PESAN FILM DOKUMENTER
“
DI BALIK FREKUENSI
”
DALAM
KONGLOMERASI MEDIA INDONESIA
(ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER PIERCE)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I Kom)
Oleh
MOCHAMMAD MIRZA GELAR NUSANTARA
B06209047
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
iv
MOTTO & PERSEMBAHAN
MOTTO
ي ع اوحبْصت ف ة لا ه جب امْو ق اوبيصت ْن أ اوني ب ت ف إ ب نب قسا ف ْمك ءا ج ْنإ اون مآ نيذلا ا هي أ ا نيمدا ن ْمتْل ع ف ا م ٰى ل
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. 1
Hadist :
Cukup seseorang dinilai berbohong, dengan mengatakan setiap yang ia dengar. (HR. Muslim)2.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orang tua Ibu, Bapak, dan Keluarga besar yang telah mendidik dan membesarkan sehingga mengerti makna tujuan
hidup yang sesungguhnya, Do’amu yang menjadikanku percaya dan yakin akan
masa depan dan semua guru yang telah membukakan mataku akan pentingnya
ilmu pengetahuan. Tidak lupa juga kepada rekan – rekan seperjuangan yang
terus menginspirasi dan memotifasi baik secara moral maupun material.
1
Tafsirq, tafsir Al – Quran Online Diakses dari http://tafsirq.com/49-al-hujurat/ayat-6 pada 4 Februari 2016
2
v
KATA PENGANTAR
Segenap puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah- Nya, perencanaan, pelaksanaan, dan penyelesaian skripsi sebagai salah
satu syarat menyelesaikan program sarjana strata satu (S-1), dapat terselesaikan
dengan lancar. Seiring dengan itu penulis sangat berterima kasih kepada kedua orang
tua karena kesuksesan ini dapat penulis peroleh karena dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyadari dan menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag.,selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
2. Ibu Dr. Hj. Rr. Suhartini, M. Si, Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
KomunikasiUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
3. Ibu Wahyu Ilahi, M.Si. selaku kepala jurusan komunikasi, yang telah
memberi izin dan persetujuan hingga penelitian ini dapat diuji pada level
program pencapaian gelar sarjana.
4. Ibu Dr. Nikmah Hadiati Salisah, S.IP., M.Si selaku sekertaris jurusan,.
5. Bapak Advan Naviz Zubaidi, S.ST, M.Si. selaku ketua program studi Ilmu
Komunikasi.
6. Bapak Dr. Ali Nurdin, S.Ag., M.Si, dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa mengarahkan penulisan menuju perbaikan-perbaikan dan
pemberian motivasi semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu dosen pengampu Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang telah memberikan
dan mencurahkan segala ilmunya.
8. Seluruh beluarga besar Hamdani Zubir (Alm) dan ibu Mukaromah tercinta,
yang senantiasa memberikan support dan dan doa, “akhirnya anakmu telah meyelesaikan kuliah ”.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
vi
Rendra, Rouf, Syihaburrahman Basyaiban, Rafi, Fajar, Tyo, Zulal dan
masih banyak lainya yang selalu memberikan arti persahabatan sehingga
hidupku lebih bermakna.
10.Untuk keluarga besar Pemuda Pancasila Indonesia. MPC GRESIK, IPPK
UIN Surabaya, Pualam Band Usluhudin semoga kita mendapatkan
kesuksesan bersama-sama.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan ada
penelitan lebih lanjut untuk menyempurnakan khazanah keilmuan dalam pelaksanaan
analisis “ Pesan Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Dibalik Frekuensi”
(Analisis Semiotika Model Charles Sander Pierce).
Surabaya, 15 Januari 2016
vii ABSTRAK
Mochammad Mirza Gelar Nusantara B06209047 Pesan Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi” Dalam Konglomerasi Media Di Indonesia (ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER PIERCE)
Kata kunci : Semiotika, Charles Sander Pierce, Konglomerasi Media, Dibalik Frekuensi
Ada beberapa persoalan yang kompleks yang hendak dikaji dalam skripsi ini, yaitu bagaiman pesan konglomerasi media dalam film di balik frekuensi di sajikan.
Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, metode yang digunakan adalah analisis semiotik sedangakan teknik pengumpulan data audio maupun visual sehingga melalui sign dan symbol dapat merepresentasikan data yang ada dalam film tersebut
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
viii DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Kajian Penelitian Terdahulu ... 6
F. Definisi Konsep ... 8
G. Kerangka Berfikir Penelitian ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DITINJAU DALAM SEMIOTIKA CHARLES SANDER PIERCE... ... 20
ix
“Di Balik Frekuensi”... 20
1. Analisis Semiotika... 20
2. Fenomena Konglomerasi Media ... 24
3. Ekonomi Dan Politik Industri Media ... 32
4. Sejarah Singkat Industri Media Di Indonesia ... 35
B. Konglomerasi Media dalam Perpektif Teori Semiotika Charles Sanders Peirce ... 40
BAB III DESKRIPSI UMUM PENELITIAN PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI INDONESIA ... 42
A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 42
1. Profil Film Dokumenter “Dibalik Frekuensi” ... 42
2. Profil Cipta Media Bersama ... 43
3. Profil Ford Foudation ... 45
4. Wiki Media Indonesia ... 47
5. Profil ICT Watch ... 50
6. Profil Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ... 51
7. Penokohan dalam Film ... 54
8. Sinopsis Film ... 78
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
x
BAB IV ANALISIS PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI
INDONESIA ... 95
A. Temuan Penelitian ... 95
B. Konfrmasi Temuan Dengan Teori ... 99
BAB V PENUTUP ... 103
A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 103
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Film “Di Balik Frekuensi” adalah film bergenre Documentary1,
Film ini menceritakan Luviana adalah seorang jurnalis yang telah
bekerja 10 tahun di Metro TV, dianggap bermasalah karena
mempertanyakan system manajemen yang tak berpihak pada pekerja dan
mengkritis newsroom. Merasa diperlakukan tidak adil Luviana
melakukan aksi demontrasi bersama serikat buruh dan pada akhirnya
harus berhadapan dengan Surya Paloh sebagai pemilik stasiun televisi
Metro TV yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai
Nasional Demokrat. Kemudian Hari Suwandi & Harto Wiyono adalah
dua orang warga lumpur sidoarjo yang melakukan aksi jalan kaki dari
Sidoarjo – Jakarta untuk mencari keadilan bagi warga lumpur sidoarjo
yang pembayar ganti ruginya belum dilunasi oleh PT. Menarak Lapindo
Jaya milik Ir. H. Aburizal Bakrie yang juga pemilik stasiun TV ONE.
