• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini merupakan sebuah novel perjuangan hidup dua tokoh perempuan asli Bali, Luh Sekar/Jero Kenanga dan Ida Ayu Telaga Pidada, yang ingin memperoleh kebahagiaan dengan cara berpindah kasta. Di setiap perjuangannya, disisipi kisah cinta dan konflik antartokoh. Tarian Bumi juga bisa dikatakan sebagai kritik sosial dari pengarang, Oka Rusmini, terhadap aturan adat Bali yang semakin dihimpit oleh kehidupan modern. Hal ini merupakan salah satu tantangan masyarakat Bali untuk mempertahankan adat asli mereka dari budaya-budaya yang dibawa oleh pendatang sebagai turis domestik ataupun mancanegara.

Salah satu aturan adat Bali yang masih dijalankan oleh masyarakatnya adalah sistem kasta. Sistem kasta di Bali merupakan nilai-nilai budaya asli dan menggambarkan hubungan sosial masyarakatnya. Namun sistem kasta inilah yang

mempengaruhi Luh Sekar/Jero Kenanga dan Ida Ayu Telaga Pidada berpindah kasta.

Dalam novel ini Oka Rusmini menggambarkan dua tokoh, Luh Sekar/Jero Kenanga dan Ida Ayu Telaga Pidada, yang berpindah kasta dari kasta aslinya. Luh Sekar/Jero Kenanga dari kasta sudra menginginkan naik kasta ke kasta brahmana. Sedangkan anaknya, Ida Ayu Telaga Pidada, dari kasta brahmana malah rela ikut suaminya yang berkasta sudra. Dua tokoh utama ini berpindah kasta karena beberapa alasan yang dipengaruhi oleh motivasi yang berasal dari nilai-nilai kebudayaan sekitarnya. Kedua tokoh di atas mempunyai motivasi sosiogenetis dalam berpindah kasta. Motivasi sosiogenetis berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang itu tinggal dan berkembang. Motivasi sosiogenetis timbul sebagai akibat dari interaksi sosial dengan orang (para tokoh) atau hasil kebudayaan (sistem kasta dan adat istiadat).

4.1.1 Ida Ayu Telaga Pidada

Ida Ayu Telaga Pidada adalah anak Jero Kenanga. Telaga mempunyai paras cantik, keturunan bangsawan brahmana yang kaya, pintar menari, dan sopan dengan siapa pun termasuk teman-temannya dalam kasta sudra. Telaga harus menjalankan segala aturan adat dalam kasta brahmana. Sedari kecil Telaga dilarang berkunjung ke rumah nenek atau ibu dari Jero Kenanga karena dipercaya akan menghilangkan sinar kebangsawanannya. Beranjak dewasa, saat haid pertama kali, Telaga harus menjalani upacara Menek Kelih yang menandai aqil balik seorang perempuan brahmana. Setelah mengalami upacara Menek Kelih,

Telaga harus mulai belajar menghapal sesaji, membaca lontar Bali, mengukir janur, hingga bersikap seperti Ida Ayu sejati di dalam griya. Di sinilah motivasi objektif dan manipulasi Telaga timbul. Walaupun terpaksa oleh adat atau rutinitas dalam griya, Telaga harus melakukannya, menjadi anak baik, dan menjadi yang terbaik bagi keluarga. Padahal Telaga tidak suka diatur atau punya sifat keras kepala seperti ibunya, Jero Kenanga, dan merasa direpotkan dengan berbagai aturan ini.

