• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL TARIAN

2.1.1 Ida Ayu Telaga Pidada

Ida Ayu Telaga Pidada, biasa dipanggil Telaga, adalah seorang gadis yang berasal dari kasta brahmana. Telaga digambarkan sebagai seorang bangsawan, kaya, pandai menari, dan cantik. Telaga tinggal di griya, rumah tempat tinggal kasta brahmana. Karena berasal dari kasta brahmana, banyak orang meyakini bahwa Telaga diberi taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang, saat menari oleh para dewa. Telaga menjadi berbeda dengan gadis lain karena taksu yang dimilikinya. Telaga mempunyai bakat dan kemampuan menari lebih dari para penari lainnya, sehingga sering membuat iri para perempuan yang melihatnya menari. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(1) “Karena dia seorang putri brahmana, maka para dewa memberinya taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang. Luar biasa. Lihat! Ketika perempuan itu menari seluruh mata seperti melahap tubuhnya. Alangkah beruntungnya perempuan itu. Sudah bangsawan, kaya, cantik lagi. Dewa-dewa benar-benar pilih kasih!” Seorang perempuan berkata sinis. Bau iri melukis matanya yang tajam dan sangat tidak bersahabat itu (Rusmini, 2004: 5).

(2) Semua orang desa sudah tahu, tak ada yang bisa mengalahkan Ida Ayu Telaga Pidada menari Oleg. Sebuah tarian tentang nikmatnya merakit sebuah percintaan (Rusmini, 2004: 4).

Telaga juga disenangi oleh banyak lelaki. Para lelaki tersebut kebanyakan berasal dari kasta sudra, kasta yang tingkatannya lebih rendah dari kasta brahmana. Oleh karena itu, para lelaki sudra hanya bisa mengagumi Telaga dari jauh saja, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati Telaga karena perbedaan kasta. Mereka bahkan mengeluh bahwa kecantikan hanya diberikan oleh para dewa kepada perempuan brahmana, bukan perempuan sudra; sehingga para lelaki sudra cuma bisa bermimpi untuk mendapatkan perempuan cantik dengan kasta yang sama.

(3) “Putu Sarma, kau jangan bermimpi! Perempuan brahmana itu tak mungkin menyentuh dan mengerti perasaanmu. Sebelum perasaan perempuan itu muncul, para dewa telah membunuhnya.” Seorang laki -laki memukul pundak Putu Sarma. Putu Sarma tertawa keras-keras.

“Ya. Sayang sekali para dewa pilih kasih. Kenapa hanya perempuan bangsawan yang diberi kecantikan bumi! Apa komentarmu kalau kucuri perempuan itu dari penjagaan ketat para dewa?” sambung laki-laki muda di sebelahnya (Rusmini, 2004: 10-11).

Sebagai seorang perempuan brahmana, Telaga tidak terlalu menjaga jaraknya dengan kasta lain. Telaga tidak memposisikan diri sebagai perempuan brahmana yang harus selalu disanjung dan dihormati oleh kasta yang lebih rendah. Telaga justru digambarkan sebagai seorang perempuan brahmana yang menghormati, baik hati, dan santun terhadap kasta lain yang lebih rendah. Telaga sangat hormat kepada kasta sudra, terutama terhadap keluarga Luh Sadri, teman Telaga.

(4) “Aku harus membuang pikiran-pikiran buruk itu, Hyang Widhi5. Alangkah jahatnya aku, padahal Telaga sangat baik padaku.

5 Tuhan.

Perempuan itu selalu penuh hormat pada keluargaku. Ibuku juga sangat mencintai perempuan bangsawan itu. Kata ibu, tak ada perempuan bangsawan yang bisa menghormati dirinya selain Telaga. Perempuan itu juga sering membeli alat-alat upacara untuk kepentingan griya. Hyang Widhi, kenapa aku tak bisa membuang kebencian pada perempuan di atas panggung itu? Kenapa? Padahal perempuan di atas panggung itu telah memberi banyak kemudahan untuk keluargaku.” Luh Sadri meremas tangannya sendiri (Rusmini, 2004 : 7).

Melalui kutipan di atas dapat diketahui bentuk penghormatan Telaga terhadap kasta sudra, salah satunya adalah dengan selalu memberi bantuan kepada keluarga Luh Sadri. Telaga sering membelikan perlengkapan untuk upacara di griya dan secara langsung tindakan Telaga tersebut telah membantu perekonomian keluarga Luh Sadri. Telaga telah membentuk hubungan yang baik antara brahmana dan sudra dengan cara menghormati keluarga Luh Sadri.