Film ini menyorot konglomerasi media yang dalam penyajiannya
menunjukkan aktifitas pengusaha media dibalik semua kontruksi berita
yang mewarnai industri media Indonesia. Sementara masyarakat
menikmati berita grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan
frekuensi publik untuk mencapai kepentingan politik dan ekonominya.
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
Pasca reformasi tahun 1998 corak industri media di Indonesia
mengalami banyak sekali perkembangan pola dalam sistem
perindustrian media yang pada masa orde baru seluruh media masa tidak
memiliki hak yang luas untuk mengoptimalkan kebebasan pers.
Kebebasan pers dimulai pada UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum2
.
Undang – undang inilah yang dijadikan landasan pacu pemilik media
untuk memulai mengembangkan sayapnya industrinya.
Kebebasan media juga memunculkan masalah pemusatan
kepemilikan perusahaan media yang mengubah wajah kebebasan media
dan kebutuhan informasi publik menjadi kebebasan menguasai pasar
media. Dalam sejarah perkembangan media internasional menurut Ben
H. Bagdikian, selama dekade 1980 – an, Amerika serikat menyaksikan
semakin terpusatnya kepemilikan media ditangan sedikit orang atau
perusahaan. Tidak pernah terjadi sebelumnya korporasi – korporasi
media ini memiliki kekuasaan yang sangat besar hingga dapat
membentuk landskap dan mempengaruhi sosial di Amerika3. Dari
sejarah media yang dituturkan oleh Ben H. Bagdikian kondisi semacam
itu kini juga terjadi di Indonesia era pasca reformasi sampai saat ini
publik atau masyarakat diproyeksikan semacam pasar dan industri media
2
Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya, komunikasi massa suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media, 2004 ), Hal 199
3
tidak ubahnya sebagai pabrik makanan yang seyogyanya memberikan
asupan gizi terhadap masyarakat.
Namun pada faktanya asupan gizi yang dihasilkan oleh korporasi
media memunculkan kontruksi realitas sehingga secara perlahan
merubah ideologis masyarakat sesuai dengan ideologis media yang
membela kelompok sealiran dan penyerangan terhadap kelompok yang
berbeda halauan.4 Ideologi media dalam teori komunikasi masa
disebutkan Agenda Setting Theory atau digambarkan dalam teori
agenda seting terkait kemampuan media masa untuk mempengaruhi
bahwasanya berita yang diberikan adalah berita penting, artinya dalam
proses penyajian berita,penonton akan menganggap berita yang sering
ditampilkan adalah berita yang lebih penting. Dengan membandingkan
arti-penting dari isu-isu dalam isi berita dengan persepsi publik dari isu
yang ada menurut Mc Combs dan Shaw mampu menentukan sejauh
mana media yang menentukan opini publik5. Perebutan opini publik
inilah yang mengusung istilah konglomerasi media, dimana para owner
pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan perusahaan
media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan
konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture /
merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Jadi pada
kesimpulannya konglomerasi media bertujuan untuk mendominasi
4
Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik. (2004) Hal 26
5
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh komponen media masa
yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi
realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap
kelompok yang berbeda halauan6.
Ribuan media beraneka format, baik cetak, online, radio maupun
televisi yang informasinya diserap 250 juta penduduk Indonesia,
sehingga tahu bahwasanya apa yang digambarkan media saat ini tidak
bisa dilepaskan dari peran serta masyarakat yang jelas memberikan
sumbangsi yang besar dalam mempengaruhi frekuensi pengguna media
masa, entah itu digital,elektronik maupun cetak. Dalam sebuah tinjauan
sejarah, media masa berkontribusi besar dalam kontruksi sejarah
peradapan umat manusia di era modern ini. Media masa yang diyakini
menyebabkan kekerasan, pergaulan bebas dan berkontribusi dalam
diskriminasi terhadap perempuan. Iklan media yang digunakan untuk
menjual produk dan jasa. Berita media terkemuka telah terbukti secara
signifikan mempengaruhi harga saham; menyebabkan runtuh
perusahaan; penyebab jatuh dalam penjualan produk; mengakibatkan
kemunduran perusahaan senior dan juga bahkan mampu menurunkan
presiden7.
Berdasarkan fenomena diatas, banyaknya keterkaitan antara satu fenomena ke fenomena lainnya sesuai dengan yang dituliskan Mikhail Bakhtin teks pada dasarnya bersifat dialogis. Ketika bicara apa yang
6
Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik, 2004. Hal 26
7
dikatakan terikat pada sesuatu yang pernah dikatakan sebelumnya, keterkaitan inilah yang disebut intertekstualitas8. Selain dari intertekstulitas fenomena seputar konglomerasi media masih banyak hal yang perlu diulas mendetail dalam film dokumenter “Di Balik
Frekuensi” sehingga peneliti tertarik untuk mengangkat fenomena
mengenai bagaimana pesan konglomerasi yang ada dalam film
dokumenter “Di Balik Frekuensi”.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pesan Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi” Dalam
Konglomerasi Media Indonesia
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pesan Film
Dokumenter “Di Balik Frekuensi” Dalam Konglomerasi Media
Indonesia
D. Manfaat Penelitian
1.Manfaat teoritik
a.Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan
komunikasi media masa khususnya fenomena “konglomerasi
media”.
b.Sebagai rujukan dalam memahami dan menganalisis pesan
“konglomerasi media” dalam film “dibalik frekuensi”
2.Manfaat praktis
8
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Bagi penulis
a. Penelitian ini akan memperluas wawasan dan pemahaman antara dokumentasi fakta dengan penerapan teori komunikasi khususnya aplikasi analisis semiotik Model Sanders Peirce
b. Terpenuhinya salah satu syarat dalam menyelesaikan Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi untuk meraih gelar sarjana.
