• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Hasil Penelitian

6. Prosedur pengujian kualitas pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes

Terkait dengan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes pada umumnya secara prinsip dan prosedur tidak ada yang berbeda dengan prosedur pengujian adaptasi SPPA yang lain. LAI dalam hal ini Departemen Penerjemahan telah mempunyai prosedur yang tetap untuk menguji kualitas adaptasi SPPA.

Adapun yang menjadi pelaksana pengujian adaptasi adalah para TO atau Konsultan Penerjemahan dengan mekanisme tersendiri. Mekanisme pengujian kualitas adaptasi berlaku untuk semua SPPA yang ada, tidak terkecuali SPPA Wahyu Kepada Yohanes.

Adapun mekanisme prosedur pengujian kualitas SPPA secara sederhana dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut :

Gambar 6 : Prosedur Pengujian Kualitas SPPA

Berdasarkan skema tersebut, prosedur pengujian kualitas SPPA dapat diuraikan sebagai berikut ; materi asalnya adalah THB berbahasa Inggris. Kemudian, adaptor 1 menerjemahkan dan mengadaptasinya menjadi konsep/draft adaptasi awal.

Lalu, adaptor 1 memberikan adaptasinya kepada adaptor 2 untuk di cek. Apabila adaptor 2 menemukan bahwa adaptasi adaptor 1 ada hal-hal yang perlu

Adaptor 1 Adaptor 2 Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI SPPA Penerjemah Lokal THB Bahasa Inggris

diperbaiki, maka adaptor 2 akan menyerahkan kembali adaptasi awal tersebut kepada adaptor 1 untuk direvisi kembali.

Tetapi jika adaptor 2 tidak menemukan hal-hal yang harus direvisi lagi oleh adaptor 1, maka draft bisa di uji ke tahap selanjutnya yaitu draft masuk ke Konsultan Penerjemahan LAI.

Tingkat kemampuan (dari segi latar belakang pendidikan, pengetahuan teologi, pengetahuan budaya, penguasaan bahasa, dll) adaptor 1 dan adaptor 2 berbeda, sehingga adaptor 1 memberikan draft adaptasinya kepada adaptor 2. Hal ini karena adaptor 2 memiliki tingkat kemampuan yang lebih daripada adaptor 1.

Adapun kemampuan lebih yang dimiliki oleh adaptor 2 antara lain :

a. Latar belakang pendidikan adaptor 2 adalah S2 atau S3 lulusan luar negeri (Amerika, Inggris, Belanda, dll) dengan Jurusan Biblika atau Linguistik yang notabene sudah pernah tinggal lama di luar negeri. Tingkat penguasaan bahasa Inggris dan pengetahuan teologinya tentu tidak diragukan lagi.

b. Pengalaman menjadi adaptor THB sudah berpuluh–puluh tahun lamanya. c. Adaptor 2 memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang bahasa-bahasa

daerah.

Apabila adaptor 2 selesai melaksanakan tugasnya untuk merevisi draft adaptasi adaptor 1, prosedur selanjutnya yaitu adaptor 2 menyerahkan draft adaptasi tersebut kepada Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI.

Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI merupakan suatu tim khusus yang dibentuk oleh LAI untuk menguji adaptasi para adaptor. Tim ini beranggotakan orang–orang yang tidak sembarangan. Untuk menjadi anggota tim

ini harus memiliki keahlian multi bahasa (ahli bahasa Inggris, ahli bahasa Ibrani, ahli bahasa Yunani, ahli bahasa Aram).

Selain menguasai berbagai bahasa, anggota tim juga harus ahli dalam bidang teologi dan ilmu Biblika. Latar belakang pendidikan anggota tim ini juga minimal S2 dalam kajian Ilmu Biblika dan Linguistik.

Saat ini, ada 3 orang yang menjadi Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI yang berkantor di Departemen Penerjemahan LAI Bogor.

