• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motivasi perpindahan kasta Krahmana-Sudra dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Motivasi perpindahan kasta Krahmana-Sudra dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Yovita Astri Sukiastuti NIM: 034114019

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

kupersembahkan untuk:

Bapak Ibuku tersayang,

Splendid tercinta,

dan untuk perjuanganku sendiri

dalam menyelesaikan skripsi ini.

(5)

v Sejatinya…

Semakin tinggi sekolah seseorang bukanlah berarti semakin bisa menghabiskan makanan orang lain.

Seharusnya dia semakin bisa mengenal batasnya. (PAT, Bumi Manusia)

”Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang

baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga”.

(Oka Rusmini, Tarian Bumi)

Selesaikanlah setiap hal yang telah kita mulai. (Airani Sasanti, Skripsi)

Tak seorang pun sempurna. Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak. Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar

(6)

vi

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Juli 2009 Penulis

(7)

vii

Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji motivasi perpindahan kasta dari kasta brahmana ke kasta sudra dan sebaliknya dari kasta sudra ke kasta brahmana dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Analisis struktur dibatasi pada tokoh dan penokohan saja. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh yaitu menganalisis unsur tokoh dan penokohan, kemudian menggunakan hasil analisis struktur tersebut untuk lebih memahami motivasi perpindahan kasta brahmana-sudra dalam novel Tarian Bumi.

Kesimpulan hasil penelitian berupa pembagian tokoh menurut fungsi penampilan tokoh menjadi tokoh antagonis dan protagonis; serta analisis motivasi perpindahan kasta brahmana-sudra dalam novel Tarian Bumi. Tokoh protagonis yang berpindah kasta adalah Ida Ayu Telaga Pidada dari kasta brahmana ke kasta sudra, sedangkan tokoh antagonis yang berpindah kasta adalah Luh Sekar atau Jero Kenanga dari kasta sudra ke kasta brahmana.

(8)

viii

(9)

ix

Sociology. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Department, Literature, the Sanata Dharma University.

This research studied the move motivation of the caste from the brahmana caste to the sudra caste and on the other hand from the sudra caste to the brahmanacaste in the Tarian Bumi novel by Oka Rusmini using the approach of literature sociology. The analysis of the structure was restricted to the leading of figure and the characterization. The method was used in this research, was the descriptive method. The steps that were followed is analyzing the element of the leading figure and the characterization, afterwards used results of the analysis of this structure to more understood the move motivation the brahmana caste-sudra caste in the Tarian Bumi novel.

The conclusion of this research was according distribution to the function of the appearance in the antagonist figure and the protagonist figure; as well as the analysis of the motivation plaintiff the brahmana caste-sudra in the Tarian Bumi novel. The leading figure of the protagonist who moved the caste was Ida Ayu Telaga Pidada from the brahmana caste to the sudra caste, where as the leading figure of the antagonist who moved the caste is Luh Sekar or Jero Kenanga from the sudra caste to the brahmana caste.

(10)

x

(11)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Yovita Astri Sukiastuti

Nomor Mahasiswa : 034114019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

MOTIVASI PERPINDAHAN KASTA BRAHMANA-SUDRA DALAM NOVEL

TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 31 Juli 2009

Yang menyatakan

(12)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan, saran, bantuan, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum. selaku pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan sabar sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum. selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis.

3. Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku pembimbing akademik angkatan 2003 pada saat saya mulai belajar di Prodi Sastra Indonesia USD yang telah memberikan motivasi dan selalu rajin mengingatkan anak-anaknya untuk segera menyelesaikan skripsi.

(13)

xii

5. Staf sekretariat dan keluarga besar Prodi Sastra Indonesia USD atas kekeluargaan dan segala bantuan yang diberikan.

6. Keluargaku Bapak Fransiscus Sukiman, Ibu Agnes Widiastuti, Mas Vincentius Ageng Setyo, Mas Pascalis Pramantya Widiawan, Mbak Savitri Wulandari, dan Adikku Lucia Kristi Astuti. Terima kasih atas doa, dukungan, cinta, kasih sayang, dan kepercayaan yang telah diberikan sehingga penulis diberi tanggung jawab dan kebebasan untuk membuat suatu keputusan yang terbaik untuk diri penulis sendiri.

7. Teman terbaikku “Mak” Airani Sasanti yang secara tidak langsung telah menjadi dosen pembimbing III ku dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengurusi si penulis malas ini. Doaku semoga engkau selalu sukses dan mendapat yang terbaik sesuai keinginanmu.

8. Kekasih jiwaku, Gregorius Splendid Haryo Yudhanto, yang selalu setia menungguku lulus dari perguruan silat lidah berbahasa Indonesia ini. Walaupun tak berperan penting dalam penyusunan skripsi ini, aku hanya bisa berkata, “Aku siap ke pelaminan sekarang, honey!”Hehehehe…

9. Doan, Eci, Aning, Vonny “Nenek”, Diar, Aic “Kecil”, Rinto “Kepleh”, Simply, Icha, Aji “Gondest”, Jati. Thank you untuk persahabatan, cinta, gandengan tangan,

pelukan, dan dekapan hangat dari kalian.

(14)

xiii

11.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, Juli 2009

(15)

xiv

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………. Iii HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv

HALAMAN MOTTO ………. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

ABSTRAK ……….. vii

ABSTRACT ……… ix

KATA PENGANTAR ……… xi

DAFTAR ISI ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1Latar Belakang ……… 1

1.2Rumusan Masalah ……….. 8

1.3Tujuan Penelitian ……… 8

1.4Manfaat Penelitian ……….. 9

1.5Tinjauan Pustaka ………. 10

1.6Landasan Teori ……… 11

1.6.1Tokoh dan Penokohan ……… 11

1.6.1.1Tokoh ………. 12

1.6.1.2Penokohan ……….. 13

(16)

xv

1.7.1Metode ………. 22

1.7.2Pendekatan ……… 23

1.7.3Teknik Pengumpulan Data ……… 23

1.7.4Sumber Data ……….. 24

1.7.5Sistematika Penyajian ……… 24

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI ……… 25

2.1 Tokoh dan Penokohan ……… 25

2.1.1 Ida Ayu Telaga Pidada ……….. 27

2.1.2 Luh Sekar/Jero Kenanga ……… 50

BAB III MOTIVASI PERPINDAHAN KASTA TOKOH IDA AYU TELAGA PIDADA DAN LUH SEKAR/ JERO KENANGA DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI …... 71

3.1 Ida Ayu Telaga Pidada dari Kasta Brahmana ke Kasta Sudra ... 74

3.1.1 Faktor Nasihat Nenek Telaga ………. 75

3.1.2 Faktor Kemunafikan Para Tokoh ……… 77

3.1.2.1 Kemunafikan Ida Bagus Ngurah Pidada (Ayah) …. 77 3.1.2.2 Kemunafikan Ida Ayu Sagra Pidada (Nenek) …… 79

(17)

xvi

3.2.1 Faktor Kemiskinan ... 92

3.2.2 Dampak Politik: Anak eks-PKI ... 94

BAB IV PENUTUP ... 100

4.1Kesimpulan ……… 100

4.2Saran ……….. 106

DAFTAR PUSTAKA ……….. 108

DAFTAR TABEL DAN BAGAN Tabel 1 ………….………. 50

Tabel 2 ……….. 68

Tabel 3 ……….. 98

Tabel 4 ……….. 99

Bagan 1 ………. 70

(18)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Luxembrug via Hartoko, 1984: 23). Sastra tersebut ditulis pada suatu kurun waktu tertentu dan langsung berkaitan dengan norma dan adat-istiadat zaman itu. Pengarang menciptakan karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang kapasitasnya sama dengan dia, yaitu sebagai warga masyarakat. Sastra juga bisa dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat (Luxemburg via Hartoko, 1984: 24). Peneliti dapat menilai pandangan pengarang dan dapat menentukan bagaimana pengarang menampilkan jaringan sosial itu dalam karyanya.

(19)

Novel Tarian Bumi bisa dikatakan sebagai kritik sosial Oka Rusmini terhadap aturan adat Bali. Pulau Bali masih terjaga keeksotikan dan tradisi budaya aslinya sampai sekarang walaupun banyak tantangan yang harus dilewati. Tidak heran jika turis domestik bahkan mancanegara mau menghabiskan uangnya hanya untuk berlibur menikmati keindahan alamnya. Masyarakat Bali dominan beragama Hindu. Mayoritas masyarakat Bali juga masih menganut garis patriarkat. Patriarkat adalah sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis turunan bapak. Misalnya seorang anak harus menyandang nama ayahnya karena sistem keluarga dan menjadi harta warisan bagi pihak laki-laki. Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali umumnya lebih cenderung mengarah kepada pihak laki-laki atau patrilineal (Swarsi, 1986: 65).

