• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN TEKS KEAGAMAAN

(Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada Yohanes Untuk Pembaca Khusus Di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab

Indonesia Bogor)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik

Minat Utama Linguistik Penerjemahan

OLEH : SUJATMIKO

S130908013

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

MINAT UTAMA LINGUISTIK PENERJEMAHAN PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pekerjaan menerjemahkan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dengan adanya berbagai aspek yang harus diperhatikan oleh penerjemah. Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Larson (1984: 22) bahwa “Translation is a complicated process”.

Dengan segala kompleksitasnya dalam aktifitas penerjemahan, maka secara langsung berimbas kepada penerjemah itu sendiri. Penerjemah akan menghadapi berbagai macam masalah–masalah dalam melakukan tugasnya. Dengan adanya masalah-masalah yang muncul dalam menerjemahkan, maka masalah-masalah tersebut menguji kompetensi penerjemahnya.

Penerjemah juga berpotensi mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi apabila teks yang diterjemahkan adalah teks–teks yang sifatnya sensitif seperti teks politik, agama, hukum, kedokteran, agama, dll. Salah satu wujud dari jenis teks-teks yang sensitif tersebut adalah teks keagamaan. Wujud nyata dari penerjemahan teks keagamaan yaitu penerjemahan Alkitab.

Uraian berikut adalah sekilas masalah-masalah yang dihadapi oleh para penerjemah Alkitab. Penerjemah Alkitab menghadapi masalah dalam hal keaslian dokumen atau naskah Alkitab yang membuat para penerjemahnya kesulitan menentukan manakah naskah yang asli. Mereka hanya mempunyai naskah dalam bentuk fotokopi sehingga kesulitan menentukan fotokopi mana yang benar dan mana yang salah. Berikut kutipannya :

(3)

One basic problem inherent in Bible translation is that we do not have the original manuscript of the Bible, but copies of copies of copies... and this causes many problems because translators do not know which of all these copies is correct and which is not, since none of them are identical. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Penerjemahan Alkitab merupakan tugas berat bagi penerjemahnya. Hal ini karena Alkitab diterjemahkan dalam berbagai bentuk.

Bible is divided represent "a greater variety of literary styles e.g. historical narrative, prophecy, poetry, instructions and exhortation etc. than any other piece of literature in the history of mankind" (Snell-Hornby et al., 1998; 275). This variety of text types makes Bible translation a hard task for the

translator. (Ilias Chatzitheodorou dalam

http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Alkitab diperuntukkan bagi semua orang dan untuk semua kalangan atau golongan pembaca/pendengarnya, baik itu anak–anak, orang dewasa, teolog, dan lain–lain. Hal ini menuntut penerjemah Alkitab untuk dapat menentukan padanan kata yang tepat dari Bsu ke dalam Bsa untuk semua pembacanya.

Another problem that many translators face in Bible translation is that the Bible is addressed to a huge variety of people, e.g. theologians, adults, children, believers and non-believers, etc. Moreover, as Snell-Hornby states, the Bible is written for different uses, i.e., for both readers and listeners. Thus, we could say that it is very difficult for a translator to translate the Bible since she/he must 'reproduce' an equivalent text in the Target Language, which can be 'used' for the same purposes as that of the Source

Language.(Ilias Chatzitheodorou dalam

http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pada perbedaan struktur atau sistem Bsu dan Bsa yang menyebabkan tidak adanya persesuaian diantara kedua bahasa tersebut dan berakibat pada tidak tepatnya terjemahan. Terjemahan yang tepat sulit diperoleh karena makna kata dan struktur gramatikal Bsu dan Bsa berbeda. Oleh

(4)

karena itu, penerjemah Alkitab harus memilih padanan yang paling tepat dalam setiap situasi.

Since no two languages are identical, there can be no absolute correspondence between languages". Hence, there can be no fully exact translations. The total impact of a translation may be reasonably close to the original, but there can be no identity in detail" (cited in Venuti 2000; 127). It is accepted that exact translation is 'impossible' since meanings of words and grammatical structures in any two languages do not generally correspond.. The translator must choose the best equivalent in each situation. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Penerjemah Alkitab seringkali hanya mereproduksi makna dalam bahasa target. Oleh karena itu, penerjemah Alkitab harus mematuhi atau mempertimbangkan kaidah bahasa penerimanya.

Frequently the translator must grasp the meaning of the original as best he can and then seek to reproduce that meaning in the Target Language. This, however, can be done if the Bible translator "respects the features of the receptor language and exploits the potentialities of the language to the greatest possible extent. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pemahaman terhadap bahasa kuno tulisan Alkitab. Masalah pemahaman bahasa kuno Alkitab menjadi masalah karena bahasa selalu berkembang setiap saat dan setiap waktu, hal ini tentunya berpengaruh terhadap makna bahasa itu sendiri.

Oleh karena itu, untuk memahami Alkitab, bahasa harus dipelajari di seluruh tempat di mana masyarakatnya mengetahui bahasa itu dalam bentuk tulisan dan di bandingkan dengan dengan kata yang sama dalam bahasa sasaran, sehingga dapat menebak makna kata yang dimaksud.

There is the problem of understanding the ancient languages in which the Bible was written. No one who spoke those languages is around to tell us

(5)

what they mean. We all know that languages continually change over time. New words are always being added and others take on different or added meaning. However, to understand the Bible, words must be studied in all the places where they occur in available writings and compared with similar words in related languages. Then, we might be able to understand or guess

their meaning. (Ilias Chatzitheodorou dalam

http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Penerjemah Alkitab menghadapi masalah tentang pemahaman budaya, di mana pengetahuan budaya kuno tidak selalu dapat dipahami oleh penerjemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “There is also the problem of cultural understanding. With an imperfect knowledge of ancient cultures it is not always possible to understand references of various kinds" (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Untuk memahami Alkitab, penerjemah Alkitab harus mempunyai semangat rohani yang baik seperti yang dinyatakan dalam I Korintus 2 :14.

The most important problem in understanding the Bible is the spiritual problem. "The natural mind does not receive things of the Spirit of God" (1 Cor 2:14). Anyone who knows God has had the experience of reading a Bible passage a hundred times and then suddenly seeing what it means. As we grow in spiritual understanding, the Bible continually reveals its deeper meanings. The Holy Spirit guides us into all truth. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).

Menurut Nida (1964) dalam Magdy M. Zaky di http ://www.accurapid.com//translationjournal//17 theory.html/21Juni 2010/10.00 am, menyatakan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi oleh penerjemah adalah menyamakan unsur-unsur stilistika dari dua bahasa yang berbeda.

(6)

Sebagai contoh, penerjemah Alkitab sebaiknya tidak memilih tingkat bahasa yang terlalu tinggi agar pesan dapat di pahami oleh pembacanya. Tetapi di sisi yang lain, sebaiknya juga penerjemah Alkitab tidak menggunakan tingkat bahasa yang terlalu rendah, karena akan mengurangi pesannya.

According to Nida (1964), one of the most serious problems that face a translator is to properly match the stylistic levels of two different languages. For example, the Bible translator may not select a level of language which is too high for making the message accessible to the people to whom it is addressed. At the same time, the level chosen should not be socially low, because it would then debase the content.

Realitas profesi penerjemah Alkitab memang berat dan menguji tingkat kompetensinya sebagai penerjemah dengan begitu banyaknya masalah–masalah yang dihadapinya seperti yang sudah penyusun uraikan sebelumnya.

LAI dan Yayasan Kartidaya selaku mitra kerjanya adalah dua lembaga yang bertanggung jawab dalam usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang ada di Indonesia berdasarkan fakta bahwa bahasa Indonesia yang secara yuridis formal telah ditetapkan sebagai bahasa nasional Indonesia dan digunakan secara resmi di berbagai lembaga dan perkantoran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa daerah masih sangat luas digunakan di nusantara.

