• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan mengenai Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien ODHA di Klinik Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2016 menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa secara parsial variabel bukti fisik, keandalan, ketanggapan, jaminan dan perhatian mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pasien ODHA di Klinik Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Dari 5 variabel dengan 31 indikator, terdapat 10 indikator dominan yang menjadi penentu dalam peningkatan kepuasan yaitu; kondisi kenyamanan ruang pemeriksaan/pengobatan, proses pendaftaran di bagian administrasi, tindakan nyata dalam pelayanan oleh petugas obat kepada pasien, pelayanan yang cepat oleh dokter/perawat, pikap sabar dokter dalam menghadapi pasien, kerjasama antara petugas kesehatan, perhatian secara pribadi oleh perawat kepada pasien dalam pelayanan dan perlakuan petugas lainnya yang mempengaruhi kepuasan pasien ODHA di Klinik Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan.

79

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. RSUP H. Adam Malik diharapkan untuk mampu mempertahankan ataupun meningkatkan kualitas, pada pelayanan yang diberikan kepada pasien ODHA. Informasi yang baik ini akan menjadi masukan pada ODHA lainnya agar mau memanfaat pelayanan Pusyansus.

2. Hendaknya pihak pengelola RSUP H. Adam Malik dapat membuat satu tempat ruangan khusus sebagai satelit apotek obat ARV, sehingga jika pasien yang ingin mengambil obat dapat langsung kebagian tersebut dan tidak lama menunggu.

3. Perlu adanya pemberian informasi dan edukasi kepada setiap pegawai RSUP H. Adam Malik dan tidak hanya di bagian Pusyansus, agar dapat memahami penanganan penyakit HIV/AIDS lebih mendalam, sehingga tidak memberikan perlakuan yang berbeda dalam pelayanan terhadap ODHA. 4. Perlu peningkatan pelaksanaan promotif dan preventif terhadap penyakit

HIV/AIDS agar masyarakat lebih memahami penyakit ini dan menjaga kesehatan diri sendiri.

5. Diharapkan pasien ODHA dapat memahami prosedur dalam penanganan dan ketentuan yang berlaku dalam pelayanan kesehatan khusus ODHA agar tercipta suasana nyaman dengan petugas layanan kesehatan yang ada, baik petugas medis ataupun non-medis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV-AIDS-ODHA 2.1.1 Pengertian

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).Virus ini menyerang manusia dan menyerang sel-sel darah putih atau sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga orang yang terserang penyakit ini tidak dapat melawan berbagai jenis penyakit yang menyerang tubuhnya. Tanpa pengobatan, seorang dengan HIV bisa bertahan hidup selama 9-11 tahun setelah terinfeksi, tergantung tipenya. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun.

Sejarah HIV-AIDS diawali dari identifikasi sejenis simpanse sebagai sumber infeksi HIV ke manusia di Afrika Selatan. Simian Immunodefiency Virus (SIV) bermutasi menjadi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang diduga terjadi akibat kontak darah dengan simpanse yang telah terinfeksi SIV. Perlahan namun pasti, virus ini menyebar ke seluruh daratan Afrika dan bagian lain diseluruh dunia. Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987, terjadi pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan tahun 2011, kasus HIV-AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus HIV-AIDS terus meningkat (Katiandagho, 2015).

11

Menurut Kristina yang dikutip Syaiful (2000) mengatakan bahwa dalam bahasa inggris orang yang terinfeksi HIV/AIDS itu disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS), sedangkan di Indonesia kategori ini diberi nama ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang yang hidupdengan HIV/AIDS) baik keluarga serta lingkungannya.

2.1.2 Cara penularan

Menurut Muma, dkk (1997), cara penularan atau transmisi HIV sangat terbatas. Antara lain melalui Kontak seksual, terinfeksi oleh komponen darah dan konsetrat faktor pembekuan darah yang terinfeksi, dan secara perinatal. HIV telah diisolasi dari sejumlah cairan tubuh, termasuk darah saliva, semen, urin, cairan serebrospinalis, dan keringat. Virus HIV seringkali menginfeksi sel limfosit T helper (juga dikenal dengan nama T4+, CD4+, OKT 4+). Walaupun begitu, temuan-temuan itu tidak begitu berarti bagi kesehatan masyarakat. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa kontak dengan saliva atau air mata penderita dapat menyebabkan seseorang terinfeksi HIV.