Sebenarnya masyarakat Bali tidak mengikuti pola pembagian kasta di Hindu. Masyarakat Bali menyebut pembagian golongan itu dengan istilah warna. Hanya saja masyarakat di luar Bali sering menyamakan istilah warna dengan kasta karena kemiripan dalam pembagian jenis-jenisnya. Ada empat pembagian kasta yang ada di Bali, yaitu kasta brahmana yang merupakan kasta paling tinggi, kasta ksatria, kasta wesya, dan kasta sudra yang paling rendah tingkatannya. Dalam istilah warna pembagian jenis memakai istilah caturwarna, yaitu brahmana, ksatria, wesya, dan jaba. Di sini penulis menggunakan kata kasta karena bahan utama penelitian ini, novel Tarian Bumi, juga menggunakan istilah kasta.

(20)

tidak ada yang mau dirugikan. Seorang perempuan Bali yang berkasta tinggi melakukan perbuatan menyimpang jika menikah dengan pria dari kasta rendah. Pasangan yang sudah menikah harus mengikuti suami untuk menetap. Hal ini merupakan salah satu bagian dari sistem patriarkhi (Swarsi, 1986: 19).

Oka Rusmini dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967. Saat ini ia bekerja sebagai wartawan Bali Post. Antologi yang memuat karya-karyanya, antara lain, Doa Bali Tercinta (1983), Rindu Anak Mendulang Kasih (1987), Perjalanan

Malam (1991), Ambang (1992), Teh Gingseng (1996), dan Mimbar Penyair Abad

21 (1997). Di samping itu, sejumlah sajak dan cerpennya juga muncul di berbagai

media massa serta jurnal kebudayaan, termasuk Matra, Kalam, Horison, dan

Ulumul Qur’an. Novelnya, Tarian Bumi, dimuat sebagai cerita bersambung di

Harian Republika (1997). Sementara cerpennya Putu Menolong Tuhan terpilih sebagai cerpen terbaik Femina 1994 dan diterjemahkan oleh Vern Cork dalam buku Bali Behind The Seen (Australia, 1996). Pada tahun 1992 ia diundang sebagai penyair tamu dalam Festival Kesenian Yogya IV. Ia mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1996. Oktober 1997 ia mengikuti pertemuan penulis se-Asean yang bertajuk “Bengkel Kerja Penulis Kreatif Asean” di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Oka disebut sebagai “gelombang

penyair mutakhir” oleh Rendra karena karya sastranya menyuarakan

keperempuanan ketika berhadapan dengan laki-laki dan tanah. Noveletnya Sagra dinobatkan sebagai novelet terbaik Femina 1988. Kini ia tinggal di Denpasar.

(21)

Kebudayaan Rancage Bandung, menyoroti figur perempuan Bali yang menjadi tokoh dalam karya-karya sastra mulai dari karya Panji Tisna, Putu Wijaya hingga Oka Rusmini dan Cok Sawitri. Citra wanita Bali dalam sastra Indonesia sejak zaman kolonial selalu ditampilkan sebagai budak, korban pemerkosaan, atau munafik karena status kasta. Citra wanita Bali yang tertindas dari karya sastra zaman kolonial bisa dilihat dalam novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) dan Sukreni Gadis Bali (1936). Menurut Panji Tisna, novel tersebut merupakan kritik

bagi raja-raja Bali pada akhir abad ke-19 yang sibuk berperang saudara dan bila perlu mencari duit dengan menjual rakyatnya sebagai budak atau memajak impor candu. Di sisi lain, pembaca beranggapan bahwa novel karya Panji Tisna sebagai fragmen kehidupan wanita Bali yang tertindas sebagai budak. Putu Wijaya dalam novel Bila Malam Bertambah Malam (1972) juga memakai figur wanita Bali yang terlalu mempertahankan feodalisme, berhati busuk, hipokrit, dan akhirnya dipermalukan lewat perselingkuhan yang berkaitan dengan kasta. Figur wanita Bali digambarkan tak berdaya alias powerless, sedangkan dalam karya sastrawan wanita, figur wanita Bali mulai bangkit melawan tekanan yang dihadapi. Puisi Namaku Dirah (1999) karya Cok Sawitri yang diilhami dari kisah Calon Arang

menampilkan pembalasan wanita yang tertekan hidupnya. Sajak Alit S. Rini yang berjudul Perempuan yang Jadi Lambang (2000) merupakan kisah perjuangan berat wanita sampai berhasil (Putra, 2002:129).

(22)

impiannya. Luh1 Sekar (dari kasta sudra/kasta rendah) lahir di keluarga miskin yang sangat ingin menjadi istri brahmana (kasta tertinggi). Berbagai cara ditempuh sampai ia harus mengingkari kastanya dan akhirnya disunting lelaki brahmana. Dia berpindah kasta dan berhasil naik kasta, sehingga namanya berubah menjadi Jero2 Kenanga. Ida Ayu3 Telaga Pidada, anak Jero Kenanga dan Ida Bagus4 Ngurah Pidada, malah sebaliknya tidak berminat menjadi brahmana karena dunia brahmana penuh kemunafikan. Ida Ayu Telaga Pidada berusaha keras menurunkan kastanya dengan menikah dengan lelaki sudra walau penuh kendala, akhirnya tercapailah keinginannya.

Karya sastra karangan Panji Tisna, Putu Wijaya, Cok Sawitri, Alit S. Rini, sampai Oka Rusmini memiliki perbedaan tema penggambaran para tokoh perempuan Bali dan citra wanita yang digambarkan. Perbedaan ini tentu bukan saja karena perbedaan seksual, tetapi juga karena mereka menulis di zaman yang berbeda. Pengarang laki-laki menulis di zaman kolonial dan Orde Baru ketika kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat dibayangi kontrol kuat penguasa dengan rasio kebenaran tunggal. Situasi seperti ini mempengaruhi pengarang wanita Bali untuk lebih berani menunjukkan jati dirinya, menggambarkan wanita-wanita yang tegar dan berhasil mewujudkan cita-cita termasuk mempertahankan harkat dan martabat (Putra, 2002:134).

1

Panggilan untuk anak perempuan dalam struktur masyarakat Bali. 2

Nama yang harus dipakai oleh seorang perempuan sudra yang menikah dengan laki-laki brahmana.

3

Nama depan anak perempuan kasta brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali, biasanya disingkat Dayu.

4

(23)

Namun jika dilihat dari akhir cerita Tarian Bumi, pola pikir masa lalu atau kesamaan tema penceritaan, bahwa perempuan Bali selalu menderita dan sengsara, belum sepenuhnya hilang dari para penulis wanita yang berasal dari Bali seperti Cok Sawitri. Oka melukiskan wanita Bali yang berani berpindah kasta, tetapi pada akhirnya wanita itu sendiri menghadapi penderitaan hidup yang tidak akan bisa ditutupi selamanya. Misalnya, setelah Luh Sekar menjadi istri lelaki brahmana, hidupnya bergelimangan duka karena hubungan dengan leluhurnya harus putus. Sementara Ida Ayu Telaga Pidada terpaksa menjanda karena lelaki sudra yang dinikahinya mati mendadak. Konon kematian Wayan, suami Telaga, dikarenakan kutukan atas pelanggaran perkawinan antarkasta.

(24)

Pemilihan judul Motivasi Perpindahan Kasta Brahmana-Sudra dalam Novel Tarian Bumi dalam penelitian ini mengacu pada kuatnya aturan-aturan lama

dari sistem kasta itu sendiri sebagai pengaruh munculnya motivasi yang berasal dari nilai-nilai kebudayaan Bali untuk berpindah kasta. Oka sebagai seorang pengarang wanita dari Bali mengungkap jelas bagaimana tokoh-tokoh wanita Bali dalam novelnya ini berpindah dan memilih keluar dari kastanya karena berbagai motivasi.

Penulis hanya menggunakan analisis tokoh dan penokohan sebagai unsur-unsur intrinsik struktural. Dari analisis tokoh dan penokohan sudah dapat terlihat gambaran kehidupan dan motivasi perpindahan kasta tokoh Ida Ayu Telaga Pidada dan Luh Sekar/Jero Kenanga. Kedua unsur, tokoh dan penokohan, akan mempermudah dan mengefektifkan objek penelitian yang berhubungan dengan motivasi perpindahan kasta.

Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002: 165).

(25)

itu sendiri adalah anggota masyarakat. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra mendasarkan pada sastra sebagai cerminan masyarakat atau sastra menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat (Ratna, 2004: 60).

Kekayaan dalam masyarakat itu mempengaruhi pengarang dalam menciptakan motivasi tokoh pada novelnya. Kekayaan di dalam masyarakat itu merupakan suatu nilai-nilai kebudayaan dan sosial masyarakat itu sendiri. Kekayaan atau nilai-nilai kebudayaan dan sosial di Bali salah satunya adalah sistem kasta. Penulis berasumsi bahwa sistem kasta di Bali sangat mempengaruhi motivasi tokoh dalam novel Tarian Bumi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah unsur intrinsik tokoh dan penokohan dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini?

1.2.2 Apa saja motivasi tokoh-tokoh yang berpindah kasta dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini?

1.3 Tujuan Penelitian

(26)

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

1.3.2 Mendeskripsikan motivasi tokoh-tokoh yang berpindah kasta dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dipaparkan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi sastra khususnya bidang sosiologi sastra, yaitu mengenai motivasi perpindahan kasta yang dilakukan oleh masyarakat Bali yang dihadapkan langsung dengan aturan kasta.

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat juga untuk studi sosial tentang sistem kasta dan kebudayaan Bali di zaman sekarang.

1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap studi perempuan sehingga kita dapat mengetahui kondisi dan posisi perempuan Bali dengan adanya sistem kasta.

(27)

1.5 Tinjauan Pustaka

Novel Tarian Bumi memang fenomenal saat peluncuran bukunya tahun 2000. Banyak sastrawan, pembaca, bahkan masyarakat Bali sendiri ikut memberi tanggapan baik berupa penentangan ataupun dukungan. Hal ini dikarenakan novel Tarian Bumi menyangkut masalah gender, kasta, feminisme, dan emansipasi

perempuan yang saat itu masih menjadi perdebatan.

Berbagai pembahasan tentang Novel Tarian Bumi yang penulis dapatkan sebagian besar berbentuk informasi dan hanya sebatas resensi buku serta beberapa pendapat pembaca novel ini. Menurut Dami N. Toda dalam majalah Matabaca, perempuan Bali mampu berperan protagonis menaikkan atau menurunkan kastanya.

“Dengan percaya diri, Oka Rusmini memunculkan premis terpaling asas di Bali.

Bahwa hanya wanita Bali mampu berperan protagonis menampik derajat kasta manusia Bali dari suratan cipta Dewata: menaikkan atau menurunkannya. Sementara posisi pria Bali tidak berkutik di depan keputusan nasib menurut

derajat (kasta) menurut kelahiran. Menerima tanpa kuasa menampik.” (Toda,

2003: 42)

Selain itu penulis juga menemukan skripsi Ni Nyoman Arini Puspa Dewi, mahasiswa psikologi USD, yang berjudul “Perubahan Identitas Wanita Brahmana yang Turun Kasta menjadi Sudra karena Perkawinan” memakai novel Tarian Bumi sebagai contoh fakta yang terjadi di Bali. Dewi mengungkapkan bahwa ada

(28)

atau keluar dari lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan kesimpulan skripsinya berikut:

“1. Sebagai konsekuensi menikah turun kasta, seorang brahmana menjadi Sudra

maka ia akan memiliki identitas baru melalui proses restrukturisasi ego yang menyinambungkan antara identitasnya yang terdahulu dengan identitasnya yang sekarang sebagai wujud solidaritas batin dengan cita-cita serta identitas kelompoknya.

2. Sesuai data yang diperoleh setelah penelitian, dapat diketahui bahwa motivasi menikah turun kasta disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor lamanya masa berpacaran yang akhirnya menciptakan cinta yang mendalam dan faktor usia dalam menantikan laki-laki yang sekasta.

3. Dapat diketahui bahwa setelah turun kasta mereka beradaptasi dengan tetap tinggal di Bali dan ada yang memilih keluar dari lingkungan masyarakat di Bali dengan alasan agar lebih mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang baru yang tidak ada kaitannya dengan keluarga brahmana.” (Dewi, 2003: 70)

Dari tinjauan pustaka di atas, penulis memperoleh gambaran berbagai pandangan mengenai perpindahan kasta yang dilakukan beberapa tokoh dalam novel Tarian Bumi. Selain itu, penulis juga lebih dapat memahami adanya beberapa motivasi tokoh yang melakukan perpindahan kasta.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Tokoh dan Penokohan

(29)

dikenal pembaca, yang tidak asing baginya, bahkan yang mungkin ada pada diri pembaca itu sendiri (Sudjiman, 1988: 17).

Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002: 165). Fungsi dari analisis tokoh dan penokohan adalah untuk mengetahui siapa pelaku dalam cerita, watak, dan makna niatan si pengarang sebagai pencipta tokoh, serta mendukung analisis motivasi perpindahan kasta brahmana-sudra dalam novel Tarian Bumi.

1.6.1.1 Tokoh

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai

jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan

(30)

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Pembaca novel sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang demikian disebut sebagai tokoh protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi dan merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis via Nurgiyantoro, 2002: 178). Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang tokoh protagonis (Sudjiman, 1988: 19). Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus hanya disebabkan oleh tokoh antagonis yang dapat ditunjuk secara jelas. Konflik dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 179).

1.6.1.2 Penokohan

(31)

ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

1.6.2 Sosiologi Sastra

Sosiologi berasal dari kata bahasa Yunani „sosio‟ atau society yang artinya

masyarakat, dan „logi‟ atau logos yang artinya ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu

tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat. Sosiologi merupakan telaah tentang lembaga dan proses sosial (Saraswati, 2003: 2-3). Menurut Ratna, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat serta merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat yang bersifat umum, rasional, dan empiris (2003: 1).

(32)

dengan masyarakat dan menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Ratna, 2003: 11).

Dalam penelitian ini, fungsi sosiologi sastra adalah mengungkapkan keadaan masyarakat Bali yang sesungguhnya atau sebagai cerminan langsung masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh sistem penggolongan masyarakat. Keadaan masyarakat ini mempengaruhi pengarang dalam menciptakan tokoh dan penokohan. Apalagi jika dalam sistem sosial masyarakat tersebut terdapat nilai kebudayaan asli yang sangat melekat dalam diri pengarang. Salah satu nilai-nilai kebudayaan asli dalam novel Tarian Bumi ini adalah sistem kasta yang masih mengikat masyarakatnya.

1.6.2.1 Kasta di Bali

(33)

tingkatannya adalah kasta brahmana. Golongan pendeta dan orang-orang yang punya peranan penting dalam suatu upacara adat termasuk dalam golongan ini. Golongan ksatria merupakan golongan bagi para bangsawan dan prajurit. Golongan para pedagang, petani, dan tukang termasuk dalam golongan wesya. Golongan sudra merupakan golongan paling rendah yang terdiri dari rakyat biasa.

Kasta di Bali tidak mengikuti pola pembagian kasta di Hindu. Di Bali sebenarnya hanya ada istilah warna atau wangsa untuk membedakan fungsi sosial seseorang di dalam masyarakat. Ada empat warna atau biasa disebut dengan caturwarna yaitu golongan pertama adalah mereka yang memimpin upacara

keagamaan yang biasa diberi gelar di depan namanya dengan Ida Bagus untuk laki-laki atau Ida Ayu untuk wanita. Golongan kedua adalah mereka yang menjalankan pemerintahan. Mereka biasanya mendapat gelar Anak Agung, Cokorde, Gusti Ngurah, Gusti, Dewa untuk laki-laki dan untuk wanita Anak

Agung Istri, Cokorde Istri, Gusti Ayu, Desak/Dewa Ayu. Golongan ketiga adalah

mereka yang bergerak di bidang ekonomi. Gelarnya Si untuk laki-laki dan perempuan. Golongan keempat adalah para petani yang menjadi soko guru kerajaan. Gelarnya I untuk laki-laki dan Ni untuk perempuan (Setia, 1986: 234). Sistem kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan yang ideal antara seorang wanita dari kasta tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah. Hal ini tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan (Koentjaranigrat via Swarsi, 1986: 19).