Bahasa daerah digunakan bukan saja karena masih banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar, tetapi juga karena bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu cenderung lebih dapat mengungkapkan perasaan, penghayatan dan pemaknaan yang lebih mendalam. Salah satunya adalah perasaan, penghayatan, dan pemaknaan yang berkaitan dengan masalah keagamaan, bahasa iman yang tidak hanya menyentuh kehidupan manusia secara lahiriah, tetapi juga menyentuh secara kedalaman batiniah.

(7)

Usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah menghadapi berbagai kesulitan yang kompleks, termasuk menyangkut kelangkaan ketersediaan sumber daya penerjemah yang menguasai dengan baik bahasa daerah setempat dan sekaligus memahami bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, minimnya pengetahuan teologi, rendahnya tingkat pendidikan, minimnya bahan-bahan pendukung, dan masalah-masalah lainnya.

Dewasa ini Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam berbagai versi terjemahan, antara lain: Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi I Tahun 1974 (atau yang populer disebut TB-LAI), Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi II Tahun 1997 (disebut TB2-LAI), Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini Edisi I Tahun 1985 (BIMK) dan beberapa terjemahan lain. Berbagai versi terjemahan yang ada masih dianggap belum memadai bagi para penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab dalam bahasa setempat.

Oleh karena itu, LAI bersama Yayasan Kartidaya terus berupaya menyediakan bahan-bahan yang dapat digunakan oleh para penerjemah lokal yang akan membantu mereka dalam membuat Alkitab ke dalam bahasa setempat. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan menyediakan SPPAyang merupakan adaptasi dari THB berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh UBS yang dirancang khusus dengan target pembacanya yaitu penerjemah lokal di daerah-daerah.

Sudah barang tentu buku-buku SPPA tersebut terbuka untuk dibaca dan dipergunakan oleh siapapun. LAI menyebut para penerjemah SPPA dengan istilah "Adaptoryang tergabung dalam sebuah tim yang di sebut ”Tim Pengadaptasi”,

(8)

bukan disebut sebagai para ‘penerjemah’ (translator) sebagai mana lazimnya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa para adaptor berperan bukan semata-mata sebagai penerjemah saja, namun sekaligus berperan sebagai pengadaptasi bahan-bahan yang berbahasa Inggris untuk konteks pembaca (penerjemah lokal) yang tingkat pendidikannya rendah, pengetahuan teologinya minim, dan tidak menguasai bahasa Inggris.

Konteks pembaca sangat penting dalam bidang penerjemahan, termasuk dalam penerjemahan Alkitab dan khususnya pengadaptasian SPPA. Newmark (1988:13) menyarankan bahwa seorang penerjemah harus mengetahui karakteristik pembaca bahasa sumber, setelah itu melakukan proses penerjemahan, kemudian memperhatikan dengan baik siapa yang akan menjadi calon pembacanya. Demikian pernyataan Newmark bahwa ”... you attempt to characterize the readership of the original and then of the translation, and to decide how much attention you have to pay to the target language readers”.

Sejalan dengan itu, Nababan (2003:22) juga mengatakan bahwa ”penerjemah harus tahu untuk siapa terjemahannya dan bagaimana tingkat kemampuan pembacanya”. Hal ini sangat penting karena setiap orang memiliki kemampuan berbeda dalam memahami isi teks terjemahan.

Tugas seorang adaptor adalah menggali arti dari naskah bahasa asli 1(eksegese). Adaptor berperan sebagai 2‘eksegetor’ yang bukan hanya menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lainnya, namun juga berperan untuk menggali makna dari

1Eksegese : Proses atau langkah-langkah yang diambil untuk menggali arti/makna sebuah teks (ataupun hasil dari seluruh proses tersebut)

(9)

naskah bahasa asli dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan makna pesan yang terkandung didalamnya dengan tanpa terjadi reduksi dan distorsi.

Mengeksegese ayat Alkitab bukanlah hal yang mudah, adaptor harus benar-benar menafsir dan mengetahui makna sebenar-benarnya dibalik kata atau kalimat bahasa sumber. Mengeksegese ayat merupakan salah satu teknik yang di gunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Dalam contoh berikut, yang akan dieksegese yaitu Anak Domba.

Bsu : I saw a Lamb standing, as though it had been slain: RSV, TEV, and others capitalize Lamb, indicating thereby that it is a title, but it may be better to say “a lamb”. In languages that have two different terms for male and female lambs, here and elsewhere in Revelation the male form should be used, and in certain languages ‘lamb” will be translated as “male child of a sheep”. In culture where sheep exist but don’t have the economic and religious significance that they had in Palestine, it will be helpful to give a detailed description of sheep in a glossary item for the reader.

Bsa : Seekor Anak Domba seperti telah disembelih, penulisan Anak Domba dengan huruf besar ini menunjukkan bahwa istilah ini adalah gelar, tetapi bisa juga ditulis dengan huruf kecil “anak domba”. Dalam bahasa dimana domba jantan dan domba betina dibedakan penyebutannya, terjemahannya menjadi “anak domba jantan” . Kalau di Palestina, domba dikenal sebagai binatang kurban dalam upacara keagamaan, dalam kebudayaan lain mungkin tidak demikian halnya. Untuk hal ini penerjemah dapat memberikan keterangan yang terperinci tentang anak domba di dalam catatan kaki atau daftar kata-kata sulit (Kamus Alkitab). Kata Anak Domba disini melambangkan diri Kristus. Disembelih merujuk kepada ”penyaliban”.

Dalam contoh di atas, adaptor perlu mengeksegese ayat untuk mengetahui makna Anak Domba yang dalam bahasa sumber masih merujuk kepada makna konotasi yaitu hewan. Hasil dari eksegese ayat tersebut adalah Anak Domba yang telah disembelih merujuk kepada Diri Kristus yang telah disalib sebagai makna sebenarnya yang dimaksud oleh bahasa sumber.

(10)

Teknik lain yang juga digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu dengan penerjemahan deskriptif. Berikut contohnya :

Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the great events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6; Mark 13.8). They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In some languages that have no specific word for earthquake, an explanation of it would help the reader. Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat”

Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan deskriptif pada kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan secara rinci. Adaptor mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan tambahan berupa deskripsi dari gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau mungkin konsep gempa bumi tidak dikenal dalam bahasa sasaran.

Penelitian terhadap proyek penerjemahan buku-buku asing dan novel ke dalam bahasa Indonesia sudah cukup banyak dilakukan. Namun penelitian terhadap proyek penerjemahan (atau ‘pengadaptasian’ sebagaimana istilah yang dipergunakan oleh LAI) buku keagamaan dengan sasaran pembaca tertentu masih merupakan hal yang langka. Oleh karena itu, kajian ini diharapkan menjadi sumbangsih baru yang menyajikan sudut pandang baru dalam seluk beluk dunia penerjemahan teks berbahasa asing, dan khususnya menyangkut teks keagamaan.

Berdasarkan uraian tersebut, penyusun tertarik untuk mengkaji problematika penerjemahan teks keagamaan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan fokus kajian berupa strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, jenis

(11)

metode penerjemahan, dan prosedur pengujian kualitas SPPA tersebut dalam sebuah penelitian dengan judul "Problematika Penerjemahan Teks Keagamaan (Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada Yohanes Untuk Pembaca Khusus di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia Bogor) ”.

B. Rumusan Masalah

Mencermati latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Apa saja problematika penerjemahan yang terdapat dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?

2. Strategi penerjemahan dan teknik penerjemahan apa yang ditempuh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?

3. Kecenderungan jenis metode penerjemahan apakah yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?

4. Bagaimanakah prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor?

C. Tujuan Penelitian

(12)

1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis problematika penerjemahan yang terdapat dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes.

