitor tidak bisa diharapkan lagi untuk menutup seluruh utangnya sehingga terjadi kredit macet, maka kreditor bisa

mengambil pelunasan dari penjualan obyek Hak Tanggungan. Apabila dimungkinkan para

pihak tersebut bisa mengadakan musyawarah untuk menjual sendiri obyek Hak Tanggungan, dengan adanya kesepakatan harga diantara mereka. Dari hasil penjualan tersebut kreditor langsung dapat mengambil pelunasan piutangnya, dan bila masih ada sisa dikembalikan kepada debitor. Penjualan dibawah tangan ini akan lebih mempermudah para pihak dalam pengurusannya, karena tanpa melalui prosedur

tertentu seperti dalam lelang eksekusi yang membutuhkan waktu dan biaya.

Dalam hal eksekusi, masalah akan muncul apabila sejak semula kreditor kurang waspada terhadap kebenaran / keberadaan barang yang akan dijadikan jaminan. Banyak alasan yang sah secara hukum yang dapat digunakan untuk menunda / menghalangi, bahkan mungkin sesungguhnya atau hanya dibuat - buat saja, misalnya eksekusi tertunda karena alasan kemanusiaan, adanya perlawanan oleh pihak ke-3, atau barang obyek eksekusi masih dalam proses perkara lain.

Selain itu juga harus diperhatikan tata cara dari prosedur pengikatan jaminan, karena adanya kekurangan yang sedikit saja bisa menyebabkan eksekusinya ditolak. Mengenai permasalahan yang terakhir, yaitu tentang roya parsial, meskipun belum ada undang - undang tersendiri yang mengaturnya secara khusus namun di dalam UUHT ditampung hal yang demikian. Dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) bahwa: yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi - bagi dari hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan ini tetap membebani seluruh obyek hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Kemudian ayat (2)-nya menyatakan bahwa : ketentuan ini merupakan perkecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1), untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan yang semuanya menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks dan kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan.

Sesuai dengan ketentuan ayat ini apabila hak tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing - masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi –bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) yang bersangkutan. sebelum pembangunan proyek dilaksanakan diadakan pemecahan atas sertifikat induk. Kemudian sertifikat per bagian ini dibebani pula dengan Hak Tanggungan. Untuk pembelian dengan menggunakan fasilitas kredit dari bank, apabila suatu bagian telah dilunasi maka langsung bisa dan Hak Tanggungan hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan (bangunan lain yang belum lunas) untuk menjamin sisa utang atas bangunan yang belum lunas tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUHT karena telah dinyatakan secara jelas dalam pasal 2 ayat 2 UUHT.

BAB III

TANAH DAN BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT

A. Kebendaan Menurut Hukum

1. Subyek hak atas tanah

Subyek hak atas tanah merupakan orang perseorangan atau badan hokum yang dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah. Subyek hukum adalah orang perseorangan (nuturliijke van een recht) atau badan hukum rechts person yang mempunyai hak, mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hokum.

a. Orang perseorangan selaku subyek hak atas tanah

Orang perseorangan selaku subyek hak atas tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau warga Negara asing, berdomisili di dalam atau diluar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah.

Sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, namun hukum dapat mengecualikan manusia sebagai makhluk hukum atau hukum bisa tidak mengakuinya sebagai orang dalam arti hokum. Apabila hukum sudah menentukan demikian maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut menjadi pembawa hak dan kewajiban selaku subyek hukum.

Badan Hukum selaku subyek hak atas tanah antara lain lembaga pemerintahan Indonesia, lembaga perwakilan Negara asing, lembaga perwakilan internasional, badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing melalui penanaman modal asing di Indonesia, badan keagamaan atau badan social lainnya.

Perhimpunan orang yang tergabung dalam badan hukum walau tidak berjiwa seperti halnya manusia, namun mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum sehingga dipersamakan dengan orang, selanjutnya diakui oleh undang-undang sebagai subyek hukum.

1. Badan hukum Publik

Badan hukum public merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan keputusan pejabat pemerintah Indonesia, pejabat Negara asing atau pejabat internasional yang bertujuannya yaitu untuk kepentingan umum.

