• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari semua hasil penelitian serta saran berdasarkan pada hasil dan kesimpulan yang diperoleh untuk penelitian dan pengembangan selanjutnya.

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Perovskite Lantanum Manganat

Kalsium titanium oksida (CaTiO3) merupakan mineral perovskite pertama yang ditemukan di Pegunungan Ural Rusia oleh ahli mineral L.A. Perovski. Secara umum, perovskite memiliki rumus ABO3 dimana A merupakan ion tanah jarang trivalent seperti La3+,Pr3+,Nd3+, B merupakan ion logam transisi seperti Mn3+ dan O merupakan Oksigen. Perovskite lantanum manganat memiliki formula kimia LaMnO3 yang struktur kristalnya merupakan turunan dari struktur perovskite ABO3 dengan site A diisi oleh La3+ dan site B diisi oleh Mn. Penelitian terhadap material perovskite lantanum manganat telah banyak menarik perhatian dalam beberapa tahun belakangan ini. Hal ini disebabkan karena sifat magnet dan sifat listrik yang dimilikinya yaitu efek magnetoresistan dimana material akan mengalami perubahan resistansi listrik ketika diberikan medan eksternal [1].

Pada site A material lantanum manganat dapat disubstitusikan dengan ion alkali tanah divalent seperti Ca2+, Sr2+, Ba2+. Ketika ion divalent disubstitusikan pada La maka Mn akan memiliki 2 valensi yang berbeda dan dapat dituliskan menjadi πΏπ‘Ž1βˆ’π‘₯3+ 𝐴π‘₯2+(𝑀𝑛1βˆ’π‘₯3+ 𝑀𝑛π‘₯4+)𝑂32βˆ’, hal ini terjadi karena adanya transfer elektron melalui ion O2- yang dapat dijelaskan dengan interaksi double exchange. Sedangkan pada site B dapat disubstitusikan dengan ion logam seperti Cu, Co, Ti, Fe, Ni dan sebagainya. Ketika adanya substitusi ion logam pada site B menyebabkan perubahan rasio antara Mn3+ dan Mn4+ [2].

8

Gambar 2.1 Struktur kristal perovskite [9].

Struktur perovskite yang ideal memiliki struktur kristal simple cubic [10] seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1. Kestabilan struktur perovskite sangat bergantung pada kecocokan ukuran ion di site A dan B. Apabila terdapat ketidakcocokan antara ion dalam kisi akan membuat struktur perovskite mengalami distorsi. Distorsi parameter kisi ini menyebabkan perubahan struktur kristal sehingga mempengaruhi sifat listrik dan magnetik pada material [9]. Untuk menggambarkan distrorsi akibat ketidakcocokan ion dalam struktur perovskite maka dapat didefinisikan dengan faktor toleransi Goldscmidht (tG), seperti persamaan berikut:

𝑑

𝐺

=

<π‘Ÿπ΄> + <π‘Ÿπ‘œ>

√2 (<π‘Ÿπ‘> + <π‘Ÿπ‘œ>) (2.1)

dimana < π‘Ÿπ΄ >, < π‘Ÿπ‘> dan < π‘Ÿπ‘œ > adalah rata-rata jari-jari ion A, B dan O [9].

Berdasarkan faktor toleransi Goldscmidht (tG) struktur perovskite yang ideal memiliki tG = 1 [9]. Senyawa oksida mangan akan memiliki struktur perovskite apabila memiliki tG dalam batas 0,89 < tG < 1,02 [6]. Saat tG < 0,96 akan membentuk struktur orthorhombic, dan akan membentuk struktur rhombohedral

Kation A

Kation B Anion Oksigen

9

saat 0,96 < tG < 1 [12]. Amel et al melaporkan dalam penelitiannya bahwa ia mendapat tG sebesar 0.946 dan 0.905 sehingga membentuk struktur kristal orthorhombic [6].

Gambar 2.2 Stuktur perovskite lantanum manganat [13].

