• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan10.

Di Indonesia fenomena konglomerasi media dimulai bisa diidentifikasi pasca reformasi dimana hukum tentang kebebasan pers dicanangngkan, hal ini tertera jelas pada UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum11

. Namun kebebasan pers ini banyak sekali menuai pro dan kontra karena dalam aplikasinya mengusung opini, perampasan hak publik, dominasi dan bahaya media di tangan segelintir orang.

9

Profil MNCTV (di akses dari : http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mnctv/ pada 4 februari 2016)

10

Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik. 2004, Hal 26

11

Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya, komunikasi massa suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media, 2004 ), Hal. 199

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik media di Indonesia kemunculan lembaga penyiaran komersil pertama di Indonesia pada sekitar tahun 1980 – an di era orde baru digunakan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi krisis migas.

Kembali pada konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung perkembangan industri media RCTI (Rajawali Citra Televisi) Indonesia yang diluncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi swasta pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun 1985 keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya citra televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas Televisi), dan Indosiar (Indosiar Visual Mandiri). Dari kemunculan televisi swasta inilah bias penguasa orde baru tercipta yang pada saat itu contohnya RCTI dimiliki Oleh Bambang Trihatmojo (anak sulung Soeharto), SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri Soehato), ANTV dimiliki oleh Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh Salim Group (partner bisnis keluarga Soeharto)12. Seiring perkembangannya media – media yang menjadi bias penguasa menjadikan peringatan tersendiri bagi publik. Media yang seharusnya menjadi kontrol sosial beralih fungsi sebagai alat penyalur kekuasaan.

12

Yanuar Nugroho Kepemilikan dan Intervensi Siaran,Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014 Hal 8 - 9

2. Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi

Film Di balik Frekuensi karya sutradara Ucu Agustin ini mengungkap kondisi media, khususnya televisi pasca reformasi, Film ini menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film berdurasi 144 menit 27 detik ini diproduksi hampir setahun, yakni sejak 15 Desember 2011 hingga 25 November 2012. Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta, Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo. Perekaman yang cukup panjang ini menghasilkan lebih dari 330 stok gambar.

Tema film terutama membicarakan media, khususnya media televisi yang menggunakan frekuensi publik. “Ada isu penting yang khusus diangkat setelah reformasi sekian lama. Bagaimana kondisi media, terutama pemilik media dan kepentingan politik dengan frekuensi yang dipakai saat itu,” Film ini menyorot konglomerasi media yang mewarnai industri media Indonesia. Ucu dengan riset yang cukup panjang menyajikan bagaimana media Indonesia yang berada ditangan segelintir kelompok pengusaha.

Grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik untuk menggolkan kepentingan politik dan ekonominya.Ucu bersama produser Ursula Tumiwa menceritakan apa yang terjadi pada media televisi dan konglomerasi media melalui kisah Luviana, jurnalis Metro TV, yang dipecat sepihak oleh Metro TV, dan kisah Hari Suwandi-Harto

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo.

Melalui kisah mereka yang panjang, Ucu bergantian menyajikan bagaimana para jurnalis di lapangan memberitakan kasus-kasus itu. Menyajikan bagaimana frekuensi publik yang secara serakah dipergunakan para pemilik media untuk kepentingan politik dan ekonominya.

G. Kerangka Berfikir Penelitian

Bagan 1.1

Dari kerangka berfikir diatas bisa diidentifikasi sesuai dengan teori Charles Sanders Pierce yang membagi tanda menjadi 3 bagian yakni : ikon, indeks, dan symbol. Tanda disimpulkan dengan adanya proses dialog pada film “Di Balik Frekuensi”, lalu indeks dapat dilihat

Produser Ucu Agustin

Realita Konglomerasi Media Film Dokumenter ͞Di Balik Frekuensi͟

Analisis semiotik Charles Sanders Peirce

Makna

pada alur “realita konglomerasi media di Indonesia”, dan symbol pada alur “makna”.

Berangkat dari konteks kerangka berfikir diatas keterkaitan dengan realita tentang konglomerasi media yang terjadi di Indonesia, seorang Ucu Agustin sebagai produser berinisiatif memproduksi film

“Di Balik Frekuensi” untuk memberi tahu khalayak tentang adanya

fakta yang tersembunyi dibalik eksistensi media masa yang berkembang saat ini.

Untuk mendukung proses penelitian inilah, peneliti menggunakan model analisis semiotika Charles Sanders Peirce. Karena dari analisis inilah peneliti mencoba mengungkap simbol – simbol tentang konglomerasi media beserta makna dari simbol – simbol tersebut sesuai dengan konteks situasi yang disajikan dalam film “Di Balik Frekuensi”. H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kritis, paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi proses produksi makna, individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya. “Karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat13”.