2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi penerjemahan dan teknik penerjemahan yang ditempuh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes.

3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan kecenderungan jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. 4. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu

Kepada Yohanes yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor.

D. Manfaat Penelitian

Hasil kajian dalam penelitian ini dapat digunakan untuk :

1. Memecahkan berbagai masalah penerjemahan Alkitab, terutama yang menyangkut pengadaptasian bahasa untuk pembaca khusus (penerjemah lokal). 2. Memberi masukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan upaya–upaya

pemahaman Alkitab sesuai dengan tingkat pendidikan dan kekhasan budaya masyarakat penggunanya.

3. Melengkapi hasil–hasil penelitian sejenis yang cukup relevan sebagai sumbangsih baru bagi linguistik terapan khususnya bidang penerjemahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan humaniora.

(13)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Definisi Seri Pedoman Penafsiran Alkitab (SPPA)

SPPA adalah salah satu edisi studi terbitan LAI yang merupakan seri panduan penerjemahan Alkitab yang menggali makna teks sumber, dan memberikan alternatif terjemahan ke bahasa penerima dengan memperhatikan perbedaan dan kekayaan bahasa dan budaya penerima. Tidak hanya bermanfaat bagi penerjemah, tetapi juga bagi teolog dan awam yang ingin mendalami isi Alkitab (Yayasan LAI, 2008:27).

B. Definisi Penerjemahan

Ada beberapa definisi penerjemahan yang telah dikemukan oleh para ahli. Definisi-definisi yang diajukan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan sudut pandangnya, sehingga definisi ini bisa lemah, kuat atau saling isi (Nababan, 2003).

Pada dasarnya penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Diupayakan supaya hasil terjemahan tersebut, bila dibaca oleh pembaca, pembaca tidak menyadari bahwa yang dibaca tersebut adalah hasil terjemahan. Selain itu, dalam terjemahan tersebut tidak ada distorsi makna, inilah yang dikatakan penerjemahan yang tepat dan baik.

Untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik, menurut Barnwell, yaitu terjemahan yang accurate, clear, dan natural (1983:15), penerjemah harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan.

Berikutnya Bell (1991:5) melengkapinya bahwa penerjemahan adalah suatu proses penggantian teks Bsu ke dalam teks Bsa dengan memperhatikan aspek

(14)

semantik dan gaya (style). Menurut Bell : "Translation is the expression in another language (or target language) of what has been expressed in another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences".

Dalam hal ini Bell sudah mulai memperhatikan hal yang lebih jelas lagi bahwa dalam menerjemahkan, penerjemah harus memperhatikan unsur linguistik dan gaya.

Bassnett (1991:13) memperjelas bahwa dalam pengalihan pesan dari Bsu ke dalam Bsa ada dua unsur yang harus diperhatikan oleh penerjemah, yaitu unsur linguistik dan unsur non linguistik. Menurut Bassnett : “…..that the translation involves the transfer of meaning contained in one set of language signs into another set of dictionary and grammar, the process involves a whole set of extra linguistic criteria also".

Penerjemahan adalah suatu upaya untuk mengungkapkan kembali isi pesan dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Oleh karena itu, penerjemahan tidak sekedar upaya untuk menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks bahasa lain. "Seorang penerjemah tidak mungkin dapat menggantikan teks bahasa sumber (Bsu) dengan teks bahasa sasaran (Bsa) karena struktur kedua bahasa itu pada umumnya berbeda satu sama lainnya". Materi teks Bsu juga tidak pernah digantikan dengan materi teks Bsa (Nababan, 2003).

Catford dalam Rachmadie (1988:12) menyatakan bahwa “Translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)”. Definisi ini menjelaskan bahwa penerjemahan sebagai kegiatan mengganti materi teks dalam bahasa sumber (Bsu) ke materi teks yang sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi ini jelas

(15)

bahwa penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga dalam bentuk tertulis (teks).

Nida dan Taber (1974:12) menyatakan bahwa "Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language massage, first in terms of meaning and secondly in terms of style".

Dari kutipan itu, dapat dipahami bahwa penerjemahan adalah upaya untuk menghasilkan kembali dalam bahasa sasaran padanan alami yang sedekat mungkin dari pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasanya. Dalam hal ini penerjemah adalah sebagai reseptor pesan dalam bahasa sumber (Bsu) dan kemudian pada saat menerjemahkan, maka ia sebagai pengirim pesan atau penulis dalam bahasa sasaran (Bsa).

Newmark (1981:7) mengartikan penerjemahan sebagai pengalihbahasaan keseluruhan teks, kalimat demi kalimat dengan mempertimbangkan aspek emosi, gaya dan nuansa budaya dari penulis aslinya. Tujuan pokok menerjemahkan adalah untuk mengalihkan pesan yang tertulis dalam Bsu ke dalam Bsa dengan mengutamakan kesepadanan makna. Tercapainya kesepadanan makna sangatlah ditentukan oleh kompetensi atau kemampuan penerjemah dalam memahami Tsu dan menuangkan pesan makna ke dalam Tsa.

Dalam bidang teori penerjemahan, terdapat istilah translation dan interpretation yang digunakan dalam konteks yang berbeda–beda meskipun kedua istilah tersebut terfokus pada pengalihan pesan dari Bsu ke Bsa. Pada umumnya istilah translation mengacu pada pengalihan pesan tertulis dan lisan. Namun, jika kedua istilah tersebut

(16)

dibahas secara bersamaan, maka istilah translation menunjuk pada pengalihan pesan tertulis dan istilah interpretation hanya mengacu pada pengalihan pesan lisan.

Perlu pula dibedakan antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 1997:12).

Menurut Brislin (1976:1), "Translation is the general term referring to the transfer of thought and ideas from one language to another whether the languages are written form or oral form". Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran dan gagasan dari bahasa satu ke bahasa yang lain baik dalam bentuk tertulis atau lisan.

Nida (1976:15) menjelaskan bahwa menerjemahkan berarti mengalihkan isi pesan yang terdapat dalam Bsu ke dalam Bsa sedemikian rupa sehingga orang yang membaca (atau mendengar) pesan itu dalam Bsa kesannya sama dengan kesan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber (bahasa asli).

Ahli lain yang membahas tentang pengertian penerjemahan adalah Samiati (1998:1) yang menyatakan bahwa penerjemahan terkait dengan pengalihan isi atau gagasan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, ditegaskan bahwa isi pesan atau gagasan tersebut merupakan aspek sentral dalam terjemahan. Dengan demikian, untuk dapat menerjemahkan dengan baik, orang atau penerjemah perlu mengacu pada makna sebagai isu sentral dalam Bsu untuk ditransfer ke dalam Bsa.

(17)

Larson (1984:3-4) menerjemahkan berarti (1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber.(2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya dan (3) mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.

Dari beberapa pendapat di atas nampaknya definisi "translation" dari waktu ke waktu ada perkembangan dalam artian menjadi lebih jelas dengan apa yang dimaksud dengan penerjemahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakekat penerjemahan adalah pengalihan pesan dari Bsu ke dalam Bsa dengan memperhatikan unsur linguistik (semantik) maupun unsur non lingustik (budaya).

Unsur linguistik yang terkait dengan kata, frase, klausa, kalimat serta teks. Hal ini karena setiap bahasa mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Yang terkait dengan budaya yaitu budaya yang ada pada Bsu karena pada dasarnya budaya suatu bahasa akan tercermin dari bahasa itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Dollerup (1994: 25) bahwa "A part from being a vehicle of communication, language is thus a transmitter and repository of cultural signifiers".