Tim Konsultan Penerjemahan LAI atau yang lebih akrab disingkat menjadi Tim TO memeriksa konsep draft adaptasi adaptor sebelum diserahkan ke penerjemah lokal di lapangan untuk proses yang disebut dengan Field Test (uji naskah di lapangan). Dari hasil field test inilah, akan di ketahui kualitas draft SPPA. Jika masih ada komplain dari penerjemah lokal, berarti draft SPPA belum berkualitas dan proses pengujian akan di ulang kembali adaptor 1.

Dalam Tim TO, akan diputuskan adaptasi final draft SPPA atau yang disebut dengan final test (uji draft final) yaitu suatu draft hasil keputusan Tim TO setelah mendapat input atau masukan-masukan dari penerjemah lokal dan misionaris (penasehat linguistik) yang mendampingi penerjemah lokal. Peran misionaris yaitu memberikan input atau masukan terkait dengan unsur linguistik dan kebahasaan untuk penerjemah lokal.

Draft final test diberikan kepada penerjemah lokal untuk dikomentari lagi untuk mengecek kualitasnya (dilihat dari unsur keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan teks).

Masing-masing ahli dalam Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI berjuang keras mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menguji kualitas SPPA para adaptor. Draft final test adaptasi yang lolos seleksi atau lolos uji dari Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI akan dicetak dan dipublikasikan untuk penerjemah lokal dan umum yang kemudian disebut dengan SPPA.

Penerjemah lokal (specific readers) menggunakan SPPA sebagai acuan utama untuk membuat Alkitab dalam bahasa daerah-bahasa daerah tertentu. Penerjemah lokal menjadi salah satu penentu kualitas adaptasi adaptor (disamping peran Tim TO). Ada misionaris atau ahli linguistik yang mendampingi dan membantu para penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab berbahasa daerah.

Apabila ada hal yang tidak di mengerti dalam SPPA oleh penerjemah lokal dan misionaris tidak cukup bisa membantu memecahkan masalahnya, maka penerjemah lokal akan segera mengembalikan SPPA ke Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI. Kemudian, tim akan kembali melakukan tugasnya untuk merevisi SPPA tersebut.

Salah satu indikator bahwa kualitas terjemahan SPPA bagus adalah tidak adanya komplain dari penerjemah lokal. Ini merupakan proses pengujian SPPA yang cukup rumit.

Tim TO dan penerjemah lokal berjuang keras semaksimal mungkin untuk menghasilkan suatu karya terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu dan iman agar Firman Tuhan dapat tersampaikan dengan benar dan tepat untuk seluruh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.

Pendek kata, SPPA merupakan karya bersama antara Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI, dan penerjemah lokal, tanpa melupakan peran penting adaptor dan misionaris (penasehat linguistik).

Demikian ketatnya proses pengujian adaptasi adaptor untuk sampai menjadi SPPA sebagai bukti bahwa tingkat keakuratan, tingkat keberterimaan, dan tingkat keterbacaan (unsur bahasa, teologi, budaya, makna, dll) adaptasi menjadi prioritas utama dengan tetap mempertahankan makna dan mempertimbangkan konteks pembacanya yaitu penerjemah lokal.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Terdapat 2 jenis problematika yang ada dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu problematika leksikal dan problematika gaya dan tata bahasa. Problematika leksikal yang menyangkut kosakata Alkitab tercermin dari begitu banyaknya kosakata dalam teks bahasa sumber yang terkadang sangat sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran.

Problematika gaya dan tata bahasa meliputi pengulangan, penggunaan kalimat pasif, kata ganti orang ketiga jamak ”mereka”, kata penghubung ”dan” yang berfungsi memperjelas, perubahan kala, kekurangan kata penghubung, perintah atau peringatan yang tiba-tiba, dan pembalikan susunan peristiwa.

