• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelainan Refraksi

2.1.3. Astigmatisme

Astigmatisma adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian. Pada astigmatisma regular terdapat dua meridian utama yang terletak saling tegak lurus. Gelaja astigmatisma biasanya dikenali dengan penglihatan yang kabur, head tilting, mempersempit palpebra dan mendekati objek untuk melihat lebih jelas. Penatalaksanaan astigmatisma dilakukan dengan lensa silinder bersama sferis (Perdami, 2014).

Astigmatisma merupakan suatu kondisi dimana kornea memiliki lengkungan yang abnormal, sehingga menyebabkan gangguan penglihatan. Kornea yang normal berbentuk bulat, tetapi pada astigmatisma kornea berbentuk oval, sehingga menyebabkan ketidakfokusan pada cahaya yang masuk ke mata.

Astigmatisma merupakan kondisi yang umum diderita dan sering terjadi bersamaan dengan miopia (rabun jauh) atau hiperopia (rabun dekat). Penyebab astigmatisma seringkali tidak diketahui. Astigmatisma biasanya ada sejak lahir. Tahap astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak memerlukan koreksi apapun. Meskipun jarang, astigmatisma mungkin juga disebabkan oleh seringnya menggosok mata dengan keras (seperti pada anak yang mengidap alergi konjungtivitis) atau penyakit kornea mata seperti keratokonus. Astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa korektif seperti kacamata atau lensa kontak. Alat bantu penglihatan ini dapat membantu memfokuskan cahaya yang masuk ke retina mata. Cara lain untuk mengkoreksi astigmatisma adalah operasi refraktif seperti LASIK, dan implan lensa kontak (Singapore National Eye Centre, 2014)

16

Astigmatisme adalah kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda (Bruce James, 2006).

Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang disebut sebagai astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas, 2013).

Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi againts the rule (astigmat tidak lazim).

- Astigmat tidak lazim (astigmatisme againts the rule): Suatu keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut.

- Astigmat regular: Astigmat yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran. - Astigmat iregular: Astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian

saling tegak lurus. Astigmat iregular dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.

17

2.2. Faktor Risiko Kelainan Refraksi 2.2.1. Membaca Buku

Survei epidemiologis menunjukkan bahwa miopia sering terjadi pada orang yang menghabiskan lebih banyak waktu membaca atau melakukan pekerjaan dengan jarak dekat daripada mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu tanpa menggunakan mata dalam jarak pandang dekat. Miopia berdampak terhadap tugas sekolah dan hasil penilaian. Proses ini terus berlanjut hingga dekade ketiga kehidupan, dimana mahasiswa pascasarjana, microscopists, dan militer mendapat miopia akibat pekerjaan dengan jarak pandangan dekat yang terlalu sering (Douglas R. Fredrick, 2001)

Faktor lingkungan berperan besar terhadap prevalensi kelainan refraksi pada anak. Survei membuktikan bahwa anak-anak yang bersekolah di perkotaan lebih banyak menderita mata rabun (32,68%) dibandingkan dengan anak yang bersekolah di pedesaan (9,78%). Sejumlah penelitian dilakukan untuk membuktikan hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang bersekolah di perkotaan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca dan menulis daripada yang bersekolah di pedesaan. Pada anak kelas 1-3 SD, perbedaan waktu belajarnya bisa mencapai 107 menit per hari, dan di kelas 4-6 SD serta kelas 7-9 SMP, perbedaan waktu belajarnya bisa sampai 160 dan 224 menit per hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara intensitas belajar siswa dengan miopia. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas pekerjaan yang menggunakan jarak pandang dekat berpengaruh besar terhadap kejadian myopia. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian di Singapura, Israel, daerah pedesaan di Cina Utara, HongKong dan Orinda. Perbandingan prevalensi miopia pada anak sekolah di perkotaan dan di pedesaan menunjukkan bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah distribusi refraksi (Lian Hong Pi, 2010).

18

2.2.2. Pemakaian alat elektronik

Permainan anak yang dulu hanya dapat dilakukan secara tradisional dan sederhana, seperti menyusun puzzle di atas papan sederhana, kini dapat dilakukan dengan menggunakan komputer dengan pilihan permainan yang lebih variatif. Pilihan pemainan yang lebih banyak inilah yang menyebabkan sebagian besar anak-anak beralih dari permainan tradisional ke permainan dengan menggunakan komputer, atau yang lebih dikenal dengan sebutan video game.