2. Badan hokum privat

Badan hukum provat merupakan badan hukum yang didirikan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan taitu untuk kepentingan perseronya, misalnya perseroan terbatas, yayasan atau koperasi.

3. Badan hukum lainnya

Selain badan hukum publik dan privat murni juga ada perkumpulan orang atau badan hukum yang didirikan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan yaitu untuk kepentingan umum yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.

2. Obyek hak atas tanah

Obyek hak atas tanah merupakan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang dapat dipunyai dengan sesuatu pemilikan hak atas tanah oleh orang atau badan hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Obyek pemilikan hak atas tanah yang dimaksud sama dengan obyek pendaftaran tanah sebagaiman ketentuan pasal 9 peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 yaitu:

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan dan hak guna pakai. b. Tanah hak pengelolaan

c. Tanah wakaf

d. Hak milik atas satuan rumah susun

e. Hak tanggungan

f. Tanah Negara

Supaya penggunaan dan pemanfaatan tanah dimaksud sejalan dengan hak dan kewajibannya maka dapat dilakukan koordinasi horizontal.

Masuknya hak-hak tanah menurut KUH Perdata dan hukum adat tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) melalui lembaga konversi. Dengan demikian kita melihat bahwa ketentuan konversi yang diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaanya memberikan tempat yang terhormat dan kembali kepada hukum adat sebagai landasan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga seluruh hak-hak tanah yang ada baik yang tunduk kepada 3 W maupun kepada hukum

adat, di konversi menjadi hak-hak yang tunduk kepada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Pada ayat 3 pasal 1 ketentuan konversi dapat kita lihat yaitu :

a. Hak Eigendom kepunyaan orang asing

b. Hak Eigendom kepunyaan seorang warga negara Indonesia yang mempunyai

kewarganegaraan asing.

c. Badan-badan hukum yang mempunyai hak milik

3. Kebendaan

Ketentuan dalam KUH Perdata tentang kebendaan umumnya, mendefinisikan kebendaan sebagai tiap-tiap benda dan hak yang dapat dikuasai dengan hak milik, demikian pula segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam pengertian kebendaan, seperti segala hasil daripada kebendaan tersebut, baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang terakhir ini melekat pada kebendaan itu seperti dahan dan akar terpaut pada tanahnya, semuanya itu adalah bagian dari suatu kebendaan, jika dan selama hasil itu belum dapat ditagih. Yang dinamakan dengan hasil karena alam adalah segala sesuatu yang tumbuh timbul dari tanah sendiri, dan yang merupakan hasil dari atau dilahirkan oleh binatang-binatang;dan hasil karena pekerjaan orang yang ditarik dari tanah adalah segala sesuatu yang diperoleh karena penanaman diatasnya; sedangkan yang dinamakan hasil perdata adalah uang sewa, uang upeti, uang angsuran dan bunga.

Pasal 504 Kitab Undang-undang Hukum Perdata membagi semua kebendaan dan perlekatannya tersebut kedalam dua kelompok besar yaitu : kebendaan bergerak dan

kebendaan tidak bergerak. Masing-masing kebendaan tersebut selanjutnya dibagi lagi atas kebendaan yang berwujud dan kebendaan yang tidak berwujud.33

a. kebendaan tidak berwujud atas nama

Secara konseptual kebendan berwujud dibedakan dari kebendaan tidak berwujud berdasarkan pada sifat dapat dilihat-tidaknya (konkrit-abstraknya) kebendaan tersebut. Namun demikian, pada kenyataannya kepentingan praktis telah membuat masyarakat menciptakan materialisasi dari kebendaan tidak berwujud dalam bentuk surat atau akta yang menjadi bukti kepemilikan dari kebendaan tidak berwujud tersebut. Jadi walaupun disebut dengan kebendaan tidak berwujud, kebendaan tersebut sebenarnya dapat dilihat pada materialnya.

Terhadap kebendaan tidak berwujud, ilmu hukum selanjutnya membedakan kedalam tiga kategori, yaitu:

b. kebendaan tidak berwujud atas tunjuk c. kebendaan tidak berwujud atas bawa.