Pemahaman tentang linguistik dan non-linguistik tersebut sangat diperlukan untuk menemukan kesepadanan yang sedekat-dekatnya untuk menghasilkan terjemahan yang baik, tepat dan wajar, sehingga dapat dimengerti dengan mudah.

Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan pesan baik secara tulis maupun lisan bahasa sumber ke dalam pesan yang sepadan secara tulis maupun lisan dalam bahasa sasaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “Translation is the process to transfer written or spoken source language (SL) texts to equivalent written or

(18)

spoken target language (TL) texts”

(Http://www.thelanguagetranslation.com/translation process, strategy, and methods/html/13 Juni 2010/04.00 pm).

Dalam bidang penerjemahan Alkitab, penerjemahan merupakan sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan keteologian (berhubungan dengan ilmu keagamaan). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “theological factors can influence the decision in translation” (T. David Gordon dalam http://www. bible-researcher.com/17 Juni 2010/08.00 am).

Foster (1958:1) dalam Mahmoud Ordudari di http: //translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21 Juni 2010/03.00 pm menyatakan bahwa “translation as the act of transferring through which the content of a text is transferred from the source language into the target language” (penerjemahan merupakan proses mentransfer isi teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran).

“Translation is to be understood as the process whereby a message expressed in a specific source language is linguistically transformed in order to be understood by readers of the target language”(Frederic Houbert dalam http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli 1998/21 Juni 2010/04.00 pm). Berdasarkan kutipan tersebut, penerjemahan dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana pesan dalam bahasa sumber secara linguistik di transfer agar dapat dipahami oleh pembaca bahasa sasaran.

Salawu, Ph.D dalam http://www accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan

(19)

bahwa “translation should be seen as an attempt to guess the mind of an author correctly” (penerjemahan harus di lihat sebagai sebuah usaha untuk menebak pikiran penulis bahasa sumber secara tepat).

“A good translation should play the same role in the target language as the original did in the source language” (Mahmoud Ordudari dalam http: //translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 nomor 1 Januari 2008/21 Juni 2010/03.00 pm). Berdasarkan pernyataan tersebut, penerjemahan yang baik harus memiliki peran yang sama baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

Sejalan dengan Mahmoud, Salawu Adewuni, Ph.D dalam http://www accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan bahwa “a perfect translation whereby the translated version may be equivalent to the original text” (penerjemahan yang sempurna adalah terjemahan yang sepadan dengan teks bahasa sumbernya).

C. Strategi Penerjemahan

Strategi penerjemahan adalah rencana sadar yang dimiliki oleh penerjemah untuk memecahkan masalah dalam proses penerjemahan yang dituangkan dalam penerjemahan yang sebenarnya. Demikian pernyataan Krings (1986:18) dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am yang menyatakan bahwa “translation strategy as "translator's potentially conscious plans for solving concrete translation problems in the framework of a concrete translation task".

Menurut Seguinot (1989) dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am

(20)

sedikitnya ada 3 strategi umum yang biasanya diterapkan penerjemah yaitu : (1) sedapat mungkin menerjemahkan dengan tanpa mengurangi pesan, (2) mengkoreksi kesalahan yang muncul dalam terjemahan, (3) mengurangi kesalahan stilistik dalam teks untuk revisi selanjutnya. Berikut kutipannya :

Seguinot (1989) believes that there are at least three global strategies employed by the translators: (i) translating without interruption for as long as possible; (ii) correcting surface errors immediately; (iii) leaving the monitoring for qualitative or stylistic errors in the text to the revision stage. Lebih lanjut, Loescher (1991:8) dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am mendefinisikan strategi penerjemahan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam menerjemahkan teks atau segmen dalam teks.

Moreover, Loescher (1991:8) defines translation strategy as "a potentially conscious procedure for solving a problem faced in translating a text, or any segment of it." As it is stated in this definition, the notion of consciousness is significant in distinguishing strategies which are used by the learners or translators. In this regard, Cohen (1998:4) asserts that "the element of consciousness is what distinguishes strategies from these processes that are not strategic."

Venuti (1998:240) dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am menyatakan bahwa strategi penerjemahan melibatkan tugas dasar dalam memilih teks asing untuk diterjemahkan dan menerapkan metode untuk menerjemahkan teks tersebut. Venuti menerapkan konsep idiologi penerjemahan domestikasi dan foreignisasi untuk merujuk konsep strategi penerjemahan. Berikut pernyataan Venuti :

Venuti (1998:240) indicates that translation strategies "involve the basic tasks of choosing the foreign text to be translated and developing a method to translate it." He employs the concepts of domesticating and foreignizing

(21)

to refer to translation strategies.

Merujuk kepada proses dan produk dari penerjemahan, Jaaskelainen (2005) dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am membagi strategi penerjemahan menjadi 2 kategori yaitu strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam teks dan strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam proses.

Strategi yang berorientasi pada produk seperti yang Jaaskelainen (2005:15) ungkapkan melibatkan tugas pokok dalam memilih teks sumber dan menerapkan metode yang sesuai untuk menerjemahkan teks tersebut. Dan strategi yang berorientasi pada proses merupakan aturan atau prinsip yang dipegang oleh penerjemah untuk meraih tujuan yang ditentukan oleh situasi dalam penerjemahan.

Jaaskelainen (2005:16) membaginya menjadi 2 tipe yaitu global dan lokal strategi. Global strategi merujuk kepada prinsip umum dan mode tindakan dan lokal strategi merujuk kepada tindakan yang spesifik yang berhubungan dengan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan oleh penerjemah. Berikut kutipannya :

Taking into account the process and product of translation, Jaaskelainen (2005) divides strategies into two major categories: some strategies relate to what happens to texts, while other strategies relate to what happens in the process. Product-related strategies, as Jaaskelainen (2005:15) writes, involves the basic tasks of choosing the SL text and developing a method to translate it. However, she maintains that process-related strategies "are a set of (loosely formulated) rules or principles which a translator uses to reach the goals determined by the translating situation" (p.16). Moreover, Jaaskelainen (2005:16) divides this into two types, namely global strategies and local strategies: "global strategies refer to general principles and modes of action and local strategies refer to specific activities in relation to the translator's problem-solving and decision-making."

(22)

D. Metode Penerjemahan

Ada beberapa ahli yang mempunyai beragam pandangan mengenai konsep metode penerjemahan. Dalam Macquarie Dictionary (1982):” A method is a way of doing something, especially accordance with a definite plan” (dalam Machali 2000:48). Machali memberikan definisi metode sebagai suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu.

Molina dan Amparo (2001:507) menyatakan bahwa “Translation method refers to the way a particular translation process is carried out in the term of translator’s objectives. i.e a global option that affects the whole text”. Dari pernyataan tersebut, metode penerjemahan merupakan pilihan cara penerjemahan pada tataran global yang terjadi dalam proses penerjemahan yang mempengaruhi teks secara keseluruhan dan terkait dengan tujuan penerjemah. Dapat dikatakan bahwa metode adalah cara penerjemahan yang terjadi pada tataran makro terkait dengan tujuan penerjemah yang mempengaruhi cara penerjemahannya pada unit mikro.

Hoed (2006:55) menyatakan bahwa penerjemahan sering didasari oleh audience design atau need analysis. Dalam praktiknya penerjemah memilih salah satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Newmark (1988:45) memberikan delapan (8) jenis metode penerjemahan yang diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu empat diantaranya berorientasi pada Bsu (SL emphasis) dan empat lainnya berorientasi pada Bsa (TL emphasis).