13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Paradigma Kritis merupakan suatu cara pandang terhadap realitas sosial yang senantiasa diliputi rasa curiga dan kritis terhadap realitas tersebut. Menurut Eriyanto, pandangan kritis memandang bahwa realitas kehidupan sosial, bukanlah relitas kehidupan yang netral, tetepi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat.

Jenis penlitian ini tergolong penelitian dengan pendekatan analisis teks media, karena metode tersebut merupakan metode yang cukup tepat untuk mengetahui konstruksi makna dalam film.

2. Subyek, Dan Obyek Penelitan

Subyek dalam penelitian ini adalah Film “Di Balik frekuensi”. Obyek penelitian adalah komunikasi teks media yang terdiri atas : gambar, setting, properti,& scene kamera yang ada dalam Film “Di Balik frekuensi”.

Dari obyek tersebut, pentingnya penentuan unit analisis ini, agar validitas dan reabilitas dapat terjaga. Sedangkan yang menjadi obyeknya yakni kajian dari ilmu komunikasi, khususnya adalah pesan konglomerasi media yang disajikan dalam film “Di Balik Frekuensi”.

3.Jenis dan Sumber Data

a. Data primer adalah hasil dari dokumentasi yang tertera di

video film “Di Balik Frekuensi”, baik berupa gambar, teks, ataupun pers realese.

b. Data Skunder merupakan data yang bisa melengkapi data

utama, berupa info tentang film “Di balik Frekuensi” baik buku, surat kabar, jurnal, skripsi, dan media online yang relevan dengan penelitian ini.

4.Tahap Tahap Penelitian

Dalam tahapan penelitian yang sistematis, penelitian akan dilakukan dengan cara observasi, adapun tahap – tahap yang dilakukan sebagai berikut :

a.Mencari topik yang menarik

Dalam proses ini peneliti melakukan proses explorasi, pemilihan dari berbagai topik mengenai perkembangan media saat ini.

b. Tahap Analisis Data

Tahap ini berarti analisa data hanaya dilakukan setelah semua data terkumpul mulai dari observasi awal, mencari konteks penelitian berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat yang khususnya terkait dengan media masa saat ini. Dengan kata lain telah dimulai sejak peneliti merumuskan dan menjelaskan masalah dan berlangsung

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

terus hingga penulisan laporan hasil penelitian.14 Observasi Terlibat (partisipatory observation).

c.Menyusun Rancangan Penelitian

Dalam hal ini, peneliti terlebih dahulu menemukan permasalahan yang dijadikan objek penelitian. Setelah permasalahan ditemukan, peneliti membuat Concept Note

yang kemudian disetujui oleh sekertaris jurusan hingga menyusun rancangan penelitian dalam bentuk proposal penelitian yang siap disajikan.

5.Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh langsung dari beberapa aspek realitas, terutama untuk keperluan instruksi atau mempertahankan catatan yang ada dalam Film “Di

Balik Frekuensi” dengan cara mengambil scene yang dianggap

memuat penyampaian pesan konglomerasi media kemudian ditranksip menjadi sebuah teks.

6.Teknik Analisis Data

Menurut Lexy J.Moeleong, analisis data adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data.15

14

Moch Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), Hal. 211. 15

Lexy J. Moeleong, Metodologi Pendidikan Kualitatif (Bandung: Remaja Roesdakarya, 2002), Hal.56.

Teknik analisis data yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah teori analisis semiotika strukturalisme model Charles Sander Pierce. Dalam Teori strukturalisme yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce mengungkapkan agenda – agenda yang tersembunyi, aturan – aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas – aktivitas manusia16.

Charles Sander Peirce mengungkapkan dalam teorinya

Triangle Meaning (segitiga makna) yang terdiri dari :

a. Tanda (sign) adalah bentuk fisik yang mampu ditangkap oleh panca indra manusia dan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut obyek. Sebagai contohnya : gambar atau teks yang menunjukkan aktivitas

konglomerasi media pada film “Di Balik Frekuensi”

b. Acuan tanda (obyek) adalah konteks sosial yang menjadi refrensi dari tanda atau sesuatu yang d rujuk tanda. Kembali pada konteksnya Objek dalam penelitian ini adalah “Pesan Konglomerasi Media”

c. Penggunaan tanda (interpretan) adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk oleh

16

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (2001). Hal. 103

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

tanda.yang dikupas dari teori segitiga makna milik Charles Sander Peirce adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan orang pada saat berkomunikasi.

Berikut gambar konsep hubungan segitiga makna Charles Sanders Pierce 17. Proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak terbatas yaitu proses penciptaan rangkaian interpretant tanpa akhir dalam sebuah rantai produksi dan reproduksi tanda, yang didalamnya tanda terus berkembang

(Sobur,2003)18.Gambar 1.2 I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Agar mempermudah penelitian dibutuhkan sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bab meliputi.