Bagi akademisi
Penelitian ini akan mencoba memberikan kontribusi berupa pemikiran dan temuan temuan empirik mengenai strategi penyampaian
pesan “konglomerasi media” dimata publik, sehingga nantinya
diharapkan dapat dijadikan refrensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenis
E. Kajian Penelitian Terdahulu
Adapun hasil penelitian terdahulu yang masih relevan dengan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Skripsi berjudul “Konglomerasi Media Penyiaran Di
Indonesia, Analisis Ekonomi Politik Pada Group Media
Nusantara Citra” oleh Sagita Ning Tyas, Jurusan Komunikasi
Dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah
“Media Nusantara Citra” ? dan Bagaimana dampak
konglomerasi media di “Media Nusantara Citra” terhadap proses komodifikasi, strukturasi, dan spasialisasi? Penelitian yang gunakan adalah metode kulitatif dengan
pardigma kritis yang menggabungkan pendekatan critical
political economy yang melihat ekonomi, politik sejarah dan
budaya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
2. Skripsi berjudul “Representasi perlawanan terhadap pemilik
dan pengelola media televisi dalam film dokumenter Di Balik
Frekuensi” oleh Putri Adityowati, 2013 Jurusan Jurnalistik,
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas PadjadjaranJatinangor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara
sutradara film Di Balik Frekuensi merepresentasikan
perlawanan terhadap pemilik dan pengelola media televisi.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana
kritis model kognisi sosial Teun A. van Dijk yaitu penelitian
terhadap teks, kognisi wartawan atau pembuat teks, dan
konteks sosial masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan
adanya politik seleksi gambar dari realita yang terjadi untuk
menonjolkan bagian-bagian tertentu yang merupakan wacana
dalam teks. Peneliti menyimpulkan ada pemihakan pembuat
film terhadap tokoh Luviana dan Hari Suwandi. Pembuat teks
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
masyarakat agar tidak lebih peka mengamati media di era
kebebasan pers.
F. Definisi Konsep
1. Pesan Konglomerasi Media (Media Conglomeration)
Konglomerasi media adalah suatu istilah yang diungkapkan oleh
Ben H. Bagdikian (1980) yang pada saat itu menangkap perubahan
besar corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi
dimana para owner pemilik perusahaan media melakukan korporasi
dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi atau
misi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara
kepemilikan saham, bekerja sama/ penggabungan, atau pendirian kartel
komunikasi dalam skala besar.
Korporasi pada jenis usaha media dapat dilihat pada MNCTV
yang sebelumnya adalah TPI yakni salah satu pelopor stasiun televisi
swasta di Indonesia milik PT Cipta Lamtoro Gung Persada yang
didirikan pada tahun 1990 di Jakarta oleh Siti Hardijanti Rukmana.
Pada Maret 2001, 75% TPI dimiliki oleh Media Nusantara Citra,
kelompok perusahaan media yang juga memiliki RCTI dan Global TV.
Pada 20 Oktober 2010, TPI resmi berganti nama menjadi MNCTV.
Perubahan ini ternyata dikarenakan oleh perubahan fokus perusahaan
yang tidak sesuai dengan konteks tertulis pada televisi tersebut pada
mengubah citra TPI dimata masyarakat9. Seiring perkembangannya
untuk memperbaiki kualitas acara pada tahun 2009 sampai dengan
tahun 2010, MNCTV tidak menyiarkan acara olahraga. Tetapi, mulai
tahun 2010 hingga 2013, MNCTV kembali menyiarkan acara olahraga
yaitu Liga Utama Inggris namun pada tahun 2011, MNCTV juga
memiliki hak siar dalam ajang sepak bola Liga Prima Indonesia,
bersama RCTI dan Global TV.
Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan untuk
mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh
komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis
media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan
penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan10.
Di Indonesia fenomena konglomerasi media dimulai bisa
diidentifikasi pasca reformasi dimana hukum tentang kebebasan pers
dicanangngkan, hal ini tertera jelas pada UU No. 40 tahun 1999
disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan
supremasi hukum11
. Namun kebebasan pers ini banyak sekali menuai
pro dan kontra karena dalam aplikasinya mengusung opini, perampasan
hak publik, dominasi dan bahaya media di tangan segelintir orang.
9
Profil MNCTV (di akses dari : http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mnctv/ pada 4 februari 2016)
10
Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik. 2004, Hal 26
11
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik media di
Indonesia kemunculan lembaga penyiaran komersil pertama di
Indonesia pada sekitar tahun 1980 – an di era orde baru digunakan
untuk memperkuat perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi
krisis migas.
Kembali pada konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung
perkembangan industri media RCTI (Rajawali Citra Televisi) Indonesia
yang diluncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi
swasta pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun
1985 keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya
citra televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas
Televisi), dan Indosiar (Indosiar Visual Mandiri). Dari kemunculan
televisi swasta inilah bias penguasa orde baru tercipta yang pada saat itu
contohnya RCTI dimiliki Oleh Bambang Trihatmojo (anak sulung
Soeharto), SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri Soehato),
ANTV dimiliki oleh Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh
Salim Group (partner bisnis keluarga Soeharto)12. Seiring
perkembangannya media – media yang menjadi bias penguasa
menjadikan peringatan tersendiri bagi publik. Media yang seharusnya
menjadi kontrol sosial beralih fungsi sebagai alat penyalur kekuasaan.
12
2. Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi”
Film Di balik Frekuensi karya sutradara Ucu Agustin ini
mengungkap kondisi media, khususnya televisi pasca reformasi, Film
ini menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di
media televisi. Film berdurasi 144 menit 27 detik ini diproduksi hampir
setahun, yakni sejak 15 Desember 2011 hingga 25 November 2012.
Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta, Bandung,
Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo. Perekaman yang cukup
panjang ini menghasilkan lebih dari 330 stok gambar.
Tema film terutama membicarakan media, khususnya media
televisi yang menggunakan frekuensi publik. “Ada isu penting yang
khusus diangkat setelah reformasi sekian lama. Bagaimana kondisi
media, terutama pemilik media dan kepentingan politik dengan
frekuensi yang dipakai saat itu,” Film ini menyorot konglomerasi media
yang mewarnai industri media Indonesia. Ucu dengan riset yang cukup
panjang menyajikan bagaimana media Indonesia yang berada ditangan
segelintir kelompok pengusaha.
Grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik
untuk menggolkan kepentingan politik dan ekonominya.Ucu bersama
produser Ursula Tumiwa menceritakan apa yang terjadi pada media
televisi dan konglomerasi media melalui kisah Luviana, jurnalis Metro
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi
lumpur Lapindo.
Melalui kisah mereka yang panjang, Ucu bergantian menyajikan
bagaimana para jurnalis di lapangan memberitakan kasus-kasus itu.
Menyajikan bagaimana frekuensi publik yang secara serakah
dipergunakan para pemilik media untuk kepentingan politik dan
ekonominya.
G. Kerangka Berfikir Penelitian
Bagan 1.1
Dari kerangka berfikir diatas bisa diidentifikasi sesuai dengan
teori Charles Sanders Pierce yang membagi tanda menjadi 3 bagian
yakni : ikon, indeks, dan symbol. Tanda disimpulkan dengan adanya
proses dialog pada film “Di Balik Frekuensi”, lalu indeks dapat dilihat Produser Ucu Agustin
Realita Konglomerasi Media Film Dokumenter ͞Di Balik Frekuensi͟
Analisis semiotik Charles Sanders Peirce
Makna
pada alur “realita konglomerasi media di Indonesia”, dan symbol pada
alur “makna”.