(23)

Diagram V Newmark menggambarkan hubungan antara metode penerjemahan dan idiologi penerjemahan yang memayungi metode-metode tersebut. Berikut diagram V Newmark :

SL emphasis TL emphasis Word for word translation Adaptation Literal translation Free translation Faithful translation Idiomatic translation Semantic translation Communicative translation

Diagram V tersebut menggambarkan bahwa ke delapan metode penerjemahan pada intinya hanya menganut dua idiologi yaitu beorientasi ke SL (foreignization) dan berorientasi ke TL (domestication). Empat metode berorientasi ke SL cenderung untuk memberikan dan mempertahankan nuansa terjemahan pada produknya. Sebaliknya empat metode yang lain yang berorientasi ke TL akan berusaha menghilangkan nuansa tersebut.

Masing-masing metode tersebut memberi pengaruh pada saat penerjemahan, sehingga hasil yang berbeda akan muncul pada produk terjemahannya sesuai dengan idiologi yang dianut penerjemah saat menerjemahkan teks bahasa sumber. Secara singkat, kedelapan metode penerjemahan tersebut diuraikan sebagai berikut :

1. Word for word translation (Penerjemahan kata demi kata)

Penerjemahan kata demi kata adalah suatu jenis penerjemahan yang masih terikat pada tataran kata dan struktur Bsu. Nababan (2003:31) menyatakan bahwa dalam menerjemahkan, penerjemah hanya mencari padanan kata Bsu dalam Bsa tanpa mengubah susunan kata dalam terjemahannya.

Susunan kata dalam kalimat Bsa sama persis dengan susunan kata dalam kalimat Bsu. Metode ini bisa diterapkan jika kedua bahasa memiliki kaidah yang

(24)

sama sehingga tidak menyalahi struktur kalimat bahasa sasaran. Metode ini tidak relevan diterapkan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Karena keduanya memiliki kaidah yang berbeda, misalnya dalam struktur frase nomina.

Dengan menggunakan metode penerjemahan kata demi kata, ide atau gagasan suatu teks tidak akan bisa dipahami oleh pembaca. Namun, Newmark (1988:45) mengemukakan metode ini berguna bagi seseorang yang ingin mengerti struktur Bsu atau menguraikan teks yang sulit sebagai salah satu tahap sebelum menerjemahkan. Demikian pernyataan Newmark : “The main use of word-for-word translation is either to understand the mechanics of the source language or to construe a difficult text as a pre-translation process.”

2. Literal translation (Penerjemahan harfiah)

Literal translation atau lebih dikenal sebagai penerjemahan harfiah disebut juga “pre-translation process”. Mungkin awalnya penerjemah menerjemahkan kata demi kata kemudian menyesuaikan susunan kata dalam kalimat terjemahannya sesuai dengan susunan kata dalam kalimat Bsa. Dengan kata lain penerjemah mengubah struktur kalimat Bsu ke Bsa yang mendekati sepadan.

3. Faithful translation (Penerjemahan setia)

Metode penerjemahan ini mencoba untuk setia terhadap maksud penulis teks bahasa sumber. Penerjemahan ini berusaha memproduksi kembali makna

(25)

kontekstual teks bahasa sumber dan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Dengan kata lain penerjemahan dilakukan sebisa mungkin untuk mempertahankan aspek bentuk seperti dalam teks puisi sehingga pembaca masih secara lengkap melihat kesetiaan pada segi bentuknya.

Hoed mengatakan bahwa tujuan melakukan penerjemahan dengan metode ini antara lain untuk memperkenalkan metafora asing, untuk memperkenalkan ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah dalam bahasa sasaran.

4. Semantic translation (Penerjemahan semantik)

Sebagai salah satu metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber, penerjemahan semantik lebih luwes daripada penerjemahan setia. Newmark (1988: 46) mengatakan bahwa :

Semantic translation must take more account of the aesthetic value (that is, the beautiful and natural sound) of the SL text, compromising on ‘meaning’ where appropriate so that no assonance, word play or repetition jars in the finished version. It may translate less important cultural words by culturally functional terms but not by cultural equivalents and it may make other small concessions to the readership. It is more flexible.

Dari pernyataan tersebut, penerjemahan semantik harus mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan tetap memperhatikan makna.

5. Adaptation

Metode adaptasi merupakan metode penerjemahan paling bebas karena latar belakang budaya, konteks sosial dan nama tokoh dari suatu karya sastra disesuaikan dengan keadaan Bsa. Bahkan suatu cerita ditulis ulang sesuai dengan kebudayaan Bsa.

(26)

Metode ini lebih menekankan “isi” pesan, sedang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca Bsa. Metode ini sering diterapkan dalam menerjemahkan cerita anak dimana pengetahuan mereka sangat terbatas tentang istilah-istilah baru.

Hoed (2006:56) menyebutkan binatang rubah diganti dengan kancil meskipun sifat liciknya berbeda. Nama diri seperti Thomas juga bisa diterjemahkan menjadi Tono. Semua itu dilakukan agar pembaca benar-benar mengerti isi pesan teks tersebut tanpa menghiraukan unsur budaya teks bahasa sumber.

6. Free translation (Penerjemahan bebas)

Free translation reproduces the matter without the manner, or the content without the form of the originally” (Newmark, 1988:45). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa penerjemah mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan suatu pesan ke dalam bahasa sasaran, maksudnya ialah penerjemah tidak memiliki kebebasan dalam memodifikasi karya asli.

Hoed (2006:57) menyatakan biasanya penerjemahan bebas dilakukan untuk memenuhi permintaan klien yang hanya ingin mengetahui isi pesannya. Metode ini tidak sama halnya dengan adaptasi dimana penerjemah memiliki kebebasan untuk mengubah latar belakang budaya, konteks sosial maupun nama tokoh dari suatu karya sastra.

Bahkan Nababan (2003) menyatakan bahwa pencarian padanan dalam penerjemahan bebas cenderung terjadi pada tataran paragraf atau wacana. Penerjemah harus mampu menangkap pesan dalam bahasa sumber pada tataran

(27)

paragraf atau wacana secara utuh dan kemudian mengalihkan dan mengungkapkan pesan dalam bahasa sasaran. Karena penerjemahan ini dilakukan untuk mengetahui isi pesan dari Bsu.

7. Idiomatic Translation (Penerjemahan idiomatis)

Metode penerjemahan ini, berusaha untuk mengalihkan pesan dari teks asli tetapi nuansa maknanya cenderung sedikit menyimpang. Biasanya hal ini dilakukan melalui penggunaaan kolokasi dan idiom yang tidak ditemukan di dalam teks aslinya (Newmark, 1988: 47).

Kemudian Hoed (2006:58) menambahkan bahwa penerjemahan idiomatis mengupayakan penemuan padanan istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang tersedia dalam Bsa.

8. Commmunicative translation (Penerjemahan komunikatif)

Terjemahan merupakan alat untuk menyampaikan pesan dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan demikian terjemahan merupakan bagian dari alat komunikasi antar bahasa. Mengacu pada pendapat Newmark dalam Nababan (2003:40) tentang fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi yaitu : “…….translation is basically a means of communication or a manner of addressing one or more persons in the speaker presence.”

Dari kutipan tersebut terjemahan harus dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai alat komunikasi atau menyampaikan gagasan kepada orang lain. Oleh karena itu suatu terjemahan haruslah mempunyai bentuk, makna dan fungsi.

Metode penerjemahan ini lebih menekankan efek yang ditimbulkan oleh suatu terjemahan kepada para pembacanya. Penerjemahan ini sangat

(28)

memperhatikan unsur-unsur seperti bahasa sumber dan bahasa sasaran, budaya dan penulis teks asli sehingga tidak menimbulkan kesulitan dalam membaca teks terjemahan. Semua unsur tesebut merupakan ciri-ciri penerjemahan komunikatif yang membedakannya dengan metode yang lain.