Penggolongan tersebut didasarkan pada sifat mudah tidaknya kebendaan tidak berwujud tersebut dialihkan. Untuk yang pertama peralihannya hanya dapat dilakukan dengan cara tertulis melalui pembuatan akta, baik notariil maupun dibawah tangan, yang dikenal dengan nama akta cessie. Sedangkan untuk kebendaan tidak berwujud atas tunjuk peralihannya cukup dilakukan dengan cara endosemen, yang diikuti dengan penyerahan surat atau akta kepemilikan kebendaan tidak berwujud yang hendak dialihkan tersebut. Dan bagi kebendaan tidak berwujud atas bawa, peralihannya dapat dilakukan hanya

33

dengan melakukan penyerahan fisik dari surat atau akta kepemilikan kebendaan tidak berwujud tersebut.

Dengan demikian secara garis besar, penggolongan kebendaan dapat diringkas sebagai berikut;

1. kebendaan bergerak yang menurut sifatnya adalah dapat dipindahkan (kebendaan

yang berwujud; merupakan hak-hak atas kebendaan bergerak itu sendiri (kebendaan yang tidak berwujud);

2. kebendaan tidak bergerak yang menurut sifatnya tidak dapat dipindahkan, serta

yang segala sesuatu yang melekat padanya (kebendaan yang berwujud); menurut tujuannya tidak untuk dipindah-pindahkan (kebendaan yang berwujud); merupakan hak-hak atas kebendaan tidak bergerak itu sendiri (kebendaan yang tidak berwujud).

Dengan adanya pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak tersebut maka akan terjadi pembedaan dalam hal:

1. Pembebanan jaminan

Pembebanan benda bergerak dan tidak bergerak akan menentukan bentuk atau jenis pembebanan atau pengikatan jaminan atas benda tersebut dalam pemberian kredit. Misalnya jaminan berupa bentuk pengikatan atau pembebanannya berupa fidusia atau gadai. Jaminan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan), bentuk pengikatan dan pembebanannya berupa hak tanggungan. Kapal bobot lebih dari 20 (dua puluh) meter kubik dan pesawat udara bentuk pengikatan dan pembebanannya berupa hipotik.

Pembedaan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak mengakibatkan perbedaan dalam penyerahan benda itu. Untuk benda bergerak penyerahan dilakukan dengan penyerahan nyata (penyerahan bendanya), sedangkan untuk benda tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan balik nama.

3. Dalam hal daluwarsa (verjaring)

Untuk benda bergerak tidak mengenal daluarsa, sedangkan benda tidak bergerak mengenal daluarsa (tiga puluh tahun).

4. Berkenaan dengan bezit.

Untuk benda bergerak berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yaitu seorang

bezitter dari barang bergerak adalah pemilik benda itu sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak demikian.

4. Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah hak bersifat atas suatu kebendaan, yang memberikan kepada pemiliknya kekuasaan secara langsung atas kebendaan tersebut yang bersifat mutlak, yang dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Hak kebendaan ini dibedakan dari hak perseorangan yang bersifat relatif, yang hanya dapat dipertahankan oleh pemilik hak tersebut terhadap orang perorangan tertentu saja, terhadap siapa pemilik hak perseorangan ini berhubungan hukum. Dalam KUH Perdata hak kebendaan diatur dalam buku II tentang kebendaan, sedangkan hak perseorangan diatur dalam Buku III tentang perikatan.

Berdasarkan pada tujuan pemanfaatannya hak kebendaan dapat digolongkan dalam:

1. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan kepada pemilik haknya, yang dibedakan atas; Pertama, kebendaan yang nyata-nyata dimiliki olehnya sendiri (hak penguasaan atau bezit);

Pembedaan kedua macam hak kebendaan tersebut didasarkan pada sifat bergerak, terkecuali kebendaan tidak berwujud atas nama dan atas tunjuk, KUH Perdata memberlakukan prinsip bezit berlaku sebagai titel sempurna, dengan pengertian setiap penguasa fisik atas kebendaan bergerak dianggap sebagai pemiliknya sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Sedangkan terhadap kebendaan tidak bergerak, undang-undang menciptakan suatu sistem pencatatan dan publikasi hak kebendaan, yang akan menjadi bukti yang otentik atas setiap kebendaan yang melekat pada suatu kebendaan tidak begerak. Untuk hal yang terakhir setiap peralihan kepemilikan dan atau pembebanan atas setiap kebendaan tidak bergerak tersebut dianggap baru terjadi setelah dilakukannya pendaftaran dan atau pencatatan atas peralihan kepemilikan dan atau pembebanan atas kebendaan tersebut.