(34)

berakar pada tradisi kecil (kebudayaan pra-Hindu) dan tradisi besar (kebudayaan Hindu). Kedudukan dan peranan wanita dari suatu kasta atau ke-wangsa-an dapat dilihat dari perkawinan. Seorang wanita dari kasta atau wangsa jaba kawin dengan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi atau wangsa ksatria, maka wanita tersebut tidak boleh langsung duduk bersanding dengan mempelai laki-laki pada saat diadakan upacara perkawinan. Wanita tersebut harus diwakilkan dengan benda tertentu yang dalam hal ini menggunakan keris sebagai wakilnya. Tampak jelas bahwa kedudukan dan peranan wanita yang berasal dari keturunan kasta atau wangsa jaba mutlak dianggap rendah dan berbeda dengan laki-laki yang berasal

dari kasta yang lebih tinggi. Perkembangan zaman membuat pergeseran-pergeseran sistem. Kini kasus di atas tidak lagi dipakai karena prestasi wanita yang selalu mendapat ilmu dan pekerjaan yang sama tingkatannya dengan laki-laki (Swarsi, 1986: 70). Sistem lama yang mengikat inilah yang membuat perempuan Bali tidak bisa bebas berhubungan bahkan mencintai seseorang yang berkasta lain sehingga seseorang yang bernasib sama seperti Telaga akan melakukan perlawanan untuk berpindah kasta dalam mewujudkan mimpi-mimpinya.

(35)

beralih atau bertukar tempat (KBBI, 2003: 373) dari kasta brahmana ke kasta sudra yang dilakukan Ida Ayu Telaga Pidada dan dari kasta sudra ke kasta brahmana yang dilakukan oleh Luh Sekar/Jero Kenanga. Sistem kasta yang sudah diterapkan dari dulu ternyata tidak lagi di rasa nyaman diterapkan dalam diri masyarakat Bali terutama perempuan asli Bali. Akhirnya, di zaman modern ini tokoh Telaga dan Jero Kenanga, beberapa tokoh perempuan asli Bali yang diceritakan dalam novel Tarian Bumi, memutuskan untuk berpindah kasta.

1.6.2.2 Motivasi Sosiogenetis

Menurut Handoko (1992: 9) motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya, sedangkan motif adalah suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan atau bersikap tertentu. Jadi, pemakaian istilah motivasi ataupun motif mempunyai arti yang sama, yaitu sebuah alasan, atau sesuatu yang mempunyai tenaga bersifat mendorong, mengarahkan, mengorganisasikan, dan menyebabkan seseorang melakukan tindakan atau bertingkah laku atau bersikap tertentu. Fungsi pemakaian teori motivasi sosiogenetis dalam penelitian ini adalah untuk membantu penulis mengungkapkan dan menjawab permasalahan utama dalam penelitian ini, yaitu motivasi perpindahan kasta yang dilakukan para tokoh.

(36)

Kehidupan bersosial manusia juga didorong oleh motivasi-motivasi dari dalam diri dan dari lingkungan sekitarnya. Seseorang mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menguasai tubuh, lingkungan, bahkan sesamanya. Orang ingin diakui atau diterima baik atas penilaian sendiri maupun penilaian orang lain. Orang juga ingin sekali berperilaku sesuai dengan yang diajarkan oleh orangtuanya maupun oleh sebayanya yang dianggap baik menurut adat.

Berdasarkan asal munculnya, motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi biogenetis dan sosiogenetis. Motivasi biogenetis berasal dari kebutuhan organisme demi kelanjutan hidup biologis seseorang dan bersifat asli. Sedangkan motivasi sosiogenetis berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang berada dan berkembang. Motivasi sosiogenetis timbul sebagai akibat dari interaksi sosial dengan orang atau hasil kebudayaan (Handoko, 1992: 34). Dalam novel Tarian Bumi banyak motivasi sosiogenetis yang berasal dari lingkungan masyarakat yang

akan mempengaruhi tokoh untuk berpindah kastanya (Handoko, 1992: 9-10). Handoko (1992: 35) membagi motivasi sosiogenetis lebih spesifik lagi menjadi dua, yaitu motivasi darurat dan motivasi objektif. Motivasi darurat digolongkan lagi menjadi motivasi untuk melepaskan diri dari bahaya, motivasi untuk melawan, motivasi untuk mengatasi rintangan, dan motivasi untuk mengerjar. Motivasi objektif juga digolongkan lagi menjadi motivasi eksplorasi dan motivasi manipulasi.

(37)

Motivasi ini timbul karena keadaan lingkungan mendorong individu untuk mengambil tindakan darurat yang diperlukan. Motivasi darurat muncul untuk menguasai atau menaklukkan lingkungan, terutama untuk membela diri dalam keadaan darurat. Beberapa motivasi yang dapat digolongkan dalam motivasi darurat ini adalah:

1) Motivasi untuk melepaskan diri dari bahaya

Salah satu hal yang mengancam keselamatan individu adalah keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat diketahui oleh individu melalui tanda-tanda bahaya. Sebagai contoh, anak kecil belum mengerti bahwa ular itu berbahaya. Namun, berkat belajar dari orang lain atau pengalaman sendiri dia mengetahui bahwa ular itu berbahaya. Oleh karena itu, setiap kali berjumpa dengan ular dia merasa takut dan akan menghindarinya.

2) Motivasi untuk melawan

Motivasi melawan timbul bila individu merasa diri dihambat oleh hal atau orang lain saat kebutuhan yang dirasakannya saat itu dihalangi. Contohnya bila ada seorang anak kecil sedang bermain kemudian alat permainnya direbut oleh kakaknya. Anak kecil itu akan menangis dan melawan kakaknya karena telah menghambat permainannya.

3) Motivasi untuk mengatasi rintangan

(38)

sangat sukar di atasi, baru ada kemungkinan lain, misalnya menyerah dan tidak melanjutkannya. Reaksi spontan untuk berusaha mengatasi rintangan ini sifatnya asli, tidak dipelajari; tetapi makin dewasa seseorang, cara bereaksi dan bentuk reaksinya memang makin dipengaruhi oleh pengalaman.

4) Motivasi mengejar

Motivasi mengejar ini timbul bila ada rangsangan yang bersifat mangsa atau daging atau binatang atau menjadikan sesuatu sebagai sasaran perbuatan kejahatan. Kalau individu menghadapi suatu mangsa, maka dapat terjadi dua kemungkinan pada mangsa itu, yaitu lari sehingga tidak dapat ditangkap atau mangsa itu diambil lebih dulu oleh pihak lain. Keadaan individu sewaktu menghadapi mangsanya merupakan saat-saat kritis atau darurat. Yang dipelajari dalam motivasi mengejar ini adalah objek dan cara memenuhi motivasi tersebut. (Handoko, 1992: 34-37).

b. Motivasi Objektif

Motivasi objektif adalah motivasi untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang atau hal-hal yang berada dalam lingkungannya tanpa terbatas tidak muncul saat keadaan darurat. Motivasi eksplorasi dan motivasi manipulasi merupakan jenis motivasi objektif.

1) Motivasi eksplorasi

(39)

berkat adanya motivasi eksplorasi. Makin banyak hal yang dirahasiakan, akan makin kuat pula keinginan untuk lebih lanjut.

2) Motivasi manipulasi

Motivasi manipulasi ini dapat dimaksudkan ke dalam motivasi eksplorasi karena kegiatan manipulasi seringkali juga bertujuan bereksplorasi. Manipulasi sendiri artinya berbuat mengerjakan sesuatu objek terutama berbuat atau mengerjakan dengan tangan.

Motivasi eksplorasi dan manipulasi merupakan langkah yang amat penting untuk dapat berhubungan dengan lingkungan. Eksplorasi dan manipulasi tidak akan dapat berlangsung terus bila orang tidak menaruh minat terhadap objek-objek yang terdapat di lingkungannya. Semakin besar minat seseorang terhadap suatu objek yang dilihatnya, semakin besar pula keinginannya untuk mengeksplorasi atau mengetahui dan memanipulasinya. Oleh sebab itu, manusia sering merasa sulit membeda-bedakan mana yang merupakan motivasi eksplorasi dan mana yang merupakan motivasi manipulasi. Dalam kenyataannya, semua hal di atas bergerak bersama-sama (Handoko, 1992: 37-39).

1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Metode

(40)

melukiskan keadaan subjek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1985: 63).

Metode ini menitikberatkan pada observasi. Peneliti bertindak sebagai pengamat yang tugasnya hanya membuat kategori pelaku, mengamati gejala, dan mencatatnya. Peneliti yang menggunakan metode deskriptif harus memiliki sikap represif (mencari, bukan menguji), dan memiliki kekuatan untuk memadukan berbagai macam informasi yang diterimanya menjadi satu kesatuan penafsiran (Ratna, 2004:53). Peneliti mendeskripsikan motivasi perpindahanan kasta brahmana-sudra dalam novel Tarian Bumi dengan cara mencatat, kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data yang diteliti.