Berangkat dari konteks kerangka berfikir diatas keterkaitan
dengan realita tentang konglomerasi media yang terjadi di Indonesia,
seorang Ucu Agustin sebagai produser berinisiatif memproduksi film
“Di Balik Frekuensi” untuk memberi tahu khalayak tentang adanya
fakta yang tersembunyi dibalik eksistensi media masa yang berkembang
saat ini.
Untuk mendukung proses penelitian inilah, peneliti menggunakan
model analisis semiotika Charles Sanders Peirce. Karena dari analisis
inilah peneliti mencoba mengungkap simbol – simbol tentang
konglomerasi media beserta makna dari simbol – simbol tersebut sesuai
dengan konteks situasi yang disajikan dalam film “Di Balik Frekuensi”.
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kritis, paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi proses produksi makna, individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya. “Karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat13”.
13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
Paradigma Kritis merupakan suatu cara pandang terhadap realitas sosial yang senantiasa diliputi rasa curiga dan kritis terhadap realitas tersebut. Menurut Eriyanto, pandangan kritis memandang bahwa realitas kehidupan sosial, bukanlah relitas kehidupan yang netral, tetepi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat.
Jenis penlitian ini tergolong penelitian dengan pendekatan analisis teks media, karena metode tersebut merupakan metode yang cukup tepat untuk mengetahui konstruksi makna dalam film.
2. Subyek, Dan Obyek Penelitan
Subyek dalam penelitian ini adalah Film “Di Balik
frekuensi”. Obyek penelitian adalah komunikasi teks media yang
terdiri atas : gambar, setting, properti,& scene kamera yang ada
dalam Film “Di Balik frekuensi”.
Dari obyek tersebut, pentingnya penentuan unit analisis ini,
agar validitas dan reabilitas dapat terjaga. Sedangkan yang menjadi obyeknya yakni kajian dari ilmu komunikasi, khususnya adalah pesan konglomerasi media yang disajikan dalam film “Di
3.Jenis dan Sumber Data
a. Data primer adalah hasil dari dokumentasi yang tertera di
video film “Di Balik Frekuensi”, baik berupa gambar,
teks, ataupun pers realese.
b. Data Skunder merupakan data yang bisa melengkapi data
utama, berupa info tentang film “Di balik Frekuensi” baik
buku, surat kabar, jurnal, skripsi, dan media online yang relevan dengan penelitian ini.
4.Tahap Tahap Penelitian
Dalam tahapan penelitian yang sistematis, penelitian akan dilakukan dengan cara observasi, adapun tahap – tahap yang dilakukan sebagai berikut :
a.Mencari topik yang menarik
Dalam proses ini peneliti melakukan proses explorasi, pemilihan dari berbagai topik mengenai perkembangan media saat ini.
b. Tahap Analisis Data
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
terus hingga penulisan laporan hasil penelitian.14 Observasi Terlibat (partisipatory observation).
c.Menyusun Rancangan Penelitian
Dalam hal ini, peneliti terlebih dahulu menemukan permasalahan yang dijadikan objek penelitian. Setelah permasalahan ditemukan, peneliti membuat Concept Note
yang kemudian disetujui oleh sekertaris jurusan hingga menyusun rancangan penelitian dalam bentuk proposal penelitian yang siap disajikan.
5.Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh
langsung dari beberapa aspek realitas, terutama untuk keperluan
instruksi atau mempertahankan catatan yang ada dalam Film “Di
Balik Frekuensi” dengan cara mengambil scene yang dianggap
memuat penyampaian pesan konglomerasi media kemudian
ditranksip menjadi sebuah teks.
6.Teknik Analisis Data
Menurut Lexy J.Moeleong, analisis data adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data.15
14
Moch Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), Hal. 211. 15
Teknik analisis data yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah teori analisis semiotika strukturalisme model Charles Sander Pierce. Dalam Teori strukturalisme yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce mengungkapkan agenda – agenda yang tersembunyi, aturan – aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas – aktivitas manusia16.
Charles Sander Peirce mengungkapkan dalam teorinya
Triangle Meaning (segitiga makna) yang terdiri dari :
a. Tanda (sign) adalah bentuk fisik yang mampu ditangkap oleh panca indra manusia dan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut obyek. Sebagai contohnya : gambar atau teks yang menunjukkan aktivitas
konglomerasi media pada film “Di Balik Frekuensi”
b. Acuan tanda (obyek) adalah konteks sosial yang menjadi refrensi dari tanda atau sesuatu yang d rujuk tanda. Kembali pada konteksnya Objek dalam penelitian ini adalah “Pesan Konglomerasi Media”
c. Penggunaan tanda (interpretan) adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk oleh
16
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
tanda.yang dikupas dari teori segitiga makna milik Charles Sander Peirce adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan orang pada saat berkomunikasi.
Berikut gambar konsep hubungan segitiga makna Charles Sanders Pierce 17. Proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak terbatas yaitu proses penciptaan rangkaian
interpretant tanpa akhir dalam sebuah rantai produksi dan
reproduksi tanda, yang didalamnya tanda terus berkembang
(Sobur,2003)18.Gambar 1.2
I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar mempermudah penelitian dibutuhkan sistematika pembahasan. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bab meliputi.
17
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (2001) Hal. 41
18
Alex Sobur,Semiotik Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya,2003) Hal. xii-xiii SIGN
OBJEK INTERPRETANT
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang, Rumusan Masalah dan Fokus Penelitian, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Hasil Penelitian Terdahulu,
Definisi Konsep, Kerangka Pikir Penelitian, Metode Penelitian
(pendekatan dan jenis penelitian, subyek, obyek, jenis dan sumber
data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, sistematika pembahasan).
BAB II : KAJIAN TEORITIS
Membahas tentang kajian pustaka dan kajian teori
BAB III : PENYAJIAN DATA
Berisi tentang diskripsi lokasi penelitian, data subjek penelitian dan diskripsi tentang data penelitian.
BAB IV : ANALISIS DATA
Pada analisis data dijelaskan tentang temuan penelitian dan konfirmasi temuan dengan teori.