Gambar 2.2 merupakan struktur perovskite lantanum manganat sebelum dan setelah adanya substitusi kation pada site A. Gambar 2.2 (b) merupakan struktur kristal yang dimiliki material LaMnO3, sedangkan gambar 2.2 (a) dan (c) menunjukkan pengaruh distorsi struktur kristal akibat substitusi kation Ca2+, Ba2+ dan Sr2+. Kation Ca2+ memiliki jari-jari yang lebih kecil dari jari-jari kation La2+ sehingga menghasilkan parameter kisi yang semakin kecil, sedangkan kation Ba2+ dan Sr2+ memiliki jari-jari yang lebih besar dari jari-jari yang dimiliki kation La2+ sehingga menghasilkan parameter kisi yang semakin besar juga. Azwar et al [14] dalam penelitiannya menganalisis struktur single phase sistem La1-xBaxMnO3 menghasilkan nilai parameter kisi yang semakin besar dan diikuti dengan meningkatnya volume saat site La3+ didoping dengan kation Ba2+.

Struktur perovskite LaMnO3

Doping dengan kation yang lebih kecil pada site A

Contoh: La1-xCaxMnO3

Doping dengan kation yang lebih kecil pada site A

Contoh: La1-xSrxMnO3

La1-xBaxMnO3

Lantanum Calcium

Strointium atau barium Manganat Oksigen

10

Pada penelitian-penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa LaMnO3 yang disintesis dengan metode solid state reaction memiliki struktur orthorombik pada suhu ruang oleh Norby et al [15], La1-xBaxMnO3 yang disintesis dengan metode mechanical alloying memiliki struktur monoklinik oleh Priyo et al [6] dan Kharrat et al [16] mensintesis La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x = 0 – 0,075) dengan metode sol gel menghasilkan struktur rhombohedral dengan space group R-3c.

2.2. Sifat Magnet Lantanum Manganat

Material lantanum manganat (La1-xAxMnO3) memiliki karakterisik kemagnetan dan kelistrikan yang unik karena akan menghasilkan sifat berbeda bergantung pada komposisi x. Priyo et al [1] melakukan penelitian tentang sifat magnetik perovskite lantanum barium manganat pada suhu ruang dan menghasilkan kurva histerisis seperti pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kurva Histerisis material La1-xBaxMnO3 (x= 0 dan 0,2) [1].

Berdasarkan gambar 2.3 terlihat perbedaan pola magnetik dari sebelum dan setelah adanya substitusi Ba2+ pada material LaMnO3. Hal ini mengindikasikan bahwa material LaMnO3 mengalami perubahan sifat magnet yaitu dari yang sebelumnya bersifat antiferomagnetik menjadi feromagnetik setelah adanya substitusi. Perubahan sifat ini terjadi karena dengan adanya substitusi Ba2+

11

menyababkan ion Mn memiliki dua valensi yang berbeda yaitu Mn3+ dan Mn4+ sehingga untuk menjaga keseimbangan antar ion maka akan terjadi perpindahan elektron dari ion Mn3+ ke ion Mn4+ melalui ion O2- [1].

Kharrat et al [16] telah melakukan penelitian pada material La0,67Ba0,33Mn 1-xNixO3 dengan nilai x = 0 - 0,075 yang disintesis menggunakan metode sol gel dan menghasilkan kurva magnetisasi seperti pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Kurva magnetisasi La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x= 0 – 0,075) [16].

Gambar 2.4 menunjukkan adanya penurunan Tc seiring dengan meningkatnya komposisi x dengan nilai Tc masing-masing saat x = 0; 0,025; 0,075

12

yaitu sebesar 336 K, 328 K dan 302 K. Temperature curie (Tc) merupakan suhu transisi fasa pada material dari feromagnetik menjadi paramagnetik.

Gambar 2.5 Kurva Histerisis La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x= 0 – 0,06) [17].

Sitti et al [17] melakukan penelitian pada material La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 dengan nilai x = 0 - 0,06 yang disintesis menggunakan metode solid state reaction dan menghasilkan kurva histerisis seperti pada gambar 2.5. Terlihat adanya penurunan nilai saturasi magnet seiring dengan meningkatnya komposisi nilai x karena dengan adanya Ni menyebabkan perubahan rasio Mn3+ dan Mn4+.

Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dapat disimpulkan dengan adanya substitusi Ba pada site La menyebabkan material LaMnO3 dengan keadaan oksidasi awal yaitu πΏπ‘Ž3+𝑀𝑛3+𝑂32βˆ’ berubah menjadi πΏπ‘Ž1βˆ’π‘₯3+ π΅π‘Žπ‘₯2+(𝑀𝑛1βˆ’π‘₯3+ 𝑀𝑛π‘₯4+)𝑂32βˆ’ sehingga terjadi transisi sifat dari antiferomagnetik menjadi feromagnetik melalui interaksi double exchange [3]. Semakin bertambahnya komposisi Ni yang disubstitusikan pada ion Mn menyebabkan perubahan rasio ion Mn3+ dan Mn4+ yang akan mengganggu interaksi double exchange dan menyebabkan penurunan Tc [3].

13

Gambar 2.6 Diagram fase magnetik La1xBaxMnO3 [4].

Ju et al [4] telah melakukan penelitian tentang diagram fase magnetik La1xBaxMnO3 yang disintesis dengan metode solid state reaction dengan varisi konsentrasi 0 ≀ x β‰₯ 1. Pada gambar 2.6 terlihat bahwa material La1-xBaxMnO3 bersifat feromagnetik untuk seluruh nilai x. Seiring dengan meningkatnya nilai x temperature transisi feromagnetik mengalami peningkatan hingga mencapai titik maksimum sekitar 340 K.

Parameter yang menunjukkan sifat dan karakteristik magnetik suatu material dapat ditunjukkan dengan nilai magnetic susceptibility (πœ’) dan magnetic permeability (Β΅) [18]. Magnetic susceptibility merupakan kepekaan suatu material untuk termagnetisasi, sedangkan magnetic permeability merupakan kemampuan suatu material dapat dimagnetisasi [19]. Dengan adanya medan magnet H maka momen magnetik dalam suatu material akan cenderung menjadi sejajar sesuai dengan besar medan magnet yang diberikan sehingga besarnya magnetisasi akan berbanding lurus dengan medan magnet dan dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:

14

𝑀 = πœ’π» (2.2)

dimana M, πœ’, dan H adalah magnetisasi, magnetic susceptibility dan medan magnet.

2.3. Teori Crystal Field dan Efek Jahn Teller

Ion Mn pada LaMnO3 dikelilingi oleh octahedron oksigen sehingga membentuk MnO6 dan mengisi orbital 3d pada konfigurasi elektron. Orbital 3d terbagi menjadi dua tingkat orbital berdasarkan tingkat energinya yaitu orbital yang memiliki tingkat energi lebih rendah disebut t2g (dxy, dyz dan dxz) dan orbital yang tingkat energinya lebih tinggi disebut eg (𝑑π‘₯2βˆ’π‘¦2 dan 𝑑3𝑧2βˆ’π‘Ÿ2) [20], seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.7. Jarak yang memisahkan antara t2g dengan eg adalah sekitar 1eV [9].

Gambar 2.7 Crystal field splitting pada orbital d [20].

Menurut aturan Hund, semua elektron yang mengisi orbital d pada ion Mn harus memiliki arah spin yang sama sehingga semua elektron pada Mn3+ dan Mn4+ memiliki arah spin yang sama dalam ground state (keadaan dasar) [21]. Pada ion Mn4+ (𝑑2𝑔3 𝑒𝑔0) tiga elektron menempati t2g tanpa adanya elektron di eg, sedangkan ion Mn3+ (𝑑2𝑔3 𝑒𝑔1) tiga elektron menempati t2g dan satu elektron menempati eg

15

sehingga Crystal field splitting terjadi pada ion Mn3+. Elektron pada level eg lebih mudah melakukan lompatan dari ion Mn yang satu ke ion Mn lainnya melalui ion oksigen sehingga keadaannya menjadi tidak stabil dan menyebabkan terjadinya breaking degenerasi oleh interaksi orbital kisi.

Efek Jahn-Teller memiliki peran dalam terjadinya distorsi kristal, teorema ini menyatakan bahwa keadaan elektronik yang terdegenerasi mengalami kondisi yang tidak stabil dan untuk menstabilkannya maka terjadi distorsi struktur kristal dengan membentuk sistem simetri dengan energi yang lebih rendah untuk menghilangkan degenerasi [9]. Distorsi Jahn-Teller akan efektif dalam lantanum manganat dengan komposisi substitusi yang rendah untuk menghasilkan ion Mn3+ yang lebih dominan, sedangkan rasio antara Mn3+ dengan Mn4+ dapat dimodifikasi oleh nilai x yang berbeda [20]. Distorsi Jahn-Teller mempengaruhi besar kecilnya temperature curie (Tc), semakin besarnya terjadinya distori Jahn-Teller maka akan menghasilkan Tc yang akan semakin kecil [22].