1.7.2 Pendekatan

Peneliti juga menggunakan pendekatan sosiologis yang menganalisis individu dalam masyarakat dengan proses pemahaman dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh karya sastra dihasilkan oleh pengarang, pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2004:59-60).

(41)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka. Teknik pustaka dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Dalam studi tersebut peneliti mencari sumber-sumber tertulis dan meneliti teks yang terbatas pada pemanfaatan teknik kartu data yang mendukung penelitian (Ratna, 2004: 39). Teknik ini dimaksudkan agar peneliti memperoleh data yang lebih kongkret. Peneliti akan menggunakan data yang terdapat dalam novel Tarian Bumi dan sumber pustaka lain yang berupa buku-buku, karya tulis, atau sumber dari internet yang berkaitan dengan objek penelitian.

1.7.4 Sumber Data

Judul buku : Tarian Bumi Pengarang : Oka Rusmini Penerbit : IndonesiaTera Tahun terbit : 2004

Tebal : x + 224 hlm

1.8 Sistematika Penyajian

(42)
(43)

25

Analisis struktural dalam kajian sastra merupakan salah satu cara untuk memahami dan mengerti isi dari sebuah karya sastra. Analisis dilakukan dengan cara memperhatikan dan mengkaji unsur-unsur instrinsik. Tokoh dan penokohan merupakan unsur instrinsik karya sastra. Kedua unsur inilah yang akan dianalisis oleh penulis untuk mempermudah memahami karya sastra.

Dalam bab II ini akan dianalisis tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Penulis memang mengesampingkan unsur instrinsik yang lain untuk mengefektifkan objek penelitan yang berhubungan dengan motivasi perpindahan kasta. Analisis tokoh dalam Tarian Bumi akan dilakukan berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu dengan membagi tokoh menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Melalui analisis tokoh dan penokohan yang dilatarbelakangi kasta masing-masing, penulis mampu mengetahui gambaran karakter para tokoh yang menunjukkan adanya motivasi perpindahan kasta. Selanjutnya akan dipaparkan analisis unsur intrinsik dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

2.1 Tokoh dan Penokohan

(44)

“Siapa pelaku cerita ini?”. Pelaku ini yang biasa disebut tokoh cerita. Yang

dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988 : 16). Dalam novel Tarian Bumi terdapat tokoh Ida Ayu Telaga Pidada, Luh Sekar/Jero Kenanga, Luh Sari, Luh Sadri, Putu Sarma, Ida Bagus Tugur Pidada, Luh Kenten, Luh Dalem, Luh Kambren, Wayan Sasmitha, Ida Bagus Ketu Pidada, Luh Gumbreg, Nenek Ida Ayu Sagra Pidada, Luh Kerta, dan Luh Kerti.

Penokohan tokoh-tokoh di atas digambarkan melalui ciri-ciri lahir, sifat, dan sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Watak dan karakter tokoh sangat dipengaruhi oleh latar sosial masyarakat yang secara tidak langsung membentuk kepribadian tokoh itu sendiri. Pengarang juga bisa menceritakan dan mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya.

Dilihat dari fungsi penampilannya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi serta tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita (Nurgiyantoro, 2002 : 178). Tokoh-tokoh protagonis dalam novel Tarian Bumi adalah Ida Ayu Telaga Pidada, Luh Sari, Ida Bagus Tugur, Luh

(45)

Dari beberapa tokoh protagonis dan antagonis di atas, penulis akan membatasi penelitian tokoh dan penokohan hanya pada tokoh Ida Ayu Telaga Pidada sebagai tokoh protagonis dan tokoh Luh Sekar/Jero Kenanga sebagai tokoh antagonis. Kedua tokoh tersebut dipilih karena dianggap sebagai tokoh-tokoh yang berpindah kasta dalam novel Tarian Bumi. Selanjutnya, pengenalan tokoh Ida Ayu Telaga Pidada dan Jero Kenanga akan dibahas dalam penokohan tiap tokoh.

2.1.1 Ida Ayu Telaga Pidada

Ida Ayu Telaga Pidada, biasa dipanggil Telaga, adalah seorang gadis yang berasal dari kasta brahmana. Telaga digambarkan sebagai seorang bangsawan, kaya, pandai menari, dan cantik. Telaga tinggal di griya, rumah tempat tinggal kasta brahmana. Karena berasal dari kasta brahmana, banyak orang meyakini bahwa Telaga diberi taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang, saat menari oleh para dewa. Telaga menjadi berbeda dengan gadis lain karena taksu yang dimilikinya. Telaga mempunyai bakat dan kemampuan menari lebih dari para penari lainnya, sehingga sering membuat iri para perempuan yang melihatnya menari. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(1) “Karena dia seorang putri brahmana, maka para dewa memberinya taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang. Luar biasa. Lihat! Ketika perempuan itu menari seluruh mata seperti melahap tubuhnya. Alangkah beruntungnya perempuan itu. Sudah bangsawan, kaya, cantik lagi. Dewa-dewa benar-benar pilih kasih!” Seorang perempuan berkata sinis. Bau iri melukis matanya yang tajam dan sangat tidak bersahabat itu (Rusmini, 2004: 5).

(46)

Telaga juga disenangi oleh banyak lelaki. Para lelaki tersebut kebanyakan berasal dari kasta sudra, kasta yang tingkatannya lebih rendah dari kasta brahmana. Oleh karena itu, para lelaki sudra hanya bisa mengagumi Telaga dari jauh saja, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati Telaga karena perbedaan kasta. Mereka bahkan mengeluh bahwa kecantikan hanya diberikan oleh para dewa kepada perempuan brahmana, bukan perempuan sudra; sehingga para lelaki sudra cuma bisa bermimpi untuk mendapatkan perempuan cantik dengan kasta yang sama.

(3) “Putu Sarma, kau jangan bermimpi! Perempuan brahmana itu tak mungkin menyentuh dan mengerti perasaanmu. Sebelum perasaan perempuan itu muncul, para dewa telah membunuhnya.” Seorang laki -laki memukul pundak Putu Sarma. Putu Sarma tertawa keras-keras.

“Ya. Sayang sekali para dewa pilih kasih. Kenapa hanya perempuan bangsawan yang diberi kecantikan bumi! Apa komentarmu kalau kucuri perempuan itu dari penjagaan ketat para dewa?” sambung laki-laki muda di sebelahnya (Rusmini, 2004: 10-11).

Sebagai seorang perempuan brahmana, Telaga tidak terlalu menjaga jaraknya dengan kasta lain. Telaga tidak memposisikan diri sebagai perempuan brahmana yang harus selalu disanjung dan dihormati oleh kasta yang lebih rendah. Telaga justru digambarkan sebagai seorang perempuan brahmana yang menghormati, baik hati, dan santun terhadap kasta lain yang lebih rendah. Telaga sangat hormat kepada kasta sudra, terutama terhadap keluarga Luh Sadri, teman Telaga.

(4) “Aku harus membuang pikiran-pikiran buruk itu, Hyang Widhi5. Alangkah jahatnya aku, padahal Telaga sangat baik padaku.

(47)

Perempuan itu selalu penuh hormat pada keluargaku. Ibuku juga sangat mencintai perempuan bangsawan itu. Kata ibu, tak ada perempuan bangsawan yang bisa menghormati dirinya selain Telaga. Perempuan itu juga sering membeli alat-alat upacara untuk kepentingan griya. Hyang Widhi, kenapa aku tak bisa membuang kebencian pada perempuan di atas panggung itu? Kenapa? Padahal perempuan di atas panggung itu telah memberi banyak kemudahan untuk keluargaku.” Luh Sadri meremas tangannya sendiri (Rusmini, 2004 : 7).

Melalui kutipan di atas dapat diketahui bentuk penghormatan Telaga terhadap kasta sudra, salah satunya adalah dengan selalu memberi bantuan kepada keluarga Luh Sadri. Telaga sering membelikan perlengkapan untuk upacara di griya dan secara langsung tindakan Telaga tersebut telah membantu perekonomian keluarga Luh Sadri. Telaga telah membentuk hubungan yang baik antara brahmana dan sudra dengan cara menghormati keluarga Luh Sadri.