Newmark (1988:47) menegaskan bahwa “semantic and communicative translations fulfil the two main aims of translation.” Karena kedua metode tersebut mendekati penerjemahan yang bagus. Pertama, semantic translation lebih personal dan individual, nuansa maknanya menyatu dengan pemikiran penulis dan menghadirkan terjemahan yang ringkas sehingga menghasilkan efek pragmatis.

Maksudnya ialah penerjemahan semantik tidak begitu memperhatikan aspek bentuk estetik bahasa sumber, yang terpenting adalah ketepatan penyampaian informasi yang terdapat dalam bahasa sasaran. Sedangkan metode penerjemahan komunikatif lebih mengutamakan tersampaikannya pesan secara sederhana, jelas dan lugas serta selalu disampaikan dengan gaya yang alami dan penuh makna.

Daud Soesilo (2001: 35-44) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis metode penerjemahan yang umumnya diterapkan penerjemah Alkitab. Metode penerjemahan yang dimaksud yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis. Metode penerjemahan harfiah adalah metode yang menekankan pengalihan bentuk bahasa yaitu dari naskah asli dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Tetapi, ada banyak halangan bahasa seperti perbedaan bentuk bahasa, perkataan, istilah, peribahasa dan kiasan, dll yang membuat cara penerjemahan ini tidak membawa hasil yang maksimal. Jika yang diterjemahkan hanya bentuk bahasanya saja, maka arti yang dimaksudkan dapat menyimpang dari makna aslinya.

(29)

Contohnya : kata ”Good Friday” tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ”Hari Jumat yang baik”, karena makna yang hendak di sampaikan sebenarnya adalah ”Jumat Agung” untuk memperingati wafatnya Tuhan Yesus. Contoh yang lain :

Kejadian 9:16 Alkitab Terjemahan Baru (TB) ”Jika busur itu ada di awan”

Arti yang umumnya ditangkap dari pembaca biasa adalah busur untuk memanah, padahal arti yang dimaksud dalam teks Ibrani adalah ”Pelangi”.

I Samuel 24:4

”Masuklah Saul ke dalamnya hendak berselimutkan kakinya”

Artinya yang saat ini ditangkap oleh pembaca biasa yaitu ”tidur/istirahat atau kedinginan” padahal ”berselimutkan kaki” adalah ungkapan bahasa Ibrani yang artinya adalah ”membuang hajat/buang air”.

Jenis metode yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional yang lebih menekankan pada pengalihan arti bahasa yang dimaksud dalam naskah asli ke dalam bahasa penerima yang umum dan wajar, yang disesuaikan dengan konteks pembacanya. Dengan demikian, arti yang dimengerti oleh pembaca mula-mula yang hidup di masa lalu, dapat sedekat mungkin dimengerti oleh pembaca terjemahan yang hidup di masa sekarang yang berbeda bahasa dan kebudayaannya.

Jadi, unsur yang ditekankan dalam metode ini yaitu : (1) kesetiaan pada arti naskah asli Alkitab dan (2) kesetiaan pada bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar. Prosesnya adalah naskah asli di analisis, lalu dialihkan unsur-unsur budaya

(30)

dan bahasanya yang penting dari naskah asli tersebut ke dalam bahasa penerima, baru disusun kembali dalam bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar.

Sependapat dengan Daud, ahli berikutnya yaitu P.G. Katoppo (2001:8-9) juga membagi metode penerjemahan Alkitab menjadi 2 jenis metode yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis.

Menurutnya, metode penerjemahan harfiah adalah sebuah metode yang lebih berorientasi kepada bahasa sumber, dalam hal ini adalah bahasa Ibrani, Yunani, dan Aram. Bentuk dan struktur bahasa sumber sangat diperhatikan dalam memformulasikan terjemahannya. Alhasil, penganut metode ini biasanya lebih suka mempertahankan bentuk dan struktur serta gaya bahasa yang terdapat dalam bahasa sumber. Padahal, sering terjadi kerangka berpikir bahasa sumber dan bahasa penerima jauh berbeda. Akibatnya, upaya mempertahankan bentuk dan susunan bahasa sumber tak jarang bisa menggangu pemahaman.

Metode yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis adalah metode yang mementingkan penekanan pengalihan makna dan bukan bentuk. Memang penekanan pada makna menghadapi masalah bagaimana harus mendamaikan kerumitan komponen-komponen semantik masing-masing bahasa (sumber dan sasaran) demi membuahkan hasil akhir berupa kata-kata dan susunan kalimat yang wajar. Bagaimanapun, hasil terjemahan harus diusahakan mengungkapkan pesan yang terkandung menurut bentuk–bentuk yang lazim dalam bahasa sasaran.

Dr. Barclay M. Newman (1987: 7-14) sependapat dengan konsep dua ahli sebelumnya (Daud dan Katoppo) yang juga membagi metode penerjemahan Alkitab menjadi 2 jenis yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan

(31)

dinamis. Dalam metode penerjemahan harfiah, bentuk bahasa sumber diutamakan dengan tujuan memindahkan sebanyak mungkin segi-segi bentuk bahasa sumber itu ke dalam bahasa penerima.

Jenis metode penerjemahan yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional. Dalam metode ini, ada dua aspek yang diperhatikan yaitu : (1) kesetiaan terhadap arti teks asli itu, dan (2) suatu hasil terjemahan yang paling sesuai dengan bentuk bahasa penerima itu. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah akan melalui 3 tahap penerjemahan yaitu : (1) analisis, (2) pemindahan/transfer, (3) penyusunan kembali/restrukturisasi

Secara sederhana, perbedaan antara metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis fungsional dapat dibandingkan dalam tabel berikut :

Tabel 01 : Perbandingan Metode Penerjemahan Alkitab

No Item Metode Penerjemahan

Harfiah

Metode Penerjemahan Dinamis

1 Yang ditekankan

Bentuk bahasa asli Arti dan fungsi bahasa asli serta bentuk bahasa penerima 2 Prosedur Penerjemahan langsung Di analisis, dialihkan, baru

disusun kembali

3 Penerjemah Biasanya perseorangan Panitia yang terdiri atas 2-3 penerjemah, beberapa peneliti dan penasihat, serta tenaga ahli/konsultan penerjemahan 4 Tingkat bahasa Umumnya bahasa formal di

mana tingkat pembaca dianggap sama

Bahasa sehari-hari yang umum dan wajar, menurut tingkat kebutuhan pembaca. Misalnya : SMP Kelas 1 ke atas (Alkitab BIS), SD Kelas 4-6 (Alkitab anak-anak), SD Kelas 1-4 : Alkitab Pembaca Baru atau Komik Alkitab. Dewasa : Alkitab TB.

(32)

5 Prinsip Persesuaian kata demi kata Tidak melebihi atau mengurangi arti teks asli. Latuihamallo, P.D. dengan artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode penerjemahan Alkitab” dalam http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab.html/13 Juni 2010/03.00 pm membagi jenis metode penerjemahan Alkitab menjadi 5 jenis metode penerjemahan yaitu :

1. Metode Penerjemahan Interlinear

Merupakan jenis metode penerjemahan kata-demi-kata, berdasarkan urutan kata dalam bahasa aslinya. Metode ini berguna bila seorang ingin mengetahui bentuk dan susunan kata dalam bahasa aslinya baris-demi-baris tanpa mempelajari lebih dahulu bahasa sumbernya.

2. Metode Penerjemahan Harfiah

Metode penerjemahan tradisional yang mengalihbahasakan naskah dalam bahasa sumber tanpa mengindahkan kekhususan bahasa sasaran. Dalam metode ini, penerjemah sangat respek pada bahasa sumber sehingga sedapat mungkin bentuk aslinya dipertahankan, walau sering terasa janggal artinya dalam bahasa sasaran.