Telaga juga kebanggaan Jero Kenanga, ibunya. Telaga dituntut untuk bisa menjaga diri. Bagi Jero Kenanga, Telaga adalah anak satu-satunya yang dapat mengangkat derajatnya dari sudra menjadi brahmana, bahkan melebihi perempuan bangsawan lainnya.

(5) “Tugeg6 harus jadi perempuan paling cantik di griya ini. Tugeg adalah harapan Meme7. Pada Tugeg, Meme menyerahkan hidup. Makanya, Tugeg harus bisa jaga diri. Tugeg harus…” Suara perempuan yang meminjamkan rahimnya hampir sepuluh bulan itu selalu membuat Telaga bergidik (Rusmini, 2004: 11-12).

(6) Ibunya memang bukan seorang bangsawan. Ibu Telaga adalah perempuan sudra, perempuan kebanyakan yang disunting oleh laki-laki brahmana, laki-laki yang dalam darahnya mengalir nilai-nilai kebangsawanan, keagungan, kebesaran, sekaligus keangkuhan (Rusmini, 2004: 12).

6Tugeg singkatan dari Ratu Jegeg. Seorang yang kastanya lebih rendah akan memanggil anak perempuan brahmana dengan panggilan Tugeg.

7 Ibu.

Telaga digambarkan sebagai anak yang memiliki kedekatan dengan ibunya. Namun, disisi lain Telaga digambarkan tidak mempunyai kedekatan dengan ayahnya. Tanpa sepengetahuan ibunya, Telaga sebenarnya sangat membenci ayahnya. Telaga menganggap bahwa ayahnya, Ida Bagus Ngurah Pidada, merupakan lelaki brahmana yang tidak menunjukkan sikap sebagai seorang bangsawan. Selain itu, ayah Telaga juga merupakan lelaki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Ayah Telaga hanya bisa membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan tanpa diimbangi tindakan yang baik di mata semua orang. Ayah Telaga hanya bisa metajen8, minum minuman keras, sampai berbulan-bulan tidak pulang. Padahal Telaga juga dituntut untuk menghormati ayahnya dengan menyebutnya “ratu”, panggilan kehormatan untuk kalangan bangsawan.

(7) Bagi Telaga, dialah lelaki idiot yang harus dipanggil dengan nama yang sangat agung, Aji, Ayah. Menjijikkan sekali! Lelaki yang tidak bisa bersikap! Lelaki yang hanya bisa membanggakan kelelakiannya. Bagaimana mungkin dia bisa dipercaya? Ketololannyalah yang membuat seorang perempuan kecil bernama Ida Ayu Telaga Pidada menyesal harus memanggil lelaki itu dengan panggilan terhormat. Karena ayah Telaga memiliki ayah seorang Ida Bagus dan ibunya Ida Ayu, kata orang nilai karat kebangsawaannya sangat tinggi. Untuk memanggilnya laki-laki yang tidak pernah dikenalnya itu Telaga harus menambahkan kata “ratu” (Rusmini, 2004: 13).

(8) Laki-laki yang memiliki ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia bisa berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah, kerjanya hanya metajen, adu ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak, minuman keras. Laki-laki itu juga sering membuat ulah yang sangat memalukan Nenek, ibunya sendiri (Rusmini, 2004: 15).

8

Dalam hidupnya, Telaga tidak begitu mengenal sosok ayahnya, bahkan Telaga merasa jijik menyebutnya ayah karena kelakuan ayahnya tidak memperlihatkan sikap seorang ayah yang berkasta brahmana. Telaga ditinggal mati ayahnya ketika masih berusia sembilan tahun. Ayahnya ditemukan mati di tempat pelacuran dengan penuh tusukan pisau di tubuhnya yang telanjang dan dengan mulut yang berbau arak.

Kehidupan Telaga sebagai seorang perempuan berkasta brahmana juga digambarkan melalui kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan Telaga selama berada di griya. Telaga diwajibkan untuk mengikuti seluruh aturan kasta brahmana, termasuk pembatasan pergaulan antara brahmana dengan kasta yang lebih rendah. Sejak kecil Telaga tidak diperbolehkan bertemu dengan orangtua ibunya yang berkasta sudra. Jika Telaga sering bergaul dengan kasta sudra, termasuk keluarga dari ibunya, maka nilai kebangsawanan mereka akan berkurang atau justru kebangsawanan mereka hilang.