17

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (2001) Hal. 41

18

Alex Sobur,Semiotik Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya,2003) Hal. xii-xiii SIGN

OBJEK INTERPRETANT

BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang, Rumusan Masalah dan Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Hasil Penelitian Terdahulu, Definisi Konsep, Kerangka Pikir Penelitian, Metode Penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, subyek, obyek, jenis dan sumber data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, sistematika pembahasan).

BAB II : KAJIAN TEORITIS

Membahas tentang kajian pustaka dan kajian teori

BAB III : PENYAJIAN DATA

Berisi tentang diskripsi lokasi penelitian, data subjek penelitian dan diskripsi tentang data penelitian.

BAB IV : ANALISIS DATA

Pada analisis data dijelaskan tentang temuan penelitian dan konfirmasi temuan dengan teori.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20 BAB II

PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DITINJAU DALAM SEMIOTIKA CHARLES SANDER PEIRCE

A. Semiotika Dan Konglomerasi Media Dalam Film “Di Balik Frekuensi” 1. Analisis Semiotika

a. Pengertian Semiotika

Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda1. Secara etimology menurut Jenz Dan Cobley istilah semiotik berasal dari kata “semeion” yang berarti tanda atau “seme” yang artinya penafsiran tanda. Menurur Eco, secara terminoliogy semiotik dapat didefinisikan sebagi ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek – obyek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda2. Dalam spesifikasinya semiotika visual (visual Semiotic) adalah salah satu bidang studi yang membahas khusus pada penyelidikan terhadap “segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual

senses)”3

.Berdasarkan objeknya Charles Sanders Peirce membagi tanda atas icon (icon), index (indeks), dan symbol (simbol) untuk mempermudah identifikasi tanda, Icon (icon) dijelaskan sebagai hubungan kemiripan antara tanda dan obyek ; misalnya potret dan peta. Index (indeks) adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara tanda dengan petanda atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang

1

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) Hal.15

2

Alex Sobur, Analisis Teks Media, “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis semiotik

dan Analisis Framing”. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) Hal. 95

3

Kris Budiman.Semiotika Visual; Konsep,Isu,Dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:Jalasutra 2011) Hal.9

langsung mengacu pada kenyataan ; contoh yang lebih spesifik ialah adanya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut dengan symbol (simbol). Jadi symbol (simbol) adalah hubungan yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan ini bersifat arbriter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian )masyarakat. Berbeda dengan Peirce, Ferdinand de Saussure sebagai ahli linguistik yang mengatakan dalam prinsipnya bahwa bahasa adalah suatu tanda dan

“tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa”4

.

Menurut Saussure bahasa sebagai sistem (tanda) sign, baik itu suara manusia, hewan ataupun bunyi – bunyian tersebut berfungsi bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide – ide dan pengertian – pengertian tertentu. Bahasa sebagai tanda pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama, suara yang muncul dari sebuah kata yang d ucapkan adalah penanda (signifier), sedangkan konsepnya adalah petanda (signified).Jadi suara atau bunyi – bunyian dapat diidentifikasi sebagai tanda ketika ada persetujuan dari sistem konvesi atau kesepakatan untuk membetuk suatu kesatuan bentuk (penanda) signifier dengan (petanda) signified. Dengan

kata lain “suara yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Secara

linguistik baik semiologi maupun semiotika kedua istilah ini

4

Culler, Jonathan. Structuralist poetics; Structuralism, Linguistic and the Study of Literature. Ithaca : University Press. 1982 Hal . 15 - 25

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

mengandung istilah yang persis sama walaupun penggunaan istilah ini cenderung menunjukkan pemikiran pemakainya. Misalnya Element De Semiologi adalah judul yang dipakai Roland Barthes (1964) yang tidak lain berada pada kubu Saussure. Sementara istilah semiotika dimunculkan pada akhir abad ke 19 oleh filsuf ajaran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce.5 Jadi Menurut Masinambow

“perbedaan Istilah itu” menunjukkan perbedaan orientasi yang pertama

(semiologi) yang mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure(1857 - 1913) dan (semiotika) yang mengacu pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Peirce (1839 - 1914).6

Adapun menurut Umberto Eco (1979 :4 – 5) ” pada prinsipnya semiotika adalah disiplin ilmu yang digunakan untk mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau

mengecoh”7. Lantas dipertegas kembali “Dikatakan oleh Arthur Asa

Berger : Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu semiotika pada prinsipnya adalah sebuah

5

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) Hal.13

6

Masinambow & Rahayu S. Hidayat (ed.). Semiotik; Kumpulan Makalah Seminar. (Depok : Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia 2000) Hal. Iii -x