2.4. Double Exchange

Jonker dan Van Santen menyatakan bahwa adanya keterkaitan antara temperature curie (Tc), magnetisasi dan resistivitas pada perovskite manganat [2], yang mekanismenya dijelaskan pertama kali oleh Zener dengan teori double exchange. Teori double exchange merupakan teori yang menjelaskan perpindahan elektron antara dua ion yang berbeda karena adanya substitusi ion lain sehingga menyebabkan terjadinya distorsi pada struktur material. Zener menunjukkan bahwa substitusi ion di site A pada La1-xAxMnO3 menyebabkan ion Mn memiliki valensi

16

campuran yaitu Mn3+ dan Mn4+, yang masing-masing memiliki konfigurasi elektron (3𝑑4, 𝑑2𝑔3 𝑒𝑔1) dan (3𝑑3, 𝑑2𝑔3 𝑒𝑔0) [23].

Gambar 2.8 Mekanisme teori double exchange (a) apabila terjadi di bawah Tc (b) dan di atas Tc (c) [20].

Gambar 2.8 (a) merupakan skema perpindahan elektron dengan cara hopping secara bersamaan dari Mn3+ ke O2- dan dari O2- ke Mn4+ pada material perovskite manganat. Orbital O2- diasumsikan terisi penuh karena memiliki konfigurasi elektron 2p6. Apabila peristiwa double exchange terjadi dibawah Tc maka spin yang dimiliki ion Mn3+ dan Mn4+ memiliki arah yang sama dan menyebabkan material bersifat feromagnetik seperti pada gambar 2.8 (b). Namun, apabila peristiwa ini terjadi diatas Tc seperti pada gambar 2.8 (c) maka arah spin menjadi tidak beraturan yang akan menghambat proses transfer elektron.

17 2.5. Metode Penghalusan Rietveld

Metode penghalusan Rietveld pertama kali diperkenalkan oleh H.M. Rietveld yang pada saat itu digunakan untuk mempelajari struktur kristal campuran uranium oksida [24]. Metode penghalusan Rietveld atau Rietveld refinement adalah sebuah metode penghalusan dengan cara mecocokan data difraksi kalkulasi dengan data difraksi observasi yang didasarkan pada metode kuadrat terkecil (least-square). Metode pencocokan ini dilakukan dengan cara menghaluskan parameter-parameter data difraksi kalkulasi yang bertujuan untuk mendapatkan nilai minimum dari selisih kuadrat intensitas antara data difraksi kalkulasi dengan observasi yang dinyatakan sebagai fungsi minimum residu S sebagai berikut:

𝑆𝑦 = βˆ‘π‘ 𝑀𝑖

𝑖=1 [πΌπ‘œπ‘βˆ’ πΌπ‘π‘Žπ‘™]2 (2.3) dimana 𝑀𝑖, πΌπ‘œπ‘, dan πΌπ‘π‘Žπ‘™ adalah weighting factor yaitu 1 𝐼⁄ π‘œπ‘ , intensitas observasi dan intensitas kalkulasi [25].

Pada penelitian ini penghalusan Rietveld dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak General Structure Analysis System (GSAS). General Structure Analysis System (GSAS) dibuat oleh R.B. Von Dreele dan A.C. Larson pada tahun 199l yang merupakan salah satu program untuk proses analisis data difraksi kristal dan serbuk yang didapatkan dari sinar-x atau neutron [26]. Kriteria keberhasilan penghalusan dalam GSAS adalah ketika mendapatkan fit terbaik antara data difraksi kalkulasi dan observasi dengan mendapatkan nilai πœ’2 (Chi**2) yang konvergen dengan nilai diantara 1 dan 1,3 [25].

18

πœ’

2

= √

𝛴 𝑀(πΌπ‘œπ‘βˆ’πΌπ‘π‘Žπ‘™)2

π‘€βˆ’π‘ƒ

=

𝑅𝑀𝑝

𝑅𝑒π‘₯𝑝 (2.4)

dimana w, πΌπ‘œπ‘, πΌπ‘π‘Žπ‘™, M, P, 𝑅𝑀𝑝, dan 𝑅𝑒π‘₯𝑝 adalah weighting factor yaitu 1 𝐼⁄ π‘œπ‘ , intensitas observasi, intensitas kalkulasi, jumlah data, parameter yang dihaluskan, weighting R-profile dan weighting R-expectation.