Telaga juga kebanggaan Jero Kenanga, ibunya. Telaga dituntut untuk bisa menjaga diri. Bagi Jero Kenanga, Telaga adalah anak satu-satunya yang dapat mengangkat derajatnya dari sudra menjadi brahmana, bahkan melebihi perempuan bangsawan lainnya.

(5) “Tugeg6 harus jadi perempuan paling cantik di griya ini. Tugeg adalah harapan Meme7. Pada Tugeg, Meme menyerahkan hidup. Makanya, Tugeg harus bisa jaga diri. Tugeg harus…” Suara perempuan yang meminjamkan rahimnya hampir sepuluh bulan itu selalu membuat Telaga bergidik (Rusmini, 2004: 11-12).

(6) Ibunya memang bukan seorang bangsawan. Ibu Telaga adalah perempuan sudra, perempuan kebanyakan yang disunting oleh laki-laki brahmana, laki-laki yang dalam darahnya mengalir nilai-nilai kebangsawanan, keagungan, kebesaran, sekaligus keangkuhan (Rusmini, 2004: 12).

6Tugeg

singkatan dari Ratu Jegeg. Seorang yang kastanya lebih rendah akan memanggil anak perempuan brahmana dengan panggilan Tugeg.

(48)

Telaga digambarkan sebagai anak yang memiliki kedekatan dengan ibunya. Namun, disisi lain Telaga digambarkan tidak mempunyai kedekatan dengan ayahnya. Tanpa sepengetahuan ibunya, Telaga sebenarnya sangat membenci ayahnya. Telaga menganggap bahwa ayahnya, Ida Bagus Ngurah Pidada, merupakan lelaki brahmana yang tidak menunjukkan sikap sebagai seorang bangsawan. Selain itu, ayah Telaga juga merupakan lelaki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Ayah Telaga hanya bisa membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan tanpa diimbangi tindakan yang baik di mata semua orang. Ayah Telaga hanya bisa metajen8, minum minuman keras, sampai berbulan-bulan tidak pulang. Padahal Telaga juga dituntut untuk menghormati ayahnya dengan menyebutnya “ratu”, panggilan kehormatan untuk kalangan

bangsawan.

(7) Bagi Telaga, dialah lelaki idiot yang harus dipanggil dengan nama yang sangat agung, Aji, Ayah. Menjijikkan sekali! Lelaki yang tidak bisa bersikap! Lelaki yang hanya bisa membanggakan kelelakiannya. Bagaimana mungkin dia bisa dipercaya? Ketololannyalah yang membuat seorang perempuan kecil bernama Ida Ayu Telaga Pidada menyesal harus memanggil lelaki itu dengan panggilan terhormat. Karena ayah Telaga memiliki ayah seorang Ida Bagus dan ibunya Ida Ayu, kata orang nilai karat kebangsawaannya sangat tinggi. Untuk memanggilnya laki-laki yang tidak pernah dikenalnya itu Telaga harus menambahkan kata “ratu” (Rusmini, 2004: 13).

(8) Laki-laki yang memiliki ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia bisa berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah, kerjanya hanya metajen, adu ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak, minuman keras. Laki-laki itu juga sering membuat ulah yang sangat memalukan Nenek, ibunya sendiri (Rusmini, 2004: 15).

8

(49)

Dalam hidupnya, Telaga tidak begitu mengenal sosok ayahnya, bahkan Telaga merasa jijik menyebutnya ayah karena kelakuan ayahnya tidak memperlihatkan sikap seorang ayah yang berkasta brahmana. Telaga ditinggal mati ayahnya ketika masih berusia sembilan tahun. Ayahnya ditemukan mati di tempat pelacuran dengan penuh tusukan pisau di tubuhnya yang telanjang dan dengan mulut yang berbau arak.

Kehidupan Telaga sebagai seorang perempuan berkasta brahmana juga digambarkan melalui kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan Telaga selama berada di griya. Telaga diwajibkan untuk mengikuti seluruh aturan kasta brahmana, termasuk pembatasan pergaulan antara brahmana dengan kasta yang lebih rendah. Sejak kecil Telaga tidak diperbolehkan bertemu dengan orangtua ibunya yang berkasta sudra. Jika Telaga sering bergaul dengan kasta sudra, termasuk keluarga dari ibunya, maka nilai kebangsawanan mereka akan berkurang atau justru kebangsawanan mereka hilang.

(9) “Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu. Cucuku seorang brahmana, bukan sudra. Bagaimana kamu ini! Kalau sering kau bawa pulang ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar kebangsawanan. Kau mengerti, Kenanga!” Suara mertuanya terdengar melengking. Sekar terdiam (Rusmini, 2004: 75-76).

Kewajiban lain yang harus dijalankan Telaga saat beranjak dewasa adalah tradisi upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru yang ditandai dengan haid pertama. Telaga harus melakukan tradisi Menek Kelih9 yang menandai masa aqil balik seorang perempuan. Hal ini dirasakan Telaga lebih seperti aturan yang

9

(50)

memaksanya untuk meninggalkan segala sifat kekanak-kanakannya. Telaga harus paham aturan-aturan menjadi seorang perempuan dewasa dalam kasta brahmana, hingga Telaga merasa kehilangan masa kebebasannya.

(10) Sayang, masa itu tidak bisa dipinjam Telaga lama-lama. Telaga harus mengalah dan mengembalikan masa itu pada hidup. Rasanya tidak ikhlas! Sering Telaga berpikir bagaimana caranya agar Sang Hyang Hidup bisa dibohongi. Ingin rasanya mencuri masa kanak-kanak itu lagi. Satu atau dua hari lagi. Kalau saja kesempatan itu ada, Telaga ingin menyembunyikannya agar Sang Hyang Hidup tidak bisa menguntit dan memaksa Telaga mengembalikan masa kanak-kanak itu (Rusmini, 2004: 81-82).

Kutipan di atas secara tidak langsung membuktikan bahwa Telaga tidak mau menjalani Menek Kelih karena dia mencintai masa kanak-kanaknya yang indah. Dengan menjalani upacara Menek Kelih, Telaga harus mulai mengubah semua sifat kekanakannya menjadi dewasa.

Semakin dewasa Telaga semakin menemui banyak kewajiban yang mengatur hidupnya. Aturan-aturan itu mulai setiap hari diucapkan ibunya, Jero Kenanga. Telaga harus berpakaian dan berbicara sopan sebagai Ida Ayu, menghapal sesaji, mengukir janur untuk upacara, belajar makakawin10, sampai dia diharuskan menikah dengan seorang Ida Bagus.

(11) “Kau adalah harapan Meme, Tugeg. Kelak, kau harus menikah dengan laki-laki yang memakai nama depan Ida Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam pesanku ini. Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan brahmana. Menghapal berbagai macam sesaji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk upacara. Pegang kata-kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?” Suara perempuan itu lebih mirip paksaan daripada sebuah nasihat (Rusmini, 2004: 83-84).

(12) “Sekarang Tugeg bukan anak-anak lagi. Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalau Tugeg ingin keluar, pakailah kain dan

10

(51)

harus rapi. Jangan ngawur. Jaga wibawa Meme di depan orang-orang griya. Walaupun Meme bukan seorang Ida Ayu, Meme yakin anak Meme lebih Ida Ayu dari berpuluh bahkan beratus Ida Ayu.” (Rusmini, 2004: 85-86)

(13) “Kalau Meme bicara, Tugeg harus mendengarkan dengan baik. Tidak sopan membalikkan punggung ketika seseorang sedang berbicara dengan kita.” (Rusmini, 2004: 87)

(14) “Lama tiang11 tidak melihat Tugeg. Rasanya ada sesuatu yang hilang.” Suara Wayan mengagetkan Telaga.

Tiang sibuk membuat sesaji untuk upacara. Tiang juga belajar makakawin. Tukakiang12 mengajari tiang membaca lontar Bali.” (Rusmini, 2004: 169)

Banyaknya aturan di atas membuat Telaga membenci proses dirinya menjadi perempuan dewasa. Menurutnya, semua aturan itu hanya merepotkan dirinya saja. mrengut. Memeluk bantalnya erat-erat (Rusmini, 2004: 87).

Sosok perempuan kedua, selain Jero Kenanga, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan diri Telaga, adalah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada. Neneknya sering memberikan nasihat untuk Telaga. Sampai-sampai Telaga bingung menghadapi ibu dan neneknya. Namun, Telaga tidak suka neneknya bersikap merasa paling benar. Telaga mengetahui bahwa nenek tidak menyukai ibunya, tetapi Telaga juga tidak menyukai cara neneknya menilai sikap ibunya.