7

Eco, Umberto A Theory Of Semiotic (Bloomington:Indiana University Press, 1979, Penerjemah Yudi Santoso, Pustaka Promethea. Surabaya, 2001) Hal 9 -17

disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan.Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran”. Berger menunjukkan beberapa cara untuk menyesatkan orang atau lebih tepatnya berbohong, melalui tanda – tanda.Berger menunjukkan beberapa cara untuk menyesatkan ora ng atau lebih tepatnya berbohong melalui tanda – tanda :Tabel 2.1 Area dan Tanda – tanda yang menyesatkan8

AREA TANDA – TANDA YANG MENYESATKAN

RAMBUT PALSU

(WIG)

Orang botak / atau gundul atau seseorang dengan warna rambut berbeda

Sepatu Hak Tinggi Orang pendek yang kelihatan tinggi

Pewarna Rambut Si Rambut Coklat menjadi pirang, pirang menjadi rambut kemerahan

Penipu Ulung Pura – pura menjadi dokter, pengacara, atau apapun

Peniru Pura – pura menjadi orang lain, mencuri identitas

Teater Pura – pura berperasaan, percaya seperti apapun yang diperankannya

Makanan Kepiting, udang, Lobster Imitasi,dsb

Kata – kata Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti orang

b. Aplikasi Semiotika Dalam Film

Film sebagai media penyampai pesan merupakan kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.Metode

8

Arthur Asa Berger. Media Analysis Techniques.(Yogyakarta, Universitas Atma Jaya,2000) Hal 11 – 12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

pengambilan gambar dalam film bisa dikategorikan ke dalam ikonitas

yakni” tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu9”. Film dibangun oleh berbagai macam tanda, gambar dan suara yang dikombinasikan secara serentak hingga menimbulkan efek visual yang dapat dicerna oleh panca indera manusia sehingga proses pencernaan ini bisa dikategorikan sebagai interpretasi atau proses pembentukan makna. Dalam menganalisis film perlu adanya perhatian, mengingat dalam proses memproduksi film tidak dapat dipisahkan dengan realitas yang ada, karena pada dasarnya film bercerita layaknya karya teks naratif seperti narasi berita, cerpen atau novel, sehingga film pun memiliki kategori fiksi dan non fiksi sesuai dengan apa yang dikatakan Van Zoest (1999:112)“konsep – konsepnya dapat dipinjam dari teori bercerita dan

berkisah yang berorientasikan semiotika”.

2. Fenomena Konglomerasi Media

a. Pengertian Konglomerasi Media

Secara perkembangan bisnis usaha istilah konglomerasi adalah sejumlah pelaku konglomerat yang menanamkan sahamnya pada tumbuhnya kelompok (GRUP) perusahaan dalam satu tangan, sedemikian rupa sehingga praktis seluruh kebijakan manajemen yang pokok ditentukan oleh satu pusat10.

9

Van Zoest. Semiotika; Tentang tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Penerjemah Ani Soekowati (Yayasan Sumber Agung, Jakarta, 1993) Hal. 109

10

Drs. Djafar H. Assegaf, Konglomerasi, Taipan, dan Koneksi Bisnis (Jakarta: Warta Ekonomi, 1994) Hal. 263

Media memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga untuk menggunakan haknya dengan cara mempertahankan karakter publik dan menyediakan ruang untuk keterlibatan sipil. Akan tetapi, tugas suci ini kerap diabaikan karena kepentingan bisnis yang menyetir industri media. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan kelompok media di semua sektor media. Dalam teori jaringan, struktur dengan bentuk seperti ini mencerminkan sebuah kendali tinggi pada tindakan maupun aliran informasi dari titik pusat hingga ke periferal. Jaringan seperti yang digambarkan diatas tidak hanya menampilkan hubungan konsentrasi kepemilikan dalam kerja media, tetapi juga memperlihatkan ecara logis bagaimana kendali medium dan konten terjadi dapat dilihat pada gambar2.1 .11

11

Yanuar Nugroho, Kepemilikan dan Intervensi Siaran,(Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014) Hal. 57

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

Bagan 2.1 Struktur konsentrasi kepemilikan media12

Konglomerasi media adalah suatu istilah yang diungkapkan oleh Ben H. Bagdikian (1980) yang pada saat itu menangkap perubahan besar corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi dimana para owner pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi atau misi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, bekerja sama/ penggabungan, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar.Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan

12

Yanuar Nugroho, Kepemilikan dan Intervensi Siaran,(Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014) Hal. 57

untuk mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan13. Indikasi konglomerasi kempilikan media di Indonesia dapat dilihat melalui bagan 2.2, oleh Merlyna Lim (2012) 14.

13

Ibnu Hamad , KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik (2004). Hal 26

14

Lim, M.

The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia. Research report. Tempe, AZ: Participatory Media Lab at Arizona State University (2012). Hal.2

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Dokumen terkait