Sesuai kesimpulan dalam bab sebelumnya dan diperjelas lagi dalam bagan, motivasi Ida Ayu Telaga Pidada yang sangat berpengaruh besar dalam dirinya adalah faktor cintanya kepada Wayan Sasmitha, laki-laki sudra. Telaga sangat cinta kepada teman kecilnya ini. Cinta mereka tumbuh sedari masih anak-anak, hingga dewasa cinta mereka masih terjaga. Oleh karena rasa cinta yang sangat besar ini, Telaga memutuskan untuk menikah dengan Wayan dan rela ikut suaminya untuk menjalani hidup dalam kasta sudra. Kondisi Telaga yang sudah hamil lima bulan inilah yang menjadi motivasi darurat Telaga untuk keluar dari kastanya dan melawan aturan kastanya (motivasi Telaga untuk melawan). Setelah menikah, Ida Ayu Telaga Pidada mengalami perubahan karakter dalam dirinya. Jika di dalam griya segala kebutuhan terpenuhi, namun di dalam kasta sudra, terlebih di rumah suaminya, Telaga harus bersabar, mandiri, dan menerima apa adanya. Ada sebuah pembelajaran baru dalam kehidupannya di kasta sudra. Dan proses belajar menjadi orang sudra ini merupakan motivasi objektif eksplorasi dan manipulasi agar Telaga bisa diterima di dalam keluarga Wayan. Namun sikap sabar dan menerima apa adanya itu tidak cukup dilakukan Telaga agar dia

benar-benar diterima di keluarga Wayan. Telaga selalu dianggap sebagai sumber kesialan karena telah menikah dengan lain kasta. Kematian Wayan yang mendadak dianggap Ibunya Wayan sebagai salah satu kesialan tersebut. Anggapan Telaga sebagai sumber kesialan tersebut merupakan sebuah rintangan bagi Telaga dalam berkeluarga dan bisa menjadi sumber bahaya bagi dirinya sendiri. Telaga ingin sekali hidup tenang dan diterima keluarga Wayan. Di sinilah motivasi untuk mengatasi rintangan yang Telaga terlihat. Telaga diminta oleh mertuanya, Luh Gumbreg, untuk melakukan upacara Patiwangi dan pamitan kepada leluhur agar keluarganya tentram. Faktor kedua yang mempengaruhi sikap Telaga dalam berpindah kasta adalah perbuatan munafik yang dilakukan oleh tokoh Ayah/Ida Bagus Ngurah Pidada, Nenek/Ida Ayu Sagra Pidada, dan Kakek/Ida Bagus Tugur Pidada. Kakek Telaga adalah seorang laki-laki terpelajar hingga berhasil mendapatkan kekuasaan dalam kehidupan brahmana. Namun dia lupa bahwa dia mempunyai istri dan anak serta pernah nyentanain atau kawin dengan seorang perempuan yang telah dijadikan sentana/ahli waris. Dalam adat nyentanain, perempuan brahmana berkuasa di rumahnya sehingga Kakek merasa tidak bisa apa-apa di dalam griya. Kakek hanya bisa berharap dan sering bercerita kepada Telaga tentang kesetian Dewi Kunti terhadap keluarga dan suaminya, tetapi cerita ini tidak pernah diungkapkan kepada Nenek. Kakek hanya bisa terdiam, pasif, dan tidak bisa membantah sedikitpun tuduhan-tuduhan dari Nenek saat berdebat. Menurut Telaga, Kakek hanya sebagai pelengkap dalam keluarganya saja. Sebagai seorang bangsawan brahmana, sikap seorang brahmana harusnya bisa menjadi teladan bagi tiga kasta lainnya. Namun Ayah Telaga malah

mempunyai sifat yang tidak terpuji. Ayah Telaga tidak bekerja, sering tidak pulang ke rumah berbulan-bulan, suka main wanita, adu ayam, dan mabuk-mabukan. Nenek Telaga juga mengalami kemunafikan atas sikapnya. Prinsip hidup Nenek adalah menjaga kehormatan dan wibawa keluarganya, keluarga brahmana. Namun Nenek tidak pandai membaca kesalahan anaknya, Ayah Telaga. Nenek seakan-akan membela sosok Ayah dan hanya bisa menyalahkan Jero Kenanga karena tidak bisa menjaga dan membahagiakan anaknya. Menurut Telaga, ada satu sisi positif dalam diri Nenek. Nenek pernah menasihati Telaga bahwa jika Telaga jatuh cinta kepada seorang laki-laki dan akhirnya memutuskan untuk menikah, jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Nasihat itulah yang membuat Telaga yakin akan cintanya kepada Wayan walaupun harus berpindah kasta. Faktor selanjutnya adalah faktor yang dipengaruhi oleh ambisi Jero Kenanga. Ibunya sering memaksa Telaga untuk menikah dengan laki-laki brahmana pilihan Ibunya sendiri. Ibunya juga sering mengatur Telaga dalam berbusana setiap ada undangan kehormatan hingga memutuskan mengambil pekerjaan tersebut atau undangan permintaan agar Telaga menari. Telaga menganggap hal ini sebagai paksaan dari sebuah ambisi Jero Kenanga, Ibu Telaga. Faktor yang terakhir adalah faktor keturunan yang bisa juga mempengaruhi sikap Telaga. Jero Kenanga, ibu Telaga, mempunyai sifat keras kepala. Jika Jero Kenanga mempunyai keinginan, dia tidak bisa dicegah oleh siapa pun. Sifat ini menurun kepada anaknya, Telaga. Telaga lebih memilih Wayan dari kasta sudra daripada laki-laki brahmana pilihan ibunya, sehingga