Selain itu menurut Katiandagho (2015), ada tiga cara penularan HIV/AIDS adalah sebagai berikut:

1. Hubungan seksual, baik secara vaginal, ral maupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Lebih mudah terjadi penularan apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih

12

besar dibanding seks vaginal dan risiko juga lebih besar pada yang reseptive dari pada yang insetive.

2. Kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik:

a) Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi sampai lebih dari 90%.

b) Pemakainan jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan semritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%. c) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan

risikonya sekitar kurang dari 0,5%.

3. Secara vertikal, dari ibu hamil mengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40%.

2.1.3 Gejala klinis

Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi). Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit

13

klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawetz, dkk, 2005).

Dalam Pedoman Nasional Terapi Antiretoviral (DEPKES RI, 2007), klasifikasi gejala klinis penyakit terkait HIV disusun untuk digunakan pada pasien yang sudah didiagnosa secara pasti bahwa terinfeksi HIV dalam empat stadium Klinik, sebagai berikut :

Tabel 2.1 Stadium Klinik HIV Stadium 1 Asimtomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan berat badan 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka disekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papulareruption)) Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati

Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan

Kandidosis esophageal TB Extraparu

14

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)

Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosismeluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)

Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsineurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapiARV)

Kanker serviks invasive Leismaniasis atipik meluas

Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

2.2 Kebijakan Mengenai HIV dan AIDS di Indonesia

Kebijakan mengenai HIV dan AIDS di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang memuat :

2.2.1 Strategi penanggulangan HIV dan AIDS

Ketentuan strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS yaitu dengan cara :

a. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia.

b. memprioritaskan komitmen nasional dan internasional.

c. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas.

d. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif.

15

e. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan.

f. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS.

g. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

h. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

i. meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna.

2.2.2 Tugas dan tanggung jawab Pemerintah

1. Pemerintah pusat memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi :

a) membuat kebijakan dan pedoman dalam pelayanan promotif, preventif, diagnosis, pengobatan/perawatan, dukungan, dan rehabilitasi.

b) bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan; menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional.

16

d) melakukan kerjasama regional dan global dalam rangka pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.

2. Pemerintah daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi :

a) melakukan koordinasi penyelenggaraaan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS.

b) menetapkan situasi epidemik HIV tingkat provinsi.

c) menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi.

d) menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan dalam melakukan Penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kemampuan.

3. Pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi :

a) melakukan penyelenggaraaan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS.

b) menyelenggarakan penetapan situasi epidemik HIV tingkat kabupaten/kota. c) menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan

rujukan dalam melakukan penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kemampuan.

d) menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi.

17

2.2.3 Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS

Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat, dan penyelenggaraannya dilakukan dalam bentuk layanan komprehensif dan berkesinambungan. Layanan komprehensif dan berkesinambungan merupakan upaya yang meliputi semua bentuk layanan HIV dan AIDS yang dilakukan secara paripurna mulai dari rumah, masyarakat sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan. Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas :

1. Promosi kesehatan, Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan

pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi yang diberikan dalam bentuk advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya serta didukung kebijakan publik.Promosi kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan terlatih.Sasaran promosi kesehatan meliputi pembuat kebijakan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.