2.6. Karakterisasi Material

Karakterisasi material dilakukan untuk mengetahui karakteristik yang dimiliki suatu material. Pada penelitian ini menggunakan 2 alat uji karakterisasi yaitu X-Ray Diffraction (XRD) untuk menentukan fasa, struktur kristal dan parameter kisi suatu material dan Vibrating Sample Magnetometer (VSM) untuk melihat sifat kemagnetannya.

2.6.1. X-Ray Diffraction (XRD)

X-Ray Diffraction (XRD) merupakan alat karakterisasi yang digunakan untuk menentukan fasa, struktur kristal dan parameter kisi suatu material. Terdapat 3 komponen dasar penyusun alat XRD yaitu X-Ray tube, X-Ray detector, dan sample holder [27]. Prinsip dasar kerja pada alat karakterisasi XRD yaitu dengan adanya difraksi sinar-X yang mengenai atom-atom dalam kristal.

Secara sederhana proses kerja XRD yaitu sinar-X yang dihasilkan dari X-Ray tube kedap udara yang didalamnya terdapat katoda (filamen) bermuatan negatif sebagai penghasil elektron dan anoda bermuatan positif sebagai target penembakan elektron. Dengan memanaskan filamen terbentuknya awan-awan elektron disekitar filamen tersebut yang kemudian ditembakkan dengan listrik bertegangan tinggi

19

sehingga elektron memiliki energi kinetik yang tinggi. Karena elektron bermuatan negatif, maka elektron akan bergerak menuju sebuah plat logam (atom) yang diletakan pada bagian anoda yang bermuatan positif. Interaksi elektron ini akan menghasilkan sinar-X yang dapat meradiasi ke segala arah yang akan keluar dari X-Ray tube dan berinteraksi dengan struktur kristal material yang diuji.

Tembaga adalah target yang paling umum digunakan dalam XRD dengan radiasi CuKΞ± sebesar 1,5418 Γ… [27] seperti yang digunakan instrument XRD pada penelitian ini. Saat sampel dan detector diputar maka intensitas sinar-X yang didifraksikan mengenai sampel dicatat. Peristiwa ini memenuhi hukum Bragg sehingga terjadi interferensi konstruktif sinar-X dan menghasilkan puncak dengan intensitasnya masing-masing.

Sinar-X yang terdifraksi oleh kisi-kisi dari setiap material akan menghasilkan pola XRD yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya yang dapat digambarkan dengan persamaan hukum Bragg sebagai berikut:

𝑛λ = 2d sin ΞΈ (2.5)

dimana n, Ξ», d, dan ΞΈ adalah orde difraksi berupa bilangan bulat, panjang gelombang sinar-X yang digunakan, jarak antar bidang, dan ΞΈ adalah sudut difraksi.

Sitti et al [28] telah melakukan karakterisasi XRD pada material La0,67Ba0,33Mn1-yNiy/2Tiy/2O3 (y = 0,02, 0,04, dan 0,06) yang disintesis dengan metode solid state reaction didapatkan pola XRD seperti pada gambar 2.9. Terlihat bahwa seiring dengan meningkatnya nilai y pada sampel menyebabkan puncak difraksi bergeser ke kiri mengarah ke ΞΈ yang lebih kecil karena menghasilkan

20

parameter kisi yang semakin besar yaitu parameter kisi a saat x = 0,02; 0,04; dan 0,06 dengan nilai masing-masing sebesar 5,519 Γ…, 5.549 Γ… dan 5,558 Γ….

Gambar 2.9 Grafik pola XRD material La0,67Ba0,33Mn1-yNiy/2Tiy/2O3 [28].