BAB V : PENUTUP
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20 BAB II
PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DITINJAU DALAM SEMIOTIKA CHARLES SANDER PEIRCE
A. Semiotika Dan Konglomerasi Media Dalam Film “Di Balik Frekuensi”
1. Analisis Semiotika
a. Pengertian Semiotika
Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda1. Secara etimology menurut Jenz Dan Cobley istilah semiotik
berasal dari kata “semeion” yang berarti tanda atau “seme” yang artinya
penafsiran tanda. Menurur Eco, secara terminoliogy semiotik dapat
didefinisikan sebagi ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek –
obyek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda2. Dalam
spesifikasinya semiotika visual (visual Semiotic) adalah salah satu
bidang studi yang membahas khusus pada penyelidikan terhadap “segala
jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual
senses)”3
.Berdasarkan objeknya Charles Sanders Peirce membagi tanda
atas icon (icon), index (indeks), dan symbol (simbol) untuk
mempermudah identifikasi tanda, Icon (icon) dijelaskan sebagai
hubungan kemiripan antara tanda dan obyek ; misalnya potret dan peta.
Index (indeks) adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara
tanda dengan petanda atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang
1
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) Hal.15
2
Alex Sobur, Analisis Teks Media, “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis semiotik
dan Analisis Framing”. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) Hal. 95
3
langsung mengacu pada kenyataan ; contoh yang lebih spesifik ialah
adanya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda
konvensional yang biasa disebut dengan symbol (simbol). Jadi symbol
(simbol) adalah hubungan yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya. Hubungan ini bersifat arbriter atau semena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian )masyarakat. Berbeda
dengan Peirce, Ferdinand de Saussure sebagai ahli linguistik yang
mengatakan dalam prinsipnya bahwa bahasa adalah suatu tanda dan
“tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa”4
.
Menurut Saussure bahasa sebagai sistem (tanda) sign, baik itu
suara manusia, hewan ataupun bunyi – bunyian tersebut berfungsi
bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan atau
menyampaikan ide – ide dan pengertian – pengertian tertentu. Bahasa
sebagai tanda pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan
suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan
sebuah nama, suara yang muncul dari sebuah kata yang d ucapkan adalah
penanda (signifier), sedangkan konsepnya adalah petanda (signified).Jadi
suara atau bunyi – bunyian dapat diidentifikasi sebagai tanda ketika ada
persetujuan dari sistem konvesi atau kesepakatan untuk membetuk suatu
kesatuan bentuk (penanda) signifier dengan (petanda) signified. Dengan
kata lain “suara yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Secara
linguistik baik semiologi maupun semiotika kedua istilah ini
4
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
mengandung istilah yang persis sama walaupun penggunaan istilah ini
cenderung menunjukkan pemikiran pemakainya. Misalnya Element De
Semiologi adalah judul yang dipakai Roland Barthes (1964) yang tidak
lain berada pada kubu Saussure. Sementara istilah semiotika
dimunculkan pada akhir abad ke 19 oleh filsuf ajaran pragmatik
Amerika, Charles Sanders Peirce.5 Jadi Menurut Masinambow
“perbedaan Istilah itu” menunjukkan perbedaan orientasi yang pertama
(semiologi) yang mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada
Ferdinand de Saussure(1857 - 1913) dan (semiotika) yang mengacu pada
tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Peirce (1839 -
1914).6
Adapun menurut Umberto Eco (1979 :4 – 5) ” pada prinsipnya
semiotika adalah disiplin ilmu yang digunakan untk mengkaji segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau
mengecoh”7. Lantas dipertegas kembali “Dikatakan oleh Arthur Asa
Berger : Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat
dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat
diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk
menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu
harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu
waktu tertentu. Dengan begitu semiotika pada prinsipnya adalah sebuah
5
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) Hal.13
6
Masinambow & Rahayu S. Hidayat (ed.). Semiotik; Kumpulan Makalah Seminar. (Depok : Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia 2000) Hal. Iii -x
7
disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk
menyatakan suatu kebohongan.Jika sesuatu tersebut tidak dapat
digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa
digunakan untuk mengatakan kebenaran”. Berger menunjukkan beberapa
cara untuk menyesatkan orang atau lebih tepatnya berbohong, melalui
tanda – tanda.Berger menunjukkan beberapa cara untuk menyesatkan ora
ng atau lebih tepatnya berbohong melalui tanda – tanda :Tabel 2.1 Area
dan Tanda – tanda yang menyesatkan8
AREA TANDA – TANDA YANG MENYESATKAN
RAMBUT PALSU
(WIG)
Orang botak / atau gundul atau seseorang dengan warna rambut berbeda
Sepatu Hak Tinggi Orang pendek yang kelihatan tinggi
Pewarna Rambut Si Rambut Coklat menjadi pirang, pirang menjadi rambut kemerahan
Makanan Kepiting, udang, Lobster Imitasi,dsb
Kata – kata Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti orang
b. Aplikasi Semiotika Dalam Film
Film sebagai media penyampai pesan merupakan kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.Metode
8
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
pengambilan gambar dalam film bisa dikategorikan ke dalam ikonitas
yakni” tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu9”. Film dibangun
oleh berbagai macam tanda, gambar dan suara yang dikombinasikan secara serentak hingga menimbulkan efek visual yang dapat dicerna oleh panca indera manusia sehingga proses pencernaan ini bisa dikategorikan sebagai interpretasi atau proses pembentukan makna. Dalam menganalisis film perlu adanya perhatian, mengingat dalam proses memproduksi film tidak dapat dipisahkan dengan realitas yang ada, karena pada dasarnya film bercerita layaknya karya teks naratif seperti narasi berita, cerpen atau novel, sehingga film pun memiliki kategori
Secara perkembangan bisnis usaha istilah konglomerasi adalah
sejumlah pelaku konglomerat yang menanamkan sahamnya pada
tumbuhnya kelompok (GRUP) perusahaan dalam satu tangan,
sedemikian rupa sehingga praktis seluruh kebijakan manajemen yang
pokok ditentukan oleh satu pusat10.
9
Van Zoest. Semiotika; Tentang tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Penerjemah Ani Soekowati (Yayasan Sumber Agung, Jakarta, 1993) Hal. 109
10
Media memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga
untuk menggunakan haknya dengan cara mempertahankan karakter
publik dan menyediakan ruang untuk keterlibatan sipil. Akan tetapi,
tugas suci ini kerap diabaikan karena kepentingan bisnis yang menyetir
industri media. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya
konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan kelompok media di semua
sektor media. Dalam teori jaringan, struktur dengan bentuk seperti ini
mencerminkan sebuah kendali tinggi pada tindakan maupun aliran
informasi dari titik pusat hingga ke periferal. Jaringan seperti yang
digambarkan diatas tidak hanya menampilkan hubungan konsentrasi
kepemilikan dalam kerja media, tetapi juga memperlihatkan ecara logis
bagaimana kendali medium dan konten terjadi dapat dilihat pada
gambar2.1 .11
11
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
Bagan 2.1 Struktur konsentrasi kepemilikan media12
Konglomerasi media adalah suatu istilah yang diungkapkan oleh Ben
H. Bagdikian (1980) yang pada saat itu menangkap perubahan besar
corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi dimana
para owner pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan
perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi atau misi yang
sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham,
bekerja sama/ penggabungan, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar.Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan
12
untuk mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh
komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis
media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan
penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan13. Indikasi
konglomerasi kempilikan media di Indonesia dapat dilihat melalui bagan
2.2, oleh Merlyna Lim (2012) 14.