(9) “Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu. Cucuku seorang brahmana, bukan sudra. Bagaimana kamu ini! Kalau sering kau bawa pulang ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar kebangsawanan. Kau mengerti, Kenanga!” Suara mertuanya terdengar melengking. Sekar terdiam (Rusmini, 2004: 75-76).

Kewajiban lain yang harus dijalankan Telaga saat beranjak dewasa adalah tradisi upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru yang ditandai dengan haid pertama. Telaga harus melakukan tradisi Menek Kelih9 yang menandai masa aqil balik seorang perempuan. Hal ini dirasakan Telaga lebih seperti aturan yang

9

Sebuah upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru. Biasanya disebut dengan masa akil balik. Bagi perempuan ditandai dengan haid pertama.

memaksanya untuk meninggalkan segala sifat kekanak-kanakannya. Telaga harus paham aturan-aturan menjadi seorang perempuan dewasa dalam kasta brahmana, hingga Telaga merasa kehilangan masa kebebasannya.

(10) Sayang, masa itu tidak bisa dipinjam Telaga lama-lama. Telaga harus mengalah dan mengembalikan masa itu pada hidup. Rasanya tidak ikhlas! Sering Telaga berpikir bagaimana caranya agar Sang Hyang Hidup bisa dibohongi. Ingin rasanya mencuri masa kanak-kanak itu lagi. Satu atau dua hari lagi. Kalau saja kesempatan itu ada, Telaga ingin menyembunyikannya agar Sang Hyang Hidup tidak bisa menguntit dan memaksa Telaga mengembalikan masa kanak-kanak itu (Rusmini, 2004: 81-82).

Kutipan di atas secara tidak langsung membuktikan bahwa Telaga tidak mau menjalani Menek Kelih karena dia mencintai masa kanak-kanaknya yang indah. Dengan menjalani upacara Menek Kelih, Telaga harus mulai mengubah semua sifat kekanakannya menjadi dewasa.

Semakin dewasa Telaga semakin menemui banyak kewajiban yang mengatur hidupnya. Aturan-aturan itu mulai setiap hari diucapkan ibunya, Jero Kenanga. Telaga harus berpakaian dan berbicara sopan sebagai Ida Ayu, menghapal sesaji, mengukir janur untuk upacara, belajar makakawin10, sampai dia diharuskan menikah dengan seorang Ida Bagus.

(11) “Kau adalah harapan Meme, Tugeg. Kelak, kau harus menikah dengan laki-laki yang memakai nama depan Ida Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam pesanku ini. Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan brahmana. Menghapal berbagai macam sesaji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk upacara. Pegang kata-kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?” Suara perempuan itu lebih mirip paksaan daripada sebuah nasihat (Rusmini, 2004: 83-84).

(12) “Sekarang Tugeg bukan anak-anak lagi. Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalau Tugeg ingin keluar, pakailah kain dan

10

Membacakan atau menyanyikan kakawin atau sastra agama bahasa Jawa Kuno dari lontar yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Bali. Istilah lain yang sering dipakai juga untuk menyebut makakawin adalah mabasan atau mawirama .

harus rapi. Jangan ngawur. Jaga wibawa Meme di depan orang-orang griya. Walaupun Meme bukan seorang Ida Ayu, Meme yakin anak Meme lebih Ida Ayu dari berpuluh bahkan beratus Ida Ayu.” (Rusmini, 2004: 85-86)

(13) “Kalau Meme bicara, Tugeg harus mendengarkan dengan baik. Tidak sopan membalikkan punggung ketika seseorang sedang berbicara dengan kita.” (Rusmini, 2004: 87)

(14) “Lama tiang11 tidak melihat Tugeg. Rasanya ada sesuatu yang hilang.” Suara Wayan mengagetkan Telaga.

Tiang sibuk membuat sesaji untuk upacara. Tiang juga belajar makakawin. Tukakiang12 mengajari tiang membaca lontar Bali.” (Rusmini, 2004: 169)

Banyaknya aturan di atas membuat Telaga membenci proses dirinya menjadi perempuan dewasa. Menurutnya, semua aturan itu hanya merepotkan dirinya saja.