Pergeseran puncak difraksi menuju ΞΈ yang lebih rendah juga terjadi pada penelitian Priyo et al [6] saat adanya substitusi ion Ba2+ pada material LaMnO3 yang dapat dilihat pada gambar 2.10. Pergeseran puncak difraksi terjadi karena jari-jari ion Ba2+ lebih besar dari jari-jari ion La3+ yaitu 1,35 Γ… dan 1,216 Γ… yang menyebabkan jari-jari ion pada site A akan mengalami peningkatan. Terlihat pada gambar 2.10 saat x ≀ 0,2 tidak ada puncak asing yang terbentuk pada pola difraksi sehingga menghasilkan fasa tunggal. Berbeda saat x β‰₯ 0,3 didapatkan puncak asing yang dimiliki BaMnO3 sehingga menghasilkan mutli fasa.

21

Gambar 2.10 Grafik pola XRD material La1-xBaxMnO3 [6].

Pergeseran puncak difraksi menuju ΞΈ yang lebih besar terjadi pada penelitian Jia et al [29] yang ditunjukkan pada gambar 2.11. Pergeseran puncak ini terjadi seiring dengan meningkatnya komposisi x karena jari-jari ion Ca2+ lebih kecil dari jari-jari ion La3+ yaitu 1,18 Γ… dan 1,216 Γ… sehingga menghasilkan parameter kisi yang semakin kecil. Hal ini sesuai dengan persamaan hukum Bragg yang menunjukkan bahwa nilai ΞΈ akan semakin besar saat jarak antar bidang kristal semakin kecil, dimana jarak antar bidang dengan parameter kisi memiliki perbandingan yang lurus.

22

Selain dapat menentukan fasa, struktur kristal dan parameter kisi suatu material hasil data XRD juga dapat digunakan untuk mengetahui besar ukuran kristal material yang diuji dengan menggunakan persamaan Scherrer sebagai berikut:

𝐷 =

0,9 Ξ»

𝛽 cos ΞΈ

(2.6)

dimana D, Ξ», dan Ξ² adalah ukuran kristal pada sudut ΞΈ, panjang gelombang yang digunakan sinar-X, dan pelebaran kurva (FWHM) [23]. Semakin lebar kurva pada puncak maka akan semakin kecil ukuran kristal yang dihasilkan karena D dengan Ξ² memiliki nilai yang berbanding terbalik.

2.6.2. Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

Vibrating Sample Magnetometer (VSM) merupakan alat karakterisasi yang digunakan untuk menganalisis sifat magnet suatu material yang bekerja berdasarkan metode induksi. Metode induksi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam mengukur besar magnetisasi dari sinyal yang dihasilkan oleh cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang kumparan [30].

Output yang dihasilkan menggunakan karakterisasi VSM pada penelitian yaitu berupa raw data yang berisi pengukuran momen magnetik dalam satuan miliemu, massa sampel yang digunakan dalam pengukuran dalam satuan milligram, suhu yang digunakan dalam pengujian dalam satuan Kelvin, medan eksternal yang diberikan dalam satuan Oersted, dan kurva histerisis dengan perbandingan antara

23

medan eksternal (Oe) dan magnetisasi (emu/g). Kurva histerisis dihasilkan sebagai akibat dari adanya perubahan medan magnet ektsternal.

Seperti yang telihat pada gambar 2.12 sampel pada alat VSM diletakkan pada ujung bawah pemegang sampel yang akan bergetar dengan frekuensi tertentu secara vertikal didalam lingkungkan medan magnet eksternal. Gerakan osilasi dari sampel akan menghasilkan tegangan induksi yang sebanding dengan besarnya magnetisasi dari sampel yang akan digambarkan dalam bentuk kurva histerisis [32]. Dari kurva histerisis yang dihasilkan dapat dianalisis besarnya saturasi magnet dan nilai suseptibilitas yang merupakan kepekaan suatu magnet saat termagnetisasi.

Gambar 2.12 Skema tempat sample pada alat VSM [31].

Kurva histerisis menggambarkan besarnya kekuatan magnet atau magnetisasi (M) pada material saat diberikan medan magnet eksternal (H). Kurva histerisis untuk bahan yang belum termagnetisasi baik M dan H akan berada pada titik nol. Ketika medan magnet H diperbesar dari nol secara kontinu maka magnetisasi akan meningkat dari titik nol ke titik a yang merupakan titik saturasi seperti pada gambar 2.13.

24

Gambar 2.13 Kurva Histerisis [33].