Oleh karena itu, padanan yang diutamakan adalah dalam bidang leksikal dan sintaksis antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, dengan kata lain titik beratnya masih pada struktur lahir.

3. Metode Penerjemahan Dinamis Fungsional

Jenis metode penerjemahan yang mengutamakan arti dan fungsi yang dimaksud dalam teks asli, sekaligus memperhatikan kekhususan bahasa sasaran.

(33)

Oleh karena itu, bentuk bahasa aslinya boleh diubah asal makna dan tujuan teks asli dipertahankan.

Metode penerjemahan ini secara serius mencari padanan yang terdekat dan wajar dalam mengungkapkan arti dan fungsi yang dimuat dalam naskah aslinya. Metode ini memanfaatkan hasil-hasil penemuan linguistik (mengeksplisitkan yang implisit dalam naskah sumber, dan dalam perubahan bentuk menggunakan analisis komponen makna, transformasi balik dalam bahasa sumber, dan konsistensi kontekstual), serta dikembangkan berdasarkan penelitian-penelitian di bidang komunikasi dan sosiosemiotika.

Itulah sebabnya metode semacam ini sangat bermanfaat untuk mengetahui arti, berita atau amanat yang tercantum dalam naskah asli Alkitab, khususnya bagi orang awam, mereka yang ingin membaca dan mendalami Alkitab tanpa pendidikan teologi formal.

4. Metode Penerjemahan Adaptasi

Merupakan metode penerjemahan bebas yang mementingkan pesan/amanat tetapi diungkapkan dengan kata-kata sendiri. Pengadaptasinya mempunyai anggapan tertentu mengenai apa yang dianggapnya paling penting bagi pembaca/pendengarnya.

5. Metode Penerjemahan Penafsiran Ulang Menurut Kebudayaan

Merupakan metode penerjemahan dengan pengungkapan kembali isi teks dalam kata-kata sendiri sesuai dengan konteks kebudayaan penerjemah serta pendengar/pembaca yang menjadi sasaran 'terjemahan' ini. Tafsiran ulang seperti

(34)

ini menarik untuk dibaca, tetapi kurang bermanfaat untuk memahami arti dan fungsi teks sesuai dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan aslinya.

E. Teknik Penerjemahan

Istilah teknik penerjemahan merupakan istilah dengan banyak nama. Artinya, para pakar penerjemahan menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut konsep yang sama tentang teknik penerjemahan. Newmark (1988) menyebut istilah teknik penerjemahan dengan istilah prosedur penerjemahan, dan Baker (1992) menyebutnya dengan istilah strategi penerjemahan. Perbedaan penyebutan istilah-istilah tersebut dapat dimaklumi karena antara prosedur, teknik, dan strategi saling kait mengkait.

Apapun sebutannya, teknik penerjemahan dan strategi penerjemahan merupakan dua konsep yang berbeda, meskipun keduanya berkaitan erat. Strategi penerjemahan merupakan suatu cara yang dilakukan penerjemah untuk memecahkan masalah yang muncul dalam penerjemahan. Sedangkan teknik penerjemahan merupakan perwujudan dari strategi penerjemahan yang dapat diketahui pada produk atau hasil penerjemahan. Hal ini diungkapkan oleh Molina dan Albir (2002):

Strategies open the way to finding a suitable solution for a translation unit. The solution will be materialized by using a particular technique. Therefore, strategies and techniques occupay different places in problem solving: strategies are part of the process, techniques affect the result.

Menurut Machali (2000:77), terdapat dua hal pokok pada istilah teknik yaitu: 1) teknik adalah hal yang bersifat praktis; 2) teknik diberlakukan terhadap tugas tertentu (dalam hal ini tugas penerjemahan). Lebih lanjut disebutkan bahwa sesuai dengan sifatnya yang praktis, ‘teknik’ secara langsung berkaitan dengan permasalahan

(35)

praktis penerjemahan dan pemecahannya daripada dengan norma pedoman penerjemahan tertentu. Teknik penerjemahan lebih banyak berkaitan dengan langkah praktis dan pemecahan masalah.

Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa “Translation techniques ... to describe the actual steps taken by the translators in each textual micro-unit and obtain clear data about the general methodological option chosen”. Newmark (1988) berpendapat bahwa “...translation procedures are used for sentences and the smaller units of language”.

Dari kedua pernyataan tersebut, ada persamaan antara ‘translation techniques’ yang disebutkan oleh Molina dan Albir dengan ‘translation procedures’ oleh Newmark. Keduanya sama-sama berada pada tataran mikro dari suatu teks.

Istilah ‘procedures’ juga digunakan oleh Pozo Y Postigo dalam Molina dan Albir (2002). Dia menyebutkan bahwa “Procedures include the use of simple technique and skills, as well as expert use of strategies.”

Oleh karena itu, penyusun menggunakan istilah ‘teknik’ untuk merujuk pada langkah yang dilakukan oleh penerjemah untuk menyelesaikan masalah yang terwujud dalam terjemahan pada tataran mikro teks.

Molina dan Albir (2002) juga merumuskan teknik sebagai prosedur untuk menganalisa dan mengklasifikasikan masalah kesepadanan dalam penerjemahan. Mereka juga memberikan lima karakteristik dasar teknik penerjemahan yaitu : a. They affect the result of the translation

b. They are classified by comparison with the original c. They affect micro units of text

(36)

d. They are by nature discursive and contextual e. They are functional

Pada akhirnya, teknik yaitu sebagai penjelasan atas langkah apa saja yang telah dilakukan oleh penerjemah pada saat menghadapi masalah dalam suatu proses penerjemahan, yang validitasnya tergantung dari keseluruhan konteks teks yang diterjemahkan serta tujuan penerjemahan itu sendiri. Beberapa ahli penerjemahan yang menjelaskan konsep tentang teknik penerjemahan diantaranya :

Benny Hoed (2006) memberikan 9 teknik penerjemahan yang bisa diterapkan oleh penerjemah. Teknik-teknik penerjemahan tersebut yaitu :

1. Transposisi

Dalam teknik transposisi, penerjemah merubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul.

Bsu : He was unconscious when he arrived at the hospital

Bsa : Setibanya di rumah sakit, ia sudah dalam keadaan tidak sadar. 2. Modulasi

Penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan yang sama.

Bsu : The laws of Germany govern this Agreement. Bsa : Perjanjian ini diatur oleh hukum Jerman 3. Penerjemahan Deskriptif

(37)

Penerjemahan deskriptif ini dilakukan jika suatu konsep dalam Bsu tidak atau belum mempunyai padanan kata dalam Bsa-nya. Suatu konsep akan diterjemahkan dengan bentuk uraian yang berisi makna kata yang bersangkutan. Bsu : licensed software

Bsa : perangkat lunak yang dilisensikan 4. Penjelasan Tambahan

Agar suatu konsep lebih mudah dipahami (misalnya nama makanan atau minuman yang dianggap asing oleh masyarakat pengguna Bsa), biasanya penerjemah memberikan tambahan kata khusus sebagai penjelasan

Bsu : He bought a brandy yesterday

Bsa : Dia membeli sebotol minuman brandy kemarin 5. Catatan Kaki

Dalam penerjemahan tulis, penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan yang dimaksud karena tanpa penjelasan tambahan itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami dengan baik oleh pembaca.Bsa.

Bsu : All the software in your phone.

Bsa : Semua perangkat lunak dalam telepon seluler* Anda.

* Ini adalah teks tentang Perjanjian Lisensi yang di dalamnya mengandung pengertian bahwa perangkat lunak itu dimasukan ke dalam telepon seluler dan bukan telepon biasa.

(38)

Ketika penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai dalam Bsa ia memutuskan untuk membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata dalam Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi dan ejaan Bsa.