Promosi kesehatan dapat dilakukan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan maupun program promosi kesehatan lainnya, meliputi: iklan layanan masyarakat; kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko penularan penyakit; promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda; peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan penyalahgunaannapza dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan, tenaga non kesehatan yang terlatih;

18

2. Pencegahan penularan HIV, Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara

efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko, meliputi upaya :

1) pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual, merupakan berbagai upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit IMS lain yang ditularkan melalui hubungan seksual. Pelaksanaanya dilakukan terutama di tempat yang berpotensi terjadinya hubungan seksual berisiko. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui beberapa upaya yang sering disebut ABCDE, yaitu untuk:

a. Abstinensia, tidak melakukan hubungan seksual, ditujukan bagi orang yang belum menikah.

b. Be Faithful, setia dengan pasangan, hanya berhubungan seksual dengan pasangan tetap yang diketahui tidak terinfeksi HIV.

c. Condom use, menggunakan kondom secara konsisten, berarti selalu menggunakan kondom bila terpaksa berhubungan seksual pada penyimpangan terhadap ketentuan huruf a dan huruf b serta hubungan seks dengan pasangan yang telah terinfeksi HIV dan/atau IMS.

d. no Drug artinya menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (Narkoba). e. Education, meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi

termasuk mengobati IMS sedini mungkin.

f. melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi.

2) pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual, ditujukan untuk mencegah penularan HIV melalui darah, meliputi:

19

a. uji saring darah pendonor, dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

b. pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh, dilakukan dengan penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur operasional serta memperhatikan kewaspadaan umum (universal precaution).

c. pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik, meliputi: (a) program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta dukungan psikososial; (b) mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiate menjalani program terapi rumatan; (c) mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan penularan seksual; dan (d) layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.

3) pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya, terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi kesehatan dan pencegahan penularan HIV yang dilakukan melalui pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes dan konseling. Tes dan Konseling dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan terkonsentrasi, atau ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah epidemi rendah.

20

infeksi HIV dan dilakukan berdasarkan prinsip konfidensialitas, persetujuan, konseling, pencatatan, pelaporan dan rujukan. Prinsip konfidensial adalah hasil pemeriksaan yang harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka kepada yang bersangkutan, tenaga kesehatan yang menangani, keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap, pasangan seksual dan pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan melalui KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela) atau TIPK (Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling) dan harus dilakukan dengan persetujuan pasien. Dikecualikan dari ketentuan dalam beberapa hal diantaranya: (a) penugasan tertentu dalam kedinasan tentara/polisi; (b) keadaan gawat darurat medis untuk tujuan pengobatan pada pasien yang secara klinis telah menunjukan gejala yang mengarah kepada AIDS; dan (c) permintaan pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tes HIV pada TIPK tidak dilakukan jika pasien menolak secara tertulis. Dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS, TIPK harus dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan khusus pada wilayah epidemi meluas, TIPK harus dianjurkan pada semua orang yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan sebagai bagian dari standar pelayanan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan TIPK harus memiliki kemampuan untuk memberikan paket pelayanan pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV dan AIDS. Pada wilayah epidemi terkonsentrasi dan epidemi rendah, TIPK dilakukan pada semua orang dewasa, remaja dan anak yang memperlihatkan tanda dan

21

gejala yang mengindikasikan infeksi HIV, termasuk tuberkulosis, serta anak dengan riwayat terpapar HIV pada masa perinatal, pada pemerkosaan dan kekerasan seksual lain.

Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis (bidan atau perawat) dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Tes HIV dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay). Konseling wajib diberikan pada setiap orang yang telah melakukan tes HIV. Konseling terdiri atas konseling pribadi, konseling berpasangan, konseling kepatuhan, konseling perubahan perilaku, pencegahan penularan termasuk infeksi HIV berulang atau infeksi silang, atau konseling perbaikan kondisi kesehatan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana yang dilakukan oleh konselor terlatih. Konselor terlatih dapat merupakan tenaga kesehatan maupun tenaga non kesehatan.