Titik saturasi (Ms) yaitu keadaan dimana momen magnetik tersusun secara parallel [31]. Ketika medan magnet diperkecil maka nilai magnetisasi akan menurun tetapi tidak mengikuti lengkungan kurva saat magnetisasi awal. Saat medan magnet telah mencapai titik nol, magnetisasi tidak akan mencapai titik nol karena adanya sisa magnet dalam inti yang ditunjukkan pada gambar 2.13 dari titik a ke titik b yang merupakan remanen. Remanen (Mr) yaitu magnetisasi yang diperoleh setelah material diberikan medan magnet yang besar lalu dihilangkan [31].

Untuk menjadikan M = 0 diperlukan medan magnet negatif yang disebut dengan koersivitas. Berdasarkan nilai koersivitasnya, bahan magnet dibedakan menjadi dua yaitu soft magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki nilai koersivitas yang kecil (dibawah 1 kA/m) disebut soft magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki nilai koersivitas yang lebih besar disebut hard magnetic [18].

Jika medan magnet negatif diperbesar maka material akan termagnetisasi dengan arah yang berlawanan menuju titik d, ketika medan magnet menjadi nol maka sisa magnet dalam inti akan sama dengan nilai sebelumnya tetapi pada arah

25

yang sebaliknya yaitu pada titik e. Untuk membalikan medan magnet kearah positif maka magnetisasi akan mencapai titik nol (titik f) dan akan terus diperbesar hingga mencapai saturasi pada titik a. Maka akan membentuk lintasan tertutup yang disebut dengan kurva histerisis.

26 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa raw data hasil karakterisasi XRD dan VSM material La0,7Ba0,3Mn1-xNixO3. Proses pengolahan dan hasil analisa data dilakukan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mulai dari Maret-Juli 2020.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Seperangkat computer OS windows 10 dan Microsoft excel 2010. b. Perangkat lunak GSAS-EXPGUI.

c. Perangkat lunak MATCH! Version 1.10 dilengkapi dengan data COD update 20160104.

d. Perangkat lunak converter BellaV2_23 dan PowDLL Version 2.42. e. Perangkat lunak VESTA Version 3.4.6.

f. Data sekunder berupa raw data X-Ray Diffraction (XRD) dan Vibrating Sample Magnetometer (VSM) material La0,7Ba0,3Mn1-xNixO3 (x = 0; 0,1; 0,2 dan 0,3) yang diketahui telah melalui proses sintesis dengan metode sol-gel, proses dehidrasi pada suhu 453 K selama 3 jam, proses kalsinasi pada 873 K selama 8 jam dan proses sintering pada 1123 K selama 10 jam. (Sumber: Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Dr.Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si, Arif Tjahjono, M.Si, et al).

27 g. Perangkat lunak OriginPro 2016 h. Perangkat lunak Notepad Version 1903 3.3. Tahapan Penelitian

Tahapan kerja pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu tahapan proses analisis data XRD dan tahapan proses analisis data VSM.

3.3.1. Tahapan Analisis Data XRD

Gambar 3.1 Tahapan analisis data XRD

Mulai Data XRD sampel Pencocokan puncak difraksi observasi dengan database

Pencarian database dengan bahan dasar sampel

Input data

Format data XRD sesuai dengan

GSAS-EXPGUI

Penyesuaian format data

A A Input data ke GSAS-EXPGUI Penghalusan Output Konvergen (1<πœ’2<1,3) FIT Selesai Iy a Iy a Tidak Tidak Ti dak

28 3.3.2. Tahapan Analisis Data VSM

Gambar 3.2 Tahapan analisis data VSM

3.4. Pengolahan Raw Data penelitian

Pada penelitian ini terdapat dua macam pengolahan, yaitu mengolah data XRD menggunakan metode Rietveld refinement dengan output yang dihasilkan dari proses ini yaitu didapatkannya infromasi mengenai fasa, struktur kristal, parameter kisi, dan volume, dan mengolah data VSM berupa data mentah dalam file 13.D menjadi kurva histerisis dengan perbandingan antara medan magnet (T) dan magnetisasi (emu/g).

3.4.1. Pengolahan Raw Data XRD

Metode Rietveld refinement digunakan dalam menganalisis data XRD untuk mengetahui fasa, struktur kristal, parameter kisi dan volume menggunakan

Mulai

Data VSM sampel

Proses copy-paste data dari perangkat lunak notepad ke

Dokumen terkait