Telaga rela hidup dalam kasta sudra dan ikut suaminya daripada hidup dalam kasta brahmana yang penuh dengan kemunafikan dan paksaan.

4.1.2 Luh Sekar atau Jero Kenanga

Tokoh kedua yang berpindah kasta adalah Luh Sekar. Perempuan ini digambarkan mempunyai paras cantik, pintar menari, tegar, cerdik, penuh ambisi, keras kepala, dan terlalu mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan. Awal kehidupannya, Luh Sekar harus berperan sebagai perempuan sudra yang serba kekurangan dan dikucilkan masyarakat sekitar karena ayahnya dituduh sebagai anggota PKI. Hal tersebut merupakan motivasi sosiogenetis sekaligus motivasi darurat Luh Sekar berpindah kasta yaitu karena faktor kemiskinan dan dampak dari politik PKI. Dua faktor tersebut merupakan sumber bahaya bagi keluarga Luh Sekar jika berkelanjutan. Motivasi darurat untuk melepaskan diri dari bahaya inilah yang membuat Luh Sekar sangat berambisi untuk berpindah status ke kasta brahmana karena Luh Sekar yakin akan memperoleh kehidupan yang layak. Menurut Luh Sekar, salah satu cara untuk naik kasta adalah dengan menikahi laki-laki brahmana. Luh Sekar mengambil jalan untuk menjadi penari Joged agar bisa menggaet hati Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang bangsawan brahmana. Proses belajar menari dan menjadi cantik yang dilakukan Luh Sekar merupakan motivasi objektif eksplorasi dan manipulasi. Dan Luh Sekar berhasil menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada. Keputusan Luh Sekar untuk menikah ini menggambarkan adanya motivasi untuk melawan yang dipunyai Luh Sekar. Ambisi Luh Sekar yang begitu besar itu membuatnya tidak mempertimbangkan dampak dari

perpindahan kasta tersebut. Seiring dengan perpindahan kasta dan perubahan namanya menjadi Jero Kenanga, dia harus menaati segala peraturan dalam kasta brahmana. Dari sinilah perubahan karakter Luh Sekar dimulai. Orangtua dan keluarga kandungnya harus lebih menghormati Jero Kenanga, bahkan Jero Kenanga tidak boleh menyentuh, memandikan, dan menyembah mayat ibunya sendiri. Di dalam lingkungan griya pun peraturan juga semakin mengikatnya. Jero Kenanga tetap dianggap sebagai perempuan sudra yang harus berbahasa halus dengan siapa pun anggota keluarga suaminya, tidak boleh minum satu gelas dengan anak kandungnya sendiri, dan tidak boleh memberi makanan sisa kepada orang-orang griya. Namun, hal tersebut harus terus dijalani Jero Kenanga demi dirinya agar bisa diterima di dalam griya. Hal ini merupakan motivasi untuk mengatasi rintangan yang dialami Luh Sekar. Dia malah ingin perjuangannya dalam memperoleh kehidupan yang layak dan perpindahan kastanya diteruskan oleh anak kandung satu-satunya, Ida Ayu Telaga Pidada. Ambisi Jero Kenanga tersebut sering berujung konflik dengan Ida Ayu Telaga Pidada karena dirasa seperti sebuah paksaan. Perubahan karakter Luh Sekar menjadi Jero Kenanga juga merupakan motivasi objektif eksplorasi dan manipulasi agar dia bisa diterima di dalam griya.

Dokumen terkait