13
Ibnu Hamad , KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik (2004). Hal 26
14
Lim, M.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
Gambar 2.2 The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia: 15
15
Lim, M.
Kasus bocornya rekaman kongkalikong televisi swasta nasional dan
parpol untuk kepentingan pencitraan politik di media internet adalah
salah satu bukti media telah menyalahgunakan frekuensi milik
publik.Problem kepemilikan media oleh para politisi semacam ini sudah
jadi rahasia umum.Sudah sejak lama pemilik selalu mengintervensi
kebijakan dan pilihan media.
Dua pola intervensi, bila bukan untuk kepentingan politik, tentu untuk
kepentingan akumulasi kapital.Tentu, dalam level internal, memberitakan
kepentingan pemilik media adalah hal tabu.16
Mengutip perkataan wataran veteran Bill Moyers “(siapa yang pada
akhirnya menikmati pengeluaran jutaan dolar untuk iklan tersebut) untuk
menyiarkan kebijakan deregulasi dan anti monopoli industri, segala
sesuatu yang terkait dengan internet, kekayaan intelektual, globalisasi,
dan perdagangan bebas, bahkan upah minimum, tindakan yang sah, dan
kebijakan lingkungan….Pada masa ini , ketika jeratan ekonomi yang
semakin kuat membuat media tergantung pada sumbangan Negara, dunia
bisnis melihat dirinya sedang berperang dengan jurnalisme”.17
Media bukan lagi mengusung idealismenya: menjadi corong bagi
mereka yang tertindas. Media menjadi alat untuk kepentingan mereka
yang berkuasa.
16
Masduki.Dinamika Pers dan Pemilu 2014(Analisis terhadap Kecenderungan Pemberitaan4 Grup Media Nasional di IndonesiaJurnal Dewan Pers Edisi 09, 2014) Hal. 44
17
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
b. Implikasi Konglomerasi Media
Salah satu fenomena mutakhir dalam industri media adalah
konglomerasi media, dimana sebuah grup media memiliki
perusahaan-perusahaan media dengan jumlah yang cukup banyak, tersebar mulai dari
media televisi, radio, koran, majalah, online, dan sebagainya.Buku yang
paling gambling menjelaskan hal ini adalah Media Monopoly karya Ben
Bagdikian, yang telah direvisi berkali-kali untuk terus memutakhirkan
data mengenai perkembangan kepemilikan media di Amerika Serikat.
Menurut Bagdikian, jumlah pemilik media di Amerika pada tahun 1983
berjumlah 50 perusahaan. Namun, 20 tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 2003, 50 perusahaan media tersebut telah diakuisisi oleh lima
perusahaan besar yang memonopoli industri media di Amerika, yaitu
AOLTime Warner, Disney, Viacom, The News Corporation, dan
Bertelsmann.18
Kelima raksasa media tersebut, ditambah Vivensi dan Sony Columbia,
menguasai studio – studio film utama di Amerika,hampir seluruh
jaringan televisi Amerika, 80-85% pasar musik dunia, sejumlah besar
satelit penyiaran seluruh dunia, sejumlahbesar penerbitan buku dan
majalah, hamper semua saluran televisi kabel komersial, dan masih
banyak lagi.
18
Apa dampak konglomerasi media ini? Yang jelas, para konglomerat
ini menjadikan media sebagai bisnis besar untuk mengumpulkan laba
sebesar – besarnya dengan wilayah garapan seluas – luasnya.
Namun, implikasi konglomerasi media tidak hanya dalam ranah
bisnis, namun juga pada ranah politik. Di Amerika Serikat, lobi-lobi para
raksasa media kepada para politisi sangat ampuh, terlebih jika lawan
politik mereka adalah publik yang tidak berdaya. Chesney (2006)
menegaskan, ”....it makes the media giant. perticularly effective political
lobbyists at the national, regional, and global levels. The media giants
have had a heavy hand in drafting these laws and regulations,and the
public tends to have little or no input.”19
Konglomerasi media juga memiliki implikasi yang sangat mendasar
dalam pemberitaan. Contoh paling nyata adalah bias kepentingan pemilik
modal dalam dukungan Murdoch melalui The Sun dan The Times of
London untukkampanye Thatcher pada 1998, serta dukungan melalui
New York Times untuk Reagan. Contoh lain, Norman Chandler
menyediakan Los Angeles Times sebagai media kampanye Nixon
sepanjang karir politiknya.
Jadi bagi para konglomerat pemilik industri media, kekuasaan mereka
bukan lagi berasal dari akses namun kepemilikan atas media itu sendiri20.
19
Robert McChesney, “Global Media, Neoliberalism & Imperialism”, 2006, www.thirdworldtraveler.
com/Robert_McChesney_page.html.
20
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
Bias pemberitaan juga terlihat dari hilangnya daya kritis media di
hadapan para pemilik modal. Dalam hal ini, media cenderung
mengangkat sebuah isu dengan perspektif yang sejalan dengan
kepentingan pemilik modal.Selain itu, media cenderung memilih isu-isu
yang tidak bertentangan dengan kepentingan pemilik modal.
3. Ekonomi Dan Politik Industri Media
Aspek ekonomi dan politik seperti halnya kepemilikan dan
pengendalian media adalah hal yang mengaitkan antara satu indutri
media dengan media lainnya.Sesuai dengan yang di paparkan Philip
Elliot dalam kajian ekonomi politik media yang melihat bahwa maksud
yang terkandung dalam pesan pesan media ditentukan oleh dasar – dasar
ekonomi dari organisasi media yang memproduksinya21.