Tes HIV pada darah pendonor, produk darah dan organ tubuh dilakukan untuk mencegah penularan HIV melalui transfusi darah dan produk darah serta transplantasi organ tubuh.Tindakan pengamanan darah pendonor, produk darah dan organ tubuh terhadap penularan HIV dilakukan dengan uji saring darah/organ tubuh pendonor.Tindakan pengamanan darah terhadap penularan HIV melalui transfusi darah meliputi :

a) uji saring darah pendonor, dilakukan sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Menteri. Bila hasil uji saring darah reaktif, maka Unit Transfusi Darah harus melakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya tetap reaktif, Unit

22

Transfusi Darah harus memberikan surat pemberitahuan disertai dengan anjuran untuk melakukan konseling pasca uji saring darah.

b) konseling pasca uji saring darah, berisi anjuran kepada pendonor yang bersangkutan untuk tidak mendonorkan darahnya kembali dan merujuk pendonor ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan Tes dan Konseling HIV.

Sebelum dilakukan pengambilan darah pendonor, diberikan informasi mengenai hasil pemeriksaan uji saring darah dan permintaan persetujuan uji saring (informed consent).Persetujuan uji saring (informed consent) berisi pernyataan persetujuan pemusnahan darah dan persetujuan untuk dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila hasil uji saring darah reaktif.

4. Pengobatan, Perawatan dan Dukungan (PPD), Setiap orang terinfeksi HIV

wajib mendapatkan konseling pasca pemeriksaan diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan mendapatkan pengobatan. Registrasi meliputi pencatatan yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan, nomor urut ditemukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium klinis saat pertama kali ditegakkan diagnosisnya. Registrasi harus dijaga kerahasiannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV. Pengobatan HIV harus dilakukan bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan AIDS bertujuan untuk menurunkan sampai tidak terdeteksi jumlah virus (viral

23

load) HIV dalam darah dengan menggunakan kombinasi obat ARV. Pengobatan ARV dimulai di rumah sakit dan dapat dilanjutkan di puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Rumah sakit yang dimaksud adalah rumah sakit dengan klasifikasi sekurang-kurangnya merupakan rumah sakit kelas C.

Pengobatan Bayi dan Ibu Hamil, setiap ibu hamil dengan HIV berhak mendapatkan pelayanan persalinan di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Pelayanan persalinan harus memperhatikan prosedur kewaspadaan standar dan tidak memerlukan alat pelindung diri khusus bagi tenaga kesehatan penolong persalinan.Setiap bayi baru lahir dari ibu HIV dan AIDS harus segera mendapatkan profilaksis ARV dan kotrimoksazol. Bila status HIV belum diketahui, maka dilakukan pemberian nutrisi sebagai pengobatan penunjang bagi bayi baru lahir yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan pilihan pendekatan sesuai dengan kebutuhanperawatan yang berbasis fasilitas pelayanan kesehatan danperawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based Care). Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilakukan secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan biopsikososiospiritual yang meliputi: tatalaksana gejala; tata laksana perawatan akut; tatalaksana penyakit kronis; pendidikan kesehatan; pencegahan komplikasi dan infeksi oportunistik; dan perawatan paliatif.

24

terutama pekerja seks dan Pengguna Napza Suntik. Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial yang ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara ekonomis dan sosial. Rehabilitasi pada populasi kunci pekerja seks dilakukan dengan cara pemberdayaan ketrampilan kerja dan efikasi diri yang dapat dilakukan oleh sektor sosial, baik Pemerintah maupun masyarakat, dan untuk populasi kunci pengguna napza suntik dilakukan dengan cara rawat jalan, rawat inap dan program pasca rawat sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.

2.3 Rumah Sakit

Menurut WHO (World Health Organization) (2012), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik. Berdasarkan Permenkes No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, yang dimaksudkan dengan Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, dan Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis

25

penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya.

2.3.1 Tugas dan fungsi rumah sakit

Rumah Sakit Umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan.

Dimana untuk menyelenggarakan fungsinya, maka Rumah Sakit umum menyelenggarakan kegiatan :

a. Pelayanan medis

b. Pelayanan dan asuhan keperawatan

c. Pelayanan penunjang medis dan nonmedis

d. Pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan e. Pendidikan, penelitian dan pengembangan

f. Administrasi umum dan keuangan

Sedangkan menurut undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, fungsi rumah sakit adalah :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan seuai dengan

Dokumen terkait