(15) “Kalau tahu jadinya akan begini, tiang tidak ingin jadi dewasa.” “Kenapa?”

“Susah. Merepotkan!”

Tugeg tidak boleh berkata seperti itu.”

“Banyak sekali aturannya, Meme.” Telaga berkata sambil mrengut. Memeluk bantalnya erat-erat (Rusmini, 2004: 87).

Sosok perempuan kedua, selain Jero Kenanga, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan diri Telaga, adalah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada. Neneknya sering memberikan nasihat untuk Telaga. Sampai-sampai Telaga bingung menghadapi ibu dan neneknya. Namun, Telaga tidak suka neneknya bersikap merasa paling benar. Telaga mengetahui bahwa nenek tidak menyukai ibunya, tetapi Telaga juga tidak menyukai cara neneknya menilai sikap ibunya.

(16) “Tuniang13! Tuniang bicara apa? Tunianglah yang harus banyak belajar! Jangan membawa kehidupan masa lalu Tuniang untuk masa 11 Saya. 12 Kakek. 13

depan tiang. Apa selama ini Tuniang sudah merasa lebih suci dari Ibu!” Telaga mendelik. Ditatapnya perempuan tua itu tajam.

Jengkel sekali Telaga mendengar cara perempuan itu bicara. Telaga tahu perempuan tua itu cemburu, merasa tersaingi. Dia takut Telaga akan lebih menyayangi ibunya dibanding neneknya. Ibunya juga begitu, sering menasihati dengan cara-cara yang aneh (Rusmini, 2004: 92).

Telaga adalah harapan satu-satunya bagi Jero Kenanga dalam mempertahankan hasil perjuangan hidupnya. Jero Kenanga ingin Telaga meneruskan ambisinya menjadi seorang perempuan tercantik di seluruh bumi dengan menari. Telaga yang mempunyai kemampuan lebih dalam menari akan dianggap berbeda dengan gadis-gadis bangsawan lainnya. Hal ini sesuai yang diinginkan Jero Kenanga.

(17) Suara Jero Kenanga kadang-kadang lebih mirip pengharapan bahwa apa yang telah dilakukannya untuk hidup harus ditebus oleh Telaga. Perempuan itu selalu mengungkit-ungkit perjuangannya menjadi perempuan yang telah membesarkan Telaga. Juga perjuangannya menjadi seorang perempuan bangsawan (Rusmini, 2004: 93).

(18) “Jadilah perempuan tercantik di seluruh bumi ini Tugeg. Kau harus mampu. Setiap hari hanya itu doa Meme.” (Rusmini, 2004: 93)

Pada umur 15 tahun, Telaga mulai menjalani rutinitas latihan menari setiap sore. Jero Kenanga berharap Luh Kambren, guru tari Telaga, bisa mencurahkan seluruh taksu yang dia miliki sehingga Telaga bisa menjadi penari terhebat. Namun, awal pertemuan Luh Kambren dengan Telaga sangat kaku. Telaga merasa takut berhadapan dengan sosok Luh Kambren yang dingin dan pandangan matanya mengerikan. Telaga merasa ada jarak yang lebar antara dirinya dengan Luh Kambren.

(19) Ketika pertama kali bertemu dengannya, Telaga sudah ada hawa lain: kemuraman, kesunyian, dan kegelapan. Tubuh Telaga selalu

menggigil bila berdekatan dengan Kambren. Telaga sering bertanya dalam hati, tidakkah para dewa tari takut melihat matanya yang begitu mengerikan? Mata itu sangat menantang. Biji matanya mirip pisau yang sangat runcing dan selalu siap melukai orang-orang yang tidak disukai. Senyumnya juga dingin. Seolah perempuan tua yang tetap terlihat cantik itu tidak pernah takut menghadapi apa pun (Rusmini, 2004: 94-95).

Harapan Luh Kambren sama dengan Jero Kenanga. Dalam pertemuan pertama saat Luh Kambren mengajari Telaga menari, Luh Kambren merasa bahwa Telaga pantas menerima taksu yang dimilikinya sebab Telaga berbeda dengan penari-penari lainnya. Telaga dianggap disiplin dan mampu menguasai gerak-gerak tari dalam waktu singkat.