Menurut Chris Barker ekonomi dan politik adalah “A domain of
knowledge concerned with power and at distribution of economic
resources. Political economy explores the question of who owns and
controls the institutions of economy, society, and culture” (Sebuah ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan kekuatan ditribusi dari pada
sumber daya ekonomi.Ekonomi politik membahas pertanyaan tentang
siapa yang memiliki dan mengontror institusi ekonomi, sosial dan
budaya).22
Hal ini juga di singgung dalam paradigma Vincent Moscow yang
menuturkan bahwasanya ekonomi politik dapat di artikan sebagai kajian
21
Agus Sudibyo, Ekonomu Politik Media Penyiaran (LKIS, Jakarta, 2000) Hal. 65
22
tentang hubungan sosial, khususnya yang berhubungan dengan
kekuasaan dalam bidang produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya
dalam komunikasi. 23 Vincent merumuskan empat karateristik ekonomi
politik.
Pertama, ekonomi politik merupakan bagian dari studi mengenai
perubahan sosial dan transformasi sejarah. Dalam hal ini ada dua varian
teori yang berbeda yakni ;
critical political economy yang pada penerapannya lebih secara
khusus menginvestifigasi dan mendikripsikan pada late capitalism yang
isi – isu dan fokusnya mengenai cara – cara bagaimana aktifitas
komunikasi distrukturkan oleh distribusi yang tidak merata mengenai
sumber daya material dan simbolik24.
liberal political economy mengartikan bahwa ekonomi politik adalah
perubahan sosial dan transformasi sejarah yang didalamnya terdapat
suatu doktrin dan seperangkat prinsip untuk mengorganisirdan
menangani ekonomi pasar guna untuk tercapainya suatu efisiensi yang
maksimum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu.
Kedua ekonomi politik mempunyai minat menguji keseluruhan sosial
atau totalitas dari hubungan sosial yang meliputi bidang ekonomi, politik,
sosial, dan budaya dalam suatu masyarakat serta menghindari dari
23
Vincent Mosco, The Political Economy Of Comunication (London : SAGE Pubication, 1996) Hal. 25
24
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
kecenderungan mengabstraksikan realitas – realitas sosial kedalam
bidang teori ekonomi maupun politik.
Ketiga berhubungan dengan filsafat moral, artinya mengacu pada nilai
– nilai sosial (wants abaout wants) dan konsepsi mengenai praktek sosial.
Prinsip – prinsip keadilan, kesetaraan, dan public good merupakan
refrensi utama dari pertanyaan moral mendasar ekonomi politik.
Perhatian ini tidak hanya ditujukan pada “what is” (apa itu), tetapi “what
ought be” (apa yang sehaarusnya). Misalnya saja studi ekonomi politik
kritis yang concernterhadab peranan media dalam membangun konsesus
dalam masyarakat kapitalis yang ternyata penuh dengan distorsi.Dalam
masyarakat yang tidak sepenuhnya egaliter, kelompok – kelompok
marginal tidak mempunyai banyak pilihan selain menerima dan bahkan
mendukung sistem yang memelihara subordinasi mereka terhadap
kelompok yang dominan.25
Keempat, Karateristiknya praxis, yakni suatu ide yang mengacu
kepada aktivitas manusia dan secara khusus mengacu pada aktivitas
kreatif dan bebas, dimana orang dapat menghasilkan dan mengunah
dunia dan diri mereka.26Golding dan Murdock menambahkan bahwa
ekonomi politik juga concern keseimbangan antara organisasi kapitalis
dan intervensi atau campur tangan publik.27
25
Agus Sudibyo, ekonomi politik Media Penyiaran, (Yogyakarta: LkiS, 2004) Hal. 8 – 9 26
Vincent Mosco, The Political Economy of Comunication (London:SAGE Pubication, 1996) Hal. 27 - 37
27
Jadi berdasarkan definisi diatas pada kesimpulannya terdapat dua poin
penting dalam pondasi ekonomi politik, yang pertama adalah (power)
kekuatan, dan pembagian sumber daya ekonomi (distribution of
economy resources) baik dalam lingkup intitusi ekonomi, sosial, dan
budaya.
Satu Prinsip yang harus diperhatikan disini adalah sistem - sistem
industri kapitalis, media massa harus di beri fokus perhatian yang
memadai sebagaimana institusi – institusi produksi dan distribusi yang
lain. Kondisi – kondisi yang ditentukan pada level kepemlikan media ,
praktik – praktik pemberitaan, dinamika industri radio, televisi,
perfilman, dan periklanan mempunyai hubungan yang saling menentukan
dengan kondisi – kondisi ekonomi spesifik yang berkembang di suatu
Negara, serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi – kondisi
ekonomi politik global.28
4. Sejarah Singkat Industri Media Di Indonesia
Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik media di Indonesia
kemunculan lembaga penyiaran komersil pertama di Indonesia pada
sekitar tahun 1980 – an di era orde baru digunakan untuk memperkuat
perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi krisis migas. Kembali
pada konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung perkembangan
industri media RCTI (Rajawali Citra Televisi) Indonesia yang
diluncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi swasta
28 Dedy N. Hidayat “
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun 1985
keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya citra
televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas Televisi),
dan Indosiar (Indosiar Visual Mandiri). Dari kemunculan televisi swasta
inilah bias penguasa orde baru tercipta yang pada saat itu contohnya
RCTI dimiliki Oleh Bambang Trihatmojo (anak sulung Soeharto), SCTV
dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri Soehato), ANTV dimiliki oleh
Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh Salim Group (partner
bisnis keluarga Soeharto)29.Imbas dari konvergensi media di Indonesia
adalah faktor kongkrit mengapa pemilik media swata di Indonesia
melakukan konglomerasi media.
Meskipun banyak sekali hal yang mewarnai perkembangan industri
media di Indonesia, indenpensi penyiaran seharusnya dapat di
pertahankan demi terjaga stabilitas demokrasi yang menunjang
pertumbuhan masyarakat yang dinamis. Di era Konvergensi sebagai
contohnya media internet sendiri, sebagai suatu media baru (new media),
pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian macam bentuk
jurnalisme yang sebelumnya tidak di kenal. Salah satunya adalah yang
disebut sebagai jurnalisme warga atau citizen journalism.
Dengan biaya relatif murah, kini setiap pengguna Internet pada
dasarnya bisa menciptakan media tersendiri.“Setiap warga adalah juga
29
seorang jurnalis”30
mereka dapat melakukan semua fungsi jurnalistik
sendiri, mulai dari merencanakan liputan, meliput, menuliskan hasil
liputan, mengedit tulisan, memuatnya dan menyebarkannya di berbagai
situs Internet atau di weblog yang tersedia gratis.