Bsu : cryptographic software Bsa : perangkat lunak kriptografis 7. Penerjemahan Resmi

Ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam Bsa sehingga penerjemah bisa langsung menggunakannya sebagai padanan. Bsu : New Zealand

Bsa : Selandia Baru

8. Tidak Diberikan Padanan

Jika penerjemah tidak dapat menemukan terjemahan suatu konsep dalam Bsa, dia bisa tetap mengutip dari bahasa aslinya. Teknik ini biasanya dilengkapi dengan catatan kaki.

Bsu : He celebrated Halloween Day Bsa : Dia merayakan Hari Halloween 9. Padanan Budaya

Dalam teknik ini, penerjemah memberikan padanan yang sesuai dengan unsur kebudayaan bahasa sasaran.

Bsu : ‘A’ level exam Bsa : Ujian SPMB

Melengkapi pendapat Hoed mengenai teknik penerjemahan yang sudah diuraikan sebelumnya, Molina dan Albir (2002) memberikan 18 klasifikasi teknik

(39)

yang bisa digunakan oleh seorang penerjemah. 18 teknik penerjemahan yang dimaksud yaitu :

1. Adaptasi (Adaptation)

Teknik ini bertujuan untuk mengganti unsur budaya pada Bsu ke dalam budaya Bsa.

Bsu : They search for bread Bsa : Mereka mencari makanan

Kata bread diterjemahkan menjadi makanan. Ini terjadi jika masyarkat pengguna Bsa tidak mengenal roti.

2. Amplifikasi (Amplification)

Cara yang digunakan dalam teknik ini adalah mengungkapkan detail pesan secara eksplisit atau memparafrasekan suatu informasi yang implisit dari Bsu ke dalam Bsa.

Contoh:

Bsu : There were some Texan attending the conference.

Bsa : Beberapa penduduk negara bagian Texas ikut menghadiri konferensi itu.

3. Peminjaman (Borrowing)

Borrowing adalah teknik penerjemahan yang memungkinkan penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari Bsu, baik sebagai peminjaman murni (pure borrowing) ataupun peminjaman yang sudah dinaturalisasikan (naturalized borrowing) baik dalam bentuk morfologi ataupun pengucapan yang disesuaikan dalam Bsa

(40)

- Peminjaman murni (Pure Borrowing) Bsu : hydrangea Bsa : hydrangea - Naturalized Borrowing Bsu : Polyjuice Bsa : Polijus 4. Calque

Teknik ini merujuk pada penerjemahan secara literal, baik kata maupun frasa dari Bsu ke dalam Bsa.

Bsu : Primary School Bsa : Sekolah Dasar

5. Compensation

Melalui teknik ini, penerjemah memperkenalkan unsur-unsur pesan atau informasi teks Bsu yang mengandung unsur stilistika ke dalam teks Bsa.

Bsu : Enter, stranger, but take heed Of what awaits the sin of greed

Bsa : Masuklah, orang asing, tetapi berhati-hatilah

Terhadap dosa yang harus ditanggung orang serakah 6. Description

Teknik ini diterapkan untuk mengganti sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi baik dalam bentuk maupun fungsinya.

Bsu : Sandra, mix me up the usual

(41)

7. Discursive Creation

Teknik ini dimaksudkan untuk menampilkan kesepadanan sementara yang tidak terduga atau keluar konteks. Teknik ini biasa dipakai untuk menerjemahkan judul buku atau judul film.

Bsu : And Then There Were None Bsa : Sepuluh Orang Negro 8. Establihed Equivalent

Dalam menggunakan teknik ini, penerjemah akan lebih cenderung untuk menggunakan istilah atau ekspresi yang sudah dikenal baik dalam kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari dari Bsa.

Bsu : Great Britain Bsa : Britania Raya 9. Generalization

Penerapan teknik ini dalam penerjemahan adalah merubah istilah asing yang bersifat khusus menjadi istilah yang lebih dikenal umum dan netral dalam Bsa. Bsu : chalet (sejenis villa di Swedia)

Bsa : pondok peristirahatan

(42)

Teknik ini digunakan untuk menambah unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa agar lebih sesuai dengan kaidah Bsa. Teknik ini biasa digunakan dalam consecutive interpreting atau dubbing (sulih suara).

Bsu : ‘Shall we?

Bsa : ‘Bisa kita berangkat sekarang?’ 11. Linguistic Compression

Linguistic Compression merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa yang biasanya diterapkan oleh penerjemah dalam pengalihbahasaan secara simultan (simultaneous interpreting) atau dalam penerjemahan teks film (subtitling)

Bsu : I want you to understand Bsa : Pahamilah

12. Literal Translation

Ketika menggunakan teknik ini, penerjemah akan menerjemahkan sebuah kata atau ekspresi secara kata per kata.

Bsu : Ministry of Magic Bsa : Departemen Sihir 13. Modulation

Dalam teknik ini, penerjemah mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan Bsu.

Bsu : Hagrid’s record is againts him

Bsa : Catatan tentang Hagrid sama sekali tidak mendukungnya. 14. Particularization

(43)

Teknik ini merupakan kebalikan dari generalization. Penerjemah akan menggunakan istilah yang lebih konkrit atau jelas dalam Bsa bila dalam Bsu hanya diberikan istilah umumnya saja.

Bsu : He calls the chief to check the engine.

Bsa : Dia memanggil kepala montir untuk memeriksa mesin. 15. Reduction

Teknik ini berfokus pada pemadatan teks dari Bsu ke dalam Bsa. Teknik ini biasa disebut sebagai kebalikan dari amplification.

Bsu : the month of fasting for Moslem Bsa : Ramadan

16. Substitution

Teknik ini dilakukan dengan cara mengubah unsur-unsur linguistik ke dalam paralinguistik atau sebaliknya. Teknik ini biasa digunakan dalam pengalihbahasaan.

Bsu (paralinguistik) : The both Japanese bows each other Bsa : Kedua orang Jepang itu saling memberikan salam 17. Transposition

Dalam teknik ini, penerjemah mengubah kategori grammatikal Bsu ke dalam Bsa yang dianggap lebih sesuai.

Bsu : Would you like to come in or are you just passing through? Bsa : Kau mau masuk sebentar?

Gambar

Tabel 01 : Perbandingan Metode Penerjemahan Alkitab  No  Item  Metode Penerjemahan
Gambar 1 : Skema Kerangka Pikir
Tabel 2 : Klasifikasi  Persebaran Data
Gambar 5 : Pohon Zaitun dan buahnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agar bisa bersaing bank syariah membutuhkan perbaikan dan peningkatan kinerja dengan mengatur dan melakukan pengawasan terkait tata kelola bisnisnya serta tidak mengabaikan

Pertemuan 3 : Peserta didik mampu membuat sebuah peta Indonesia dan menentukan jenis budaya Indonesia pada peta tersebut dengan baik dan benar secara

dalam pengelolaan sumber daya yang dilakukan United Tractors di. Samarinda -

Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan badan penanggulangan bencana daerah melakukan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana

Although the Hotelling's T2 control chart can accurately depict the out of control condition, it lacks the ability to detect which characteristic(s) is

Proceedings of the International Conference on 'Cities, People and Places'- October 31st – November 02nd, 2014, Colombo, Sri.. 161 According to both descriptions, many temple

Penelitian yoghurt umbi ganyong ini menggunakan susu skim sebagai sumber laktosa, yang mana susu skim yang akan digunakan dengan perbandingan konsentrasi yang

Namun untuk sementara mereka tidak dapat berbuat banyak menghadapi kekuatan Karangasem Bali yang berada di Lombok Setelah Mataram sah sebagai pemegang kekuasaan utama di