(16) “Tuniang13! Tuniang bicara apa? Tunianglah yang harus banyak

(52)

depan tiang. Apa selama ini Tuniang sudah merasa lebih suci dari Ibu!” Telaga mendelik. Ditatapnya perempuan tua itu tajam.

Jengkel sekali Telaga mendengar cara perempuan itu bicara. Telaga tahu perempuan tua itu cemburu, merasa tersaingi. Dia takut Telaga akan lebih menyayangi ibunya dibanding neneknya. Ibunya juga begitu, sering menasihati dengan cara-cara yang aneh (Rusmini, 2004: 92).

Telaga adalah harapan satu-satunya bagi Jero Kenanga dalam mempertahankan hasil perjuangan hidupnya. Jero Kenanga ingin Telaga meneruskan ambisinya menjadi seorang perempuan tercantik di seluruh bumi dengan menari. Telaga yang mempunyai kemampuan lebih dalam menari akan dianggap berbeda dengan gadis-gadis bangsawan lainnya. Hal ini sesuai yang diinginkan Jero Kenanga.

(17) Suara Jero Kenanga kadang-kadang lebih mirip pengharapan bahwa apa yang telah dilakukannya untuk hidup harus ditebus oleh Telaga. Perempuan itu selalu mengungkit-ungkit perjuangannya menjadi perempuan yang telah membesarkan Telaga. Juga perjuangannya menjadi seorang perempuan bangsawan (Rusmini, 2004: 93).

(18) “Jadilah perempuan tercantik di seluruh bumi ini Tugeg. Kau harus mampu. Setiap hari hanya itu doa Meme.” (Rusmini, 2004: 93)

Pada umur 15 tahun, Telaga mulai menjalani rutinitas latihan menari setiap sore. Jero Kenanga berharap Luh Kambren, guru tari Telaga, bisa mencurahkan seluruh taksu yang dia miliki sehingga Telaga bisa menjadi penari terhebat. Namun, awal pertemuan Luh Kambren dengan Telaga sangat kaku. Telaga merasa takut berhadapan dengan sosok Luh Kambren yang dingin dan pandangan matanya mengerikan. Telaga merasa ada jarak yang lebar antara dirinya dengan Luh Kambren.

(53)

menggigil bila berdekatan dengan Kambren. Telaga sering bertanya dalam hati, tidakkah para dewa tari takut melihat matanya yang begitu mengerikan? Mata itu sangat menantang. Biji matanya mirip pisau bahwa Telaga pantas menerima taksu yang dimilikinya sebab Telaga berbeda dengan penari-penari lainnya. Telaga dianggap disiplin dan mampu menguasai gerak-gerak tari dalam waktu singkat.

(20) Luh Kambren menatap bocah lima belas tahun itu sungguh-sungguh. Entah mengapa, perempuan itu merasa bahwa bocah ini akan memiliki cerita yang lebih banyak dari hidupnya sendiri. Untuk pertama kali Kambren melihat bahwa perempuan yang berdiri di depannya adalah perempuan yang tepat untuk diberi taksu miliknya. Taksu yang didapat dari para dewa tari. Taksu yang tidak akan pernah menetes lagi (Rusmini, 2004: 96).

Lama-kelamaan Telaga mulai akrab dan menyukai Luh Kambren. Telaga bangga mempunyai guru tari Luh Kambren dan mulai mau mengenali Luh Kambren lebih dalam lagi. Telaga menganggap Luh Kambren bukan hanya guru tari yang hebat, tetapi juga sebagai seorang wanita yang baik.

(54)

Dari keakrabannya itu, Telaga mulai nyaman dan senang untuk belajar menari. Telaga memang pribadi yang pintar, sehingga dia hanya perlu waktu dua hari dalam berlatih tari Legong14. Bakat menari yang dimiliki Telaga membuatnya cepat disenangi oleh Luh Kambren.

(22) “SUDAH tiang katakan, Tugeg adalah murid terbaik yang pernah tiang miliki. Tugeg tahu, tiang sudah puluhan tahun tidak ingin mengajari seseorang menari. Melelahkan. Karena mereka sering tidak serius. Tugeg menguasai tari Legong dalam waktu dua hari. Luar biasa!” Luh Kambren memekik. Ditatapnya perempuan di depannya dengan rasa haru yang begitu dalam (Rusmini, 2004: 114).

Suasana akrab yang terjalin antara mereka, membuat Luh Kambren mau bercerita kisah hidupnya dulu sebagai penari. Namun suasana tersebut tidak berlangsung lama. Seminggu setelah Luh Kambren bercerita panjang tentang pengalaman hidupnya, Luh Kambren tiada. Telaga menyesal tidak sempat mengunjungi rumah guru tarinya itu karena terlalu sibuk oleh tawaran menari. Menurut pemeriksaan medis, Luh Kambren kena serangan jantung dan sudah mati tiga hari yang lalu di dalam rumahnya.

(23) SEMINGGU setelah bercerita panjang Luh Kambren mati. Mayatnya ditemukan telah membusuk di biliknya yang sangat sederhana. Menurut pemeriksaan petugas medis, Kambren kena serangan jantung dan sudah mati tiga hari yang lalu.

Telaga menyesal tidak sempat mengunjungi rumah perempuan tua itu. Dia terlalu disibukkan oleh tawaran menari yang terus berdatangan. Belum lagi upacara yang tidak ada habis-habisnya (Rusmini, 2004: 132).

14

(55)

Setelah Luh Kambren meninggal, Telaga menerima lebih banyak lagi tawaran menari. Bakat menari Telaga memang terbukti dikagumi banyak orang. Telaga tidak bisa lepas dari campur tangan Jero Kenanga dalam menerima undangan menari. Ibunya semakin sering mengatur Telaga, termasuk mengatur jadwal menarinya. Sikap otoriter Jero Kenanga semakin dirasakan oleh Telaga setelah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada, meninggal dan Jero Kenanga memperoleh posisi sebagai kepala rumah tangga. Akibatnya seluruh keperluan Telaga diatur oleh Jero Kenanga.

(24) HARI-HARI menjadi begitu menyesakkan. Ada-ada saja undangan yang harus dipenuhi Telaga. Kalau sudah ada undangan ke griya-griya, Ibulah perempuan paling sibuk di rumah ini, terlebih setelah Nenek tidak ada. Ibu jadi terlalu otoriter. Kebenarannya adalah dari kaca mata dia sendiri (Rusmini, 2004: 136).

(25) Telaga merasa ibunya yang hanya perempuan sudra lebih ortodok dari seorang perempuan brahmana yang memiliki karat kebangsawanan paling tinggi (Rusmini, 2004: 167).

Sikap Jero Kenanga yang otoriter menjadi awal konflik antara Telaga dengan Jero Kenanga. Luh Sekar malah semakin ambisius setelah menjadi Jero Kenanga apalagi terhadap Telaga. Semua keinginan Jero Kenanga harus Telaga lakukan tanpa mempertimbangkan perasaan Telaga sendiri. Sifat keras kepala Jero Kenanga inilah yang membuat Telaga mulai tidak menyukai ibunya.

(26) “Sudah Tugeg siapkan baju untuk melihat upacara perkawinan di griya Sanur? Coba Meme lihat, harus serasi.” Perempuan itu menatap mata Telaga serius.

“Kenapa Tugeg hanya diam saja?”

“Tidak bisakah tiang memilih baju sendiri?” “Selera Tugeg sering buruk!”

Meme…”

(56)

“Jangan kebaya yang itu, Meme. Terlalu resmi.” kepala. Keinginan-keinginannya adalah harga mati. Tidak ada orang yang bisa membelokannya (Rusmini, 2004: 138).

Namun, menurut Telaga hanya satu hal yang ibunya tidak bisa ikut campur yaitu perasaan cintanya. Sejak Telaga masih kecil, dia sudah menyukai seorang laki-laki sudra. Namanya Wayan Sasmitha, mahasiswa seni lukis tingkat akhir.

(28) Telaga ingat, ketika itu usianya menjelang lima belas tahun. Seorang anak laki-laki duduk di teras. Pakaiannya aneh, kotor, dan tubuhnya tidak terawat. Begitu Telaga keluar, bocah itu menghampiri dan memberi salam penuh hormat. Dia menyerahkan bungkusan berisi kue yang dipesan Jero Kenanga untuk upacara.