(20) Luh Kambren menatap bocah lima belas tahun itu sungguh-sungguh. Entah mengapa, perempuan itu merasa bahwa bocah ini akan memiliki cerita yang lebih banyak dari hidupnya sendiri. Untuk pertama kali Kambren melihat bahwa perempuan yang berdiri di depannya adalah perempuan yang tepat untuk diberi taksu miliknya. Taksu yang didapat dari para dewa tari. Taksu yang tidak akan pernah menetes lagi (Rusmini, 2004: 96).

Lama-kelamaan Telaga mulai akrab dan menyukai Luh Kambren. Telaga bangga mempunyai guru tari Luh Kambren dan mulai mau mengenali Luh Kambren lebih dalam lagi. Telaga menganggap Luh Kambren bukan hanya guru tari yang hebat, tetapi juga sebagai seorang wanita yang baik.

(21) “TUGEG mulai akrab dengan Kambren. Perempuan itu luar biasa, ya?”

“Ya, Meme

Tugeg mulai menyukainya?” “Ya.” Telaga berkata ketus.

“Jawaban Tugeg tidak menyenangkan.” “Dia guru yang baik, Meme.”

“Sungguh?!” Mata Kenanga menatap Telaga (Rusmini, 2004: 100).

Dari keakrabannya itu, Telaga mulai nyaman dan senang untuk belajar menari. Telaga memang pribadi yang pintar, sehingga dia hanya perlu waktu dua hari dalam berlatih tari Legong14. Bakat menari yang dimiliki Telaga membuatnya cepat disenangi oleh Luh Kambren.

(22) “SUDAH tiang katakan, Tugeg adalah murid terbaik yang pernah tiang miliki. Tugeg tahu, tiang sudah puluhan tahun tidak ingin mengajari seseorang menari. Melelahkan. Karena mereka sering tidak serius. Tugeg menguasai tari Legong dalam waktu dua hari. Luar biasa!” Luh Kambren memekik. Ditatapnya perempuan di depannya dengan rasa haru yang begitu dalam (Rusmini, 2004: 114).

Suasana akrab yang terjalin antara mereka, membuat Luh Kambren mau bercerita kisah hidupnya dulu sebagai penari. Namun suasana tersebut tidak berlangsung lama. Seminggu setelah Luh Kambren bercerita panjang tentang pengalaman hidupnya, Luh Kambren tiada. Telaga menyesal tidak sempat mengunjungi rumah guru tarinya itu karena terlalu sibuk oleh tawaran menari. Menurut pemeriksaan medis, Luh Kambren kena serangan jantung dan sudah mati tiga hari yang lalu di dalam rumahnya.

(23) SEMINGGU setelah bercerita panjang Luh Kambren mati. Mayatnya ditemukan telah membusuk di biliknya yang sangat sederhana. Menurut pemeriksaan petugas medis, Kambren kena serangan jantung dan sudah mati tiga hari yang lalu.

Telaga menyesal tidak sempat mengunjungi rumah perempuan tua itu. Dia terlalu disibukkan oleh tawaran menari yang terus berdatangan. Belum lagi upacara yang tidak ada habis-habisnya (Rusmini, 2004: 132).

14

Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh.

Setelah Luh Kambren meninggal, Telaga menerima lebih banyak lagi tawaran menari. Bakat menari Telaga memang terbukti dikagumi banyak orang. Telaga tidak bisa lepas dari campur tangan Jero Kenanga dalam menerima undangan menari. Ibunya semakin sering mengatur Telaga, termasuk mengatur jadwal menarinya. Sikap otoriter Jero Kenanga semakin dirasakan oleh Telaga setelah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada, meninggal dan Jero Kenanga memperoleh posisi sebagai kepala rumah tangga. Akibatnya seluruh keperluan Telaga diatur oleh Jero Kenanga.

(24) HARI-HARI menjadi begitu menyesakkan. Ada-ada saja undangan yang harus dipenuhi Telaga. Kalau sudah ada undangan ke griya-griya, Ibulah perempuan paling sibuk di rumah ini, terlebih setelah Nenek tidak ada. Ibu jadi terlalu otoriter. Kebenarannya adalah dari kaca mata dia sendiri (Rusmini, 2004: 136).

(25) Telaga merasa ibunya yang hanya perempuan sudra lebih ortodok dari seorang perempuan brahmana yang memiliki karat kebangsawanan paling tinggi (Rusmini, 2004: 167).