2. Hak kebendaan yang memberikan jaminan kepada pemegang haknya (hak pembebanan atau jaminan)

b. Hak Mendasar Yang Dimiliki Pemilik Hak Kebendaan

Ilmu hukum memberikan tiga hak mendasar yang dapat dimiliki oleh setiap pemilik hak kebendaan tersebut, yaitu:

1. Hak penguasaan yang berlaku mutlak, yang dapat dipertahankan setiap orang; dengan pengertian bahwa kemanapun suatu kebendaan beralih, pemegang haknya yang sah berhak untuk menuntut kepada siapapun juga agar kebendaan tersebut dikembalikan kepadanya.

2. Hak kemelekatan dari hak kebendaan tersebut terhadap kebendaan yang dihaki;

dengan pengertian kepada siapapun kebendaan tersebut beralih karena hukum, hak kebendaan akan tetap ada dan melekat pada kebendaan itu.

3. Hak mendahului dari pemilik hak kebendaan yang berupa jaminan, untuk

memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas setiap penjualan kebendaan yang dijaminkan dengan hak kebendaan tersebut.

Ketiga hak mendasar tersebut memungkinkan pemilik hak kebendaan tersebut memperoleh berbagai macam hak lainnya, seperti misalnya hak revindikasi.

5. Hak Bangunan

Hak guna bangunan merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya guna membangun dan menggunakan bangunan yang berdiri atau tempat usaha.

Hak guna bangunan maka perlu pula didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 adalah:

a. Semua hak pakai yang diperoleh departemen-departemen, direktorat-direktorat

dan daerah-daerah swatantra sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Menteri agraria nomor 9 tahun 1965.

b. Semua hak-hak pengelolaan sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Menteri

Pasal-pasal tersebut ditujukan kepada pemegang hak atas bangunan yang bersangkutan supaya mendaftarkan tanahnya masing-masing dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas bangunan yang berlaku sebagai alat pembuktian yang lewat bagi pemegang hak tersebut.

Sertifikat hak bangunan dapat beralih dan dialihkan sepanjang dimungkinkan dalam perjanjian oleh para pihak yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari penguasa hak atas bangunannya, dalam hal ini persetujuan tertulis dari pemegang hak miliknya atau hal ini persetujuan tertulis dari pemegang hak miliknya atau dari pemegang hak pengelolaannya atau atas tanah Negara dengan izin tertulis dari pejabat berwenang.

B. Tinjauan Tentang Jaminan

1. Pengertian Jaminan Secara Umum

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan Zaker Heiddos Stelling atau

Security Of Law. Dalam seminar badan pembinaan hukum nasional tentang lembaga politik dan jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian hukum jaminan. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dan penggolongan jaminan. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah :

“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberi fasilitas kredit,

demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi

lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya

lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah”.

2. Dasar Hukum Jaminan

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam yakni sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil adalah tempat materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional dan keadaan geografis.

Sumber hukum formal ini dapat digolongkan menjadi 2 macam, yaitu sumber formal tertulis dan tidak tertulis. Analog dengan hal ini, maka sumber hukum jaminan dapat dibagi menjadi 2 macam, yakni sumber hukum jaminan tertulis dan tidak tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum jaminan tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya sumber hukum jaminan tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan

yurispendensi.

Sedangkan sumber hukum jaminan tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan. Adapun yang menjadi sumber hukum jaminan tertulis, yaitu :

KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan pada tahun 1848, diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Sedangkan yang menyangkut tentang jaminan terdapat pada buku II KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132. yang mana isi dari Pasal ini adalah :

Pasal 1131 “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

Dokumen terkait