Sejak saat itu Telaga merasa telah menemukan laki-laki yang memilih laki-laki untuk tempat bergantung.” (Rusmini, 2004: 140)

(57)

mengikhlaskan kepergian Wayan ke Jepang selama satu tahun. Hingga menjelang kepergian Wayan ke Jepang, Telaga belum mampu mengungkapkan perasaan cintanya kepada Wayan.

(29) Ada yang tenggelam begitu dalam ketika Wayan bercerita akan pameran ke Jepang. Telaga takut kehilangan laki-laki itu. Telaga banyak memiliki teman-teman pelukis, setelah pameran di luar negeri, mereka tidak hanya membawa uang, tapi juga perempuan Barat. Rasanya tidak ikhlas melepas Wayan pergi. Laki-laki yang dikagumi perempuan-perempuan di griya itu pasti menjadi pelukis yang baik (Rusmini, 2004: 152)

Perasaan cinta Telaga terhadap Wayan semakin bertambah setelah Telaga mengetahui bahwa Wayan akan pulang dari Jepang. Telaga sudah benar-benar merindukan Wayan. Menjelang kepulangan Wayan, Telaga sempat merasa cemburu karena mendengar cerita tentang Wayan dari teman-teman menarinya. Para penari itu bercerita bahwa mereka berusaha menarik perhatian Wayan lewat berbagai cara. Telaga hanya bisa mendengarkan cerita teman-temannya tanpa mampu bercerita bahwa sebenarnya Telaga juga menyukai Wayan. Telaga tetap berusaha menjaga perasaan sayangnya terhadap Wayan walaupun merasa cemburu.

(58)

Telaga semakin yakin bahwa ia sangat mencintai Wayan setelah mengetahui kepulangannya dari Jepang. Wayan pun semakin berani mengungkapkan cintanya kepada Telaga. Akhirnya mereka semakin dekat karena saling mencintai. Telaga ingin Wayan menjadi pasangan hidupnya kelak. Telaga juga yakin bahwa dia dapat menjalani hidup dan melewati berbagai kesulitan bersama Wayan. Rasa cinta yang begitu lama dipendam antara Telaga dan Wayan membuat mereka nekad melakukan hubungan suami-istri dengan keyakinan bahwa mereka akan hidup bahagia bersama di masa depan.

(31) “Tiang tidak ingin menyesali atau memaki perasaan tiang. Ini pilihan. Tiang harus berani melakukan untuk diri tiang sendiri. Tiang sadar ini tidak pantas, tetapi perasaan tiang tidak bisa tiang bohongi. Menjadi manusia yang utuh harus berani bertanggung-jawab pada dirinya sendiri. Tugeg jangan menangis.” Wayan menyentuh pipi Telaga.

Tiang takut. Tiang juga takut dengan diri tiang sendiri.”

“Kita akan hadapi ini, Tugeg. Tugeg harus yakin. Tiang percaya Tugeg mengerti apa yang ingin tiang katakan. Saat ini tiang tidak bisa janji apa-apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan impian ini. Impian yang tiang simpan berpuluh tahun. Sakit rasanya menyimpan terlalu lama.”

“Kau tahu perasaan tiang, Wayan?” “Ya. Sejak dulu.”

Mereka berdua berdiam. Wayan menggenggam tangan Telaga era-erat (Rusmini, 2004: 172).

(59)

juga dapat kehilangan kebangsawanannya jika mempunyai hubungan yang terlalu dekat dengan laki-laki sudra.

Telaga memberanikan diri menghadap Luh Gumbreg, ibu Wayan, untuk memberitahukan keinginannya menikah dengan Wayan. Luh Gumbreg tidak bisa menerima permintaan Telaga menikah dengan Wayan. Luh Gumbreg percaya bahwa pernikahan antara brahmana dan sudra adalah sebuah pernikahan yang tidak seimbang dan tidak akan direstui oleh siapa pun. Pernikahan antara sudra dan brahmana dianggap dapat mendatangkan kesialan bagi keluarga. Selain itu, Luh Gumbreg juga tidak ingin hubungan antara keluarganya dengan keluarga griya menjadi rusak hanya karena pernikahan Telaga dan Wayan. Luh Gumbreg

merasa bahwa keluarga sudra hanya pantas menjadi abdi bagi orang-orang griya. (32) “Kau sudah gila!” Perempuan itu berteriak keras-keras. Matanya

terlihat liar.

“Kau sadar siapa dirimu, Wayan? Kau sudah berpikir apa jadinya kalau kau menikah dengan Dayu Telaga? Ada apa dengan dirimu! Kau anak laki-laki satu-satunya milik Meme. Jangan buat masalah dengan orang-orang griya. Tugeg, pikirkan lagi keputusan ini. Tolonglah, ini semua demi kebaikan kami.” Suara perempuan tua itu terdengar penuh iba (Rusmini, 2004: 173).

(33) Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana adalah Surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya? (Rusmini, 2004: 173-174).

(60)

kenyataan bahwa Wayan menikahi Telaga demi anak yang telah dikandung Telaga.

(34) “Tiang sudah hamil lima bulan, Meme.” Suara Telaga terdengar getir. Perempuan itu membalikkan tubuhnya kembali.

Tugeg!” Ditatapnya mata Telaga dalam-dalam. Luh Gumbreg

mencari kebenaran ucapan perempuan itu. “Tugeg tidak sedang bermain-main, „kan?”

“Ini serius.” Telaga berkata tegas (Rusmini, 2004: 185).

Akhirnya perkawinan Telaga dan Wayan pun berlangsung. Perkawinan tanpa restu dari Jero Kenanga, ibu Telaga. Hari pertama setelah perkawinannya, hidup Telaga berubah total. Dia harus melakukan aktivitas dalam keluarga sudra yang sebelumnya tidak pernah Telaga bayangkan. Namun, Telaga berpasrah diri menghadapinya. Setiap pagi tidak ada lagi segelas susu dan roti bakar. Telaga juga harus belajar memasak hanya memakai kayu bakar. Akibat yang harus ditanggung oleh Telaga dari pernikahannya dengan Wayan adalah hidup sederhana sebagai sudra dan mengalami semua kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sebagai sudra.

(35) PERKAWINAN itu berlangsung. Hidup jadi berubah total. Bangun pagi-pagi tidak ada pelayan yang menyiapkan segelas susu dan roti bakar. Yang ada hanya segelas air putih. Itupun air putih kemarin. Telaga meneguknya. Matanya sedikit berair.

“Di sini tidak ada orang yang bisa menyiapkan makanan untukmu.” Suara mertuanya terdengar ketus.

“Tidak apa-apa, Meme. Tiang harus belajar. Ini pilihan tiang sendiri.”

“Memasak pakai kayu bakar.” “Tiang akan coba.”

Gambar

tabel berikut.
Tabel 1. Perubahan Karakter Tokoh Ida Ayu Telaga Pidada  dari Kasta Brahmana ke Kasta Sudra
Tabel 2. Perubahan Karakter Tokoh Luh Sekar/ Jero Kenanga  dari Kasta Brahmana ke Kasta Sudra
Tabel 3. Motivasi Sosiogenetis Perpindahan Kasta Tokoh Ida Ayu Telaga Pidada dan Luh Sekar/ Jero Kenanga
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, terutama dengan cara menyatukan orang-orang untuk menghadapi tantangan dalam meraih tujuan (Chapman

Berikut adalah kegiatan pendampingan Ni Birit yang sudah dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh kelompok mahasiswa KKN PPM UNUD 2015 Periode XIII di

Paradoks yang dimaksudkan adalah bahwa kemunculan pakaian bekas justru terjadi di tengah masyarakat Yogyakarta yang saat ini tengah menandaskan diri sebagai

Sebagai upaya edukasi publik, kedua elemen dasar brand Ekonomi Syariah ini harus tetap dimunculkan guna memberi pernyataan tegas bahwa gerakan ini merupakan master-brand

Kawasan hutan di Tanah Towa Kajang dibagi ke dalam dua jenis, yakni Borong Batasaya (Hutan Rakyat) dan Borong Karamasaya (Hutan Lindung Adat). Borong Batasayya

Tujuan Penelitian ini adalah mencari cara alternatif untuk mengetahui jumlah buku yang terjual perminggu dengan menggunakan bentuk polinomial dalam matematika..

Kegiatan SEKOLAH KEWIRAUSAHAAN TANGERANG SELATAN 2015 ini diselenggarakan oleh pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Pamulang Cabang Ciputat

Gambar 3.96 Rancangan Layar Transaksi Laporan Absensi Siswa per Term...456. Gambar 3.97 Rancangan Layar Transaksi Laporan Absensi Siswa