Sikap Jero Kenanga yang otoriter menjadi awal konflik antara Telaga dengan Jero Kenanga. Luh Sekar malah semakin ambisius setelah menjadi Jero Kenanga apalagi terhadap Telaga. Semua keinginan Jero Kenanga harus Telaga lakukan tanpa mempertimbangkan perasaan Telaga sendiri. Sifat keras kepala Jero Kenanga inilah yang membuat Telaga mulai tidak menyukai ibunya.

(26) “Sudah Tugeg siapkan baju untuk melihat upacara perkawinan di griya Sanur? Coba Meme lihat, harus serasi.” Perempuan itu menatap mata Telaga serius.

“Kenapa Tugeg hanya diam saja?”

“Tidak bisakah tiang memilih baju sendiri?” “Selera Tugeg sering buruk!”

Meme…”

“Jangan membantah. Dengar kata-kata Meme.” “Setiap hari tiang sudah dengar kata-kata Meme.” “Rasanya Tugeg tidak pernah tidak membantah.”

“Jangan kebaya yang itu, Meme. Terlalu resmi.” “Biar. Tugeg tahu para undangan yang akan datang?” “Anak menteri atau anak dewa?”

“Jangan mengejek Meme seperti itu. Seorang ibu tidak akan pernah memakan anaknya sendiri!”

Meme jadi mudah tersinggung.” “Habis Tugeg makin sulit diatur.” “Tiang bukan anak kecil lagi, Meme.”

“Karena Tugeg bukan anak kecil lagi makanya Meme lebih bisa berbicara dengan Tugeg.”

Meme…” (Rusmini, 2004: 136-137).

(27) Luh Sekar bagi Telaga adalah perempuan yang sangat keras kepala. Keinginan-keinginannya adalah harga mati. Tidak ada orang yang bisa membelokannya (Rusmini, 2004: 138).

Namun, menurut Telaga hanya satu hal yang ibunya tidak bisa ikut campur yaitu perasaan cintanya. Sejak Telaga masih kecil, dia sudah menyukai seorang laki-laki sudra. Namanya Wayan Sasmitha, mahasiswa seni lukis tingkat akhir.

(28) Telaga ingat, ketika itu usianya menjelang lima belas tahun. Seorang anak laki-laki duduk di teras. Pakaiannya aneh, kotor, dan tubuhnya tidak terawat. Begitu Telaga keluar, bocah itu menghampiri dan memberi salam penuh hormat. Dia menyerahkan bungkusan berisi kue yang dipesan Jero Kenanga untuk upacara.

Sejak saat itu Telaga merasa telah menemukan laki-laki yang sering diceritakan neneknya.

“Kelak, kalau kau sudah mengenal laki-laki, kau harus tanya dirimu sendiri. Apa dia pantas kau cintai. Apa perasaanmu sungguh-sungguh padanya. Harus bisa kau bedakan rasa kagum dan mencintai dengan baik. Kalau itu tidak bisa kau bedakan, jangan coba-coba memilih laki-laki untuk tempat bergantung.” (Rusmini, 2004: 140)

Telaga mempunyai perasaan cinta yang mendalam terhadap Wayan. Perasaan cinta Telaga sangat terlihat saat Wayan yang seorang pelukis akan melakukan pameran ke Jepang. Telaga merasa tidak rela melepaskan kepergian Wayan dan khawatir jika nanti Wayan terpikat kepada gadis lain. Namun, Telaga tidak ingin terlalu mengikat Wayan, sehingga akhirnya Telaga harus

mengikhlaskan kepergian Wayan ke Jepang selama satu tahun. Hingga menjelang kepergian Wayan ke Jepang, Telaga belum mampu mengungkapkan perasaan cintanya kepada Wayan.

(29) Ada yang tenggelam begitu dalam ketika Wayan bercerita akan pameran ke Jepang. Telaga takut kehilangan laki-laki itu. Telaga banyak memiliki teman-teman pelukis, setelah pameran di luar negeri, mereka tidak hanya membawa uang, tapi juga perempuan Barat. Rasanya tidak ikhlas melepas Wayan pergi. Laki-laki yang dikagumi perempuan-perempuan di griya itu pasti menjadi pelukis yang baik (Rusmini, 2004: 152)

Perasaan cinta Telaga terhadap Wayan semakin bertambah setelah Telaga

Dokumen terkait