2. Adaptor menggunakan beberapa strategi penerjemahan yang digunakan untuk mengatasi problematika yang ada dengan cara pemanfaatan alat bantu penerjemahan (memanfaatkan kamus-kamus dan bahan-bahan referensi pendukung), diskusi dengan sesama rekan adaptor, konsultasi dengan TO atau Konsultan Penerjemahan Departemen Penerjemahan LAI, dan self problem solver.

3. Secara umum ada 3 jenis teknik penerjemahan yang digunakan baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa. Ketiga 3 jenis teknik penerjemahan tersebut yaitu additions (penambahan), alterations (pengubahan), dan omissions (penghilangan).

Ketiga jenis teknik penerjemahan tersebut masih terbagi-bagi lagi menjadi sub-sub teknik (bentuk). Teknik additions berupa penjelasan tambahan grafis (gambar) dan non grafis (non gambar). Bentuk penjelasan tambahan non gambar dalam teknik addition yaitu amplifikasi, penerjemahan deskriptif, membuat usulan alternatif terjemahan, eksegese ayat bahasa sumber, penambahan kata penghubung, dan tambahan informasi.

Teknik alterations (penghilangan) berupa generalisasi, simplifikasi, menyusun terjadinya peristiwa (kronologisasi peristiwa), dan mengubah kalimat pasif bahasa

sumber menjadi kalimat aktif dalam bahasa sasaran. Teknik omissions (penghilangan) berupa materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan. 4. Terdapat 48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat puluh delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7 data atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.

Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data atau 37,5 %, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau 10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %.

Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data atau 14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik addition lebih banyak digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 34 data atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah data yaitu 7 data atau 14,58 %.

5. Terdapat 69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data atau 55,07 % dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.

Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59 %, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %.

Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27 data atau 39,13 %.

Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %.

Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau 37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.

6. Dapat diketahui bahwa dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, problematika gaya dan tata bahasa lebih dominan daripada problematika leksikal. Jumlah data dalam problematika leksikal sejumlah 48 data atau 41,02 % dari total data dan jumlah data dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 69 data atau 58,98 % dari total data.

7. Dapat diketahui bahwa dari ketiga teknik penerjemahan (additions, alterations, dan ommisions) baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa, teknik additions menduduki posisi 1 dengan jumlah 60 data atau 51,28 %. Kemudian teknik alterations di posisi ke 2 dengan jumlah 45 data atau 38,46 %, dan teknik ommisions di posisi ke 3 dengan jumlah 12 data atau 10,25 %.

Dari data tersebut, dapat pula diketahui bahwa adaptor lebih sering menggunakan teknik addition dengan cara memberikan penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dalam bahasa sasaran dengan 18 data (15,38 %) dari total 60 data dan cara penambahan informasi yang paling jarang dilakukan adaptor dengan hanya 1 data (0,85 %).

Dalam teknik alteration, adaptor lebih banyak menggunakan cara mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif Bsa dengan jumlah 27 data atau 23,07 % dari total 45 data. Cara simplifikasi merupakan cara yang paling jarang dilakukan adaptor dalam teknik alteration ini dengan jumlah hanya 4 data atau 3,41 % dari total 45 data.

Teknik omission lebih banyak dilakukan adaptor dalam problematika leksikal dengan 7 data atau 58,33 % dari total 12 data. Teknik omission dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 5 data atau 41,66 % dari total 12 data. 8. Jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA

Wahyu Kepada Yohanes yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional dan metode penerjemahan adaptasi yang sama-sama mempertimbangkan konteks

pembacanya dengan cara mengadaptasi teks dan adaptor melalui 3 tahap dalam proses penerjemahan yaitu analisis, transfer, dan penyusunan kembali.

9. Prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes ditangani oleh Departemen Penerjemahan LAI dengan TO atau Konsultan Penerjemahan sebagai pelaksana utamanya dengan melibatkan berbagai pihak dalam pengujiannya. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu adaptor dan penerjemah lokal (specific readers).