Dengan demikian, praktis sebenarnya semua orang yang memiliki akses
terhadap Internet sebenarnya bisa menjadi “jurnalis dadakan,” meski
tentu saja kualitas jurnalistik mereka masih bisa diperdebatkan.Yang
jelas, orang tidak dituntut harus lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi atau
sekolah jurnalistik, untuk menjadi “jurnalis dadakan” di dunia maya.
Suka atau tidak, tren munculnya “jurnalisme warga” dan “jurnalis
dadakan” semacam ini tampaknya makin kuat.
Munculnya media – media alternatif yang memperkuat citizen jurnalistik
juga menimbulkan permasalahan – permasalahn baru tentang kelemahan
media besar di zaman yang lebih yang interaktif dimotori oleh warga.
Bisakah media korporasi, yang dirancang lebih untuk mengendalikan
jalur – jalur isi berita dan meraup keuntungan, bisa merespon publik
yang ingin terlibat lebih jauh dalam berita dan informasi? Bisakah media
yang tumbuh dari peninggalan merger korperasi bisa benar – benar adil
atau berimbang? Atau meletakkan setiap masalah dalam argument
partisan benar – benar mampu melahirkan wacana politik yang lebih
30
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
besar guna menemukan solusi dari masalah – masalah yang ada di
masyarakat ?.31
Berdasarkan dari gejala konvergensi media, sejarah perubahan media di
Indonesia mulai dari media konvensional seperti surat kabar, televisi dan
radio menjadi media digital atau internet dapat di lihat dari landscape
perkembangan industri media di Indonesia di bawah ini:
31
Gambar 2.3 Landscape Perkembangan media mulai tahun 1960 sampai saat ini32
32
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
B. Konglomerasi Media dalam Perpektif Teori Semiotika Charles Sanders
Peirce
Semiotika Berangkat dari tiga eleman utama yang disebut Peirce teori
segitiga makna atau triangle meaning. Lihat pada gambar 1.4
a. Tanda
Adalah sesuatu yang berbentuk Fisik yang dapat diungkap oleh
panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda
ini disebut objek.
b. Acuan Tanda (Oyjek)
Adalah konteks sosial yang menjadi refrensi dari tanda atau sesuatu
yang dirujuk tanda
c. Pengguna Tanda (Interpretant)
Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada
dalam benak seseorang tentang objek yang di rujuk tanda.
Ucu Agustin sebagai Film Maker atau sutradara berusaha
mengungkap pola kepemilikan media yang terjadi di Indonesia
dimulai dengan mendokumentasikan konflik internal yang terjadi
pada dua stasiun televisi swasta yakni TV ONE & Metro TV.
Berangkat dari tokoh Luviana yang tidak lain seorang jurnalis yang
telah bekerja 10 tahun di Metro TV, dianggap bermasalah karena
mempertanyakan system manajemen yang tak berpihak pada
pekerja dan mengkritis newsroom. Kemudian Hari Suwandi &
Harto Wiyono adalah dua orang warga lumpur sidoarjo yang
melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo – Jakarta untuk mencari
keadilan bagi warga lumpur sidoarjo yang pembayar ganti ruginya
belum dilunasi oleh PT. Menarak Lapindo Jaya milik Ir. H.
Aburizal Bakrie yang juga pemilik stasiun TV ONE. Ucu Agusti
menyajikan pesan konglomerasi media dalam Film Dokumenternya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
BAB III
DESKRIPSI UMUM PENELITIAN PESAN FILM DOKUMENTER “DI
BALIK FREKUENSI” DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI
INDONESIA
A.Deskripsi Subjek Penelitian
1. Profil Film Dokumenter “Dibalik Frekuensi”
Produser : Ursula Tumiwa
Ucu Agustin
Eksekutif Produser :Ucu Agustin
Ursula Tumiwa
Produser Pelaksana : Sidik Ilmawan
Sinematografi : Affan Diaz
Editor : Darwin Nugraha
Online Editor : Juan Mayo
Oppening Design : Affan Diaz
Erickson Siregar
Ditulis dan disutradarai : Ucu Agustin
Karakter Yang Ditampilkan dalam Film : Luviana
Avi Pranantha
Bonaparte
Situmorang
Winuranto Adi
Surya Paloh
Aburizal Bakrie
Hari Suwandi
Harto Wiyono
Paring Waluyo
Hari Tanoe Soedibjo
Ezki Tri Rezeki
Widianti
Ignatius Haryanto
Yanuar Nugroho
Umar Idris
Betrix Hendra
Sugeng Suparwoto
Film dokumenter Di Balik Frekuensi merupakan wujud dari
realisasi dana hibah dari Ford Foundation yang kemudian difasilitasi
oleh beberapa organisasi pers independen yakni, Wikimedia Indonesia,
ICT Watch dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dengan disponsori
oleh FORD FOUNDATION, bersama ketiga organisasi pendukungnya
berafiliasi untuk membuat proyek kreatif bernama CIPTA MEDIA
BERSAMA.
2. Profil Cipta Media Bersama
Cipta Media Bersama adalah proyek yang didanai oleh hibah Ford
Foundation untuk Wikimedia Indonesia.Cipta Media Bersama adalah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
satu juta dolar AS bagi inisiatif-inisiatif yang dapat menjadi contoh
praktek terbaik dalam kebhinekaan, kesetaraan, kebebasan dan etika
bermedia1. Ford Foundation didukung oleh beberapa lembaga
diantaranya
a) Wikimedia Indonesia
b) ICT Watch
c) Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Wikimedia Indonesia, ICT Watch, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
meluncurkan Program Cipta Media Bersama yang tidak lain merupakan
program hibah terbuka yang mengajak individu atau organisasi
memunculkan ide baru dan segar dalam praktek bermedia yang mampu
membuat perbaikan media di Indonesia. Setiap ide yang akan mengikuti
program ini harus memilih salah satu dari 4 topik berikut:
1. Meretas batas – kebhinekaan bermedia
2. Keadilan dan kesetaraan akses terhadap media
3. Kebebasan dan etika bermedia
4. Pemantauan media
1
Skema pembentukan Cipta media bersama dapat di lihat pada gambar 3.1 .
:
Gambar 3.1
3. Profil Ford Foudation
The Ford Foundation membuka kantor perwakilan di Jakarta pada
tahun 1953 dengan fokus awal pada pendidikan, pelatihan guru dan
pengembangan keahlian dibidang ekonomi dan pertanian. Seiring
pergantian rezim pemerintah pada tahun 1960an, dibentuk
program-program baru ditingkat nasional, yang memberikan dukungan untuk
program keluarga berencana, penelitian seputar beras, dan pembangunan
pedesaan.Tema-tema ini terus dikerjakan sepanjang tahun 1970an hingga