Kirriemuir and McFarlane (2006) mendefinisikan video game/digital game sebagai suatu media yang menyediakan informasi digital dalam bentuk visual kepada penggunanya; menerima masukan data dari penggunanya; memproses data yang masuk sesuai peraturan yang telah diprogram; dan mengubah informasi digital yang disesuaikan untuk penggunanya. Berkaitan dengan hal di atas, Rini (2014) menyebutkan beberapa pengaruh buruk game bagi anak, antara lain pengaruh terhadap kesehatan sendiri, kepribadian, pendidikan/prestasi, serta terhadap keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang memiliki kebiasaan main game berisiko mengalami stres, kerusakan mata, maag, dan epilepsi. Pada perkembangan kepribadiannya, anak bisa menjadi agresif hingga melakukan tindakan kekerasan kepada keluarga atau masyarakat. Sedangkan dalam pendidikan, anak yang suka main game berlama-lama memiliki masalah untuk berkonsentrasi saat menerima pelajaran.

Walaupun kebiasaan main video game dapat memberi pengaruh positif, namun tanpa pengawasan dapat memberi pengaruh negatif yang lebih banyak. Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar tujuh tahun mulai tertarik pada video game dan sepertiga anak usia awal belasan tahun bermain video game setiap hari, serta 7% dari mereka bermain video game paling sedikit 30 jam per minggu. Artinya, mereka dapat duduk bermain game di depan alat elektronik dengan mata terbuka lebih dari empat jam setiap hari. Akibat main game dalam waktu yang lama dapat menyebabkan anak tersebut lebih berisiko tinggi untuk mengalami kelainan refraksi pada mata, terutama rabun jauh (miopia) akibat aktivitas dalam jarak pandang dekat tersebut.

19

2.2.3. Menonton Televisi

Dari hasil penelitian Anatasia Vanny, menunjukkan prevalensi kelainan refraksi terbesar didapatkan pada kelompok usia 5-6 tahun. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti aktivitas dan kebiasaan anak, misalnya kebiasaan menonton televisi yang terlalu dekat.

2.2.4. Penggunaan komputer

Menghabiskan waktu yang lama menggunakan komputer atau menonton televisi dapat menyebabkan mata menjadi lelah dan penglihatan kabur. Menggunakan komputer tidak menyebabkan kerusakan permanen pada mata. Namun, bekerja pada komputer adalah pekerjaan yang dapat mengakibtkan kelelahan pada mata. Seorang yang memiliki masalah terhadap penglihatan tanpa dikoreksi dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam penggunaan komputer dan dapat menyebabkan penglihatan kabur serta ketegangan mata. Setiap kali menggunakan komputer atau menonton televisi, mata cenderung kurang berkedip. Hal ini dapat menyebabkan mata menjadi kering dan menyebabkan efek yang lebih buruk jika berada di lingkungan yang ber-AC (Better Health Channel, 2014).

Peningkatan penggunaan komputer di tempat kerja telah menyebabkan peningkatan masalah kesehatan. Banyak keluhan dari orang yang bekerja dengan menggunakan komputer seperti ketidaknyamanan okular, ketegangan otot, dan stres. Tingkat ketidaknyamanan tampaknya meningkat dengan jumlah penggunaan komputer. Ketidaknyamanan visual dan gejala terkait yang terjadi pada pekerja komputer harus diakui sebagai masalah kesehatan yang berkembang. Masalah penglihatan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dialami selama penggunaan komputer dalam jarak dekat disebut “Computer Vision Syndrome”. Masalah penglihatan yang dialami oleh operator komputer umumnya hanya bersifat sementara dan akan menurun setelah berhenti bekerja menggunakan komputer. Namun, beberapa pekerja mungkin mengalami gangguan kemampuan visual, penglihatan yang kabur, bahkan setelah bekerja. Jika tidak ada upaya untuk mengoreksi penyebab masalah ini, kejadian ini akan terus kambuh dan mungkin

Dokumen terkait